• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM TERJEMAHAN MELAYU/INDONESIA DAHULU DAN SEKARANG

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 155-171)

Leo Suryadinata1

Kata Pengantar

Bangsa Tionghoa sudah berabad-abad lamanya berada di Dunia Melayu, artinya di Indonesia dan Malaya/Malaysia. Meskipun begitu, penerjemahan karya-karya Tionghoa ke dalam bahasa setempat, terutama bahasa Melayu, baru dimulai pada akhir dasawarsa 1880-an2. Adanya terjemahan-terjemahan itu berkaitan dengan tiga perkembangan penting. Pertama, nasionalisme Tionghoa, atau sekurang-kurang- nya nasionalisme budaya, yang timbul di kalangan bangsa Tionghoa di daerah Melayu. Kedua, muncul pula penulis dan wartawan Tionghoa didikan Barat yang mulai mengerja- kan penerjemahan karya-karya Tionghoa. Ketiga, dengan perkembangan mesin cetak yang sering dikenal sebagai Kapitalisme Percetakan (Print Capitalism) di Indonesia jajahan, maka orang Tionghoa mulai terlibat dalam percetakan sebagai bisnis. Sebelum dasawarsa 1880-an, perkembangan seperti itu tidak terdapat di Dunia Melayu, dan sebagai akibatnya tidak ada karya Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Menjelang akhir abad ke-19 mesin cetak dan surat kabar dalam bahasa Melayu/- Indonesia memang mulai muncul, akan tetapi tidak ada yang berbahasa Tionghoa3. Orang peranakan dan baba (orang Tionghoa yang lahir setempat) yang sudah tidak lagi berbicara bahasa Tionghoa dengan lancar, tetapi juga

sama saja tidak cukup menguasai bahasa- bahasa Barat, merasakan keperluan untuk membaca surat kabar, majalah dan buku dalam bahasa yang mereka pahami, yaitu bahasa Melayu. Mereka juga berminat mem- baca lebih banyak mengenai kebudayaan Tionghoa. Meskipun begitu, ada beberapa orang Tionghoa yang penuh inisiatif mulai menerjemahkan cerita-cerita Tionghoa ke dalam bahasa Melayu. Di Jawa umpamanya cerita-cerita Tionghoa ini pada mulanya diterbitkan oleh penerbit-penerbit Belanda seperti H.M. van Dorp dan W. Bruining & Co4, namun setahun kemudian orang Tionghoa Peranakan pun mendirikan percetakan-perce- takannya sendiri (umpamanya Ijap Goan Ho) dan menerbitkan sendiri cerita-cerita itu. Di Straits Settlements di Malaya Inggris, dari awal para penerbit itu orang Tionghoa (umpamanya Kim Sek Chye Press, Poh Wah Hean Press)5.

Perlu sekali dicatat bahwa permintaan akan terjemahan Melayu karya-karya Tionghoa tidaklah datang dari masyarakat Melayu, tetapi dari kalangan Tionghoa sendiri, karena orang Tionghoa di dunia Melayu tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa. Mereka adalah orang Tiong- hoa Peranakan yang pandai benar berbahasa Melayu, yaitu lingua franca berbagai kelom- pok etnis. Di antara orang Tionghoa Peranakan di Indonesia jajahan dan di Malaya Inggris, bahasa Melayu-lah, bukan bahasa Tionghoa, yang merupakan perantara dalam berkomu-

nikasi. Maka sangat meyakinkanlah bahwa penerbitan terjemahan Melayu dari karya- karya Tionghoa di masa kemudian juga ber- dampak pada pembaca bukan Tionghoa. Khususnya di Indonesia karena terjemahan- terjemahan itu juga dibaca oleh orang Indonsia bumiputra.

