• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI IDENTITAS AREMA

Bahasa walikan adalah suatu fenomena yang tidak sengaja diturunkan oleh gerilyawan Malang yang kemu- dian diadopsi sebagai bahasa sehari hari guna mengenang jasa para pahlawan serta wujud pelestarian budaya untuk menjadi identitas dan sejarah yang bernilai tinggi. Sungguh menarik melihat fenomena ini, bagaimana sebuah bahasa dengan struktur yang unik memberikan sebuah simbolisa- si atas identitas suatu kelompok agar terus eksis dalam mempertahankan kebudayaan lokal ditengah arus glo- balisasi. Bagaimana bahasa walikan begitu melekat pada masyarakat Malang dan apa fungsi bahasa jika dikaitakan dengan identitas budaya.

Keyword : bahasa walikan, identitas, budaya malangan

Kheyene Molekandella Boer

Fakultas Ilmu Komunikasi dan Multimedia Universitas Mercu Buana Yogyakarta

e-mail : delux_boer@yahoo.com

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara multikultural memiliki 200 suku bangsa dan 300-san sub bahasa etnis (Leksono, 2006: 187). Keanekaragaman bahasa men- jadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan identitas. Menurut Bronislaw Malinowski (antropologi modern) menempatkan bahasa diurutan pertama dari tujuh unsur budaya universal.

Manusia dideinisikan sebagai homo faber yaitu pembuat dan pemakai alat, homo sapiens yaitu si-bijak atau si-pemikir dan terakhir homo symbolicum yaitu si pencipta adalah pengguna simbol. Manusia sebagai makhluk yang aktif membuat pemikiran pemikiran maju untuk terus mengubah cara berkomunikasi lebih efektif dan mudah.

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

Budaya menarik untuk disimak, diamati, dipelajari apa maksud di belakang munculnya sebuah kebudayaan. Siapa yang tak tahu budaya milik Indonesia yang telah mendunia, memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi juga kaya akan ragam budaya material yang tak dimiliki oleh negara-negara lainnya. Budaya adalah identitas bangsa, didalamnya dapat kita jumpai proses komu- nikasi dalam berinteraksi sehingga melahirkan nilai-nilai spiritualitas yang mer- eka junjung bersama.

Salah satu keunikan budaya Indonesia adalah bahasa walikan (terbalik) milik Kota Malang. Bahasa yang dibaca dengan terbalik ini bukanlah sebuah ritualisasi yang dijalankan dengan rutinitas ceremony pada umumnya. Budaya ini termasuk jenis kebudayaan modern yang lahir dari sebuah kesepakatan per- juangan pahlawan Kota Malang di zaman perang gerilya dahulu.

Bahasa walikan termasuk dalam identitas etnik yaitu gabungan antara ketu- runan atau sejarah kelompok dari suatu generasi ke generasi, dimana identitas tersebut ditandai dengan nilai isi (value contact) dan ciri khas (salience) yang merupakan sebuah kekuatan ailiasi. Dalam tradisi sosiokultural menjelaskan bagaimana identitas dibangun melalui interaksi dan kelompok sosial budaya. Identitas merupakan sebuah negosiasi yang telah dimodiikasi oleh kelompok tertentu menjadi kode untuk mendeinisikan siapa diri mereka di hadapan ko- munitas lainnya.

Selain dikenal dengan kulinernya, Malang tak kalah eksis akan keaneka- ragaman budaya. Bahasa walikan sudah menjadi prokem (bahasa gaul) dan te- lah akrab di segala lapisan masyarakat seperti tukang becak, pedagang kaki lima, mahasiswa, karyawan dan dianggap memiliki ruh tersendiri dalam mem- pererat rasa solidaritas antar sesama. Saat ini bahasa walikan berfungsi sebagai identitas masyarakat Malangan, tumbuh menjadi sebuah prokem yang men- jadikan bahasa tersebut menjamur di berbagai lapisan masyarakat, terutama Komunitas Arema (Arek Arek Malang) yang menyatakan diri sebagai pemilik bahasa tersebut.

