• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI KOMUNIKASI POlITIK

Politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang men- jelma sebagai organisasi politik. Pada pemilu 2009 mulai tim- bulnya kesadaran setiap partai politik bahwa dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara.

Hal menarik pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu adalah fenomena menguatnya kembali ideologi-ideologi politik, serta terlihat bagaimana terjadi pertarungan ideologi antar- kandidat. Salah satunya menggunakan religio-ideological

cleavages.

Penelitian ini membahas pola aliran pada Pilkada DKI Ja- karta 2012 serta bagaimana politik aliran digunakan sebagai strategi komunikasi politik untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Penelitian juga mendeskripsikan mengenai peta pertar- ungan politik dan dinamika demokrasi pada tingkat lokal.

Kata kunci: politik aliran, komunikasi politik, political mar- keting

Salim Alatas

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya Jakarta e-mail: salim_oemar@yahoo.co.id

Pendahuluan

Setelah krisis moneter dan krisis politik tahun 1997 dan 1998, yang dii- kuti dengan periode berlabel ‘Reformasi’, banyak pengamat (lihat Nordholt dan Klinken, 2007 : 1) mengatakan Indonesia telah memasuki fase transisi dari pemerintahan otoriter menuju sistem pemerintahan demokrasi yang baru di mana peran civil society lebih menonjol. Transisi ini, juga disertai dengan proses desentralisasi, yang membawa otonomi daerah dan demokrasi sekaligus mem- buat pemerintah lebih transparan.

Reformasi politik pasca-1998, tidak hanya berdampak pada terbentuknya sistem politik yang demokratis, disisi lain –yang lebih penting adalah– kebijakan mengenai otonomi daerah atau desentralisasi (decentralization). Langkah pent- ing yang sangat fundamental dalam kebijakan desentralisasi yakni pelaksanaan

pemilihan umum lokal dalam memilih kepala daerah (pilkada).

Perubahan struktur politik pasca-orde baru ini kemudian menuntut sebuah strategi baru dari partai-partai kontestan pemilu untuk lebih aktif mencari du- kungan pemilih (voters). Setiap kontestan pemilu berupaya untuk menampilkan citra (image) sesuai dengan harapan konstituen yang akan menjadi voter dalam pemilu. Mulai dari merekayasa citra sesuai isu persoalan yang dipilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan pemanfaatan media. Semuanya untuk mengusahakan agar citra para kontestan melekat kuat dalam memori dan imaji serta alam bawah sadar (subsconscious) para calon pemilih.

Perubabahan struktur itu juga pada akhirnya menuntut adanya strategi komunikasi politik melalui kampanye yang inovatif, aspiratif, dan bahkan atrak- tif dalam mendapatkan dukungan pemilih. Kemunculan partai politik beserta ideologi masing-masing, perubahan sistem pemilu, serta pemilihan pejabat publik secara langsung menjadikan posisi pemilih strategis. Kondisi itu men- gubah pendekatan kampanye politik dari sales-center approach menjadi market center approach, perubahan dari strategi menjual dan promosi menjadi strategi menyesuaikan dengan kebutuhan pasar.

Dalam konteks sosio-politik inilah kita melihat Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 menjadi menarik. Bukan hanya karena DKI Jakarta berada dalam pusa- ran pemerintahan, Namun lebih dari itu, Pilkada DKI Jakarta menjadi barometer bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Sebagaimana dikatakan Sukardi Rinakit, seorang peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate bahwa Pilkada DKI Ja- karta akan menjadi model bagi Pilkada secara nasional (Kompas, 24 September 2012).

Namun demikian, kita masih melihat digunakannya isu SARA dalam per- tarungan memperebutkan suara. Dalam paradigma Geertzian, hal ini biasa dis- ebut sebagai “politik aliran”. Politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi politik (William Liddle : 2005, 108). Pada tahun 1950-an, Clifford Geertz menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu: PNI yang mewakili golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari santri modernis, serta NU yang meru- pakan wakil santri tradisionalis. Dengan demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti garis-garis pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-kelompok suku bangsa, etnik ataupun agama dan kepercayaan.