Perlu dinyatakan bahwa orang Indonesia dan Melayu pada awalnya lebih suka memakai tulisan Arab daripada tulisan Latin. Akan tetapi di Indonesia, bersamaan dengan timbul- nya pers Indo-Eropa dan Tionghoa Peranakan, yang diiringi timbulnya pergerakan nasionalis Indonesia, tulisan Latin digunakan dan dipopulerkan. Meskipun begitu orang Melayu masih tetap memakai tulisan Arab dalam sistem sekolahnya. Baru lama kemudian mereka mempergunakan baik tulisan Arab maupun tulisan Latin, akan tetapi orang Melayu banyak yang masih lebih akrab dengan tulisan Arab daripada dengan yang Latin. Oleh karena terjemahan Melayu dari karya-karya Tionghoa tercetak dengan tulisan Latin, maka para pembaca Melayu dapat dimengerti tidak akan membaca buku-buku itu.

Kalau terjemahan Melayu karya-karya Tionghoa diperiksa, maka orang Tionghoa Peranakan di Indonesia ternyata lebih dulu mulai bergerak. Menurut Claudine Salmon, terjemahan yang paling awal di Indonesia adalah sebuah buku mengenai Hai Rui, yang diterbitkan tahun 18826, sedangkan di Malaya terjemahan pertama diterbitkan pada tahun 1889 dengan judul Gong Kiah Sie atau ‘Menantu (laki-laki) Yang Bodoh’. Dalam tahun yang sama memang juga terbit sebuah terjemahan lain oleh Chek Swee Leong berjudul Teong Chiat Ghee7. Beberapa karya ini merupakan awal dari yang bakal menjadi suatu khazanah terjemahan yang muncul di Indonesia jajahan Belanda dan di Malaya jajahan Inggris.

Masyarakat Peranakan atau Baba dan Karya-Karya Tionghoa Sebelum Perang yang Diterjemahkan

Adanya terjemahan Melayu dari karya-karya Tionghoa langsung berkaitan dengan sifat

kelompok-kelompok Tionghoa di Indonesia jajahan Belanda dan Malaya jajahan Inggris.

Sebelum orang Tionghoa pada abad ke- 19 dengan berduyung-duyung memasuki Asia Tenggara, masyarakat Tionghoa di kedua tanah jajahan itu kecil jumlahnya dan keba- nyakan membaur dengan masyarakat setem- pat. Pada waktu itu, di bawah dinasti Qing, ada kesulitan berkomunikasi dengan sebangsanya di tanah seberang, dan orang Tionghoa dila- rang meninggalkan Tiongkok ataupun kembali masuk Tiongkok. Mereka yang meninggalkan negerinya tidak membawa serta keluarga mereka. Mereka mengawini perempuan setempat dan menetap di tempat itu. Oleh karena kelompok-kelompok ini hanya kecil jumlahnya, maka di Jawa mereka cenderung berbaur dengan masyarakat setempat. Orang Tionghoa yang ini tidak lagi menguasai bahasa mereka secara aktif dan memakai bahasa Melayu – lingua franca Nusantara Melayu – untuk berkomunikasi. Di Straits Settlements, terutama di Melaka dan Singapura, juga ada orang Tionghoa yang kawin dengan perem- puan setempat. Mereka pun tidak lagi mengua- sai bahasa Tionghoa secara aktif dan memakai bahasa Melayu sebagai perantara untuk berkomunikasi. Orang Tionghoa yang ini biasa dinamakan peranakan atau baba8.

Suatu hal yang menarik ialah bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 orang Tionghoa di Jawa terutama orang peranakan, sedangkan di Straits Settlements jajahan Inggris orang totok (yang lahir di Tiongkok dan berbicara bahasa Tionghoa) masih tetap yang paling banyak. Banyaknya peranakan/baba di daerah-daerah ini berdam- pak pada perkembangan kesusastraan terje- mahan di tempatnya masing-masing. Yang pertama lebih beragam karya terjemahan Melayunya daripada yang belakangan. Pers peranakan di Jawa juga kuat9, dan banyak karya kreatif telah diterbitkan, sedangkan di Straits Settlements, yang terbanyak hanya karya-karya terjemahan.

