• Tidak ada hasil yang ditemukan

S EBUAH R ENUNGAN

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 49-59)

“PENERJEMAHAN” BAHASA ARAB KE DALAM BAHASA MELAYU

S EBUAH R ENUNGAN

A.H. Johns

The Australian National University

da dua arti kata “translation” yang ber- laku dalam tulisan ini. Arti pertama, ialah “mengungkapkan makna dari suatu ujaran, buku atau puisi dalam bahasa lain”, yaitu “menerjemahkan”, sedangkan arti kedua adalah “pindah dari seseorang, suatu tempat, atau suatu keadaan kepada orang, tempat, atau keadaan lain, dsb”, yaitu “memindahkan”, misalnya memindahkan seorang uskup dari sebuah wilayah keuskupan, atau memindahkan tulang-belulang para santo dari sebuah tempat ke tempat lainnya. Jika kepatutan arti yang pertama di atas sudah cukup jelas, arti yang kedua lebih bersifat kiasan (metaforis) dan dapat diterapkan pada pengalihan kata-kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Pada kasus pengalihan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu (dan Indonesia), yang pertama menyajikan sarana bagi berlangsung- nya yang kedua. Dalam hal bahasa Melayu (dan Indonesia) modern, akibat yang ditimbul- kannya sangat mencolok. Tergantung pada faktor-faktor seperti dialek, daerah asal, kelas sosial, profesi dan agama yang dianut penuturnya, kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar antara 15 dan 20 persen. Dan meskipun pemakaian huruf Latin untuk keperluan tulis-menulis semakin dominan

dalam satu abad terakhir, selama tiga ratus tahun lebih huruf Arab secara khusus digu- nakan sebagai sarana tulis-menulis dalam bahasa Melayu.

Ada kalanya bentuk dari kata-kata serapan itu jelas sekali asal Arab-nya, misalnya kata zaman, tetapi kadang-kadang pula asalya tak begitu jelas. Contohnya, tidak langsung kentara bahwa kata jikalau atau kependekannya kalau mengandung partikel kondisional Arab law. Terkadang satu kata memiliki dua bentuk. Contohnya, kata fatwa. Dalam pengertian tehnisnya dalam fikih, kata tersebut tetap mempertahankan bentuk Arabnya, fatwa, namun dikarenakan tekanan sistem fonologi bahasa Melayu, kata tersebut juga berubah menjadi petua, dengan arti mantra magis.

Kata-kata serapan itu tersebar luas ke berbagai bidang, mencakup iman, ibadat, fikih, sistem penanggalan, perdagangan, bidang pekerjaan dan profesi, pendidikan, perasaan, emosi, kesusastraan, ilmu, filsafat, dunia hewan, mineral, batu-batu mulia, pakaian dan berbagai macam ornamen1. Semua kata serapan itu sama-sama terkait dengan kehidu- pan perkotaan dalam sebuah lingkungan Islam atau yang telah mengalami islamisasi, dan hampir semuanya berasal dari sumber-sumber sastra.

Seribu tahun yang silam, proses arabisasi ini belum nampak gejalanya. Bahasa Melayu dan bahasa-bahasa serumpun di kawasan Semenanjung Melayu dan Kepulauan Nusantara ditulis dengan aksara yang berasal dari India. Pada tahun 1600, keadaan ini telah berubah secara mutlak. Di seluruh kawasan Nusantara, bahasa Melayu boleh dikatakan hanya ditulis dengan suatu jenis huruf Arab. Dengan kata lain, telah terjadi penerjemahan sistem tulis-menulis dari satu jenis huruf ke dalam jenis huruf yang lain. Tambahan pula, sejak pertengahan abad ke-16, telah terdapat bukti adanya sebuah kesusastraan dalam bahasa Melayu dan dalam huruf Arab ini, baik bersifat sekuler maupun agama, yang keba- nyakan (meskipun bukan seluruhnya) bersifat Islam dan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Dalam sastra inilah, banyak sekali kata serapan dari bahasa Arab yang sekarang ditemui dalam bahasa modern, telah berperan dalam karya-karya puisi dan prosa Melayu dengan amat serasi.