Bahasa adalah salah satu identitas kebudayaan yang mampu memperta- hankan suatu kelompok, karena fungsinya untuk berinteraksi dan mengeksiskan diri dengan lingkungan sekitar. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana kesepa- katan-kesepakatan bahasa dapat terjadi dan apa yang melatarbelakangi bahasa

walikan kini diangkat menjadi identitas budaya Malang? asal mula bahasa Walikan

Sejarah selalu mewarisi kebudayaan yang unik untuk dikenang dan dile- starikan, para nenek moyang tak henti-hentinya memberikan “bacaan lama” untuk dipelajari dan dibagi. Bahasa walikan menumbuhkan rasa penghorma- tan dan saling menghargai. Bahasa walikan muncul ketika Gerilyawan Malang

mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan sesama pejuang lainnya. Be- landa mengirimkan banyak sekali mata-mata yang berasal dari orang pribumi, sehingga mereka faham bahasa yang digunakan gerilyawan dalam merancang strategi perang atau misi rahasia untuk dibocorkan kepada Belanda. Demi men- jaga keamanan informasi maka terciptalah bahasa walikan. efektivitas bahasa ini sangat membantu pejuang dalam melancarkan aksi aksi mereka.

Budaya adalah pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang su- dah dikembangkan jauh sebelum kita lahir. Menurut Goncales, Houston & Chen dalam (West dan Turner, 2009: 42). Budaya adalah komunitas makna dan sistem pengetahuan bersama yang bersifat lokal. Masyarakat kita, misalnya memiliki sejarah yang melampaui kehidupan seseorang, pandangan yang berkembang sepanjang waktu yang diajarkan pada setiap generasi dan “kebenaran” dilabuh- kan dalam interaksi manusia jauh sebelum mereka meninggal (Samovar dkk, 2010: 44).

Hubungan antar generasi menyebabkan interaksi dapat berlangsung se- cara turun temurun meskipun interaksi tidak dilakukan face to face. Didalam interaksi tak luput dari kegiatan berkomunikasi yaitu proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikasi adalah proses sosial dimana indi- vidu individu menggunakan simbol simbol untuk menciptakan dan menginter- pretasikan makna dalam lingkungan mereka (West & Turner, 2009: 5), seperti bahasa walikan sebagai pertukaran simbol-simbol yang telah disepakati di ka- langan masyarakat Malang untuk bertukar pesan.

Bahasa walikan mulai digunakan sekitar tahun 1966 – 1977. Pada saat itu masyarakat menggunakan tiga bahasa yakni: bahasa Indonesia, Jawa dialek Ma- lang dan Gaul Arema. Seiring perkembangannya bahasa walikan menjadi iden- titas sosial Arema. Identitas adalah “kode” yang mendeinisikan keanggotaan Anda dalam komunitas yang beragam, kode terdiri dari simbol-simbol; pakaian dan kata kata (Little John, 2009: 131). Kode (bahasa) yang digunakan Arema merupakan aktualisasi kelompok dalam membentuk sebuah “pembeda” dian- tara heterogenitas lainnya.

Bahasa walikan menjadikan sebuah simbolisasi komunitas Arema dalam menjaga budaya yang diturunkan generasi terdahulu. Menurut Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri atau pembeda yang paling menonjol karena de- ngan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang ber- beda dari kelompok lainnya. Meskipun bahasa walikan juga membumi di tanah Jogjakarta dan Semarang, tetapi menurut pakar bahasa Universitas Negeri Ma- lang (UM) Dr. Imam Agus Basuki, bahasa Jawa dialek Malang memiliki differen- siasi dengan kaidah bahasa Jawa pada umumnya yang sebagian besar diakhiri dengan “a” atau “an”. Dialek ini-lah menjadi ciri khas masyarakat Malang. (Jodhi Yudhoyuno, www.kompas.com, ”Bahasa Jawa Dialek Malang, Memiliki Keuni-

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

kan”, 6/12/12).