Sebaiknya diberitahukan bahwa di Jawa pada mulanya istilah “peranakan” dipakai untuk mengacu pada orang Tionghoa yang lahir setempat dan yang beragama Islam. Akan

tetapi lama-kelamaan konotasi religius itu hilang. Dan hanya mengacu pada orang Tionghoa, yang baik bahasa maupun gaya hidupnya mengikuti cara setempat. Imigrasi orang Tionghoa secara besar-besaran, yang sangat memperbesar masyarakat totok, baru terjadi sesudah akhir abad ke-19. Meskipun begitu, kelompok-kelompok ini tidak pernah benar-benar membaur. Di Jawa, pada awal abad ke-20, kebanyakan orang Tionghoa orang peranakan. Ketika organisasi Pan-Tionghoa modern yang pertama, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), didirikan pada tahun 1900, undang-undang dasarnya berbahasa Melayu dan Belanda. Tidak ada yang mampu mener- jemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa, suatu tanda yang jelas bahwa penguasaan bahasa Tionghoa di kalangan orang Tionghoa di Jawa jelek. Rupa-rupanya lebih mudah mencari penerjemah dari bahasa Tionghoa ke Melayu atau dari bahasa Inggris ke Melayu.

Di antara penerjemah-penerjemah awal di Indonesia dan Malaya, banyak telah men- dapat sekadar pendidikan Barat, akan tetapi beberapa di antaranya mungkin tidak pandai membaca bahasa Tionghoa. Bagaimana “pener- jemah-penerjemah” itu menangani penerjema- hannya? Beberapa boleh jadi pandai membaca bahasa-bahasa Barat seperti bahasa Belanda dan Inggris, dan dengan demikian memung- kinkan mereka menerjemahkan kembali kisah- kisah Tionghoa dari karya-karya Barat. Ada lagi yang bekerja sama dengan orang Tionghoa yang masih mengerti bahasa Tionghoa tetapi tidak pandai menulis dalam bahasa Melayu; kerja sama mereka akhirnya menghasilkan versi-versi Melayu dari kisah-kisah Tionghoa tersebut.

Sayangnya tidak terdapat keterangan mengenai para penerjemah awal di Indonesia kecuali nama mereka, umpamanya Ijo Tian Soeij yang menerjemahkan Boekoe Tjerita Hoen Tjeng Lauw (Hong Zheng Lou) dan Tjong Loen Tat yang menerjemahkan Song Kang (Song Jiang, salah seorang dari 108 pahlawan dalam The Water Margin). Namun ada juga diketahui sedikit tentang Sie Hian Ling yang menerjemahkan See Yoe (Catatan tentang Perjalanan ke Barat) pada tahun 1886 dan Lie

In Eng yang menerjemahkan kembali Sam Kok (Roman Tiga Negara). Yang pertama adalah wartawan peranakan, sedangkan yang kedua adalah penerjemah “profesional” yang termasuk generasi Tionghoa kedua di Sumatra10. Keadaan di Malaya agak lebih baik. Penerjemah yang paling produktif adalah Batu Gantong yang nama Tionghoa-nya adalah Chan Kim Boon (Zheng Jing Wen, 1851-1920) dan “peng- ganti”nya Panah Pranakan, yaitu nama samaran Wan Boon Seng (Yan Wencheng). Chan mendapat pendidikannya di Sekolah Inggris di Penang dan mempelajari bahasa Tionghoa dengan les privat. Ia juga pergi ke Tiongkok untuk meneneruskan pelajaran, tetapi pulang karena kesehatannya kurang baik11. Untunglah ia sembuh setelah kembali ke Singapura serta menyelesaikan penerjemahan tiga karya Tionghoa klasik (Sam Kok, Song Kang dan See Yu) atas usahanya sendiri dan memperoleh pujian kalangan pembacanya. Akan tetapi penggantinya, Wan, meskipun banyak hasil terjemahannya diterbitkan, tidak pandai ber- bahasa Tionghoa. Ia terpaksa minta bantuan teman-teman Tionghoa-nya untuk menerje- mahkan karya-karya klasik Tionghoa12.