Sulit untuk menunjukkan kapan dan di mana tepatnya proses transformasi ini dimulai. Boleh diandaikan bahwa transformasi tersebut dimulai dengan terbentuknya kelompok- kelompok orang muslim (belum tentu orang- orang Arab, meskipun mereka juga tidak dikesampingkan), berupa pedagang, perantau, petualang, dan bahkan pelarian yang menetap di beberapa tempat penting di Kepulauan Nusantara, pada jaman kawasan Samudera Hindia praktis telah menjadi semacam “Laut Tengah” Islam. Aceh, Pasai dan Malaka adalah tiga di antara tempat semacam itu, namun masih banyak tempat lain yang tersebar di sepanjang pesisir utara Jawa, Borneo, Sulawesi dan kepulauan Maluku.

Di dalam agama Islam ada beberapa mekanisme yang cenderung menyatukan ber- bagai kelompok muslim yang berbeda menjadi sebuah komunitas. Proses ini dijalankan lewat pengamalan kaidah-kaidah dasar fikih, baik dalam praktik ibadah – kegiatan salat sehari- hari, salat Jumat berjamaah, puasa Ramadan dan perayaan hari raya Haji – maupun dalam kehidupan sosial, yakni dalam bentuk penga- turan hubungan kemasyarakatan yang benar.

Siapa pun yang menguasai ilmu fikih dengan sendirinya dapat menjadi pemimpin panutan masyarakat. Sekali komunitas itu terbentuk, maka dua lembaga inti dari setiap komunitas muslim dapat segera dibentuk, yakni tempat pendidikan al-Qur’an (pesantren) dan mushal- la atau surau. Pesantren berpotensi untuk berkembang menjadi sebuah madrasah, se- dangkan musholla dapat berkembang menjadi sebuah masjid. Kedua lembaga tersebut mempunyai peran dasar untuk menjalankan berbagai kegiatan yang merupakan pengeja- wantahan struktur komunitas Islam itu, sekaligus menjamin kelestariannya, dan fungsi dari lembaga-lembaga itu dapat langsung diamati dalam komunitas-komunitas muslim baru di Eropa, di Amerika Utara, maupun di Australasia.

Kitab suci al-Qur’an memiliki peranan sentral dalam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas Islam membutuhkan salinan kitab suci itu. Oleh sebab itu, menyalin al- Qur’an, mengajar aturan melafalkannya, serta menerjemahkan maknanya ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan. Menyalin al-Qur’an adalah tugas berat dan biasanya dilakukan di pesantren. Membuat salinan kitab suci itu di jaman sebelum adanya teknologi cetak/litografi merupakan kegiatan yang sangat mulia, huruf Arab yang membawakan wahyu Allah itu memiliki status istimewa, dan keterampilan menulis huruf Arab amatlah dipuji. Penga- laman langsung menyalin al-Qur’an serta meningkatnya jumlah orang yang dapat membaca kitab suci itu sangat berperan dalam memasyaratkan pemakaian tulisan Arab dalam kegiatan tulis-menulis dalam bahasa-bahasa setempat, sehingga wacana sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa lokal itu dapat juga ditulis dengan huruf suci tersebut. Pada abad ke-11 gejala seperti ini telah melanda kawasan- kawasan Islam non Arab seperti Spanyol, Turki, Iran dan Asia Selatan. Mungkin sejumlah anggota komunitas Islam tersebut ketika itu sudah menggunakan suatu jenis huruf Arab untuk keperluan tulis-menulis dalam bahasa mereka masing-masing, namun yang pasti, kegiatan menyalin al-Qur’an dan

hubungan yang mereka jalin dengan masya- rakat setempat tak ayal merupakan rangsangan yang mendorong penduduk lokal mengadopsi dan mengadaptasi tulisan Arab untuk menulis dalam bahasa mereka sendiri, yang kemudian membuka pintu bagi berbagai pengalaman baca tulis dan kesusastraan yang lebih luas dan berlainan jenisnya2.