Bahasa walikan bukan saja membolak balik bahasa Jawa. Sebagian meng- gunakan bahasa Indonesia seperti “kadit niam” yang berarti “tidak main” bah- kan bahasa walikan sebagian diambil bukan dari bahasa Jawa dan bahasa In- donesia, melainkan dari kesepakatan bersama, contoh “ojir” (uang) dan “ebes” (bapak), “londho” (Belanda).

Tabel 1. Kata dalam bahasa Walikan

No Indonesia Jawa Walikan

1. Iya Iyo Oyi

2. Jalan Mlaku Uklam

3. Kaki Siki; Likis

4. Kaos Kaos Soak

5. Kambing Wedhus Sudhew

6. Kumis Brengos Srongeb

7. Makan Mangan Nakam

8. Malang Malang Ngalam

9. Salam Salam Malas

10. Terima kasih Suwun Nuwus

arema dan bahasa Walikan

Arema adalah sebutan akrab bagi suporter klub sepak bola Arema Ma- lang. Arema tumbuh sebagai komunitas mandiri yang berdiri sendiri dan tidak termasuk dalam struktur organisasi PS Arema Malang. Oleh sebab itu dalam urusan keuangan Arema mampu bertahan secara independent. Saat ini Arema dikenal sebagai komunitas yang memiliki loyalitas dan kesolidaritasan tinggi bagi kese-belasannya.

Identitas Arema semakin kental dengan penggunaan bahasa walikan un- tuk mendukung klub kesayangan mereka dan berinteraksi dengan sesama ko- munitasnya. Mereka mengganti kesan klub sepakbola yang anarki menjadi loyal dan jauh dari kesan fanatisme. Meskipun tidak semua percakapan mengguna- kan bahasa walikan secara keseluruhan tetapi mereka menyisipi bahasa walikan hampir disetiap perbincangan. Salah satu perbendaharaan kata yang dikenal sepert “Ongis Nade” yang artinya “Singo edan” julukan bagi klub Arema.

Bahasa merupakan sejumlah simbol yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti. Hubungan antara simbol yang dip- ilih dan arti yang disepakati kadang berubah-ubah (Samovar dkk, 2010: 271). Budaya ditandai oleh sejumlah variasi bahasa lain yaitu (Liliweri, 2004: 135) : 1. Aksen yaitu penekanan dalam pengucapan.

3. Jargon yaitu sebuah unit kata kata yang dibagikan atau dipertukarkan yang memiliki profesi dan pengalaman yang sama

4. Argot yaitu bahasa bahasa khusus yang digunakan oleh suatu kelompok yang luas dalam sebuah kebudayaan untuk mendeinisikan batas batas kelompok mereka.

Bahasa walikan termasuk dalam kategori argot yang identik dengan meng- ubah struktur bahasa, pembalikan kosakata sehingga menjadi asing dalam pela- falan. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi profesi tertentu dan bersifat rahasia, jika dahulu para pahlawan menggunakan bahasa walikan sebagai fungsi untuk membatasi komunikasi dengan sesama komunitas atas kepentingan tertentu, namun kini fungsi bahasa walikan bukan terjadi karena kepentingan melainkan sebagai identitas suatu kelompok.