Pada mulanya, karya-karya Tionghoa yang “diterjemahkan” ke dalam bahasa Me- layu/Indonesia diambil dari yang dinamakan yanyi xiaoshuo (novel-novel klasik populer) seperti San Guo Yanyi (Sam Kok atau Roman Tiga Negara), Shui Hu Zhuan (Song Kang, Batas Air atau Semua Orang Bersaudara) dan Xi You Ji (See Yoe, Catatan tentang Perjalanan ke Barat atau Kera). Ketiga novel ini diciptakan selama dinasti Ming (1368-1644). San Guo Yanyi karya Luo Guanzhong (1330-1400), melukiskan perjuangan tiga negara di Tiongkok Lama antara 169-280 M. Novel inilah yang mempopulerkan tokoh-tokoh seperti Zhu Ge- liang, Guan Gong dan Zao Cao. Guan Gong, salah seorang tokohnya, kemudian dijadikan seorang dewa yang dipuja oleh banyak orang etnis Tionghoa. Shui Hui Zhuan karya Shi Naian (1296-1370) menceriterakan kembali kisah berbagai pemberontakan petani selama dinasti Song Utara yang dipimpin oleh Song Jiang dan didukung oleh seratus pahlawan

lebih. Berbeda dengan kedua novel sejarah itu, Xi You Ji karya Wu Chengen (1500-1582) merupakan hasil daya khayal. Ceriteranya mengenai seorang biarawan yang pergi ke India untuk mempelajari agama Buddha. Biarawan itu diiringi oleh Sun Wukong, yang terkenal sebagai Raja Kera. Sesungguhnya ketiga novel itu dikenal sebagai tiga dari keempat Karya Klasik Tionghoa.

Karya klasik Tionghoa yang keempat, Hong Lou Meng atau Impian di Bilik Merah, karangan Cao Xueqing (1715-1763), dihasilkan di bawah dinasti Qing (1644-1911). Buku ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu/- Indonesia sesudah Perang Dunia II. Tidak jelas mengapa tidak seorang pun mencoba mener- jemahkan novel itu sebelumnya, boleh jadi karena novel klasik inilah yang paling sulit diterjemahkan oleh karena rumit dan mengan- dung banyak sajak. Yang dikisahkan empat keluarga besar tradisional selama dinasti Qing dan hubungan kompleks antara mereka. Juga ada kisah cinta menyedihkan antara Lin Daiyu dan Jia Baoyu, kedua protagonis dalam buku itu.

Terjemahan awal novel-novel Tionghoa tersebut sering tidak lengkap. Beberapa diter- jemahkan sebagian-sebagian saja. Meskipun begitu terbitannya berjilid-jilid, ada yang terdiri dari seri 30 sampai 50 buku. Sesudah Perang Dunia II, karya-karya klasik Tionghoa ini diterjemahkan kembali oleh penulis-penulis peranakan, yang kali ini memakai bahasa Indonesia baku, bukan yang dinamakan bahasa Melayu Peranakan, yaitu bahasa Melayu yang sebelum perang dipakai bangsa Tionghoa. Hendaknya diperhatikan bahwa terjemahan Melayu dari karya-karya klasik Tionghoa berbeda di Indonesia dan di Malaya Inggris. Coba saya bandingkan terjemahan judul-judul ketiga karya klasik itu:

1 A (Indonesia) Tjerita dahoeloe kala di benoea Tjina, tersalin dari boekoe tjerita Sam Kok, Disalin oleh Correspondant Hindia XX. 12 jilid, Batavia: Van Dorp, 1883-1885.