Secara spesiik, penelitian ini membahas pola aliran yang terjadi pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012, serta bagaimana politik aliran ini digunakan sebagai sebuah strategi komunikasi politik untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Konsep “politik aliran” da- lam penelitian ini digunakan sebagai alat analisis untuk melihat kecenderungan

KOMUNIKASI POLITIK DAN PeMBANGUNAN BeRBASIS KeARIFAN LOKAL

religio-ideological cleavages, dari masing-masing kandidat calon serta penggu- naannya untuk memenangkan pemilihan.

Secara umum, semenjak 2009 politik Indonesia tidak lagi dimeriahkan oleh pertarungan ideologi atau aliran. Pertarungan politik dalam pemilu 2009 lebih banyak diwarnai pencitraan dan jualan pesona para tokoh. Mengingat, bahwa Sejak digulirkannya reformasi 1998 seolah membuka kembali lembaran seja- rah tentang pola aliran yang terbentuk pada awal-awal kemerdekaan. Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, dimana nuansa aliran sangat kental terasa, pada pemilu 2009 mulai timbulnya kesadaran setiap partai politik bahwa da- lam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih dukungan sebanyak mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri ini

Namun demikian, yang cukup menarik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 lalu adalah fenomena menguatnya kembali ideologi- ideologi politik yang semenjak 2009 telah memudar. Pada perebutan kursi gu- bernur DKI tersebut, terlihat bagaimana telah terjadi pertarungan ideologi antar masing-masing kandidat. Pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli yang mewakili kelompok santri tradisionalis dan pasangan Joko Widodo-Basuki yang mewakili kelompok nasionalis (priyayi-abangan, meminjam istilah Geertz). Diantara ber- bagai macam strategi political marketing yang digunakan, para pasangan calon tersebut salah satunya menggunakan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara.

Penelitian ini juga ingin mendeskripsikan mengenai bagaimana peta per- tarungan politik dan dinamika demokrasi pada tingkat lokal. Reformasi politik 1998 menghasilkan kebijakan mengenai otonomi daerah, hal ini pada akhirnya telah menyebabkan terbentuknya politik pada tingkat lokal yang lebih dinamis. Dengan berkembangnya politik pada tingkat lokal, sangat menarik untuk meli- hat bagaimana kecenderungan politik di tingkat lokal, dan apakah politik pada tingkat nasional berpengaruh pada tingkat lokal. Tulisan ini juga sangat relevan untuk melihat ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (meminjam istilah Geertz) kelompok santri dan abangan dalam peta perpolitikan di Indonesia.

Penelitian ini secara spesiik juga ingin mendeskripsikan tentang dinamika politik Islam Indonesia yang terjadi pada pemilihan umum (pemilu) 2009. Meng- ingat, bahwa Sejak digulirkannya reformasi 1998 seolah membuka kembali lem- baran sejarah tentang pola aliran yang terbentuk pada awal-awal kemerdekaan. Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, dimana nuansa aliran sangat kental terasa, pada pemilu 2009 mulai timbulnya kesadaran setiap partai politik bahwa dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia.

metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dan tipe penelitian ini bersifat deskriptif, karena tidak berupaya mencari hubungan sebab akibat (causality). Tidak ada status (independen, dependen, antecedent dan variabel lainnya) da- lam variabel-variabel yang digunakan. Penelitian ini hanya ingin memberikan deskripsi atau gambaran tentang fenomena politik aliran dalam pilkada DKI Ja- karta tahun 2012 dengan melakukan penelusuran terhadap strategi komunikasi politik masing-masing calon kandidat yang bersaing dalam pemilihan.

Dalam menyusun penelitian ini, penulis melakukan penelusuran literatur yang berbentuk buku, makalah, surat kabar, artikel-artikel yang terkait dengan tulisan yang dibahas pada penelitian ini. Untuk melengkapi bahan tulisan ini se- cara komprehensif, penulis melakukan wawancara mendalam (depth interview) pada beberapa pihak yang memiliki data-data yang terkait dengan penulisan ini.

Politik aliran

Politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai or- ganisasi politik (William Liddle : 2005, 108). Arti penting teori aliran Geertz ada- lah bahwa teori ini mencoba menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan-pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di Indonesia.

Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz un- tuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal zaman kemerdekaan.Geertz tinggal di pare, Jawa Timur selama dua tahun 1952- 1954. Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam The Ja-

vanese Village, yang diterbitkan dalam sebuah buku, Local ethnic, and National

Loyalties in Village Indonesia (William Liddle: 2005, 105).