Kenneth Burke menjelaskan bahasa sebagai unsur kebudayaan nonmateri- al dapat menjadi identitas budaya, karena budaya menjelaskan semua identitas yang dirinci (identity, identical dan identify), Identitas dibangun melalui interaksi sosial dan dinegosiasi oleh bahasa. Identitas bersifat dinamis dan tak pernah stabil, mengikuti pergerakan lingkungan sehingga identitas terus menerus me- nyesuaikan.

bahasa sebagai identitas sosial

Fenomena bahasa walikan menjadi identitas untuk memperkenalkan ba- hasa walikan sebagai simbol milik masyarakat Malang. Komunitas Arema akan terus meningkatkan eksestensi bahasa walikan agar lebih dikenal masyarakat luas dengan menerapkan komunikasi berbasis walikan di setiap interaksi. Seh- ingga bagi individu lain yang merasa asing dengan bahasa tersebut akan mera- sa dikesampingkan secara budaya karena tidak mampu menyesuaikan dengan nilai nilai komunitas tersebut. Hal ini terkait dengan Social Identity Theory oleh Henry Tajfel dan John Tunner yang berasumsi bahwa prasangka terjadi karena “in group favoritism” yaitu kecenderungan mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau yang berarti individu akan berlomba lomba meningkat- kan harga diri (personal identity) dan identitas sosial (social identity) untuk lebih menonjol dibanding komunitas lainnya.

Menurut Jackson dan Smith dalam (Barron dan Don, 2003: 163-164), terda- pat empat dimensi mengkonseptualisasikan social identity, yaitu :

a. Persepsi dalam konteks antar kelompok. Mengidentiikasikan diri pada suatu kelompok, maka status dan gengsi yang dimiliki oleh suatu kelompok akan mempengaruhi persepsi individu yang akan memberikan penilaian baik ter- hadap kelompoknya maupun orang lain.

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

tity”: (identitas umum). In group sering menimbulkan “in group bias” yaitu rasa tidak suka pada out group dan rasa suka kepada in group.

c. Keyakinan saling terkait. Individu memiliki rasa emosionalitas yang tinggi akan anggota anggota didalam kelompoknya. Individu akan berusaha se- maksimal mungkin untuk mempertahankan identitas kelompoknya, bahkan jika ada hal yang mengancam kelompoknya maka kelekatan kelompok juga akan meningkat.

d. Depersonalisasi. Individu akan mengurangi nilai nilai yang ada di dalam di- rinya ketika berada dalam sebuah kelompok, dan berusaha untuk menye- suaikan diri dengan nilai nilai yang dianut kelompok tersebut. Hal tersebut dikarenakan perasaan takut tak “dianggap” karena idealisme dan mengabai- kan nilai nilai kelompok tersebut.

Keempat dimensi diatas menjelaskan bagaimana interaksi komunikasi indi- vidu dalam pencarian identitasnya, individu akan merasa aman dan nyaman jika mengikuti kaidah kaidah dalam suatu kelompok yaitu dengan menggunakan bahasa walikan agar diakui dan masuk dalam in group. Keseragaman (habit) tersebut menjadikan individu memiliki rasa perhatian yang lebih antar sesama komunitasnya serta tingginya rasa ingin mempertahankan identitas kelom- poknya agar tidak dianggap rendah dengan kelompok lainnya. Kecenderungan individu juga akan menanggalkan kebiasan kebiasaan yang tak sesuai dengan budaya dalam kelompok dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Teori Community and Culture (Tradisi sosiokultural)

Fenomena bahasa walikan ini dikaitkan dengan teori community and cul- ture, menggunakan tradisi sosiokultural (Robert T. Craig). Mengkaji tentang penciptaan realitas sosial yang terbentuk melalui bahasa dan bagaimana ma- nusia menciptakan realitas kelompok sosial, organisasi dan budaya sehingga tercipta makna dalam interaksi. Teori sosiokultural berangkat dari perspektif genre struktural dan functional yang menegaskan bahwa struktur struktur sosial merupakan sesuatu yang nyata. Genre adalah asal mula sosiokultural, dimana proses komunikasi yang dilakukan masyarakat Malang menggunakan bahasa yang mereka ciptakan sendiri untuk menyampaikan pesan kepada komunitas yang telah menyepakati arti atau simbol-simbol tersebut.