1 A (Indonesia) Sam Kok atawa Pep- rangan antara tiga negri (terhias gambar), satoe tjerita jang betoel soeda kedjadian di Tiongkok pada djeman dahoeloe kala, jaitoe

dari abad ke 2, dari itoengan taon Masehie 175 sampe taon 269. Tersalin ke dalem Melajoe rendah jang banjak terpake, dari boekoe tjerita bahasa Tionghoa, tjitakan jang paling baroe. Disalin oleh Tjie Tjin Koei, Batavia: Tjiong Koen Bie, 1910-1913, 62 jillid.

1 B (Malaya/Singapura) Chrita dahulu- kala namanya Sam Kok atau Tiga Negri Berprang: Siok, Gwi sama Gor, Di jaman “Han Teow” oleh Chan Kim Boon, 30 jilid, Singapura: tiada jumlah halaman, 1892-1896.

2 A (Indonesia) Song Kang, yang dijadi- kan ceritera bersambung dalam Pemberita Betawi, 1885, Disalin oleh Tjong Loen Tat.

2 B (Malaya/Singapura) Chrita dahulu kala di triak Song Kang atau 108 P'rampok di zaman “Song Teow”, 19 jilid, oleh Chan Kim Boon, 1899-1902.

3 A (Indonesia) Boekoe tjerita dahoeloe kala di benoea negrie Tjina, tersalin dalam boekoe Tjina, “See Yoe” di ambil dari tjeritanya Tong Sam Tjong pegi ka See Thian, tempo karadjaan Lie Sie Bin, merk Tong Tiauw, Semarang, 1886, 1 jilid, 5 halaman. Terjemahan Sie Hian Ling.

3 A (Indonesia) Tjerita dahoeloe di negeri Tjina tersalin dari boekooe Tjina See Ijoe..., Batavia, Ijap Goan Ho, 1895-96, 24 jilid, boleh jadi disalin oleh Ijap Goan Ho sendiri. Dicetak ulang di Batavia: Kho Tjeng Bie, 1919, 24 jilid, 1886 halaman.

3 B (Malaya/Singapura) Chrita She Yew pasal Kou Chey Thian zaman tandun dan Tong thye chu pergi ke negeri She thian chu keng. Singapura, Chan Kim Boen, 1911-1913.

Ini hanya beberapa contoh saja. Sesung- guhnya sekurang-kurangnya ada empat terje- mahan lagi dari Sam Kok dan lima dari See Yoe di Indonesia, tetapi tidak sebanyak itu di Singapura/Malaya13.

Judul-judul karya terjemahan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa karya terjemahan Indonesia rupanya mendahului karya terjemahan mana pun di Malaya. Di Indonesia, ejaan Belanda yang dipakai, sedangkan di Malaya/Singpura ejaan Inggris diterapkan. Dalam terjemahan Indo- nesia juga tidak ada aksara Tionghoa, akan tetapi dalam terjemahan Malaya tulisan Tiong-

hoa disisipkan sesudah nama-nama atau istilah- istilah Tionghoa. Meskipun begitu, kedua- duanya memakai dialek Hokkien untuk mener- jemahkan nama dan istilah Tionghoa.

Tak pelak lagi, kisah Tionghoa yang paling digemari di Indonesia adalah kisah Xue Rengui (Sie Djin Koei) yang hidup masa dinasti Tang, seorang laki-laki perkasa yang kemudian menjadi jenderal dalam tentera dan memimpin ekspedisi-ekspedisi ke timur dan ke barat. Yang pertama-tama menerjemahkannya ialah Lim Hok Hin dengan judul sebagai berikut: Boekoe tjerita merk Tong Tiauw, Hongte Lie Sie Bin, tjerita tatkala tempo Sih Djin Koei Tjeng Tang (Betawi: Ernst Co, 1884, 766 halaman). Seku- rang-kurangnya ada dua belas terjemahan yang berbeda-beda dari Sie Djin Koei. Buku ini sudah pasti kisah yang paling digemari di antara para pembaca peranakan sebelum Perang Dunia II.