Dalam penelitiannya itu, Geertz mencoba menghubungkan bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan integrasi disintegrasi dengan cara mengor- ganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbe- daan yang nampak antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah bersifat komplementer (Abudin Nata : 2000, 347).

Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yang ditarik dari mikrokosmos- nya di Mojokuto, ke dalam tiga varian sosiokultural: abangan, santri dan priyayi. Ketika memaparkan perbedaan-perbedaan umum antara ketiga varian tersebut dalam bukunya Religion of Java (Bahtiar effendi: 1998, 37), ia menulis :

KOMUNIKASI POLITIK DAN PeMBANGUNAN BeRBASIS KeARIFAN LOKAL

dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan ke- pada aspek-aspek Islam dari sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang ( juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani); dan priyayi menekankan pada aspek-aspek Hindu- istis dan berkaitan dengan unsur birokrasi).”

Dengan demikian penyebab terjadi tipologi yang berbeda tersebut salah satunya berkaitan dengan lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan kantor pemerintahan) dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda (berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya ketiga varian sosial keagamaan terse- but. Disamping itu menurut Daniel S. Lev (1996 : 134), pengelompokkan terse- but makin diperkuat oleh perbedaan-perbedaan ekonomis. Kelompok santri lebih cenderung pada aktivitas perdagangan daripada kelompok abangan yang tipikal ideal sebagai petani, dan kelompok priyayi urban sebagai birokrat.

Setidaknya ada dua unsur utama yang inheren dalam konsep aliran. Per- tama, pentingnya pembilahan religio-kultural dalam tradisi masyarakat Jawa. Kedua, cara dimana pembilahan semacam itu mentransformasikan diri secara agak mudah ke dalam pola pengelompokan-pengelompokan sosial-politik (Bahtiar effendi : 1998, 38).

Politik aliran terbentuk, untuk pertama kalinya pada pemilu 1955. Ketika masyarakat Jawa untuk kali pertamanya selama satu setengah abad diberi kebe- basan untuk membuat organisasi-organisasi sosial dan politik baru. Yang mer- eka ciptakan kemudian adalah aliran, yaitu partai-partai politik nasional, yang diimpor dari Jakarta, lengkap dengan ideologi masing-masing dan organisasi- organisasi sosial untuk petani, buruh, wanita, pemuda dan lain-lain (William Liddle : 2005, 108).

Pada pemilu tahun 1950-an pola pembentukan partai politik dipengaruhi oleh konsep aliran. Kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), dua partai Islam terbesar pada 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok aban- gan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan partai “nasionalis” (PNI atau PKI).

Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat Soe- harto memaksakan semua partai santri bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdi- fusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pasca orde baru realitas politik yang didasarkan pada aliran bukan berang- sur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol. PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI yang diciptakan Soekarno. Be-

gitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai santri, berfusi menjadi PPP.

Andreas Ufen (2008), seorang ilmuwan politik dan peneliti senior dan Se- nior Research Fellow GIGA Institute of Asian Affairs, mengatakan bahwa berbeda dengan pemilu 1955 dimana nuansa aliran sangat terasa, pemilu pasca 1998, Menurut Ufen, sebagian kalangan melihat dengan pandangan yang optimistik, bahwa ada faktor-faktor lain, seperti pemimpin karismatik, faksional, dan politik uang, yang ikut serta menentukan preferensi pemilih.

Kuskridho Ambardi bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai di Indonesia telah lama pudar. Dengan mengamati perilaku partai-partai pada Pemilu 1999 dan 2004, Ambardi berkesimpulan bahwa partai-partai politik telah mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem kepartaian yang terkartelisasi (2009 : 347). Faktor penyebab kartelisasi ini adalah kepentingan kolektif partai-partai dalam menjaga sumber-sumber rente di lembaga ekse- kutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok.

Disamping itu penelitian Ambhardi (2009 : 347) juga menemukan bahwa partai-partai bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok, dan secara kolek- tif pula meninggalkan komitmen program mereka sebagaimaa ditunjukkan oleh fenomena migrasi ideologis dalam kasus subsidi Negara. Dalam kasus ini mereka bergeser dari komitmen yang bersifat populis ke komitmen yang pro- pasar. Rentang jarak antara komitmen ideologis dan program elektoral mereka dengan kompromi yang dilakukan di lapangan melampaui batas yang lazim diterima sebagai batas minimal ciri persaingan antarpartai.