Tradisi sosiokultural juga memfokuskan bagaimana identitas identi- tas dibangun melalui interaksi dalam kelompok sosial dan budaya, tradisi ini memiliki varian yang relevan dengan trade bahasa walikan sebagai identitas masyarakat Malangan; social linguistik (kajian bahasa dan budaya); manusia menggunakan bahasa secara berbeda-beda dalam kelompok budaya dan kel- ompok sosial yang berbeda. Bahasa masuk kedalam bentuk yang menentukan

jati diri kita sebagai makhluk sosial dan berbudaya. Social linguistik mengkaji bahasa dan fungsinya dalam masyarakat (sosiologis).

Bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal, internal meliputi unsur linguistik, sedangkan eksternal berhubungan kelompok sosial dan hubungan kemasyarakatan. Dimensi interaksi masyarakat bukan hanya memaksimalkan resepsi pemaknaan, tetapi juga menghasilkan jenis-jenis bahasa yang disebab- kan perbedaan sosial berupa latar belakang individu dalam berkomunikasi. Ba- hasa walikan terjadi karena suatu kebutuhan dan diakhiri dengan kesepakatan sebuah kelompok kemudian diadopsi oleh generasi selanjutnya untuk dile- starikan. Menurut Ting-Tomey (1999: 30), identitas kultural berupa perasaan (emotional signiicance) akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging). Masyarakat terbelah menjadi identitats kelompok kelompok sebagai represen- tasi dari sebuah budaya partikular dan mengarahkan individu ke dalam ingroup atau outgroup. Individu yang tak mengenal bahasa walikan masuk dalam out- group dimana tak ada kepentingan budaya bagi mereka dan tak berhak mengi- kuti aturan-aturan dalam kelompok tersebut. Bahasa walikan berperan sebagai fungsi sosial atau perekat masyarakat Malang dalam meningkatkan atmosir persatuan antarsesama.

Identitas budaya dikembangkan melalui beberapa tahap (Liliweri, 2007: 83-85):

a) Identitas Budaya yang Tak Disengaja. Pada tahapan ini, identitas terbentuk secara tak disadari, dimana individu terpengaruh oleh budaya dominan da- lam lingkungannya dan merasa identitas budaya yang dimiliki sebelumnya tertinggal.

b) Pencarian Identitas Budaya (Cultural identity search)adalah sebuah proses pencarian, penelitian untuk menguak bagaimana identitas dikonstruksi oleh kebutuhan kebutuhan komunitas tertentu. Misalnya identitas seorang mili- ter didapatkan dari proses pembelajaran, pendidikan.

c) Identitas Budaya yang Diperoleh (Cultural identity achievement) adalah ben- tuk identitas yang dicirikan oleh kejelasan dan keyakinan terhadap peneri- maan diri individu melalui internalisasi kebudayaan sehingga membentuk identitas seseorang. Misalnya sebelum menjadi diterima menjadi dosen, in- dividu memiliki identitas lain.

Fenomena bahasa walikan sebagai identitas Arek Malang masuk kedalam karakteristik cultural identity achievement, dimana bahasa walikan telah berges- er fungsinya sebagai identitas sosial masyarakat Malang yang dahulunya lebih dikenal dengan menggunakan identitas lain sebelum menggunakan identitas bahasa walikan.

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

bahasa Walikan dan identitas budaya

Identitas merupakan sebuah “kartu” yang digunakan untuk menunjukan siapa diri kita, asal dan latar belakang lainnya. Bahasa merupakan satu tools budaya untuk menunjukan performance atau kualitas diri seseorang dalam ber- interaksi, dalam bahasa terdapat prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh penga- nutnya dalam pengaplikasian di kehidupan sehari-hari. Prinsip prinsip tersebut termasuk dalam etika atau aturan yang harus dihormati dalam pengerjaannya.