Dalam paruh pertama abad ke-20 di Jawa muncullah terjemahan-terjemahan yang ber- dasarkan novel-novel kungfu Tionghoa (cerita silat). Kwo Lay Yen (nama samaran Tan Tek Ho, 1894-1948) menerjemahkan Tiga Jago Silat (1930) dan Tay Beng Kie Hiap (‘Pahlawan Luar Biasa dari dinasti Ming’, 1932). Seorang penerjemah lain, Ong Kim Tiat (1893-1964) juga menerjemahkan Ngo Hiap Loan Pak Khia atawa Lima Orang Gaga Mengadoek di Peking (1931) dan Hiap Che Eng Hiong (‘Para Laki- Laki Gagah Berani’, 1932). Jenis karya Tionghoa ini menjadi sangat digemari setelah kemer- dekaan Indonesia. Hal ini akan kembali kita bicarakan nanti.

Pada awal abad ke-20, selain karya-karya sastra Tiongkok, ada jenis-jenis lain karya klasik Tiongkok seperti buku-buku mengenai Konfusianisme yang juga disalin ke dalam bahasa Melayu di Indonesia, bertepatan dengan munculnya pergerakan-pergerakan Pan-Tiong- hoa pada umumnya dan timbulnya kembali Konfusianisme di antara kaum Tionghoa Peranakan pada khususnya. Thay Hak (Da Xue, ‘Pengetahuan Besar’) dan Tiong Yong (Zhong Yong, ‘Jalan Tengah’) merupakan dua karya klasik Konfusianis yang terbit dalam bahasa Melayu Tionghoa. Tepatnya, buku pertama mengenai Konfusius yang diterbitkan pada

tahun 1897, Hikajat Khong Hoe Tjoe, oleh seorang pengarang peranakan terkemuka, Lie Kim Hok (1853-1912), bukanlah terjemahan karya Tionghoa. Rupa-rupanya buku itu terjemahan bebas dari terbitan-terbitan Belanda atau Inggris, hal yang sudah sering diterapkan oleh Lie Kim Hok dengan karya- karya lainnya. Jenis penerjemahan ini rupa- rupanya tidak terdapat di Straits Settlements.

Kesusastraan Tionghoa baba di Straits Setlements terbatas pada penerjemahan novel- novel klasik Tionghoa dan tidak berkembang menjadi penulisan kreatif seperti yang terjadi di Jawa. Jika terjemahan yang dihasilkan di Jawa dibandingkan dengan yang di Straits Set- tlements, ada kesan yang kuat bahwa bukan saja jumlahnya di Jawa lebih banyak, tetapi bahasa yang dipakai pun juga lebih kaya.

Banyaklah sebabnya yang menghasilkan perkembangan sastra Tionghoa Peranakan di Jawa dan keterbelakangan sastra baba di Malaya. Besarnya masyarakat peranakan/baba tak ayal lagi merupakan sebuah faktor yang menentukan. Di Jawa, sebelum Perang Dunia II, orang Tionghoa-nya lebih banyak peranakan daripada totok, akan tetapi di Malaya orang Tionghoa lebih banyak yang totok daripada yang baba (peranakan). Orang Tionghoa baba lebih cenderung terpusat di Straits Settlements, tempat terjemahan-terjemahan dilakukan dan diterbitkan, kaum baba merupakan minoritas, hanya mencapai kira-kira 15 persen14. Suatu hal yang juga perlu dijelaskan dalam hal ini adalah bahwa pers Melayu tidak berkembang di Malaya, akan tetapi pers peranakan di Jawa sudah mantap sekali, suatu hal yang dapat mendukung pertumbuhan sastra Tionghoa Peranakan di tempat itu. Yang juga mencolok ialah bahwa sementara penerjemahan novel- novel kungfu di Jawa ada, di Malaya sama sekali tidak ada.