Dengan melihat fenomena yang terjadi pada Pemilu 2009 kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa politik aliran sudah mulai memudar dan beralih menjadi politik ketokohan. Pernyataan R. William Liddle (2009), membe- narkan argumentasi pudarnya politik aliran ini, dia menyatakan bahwa saat ini Indonesia sedang menciptakan sebuah sistem politik yang memberikan peran besar kepada politisi dan sebagai individu. Hal ini, menurut Liddle, berbeda sekali Orde Lama ketika partai dan pemimpin partai memainkan peran yang jauh lebih besar.

Komunikasi Politik

Komunikasi Politik dapat dipahami menurut berbagai cara. McQuail (dalam Pawito, 2009 : 2) misalnya, mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan “all process of information (including facts, opinions, beliefs, etc) transmission, exchange and search enganged in by participants in the course of institutional-

KOMUNIKASI POLITIK DAN PeMBANGUNAN BeRBASIS KeARIFAN LOKAL

ized political activities”. Pandangan demikian, menurut Pawito, membersitkan beberapa hal penting: komunikasi politik menandai keberadaan dan aktualisasi lebaga-lembaga politik, komunikasi politik merupakan fungsi dari sistem poli- tik, dan komunikasi politik berlangsung dalam suatu sistem politik tertentu.

Konsep komunikasi partai politik ditentukan oleh hubungan kepada pemi- lih dan perilaku pemilih (Foster, 2010 : 4). Brian McNair (2003 : 3) mengatakan bahwa Setiap buku tentang komunikasi politik harus dimulai dengan mengakui bahwa istilah ini telah terbukti sangat sulit dideinisikan dengan presisi apapun, hanya karena kedua komponen frase tersebut dengan sendirinya terbuka untuk berbagai deinisi, yang lebih luas.

Denton dan Woodward (dalam McNair, 2003 : 3) misalnya, menyediakan satu deinisi komunikasi politik sebagai sebuah diskusi murni (pure discussion) mengenai alokasi sumber daya publik (pendapatan), otoritas resmi (yang diberi kuasa untuk membuat keputusan hukum, legislatif dan eksekutif), dan sanksi (reward apa negara atau menghukum). Deinisi ini mencakup retorika politik verbal dan tertulis, namun bukan tindakan komunikasi simbolik yang, seperti akan kita lihat dalam hal ini buku, adalah sangat penting untuk tumbuh pema- haman tentang proses politik secara keseluruhan.

Sementara itu Sharon e. Jarvis dan Soo-Hye Han (2009 : 74) menyatakan bahwa Komunikasi politik adalah pertukaran informasi antara kepemimpinan suatu bangsa, media, dan warga Negara. Lebih lanjut Jarvis dan Han menjelas- kan :

Political communication is the exchange of information between a na- tion’s leadership, the media, and the citizenry. As an academic disci- pline, it draws from research in political science, psychology, mass com- munication, journalism, communication studies, rhetoric, sociology, history, and critical and cultural media studies.

At the core of political communication scholarship is a fascination with how political elites, the press, and the public persuade each other. To

learn more about these patterns of inluence, scholars study the texts associated with political campaigns, governance and the formation of public policy, political and social movements, political socialization pro- cesses, citizen organizing, political entertainment programming, and politics on the Internet.

Dewasa ini menurut Ibnu Hamad (2004 : 22) Dewasa ini, di satu sisi, poli- tik berada di era mediasi (politics in the age of mediation); di sisi lain peris- tiwa politik, tingkah laku dan pernyataan para aktor politik, bersifat rutin, se- lalu mempunyai nilai berita sehingga banyak diliput oleh media massa. Liputan politik juga cenderung lebih rumit ketimbang reportase bidang kehidupan lain- nya. Pada satu pihak, liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (public opinion), baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh

para wartawan. Karenanya, menurut Hamad, berita politik bisa lebih dari seka- dar reportase peristiwa politik, tetapi merupakan hasil konstruksi realitas poli- tik untuk kepentingan opini publik tertentu. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini inilah yang justru menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 kita melihat bagaimana para kandidat me- manfaatkan politik aliran sebagai strategi dalam memobilisasi dan maksimalisasi dukungan. Misalkan bagaimana pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli, meman- faat cleavage keagamaan dalam komunikasi politiknya, sementara Jokowi-Ahok lebih cenderung kepada cleavage sekuler (nasionalis).

Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai menyerang pasan- gan calon. Para calon pemilih di putaran kedua pemilihan umum kepala daerah mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama ter- tentu. Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis ter- tentu. Masing-masing pasangan membantah telah melakukan serangan ber- nada SARA.

Dalam konteks politik Indonesia, cleavage keagamaan versus sekuler sudah berkembang sejak dimulainya semangat nasionalisme Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Kuskridho Ambardi (2009 : 44), bahwa cleavage keagamaan versus sekuler mulai terbentuk pada awal abad ke-20 semasa bersemainya se- mangat nasionalisme Indonesia. Lebih jauh Ambardi menyatakan bahwa pem- bentukan Budi Utomo pada 1908 atau Serikat Dagang Islam (SDI) pada 1911 menandai awal terbentuknya cleavage berbasis agama tersebut.

Pembahasan dan analisis

Politik aliran dalam Pilkada dKi Jakarta 2012

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, isu SARA berkembang cukup pesat. Hal ini seolah menandai kembali fenomena menguatnya kembali ideologi-ideologi politik yang semenjak 2009 telah memudar. R. William Liddle dalam sebuah wawancara di harian Kompas (07 Juli 2009) menyatakan bahwa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pada pemilu Orde Baru, Pemilu 2009 ini tidak lagi dimeriahkan oleh pertarungan ideologi atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan dan jualan pesona para tokoh popular.

Menurut Arya Fernandes (2008), trend politik kini bergerak meninggal- kan ruang-ruang ideologis, hal yang selama ini dianggap tabu. Itu pun sudah terbantahkan. Rivalitas Islamisme dan nasionalisme tidak lagi berada dalam wilayah ideologis. Simbol-simbol agama juga tak lagi menjadi pemikat untuk

KOMUNIKASI POLITIK DAN PeMBANGUNAN BeRBASIS KeARIFAN LOKAL

menarik simpati pemilih. Pembentukan Baitul Muslim Indonesia (BMI) oleh Par- tai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan deklarasi Partai Keadilan Se- jahtera (PKS) menjadi partai yang terbuka semakin memperkuat sinyalemen runtuhnya aliranisasi politik.

eep Saefulloh Fatah (2008), mengemukakan bahwa gejala penting yang terlihat di balik pengajuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 mereka lebih cenderung mengambil “idolisasi” sebagai jalan pintas ketimbang “ideolo- gisasi”. Dalam Pemilu 2009, menurut eep, alih-alih melakukan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dengan tekun, partai lebih senang melakukan cara instan mencari igur publik, khusunya kalangan pesohor yang sudah populer. Suara digalang tak melalui proses pembentukan hubungan pertukaran, tetapi melalui ikatan keterpesonaan dan kultus pemilih terhadap idola mereka.

Berkembangnya idolisasi sekaligus menggarisbawahi bahwa umumnya partai politik tak menguat dan mendewasa setelah tumbuh selama satu dekade. Partai tumbuh hampir tanpa pembeda, nyaris tanpa karakter dan semua partai sama adanya. Kecenderungan idolisasi merata pada semua partai (Fatah : 2008). Apa yang dimaksud eep sebagai Idolisasi sesungguhnya adalah representasi dari politik ketokohan.

Pada perebutan kursi gubernur DKI tersebut, terlihat bagaimana telah ter- jadi pertarungan ideologi antar masing-masing kandidat. Pasangan Fauzi Bowo- Nahrowi Ramli yang mewakili kelompok santri tradisionalis dan pasangan Joko Widodo-Basuki yang mewakili kelompok nasionalis (priyayi-abangan, memin- jam istilah Geertz). Diantara berbagai macam strategi political marketing yang digunakan, para pasangan calon tersebut salah satunya menggunakan religio- ideologicalcleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara.

Namun demikian, beberapa pengamat menyatakan, meski isu SARA begitu mengemuka pada Pilkada DKI, namun hal ini sama sekali tidak menandai bang- kitnya politik aliran. Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Lembaga Survey Indonesia (LSI), mengemukakan bahwa Politik aliran secara nasional sudah mati. Kenapa Jakarta berbeda? Karena raw material (warga Jakarta) lebih terdidik dibanding daerah lain. Muhtadi juga mengatakan bahwa, raw material yang 20 persen lebih banyak lulusan S-1. Yang membaca koran setiap harinya juga lebih dari