Keragaman Bahasa Indonesia dapat dikelompokan ke dalam : a) Bahasa resmi/formal/baku untuk karya tulis ilmiah

b) Bahasa ragam santai c) Bahasa ragam hukum

d) Bahasa Indonesia dengan intonasi, dialek, logat bahasa daerah

e) Bahasa Indonesia ditulis dengan aksara latin, bahasa daerah ditulis oleh ak- sara daerah atau aksara latin (Leksono, 2006: 187).

Bahasa walikan termasuk dalam bahasa daerah yang ditulis oleh aksara daerah, bahasa sebagai identitas dilatar belakangi sebuah kepentingan agar mendapat pengakuan dari kelompok kelompok lainnya.

Menurut Larry L. Barker (Mulyana, 2009: 266-267), bahasa memiliki tiga fungsi :

a) Penamaan (naming atau labeling) yaitu merujuk pada usaha mengidentiika- si objek, tindakan atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.

b) Interaksi yaitu menekankan pentingnya berbagi gagasan dan emosi yang dapat mengundang simpati, kemarahan, kebingungan dan berbagai reaksi lainnya.

c) Transmisi Informasi yaitu informasi lintas waktu dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan, memungkinkan kesinambungan bu- daya dan tradisi kita.

Book mengemukakan tiga fungsi bahasa sebagai syarat keberhasilan ko- munikasi yaitu untuk (1) mengenal dunia sekitar. Bahasa dapat membantu mem- pelajari sejarah suatu bangsa yang hidup di masa lalu dan tak pernah ditemui; (2) memperoleh persetujuan dan dukungan dari orang lain atas pendapat kita; (3) sarana berhubungan dengan orang lain, melalui bahasa kita dapat mengen- dalikan lingkungan sekitar; (4) memungkinkan kita hidup lebih teratur mema- hami diri sendiri (Mulyana, 2009: 267-268).

Sejumlah kata atau istilah puya arti khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan arti lazim ketika digunakan oleh orang-orang subkultur disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul atau argot (Mulyana,

2009: 311). Argot merujuk kepada bahasa rahasia yang digunakan kelompok menyimpang (deviant group). Namun kini dimaknai argot bukanlah bahasa yang digunakan oleh komunitas yang tak baik, namun juga dapat diterapkan kepada komunitas seperti Arema.

Menurut Ting Toomey, budaya masuk kedalam komponen dari usaha ma- nusia untuk bertahan hidup (survive), dimana budaya memiliki dua fungsi, yaitu: identity meaning function yaitu menjelaskan hal hal mendasar dari keberadaan manusia “siapa saya”. Group inclusion function yaitu menyajikan fungsi inklusi dalam memenuhi kebutuhan individu seperti rasa memiliki.

daftar Pustaka

Baron, Robert A & Byrne, Donn. (2003). Psikologi Sosial Jilid I. erlangga. Jakarta. Liliweru, Alo. (2009). Dasar Dasar Komunikasi Antar Budaya. Pustaka Belajar

Liliweri, Alo (2007). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta

Little, John. (2009). Teori Komunikasi. Jakarta. Salemba Humanika

Mulyana, Dedy. (2009). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Remaja Rosda Karya

PujiLeksono, Sugeng. (2006). “Petualangan Antropologi”. Malang : UMM Press Samovar, Larry, Richard Porter, edwin McDaniel. (2010). Komunikasi Lintas Budaya.

Jakarta: Salemba Humanika

Ting-Toomey, Stella. (1999). Communicating Across Cultures. New York. The Guilford Publications, Inc.

West, Richard., and Lynn H. Turner. (2007). Introducing Communication Theory, Analysis and Application. Amerika: Mc Graw Hill

Internet

Jodhi Yudhoyuno, www.kompas.com ”Bahasa Jawa Dialek Malang, Memiliki Keunik- an”, 6/12/12).

ABSTRA

KSI

PROSIDING SERIAL CALL FOR PAPER KOMUNIKASI INDONeSIA UNTUK PeRADABAN BANGSA PALeMBANG, 26-27 FeBRUARI 2013