Penerjemahan Pasca-Perang di Indonesia

Setelah Indonesia memperoleh kemerdeka- annya, maka tidak hanya novel kungfu lebih banyak disadur ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga ada karya-karya sastra serius yang

diterjemahkan. Akan tetapi yang masih paling banyak dihasilkan tetaplah jenis novel kungfu dan penerbitan novel-novel seperti itu dalam terjemahan merupakan terutama gejala Indo- nesia. Di Indonesia, novel kungfu terkenal sebagai cerita silat.

Novel-Novel Kungfu

Novel kungfu dikenal sebagai wuxia xiaoshuo, yang pada mulanya berarti seni ulah perang dan novel-novel satria. Asal usul jenis ini dapat disangkal akan tetapi agaknya chuanqi (dongeng dan roman) selama dinasti Tang-lah yang merupakan benih novel kungfu. Selama akhir dinasti Qing dan dalam Republik Tiongkok, jenis novel ini berkembang dengan cepat. Sejak tahun 1950 terjadi terobosan dalam perkembangan novel kungfu dengan diterbitkannya sebuah jenis baru (xinpai wuxia xiaoshuo) mula-mula di Hong Kong, kemudian di Taiwan. Novel-novel kungfu baru ini ditulis dalam bahasa Baihua atau bahasa sehari-hari dan sejumlah besar telah dipengaruhi oleh sastra modern dalam hal teknik-tekniknya.

Sesudah Perang Dunia II berakhir, maka menjadi kebiasaan surat kabar Melayu (atau lebih tepat Indonesia) dan Tionghoa yang dikelola oleh kaum peranakan untuk mener- bitkan novel kungfu sebagai ceritera ber- sambung. Novel-novel ini sangat digemari oleh pembaca surat kabar peranakan maupun pribumi. Sin Po dan Keng Po, dua harian peranakan yang terkemuka di Jakarta, saling bersaingan dalam hal menerbitkan novel kungfu yang paling banyak. Inilah salah satu cara menarik lebih banyak langganan surat kabar15. Surat kabar Pedoman pun, sebuah surat kabar Indonesia pribumi di Jakarta, berbuat demikian dan menyajikan novel kungfu secara bersambung. Pada awalnya, terjemahan berdasarkan karya pengarang- pengarang kungfu sebelum perang, akan tetapi kemudian berdasarkan karya-karya pengarang pascaperang.

Novel kungfu Indonesia pada mulanya dijadikan cerita bersambung dalam surat kabar harian atau mingguan. Tidak lama kemudian,

terbit juga berbentuk buku saku (kira-kira 100 halaman sejilid). Oleh karena alur ceriteranya menarik dan terjemahannya lincah, banyak pembaca peranakan ingin sekali membeli buku-buku saku itu. Pembaca pribumi pun tertarik. Saya masih ingat bahwa seorang penulis pribumi terkenal selalu mencari novel kungfunya begitu menerima surat kabar peranakan. Kepopuleran novel kungfu telah menggairahkan “cerita silat” Indonesia, artinya novel kungfu Indonesia, yang memakai sejarah Indonesia sebagai latar belakangnya. Mulai pertengahan tahun 1960-an, sejumlah penga- rang Indonesia pribumi mulai menghasilkan novel kungfu Indonesia yang memakai Demak, Singasari, Majapahit dan Mataram sebagai latar belakang dan menimbulkan kegemaran yang tersebar luas. Novel-novel silat pribumi ini muncul sebagai pelengkap, kalau bukannya pesaing novel kungfu. Di antara sekian banyak pengarang silat pribumi yang kondang ter- dapat Singgih Hadi Mintardja, Herman Pratikto dan Arswendo Atmowiloto. Tak ayal lagi banyaklah kemiripan antara novel-novel kungfu pribumi dan Tionghoa.

Dampak novel kungfu tidak terbatas pada pengarang Indonesia pribumi, namun

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 155-171)