Pengajaran aturan melafalkan al-Qur’an tentu tidak dapat dipisahkan dari penjelasan tentang maknanya. Pada saat itulah terjadi sebuah proses penerjemahan dalam pengertian kitab al-Qur’an itu diterjemahkan, diuraikan atau diterangkan dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah yang lain. Selama bertahun- tahun, pengalihan makna seperti ini mungkin hanya terjadi secara lisan, meskipun demikian pengalihan itu tetap melekat di dalam pikiran dan ingatan pendengarnya, berdampak seka- ligus berinteraksi dengan pemakaian bahasa dan cara berpikir masyarakat penggunanya. Proses itu menandai dimulainya “pener- jemahan” kata-kata Arab ke dalam bahasa Melayu serta pengalihan makna dari karangan Arab ke dalam bahasa Melayu. Contoh yang agak mengherankan dari pengalihan makna ini adalah terserapnya kata ya’ni ke dalam bahasa Melayu. Kata itu biasanya mengikuti setiap bagian wacana bahasa Arab yang akan diterangkan dalam bahasa Melayu, sehingga akhirnya memiliki peranan tersendiri dalam bahasa Melayu. Disebabkan oleh alasan yang sama, kata ya’ni juga bisa ditemui dalam bahasa Swahili, Parsi, Urdu dan banyak bahasa kaum muslim non-Arab lainnya. Sudah jelas kiranya bahwa seiring dengan berkembangnya komunitas-komunitas muslim yang kemudian menjalin kontak dagang dan percampuran darah, berkembanglah pula interaksi mereka dengan masyarakat lokal, sehingga menjadi bagian dari sebuah jaringan komunitas Islam yang lebih luas, baik di ranah Melayu mupun di benua India dan bahkan di Timur Tengah, maka ruang lingkup pengajaran di pesantren itu kian luas sampai mencakup kajian hadits dan berbagai teks tentang ilmu tauhid dan ilmu fiqih, dan akibatnya proses penerjemahan “lisan” beserta pengembangan dan penda-

laman wacana Islam ini juga menjadi semakin pesat.

Awal abad ke-11 dapat dianggap sebagai titik akhir dari bermulanya proses ini. Bukti- bukti arkeologis tertua yang menunjukkan keberadaan Islam di Asia Tenggara adalah sebuah pilar bertulis huruf Arab di Phanrang, di wilayah pesisir tengah Vietnam, yang berasal dari tahun 1050. Temuan ini cocok dengan bukti yang tertua tentang pemakaian huruf Arab di wilayah tersebut, yakni batu nisan raja-raja Pasai (1237), serta bukti yang tertua mengenai penggunaan tulisan Arab untuk menuliskan bahasa Melayu pada Batu Trengganu (1303)3.

Bukti-bukti tersebut memang masih kurang, dan baru pada pertengahan atau akhir abad ke-16 dapat dipastikan, berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ada, bahwa proses penerjemahan seperti yang saya kemukakan itu, atau setidaknya proses yang melibatkan unsur-unsur yang saya sebutkan tadi se- sungguhnya telah berlangsung. Berdasarkan bukti-bukti itu dapat ditetapkan adanya empat tahap perkembangan penerjemahan (menurut dua pengertian yang disebutkan pada awal tulisan ini) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu.

Tahap yang pertama telah dipaparkan sekilas, meski diakui itu hanya berdasarkan pada sebuah hipotesis, yakni penerjemahan lisan kutipan-kutipan pendek al-Qur’an ke dalam bahasa setempat, paling tidak surah- surah yang paling sering dibaca pada salat wajib, terutama surah pertama, yakni al- Fatihah. Meski demikian, dampak terjemahan lisan ini tak dapat dipandang sebelah mata. Pada masyarakat pra-modern, dampak yang ditimbulkan oleh penerjemahan lisan yang hanya mengandalkan pendengaran, peniruan dan hapalan ini ternyata tidak kalah dengan dampak yang timbul karena membaca tulisan.

Tahap yang kedua berkembang mana- kala tulisan Arab semakin dikenal, dipakai secara luas, serta diadaptasi untuk menuliskan bahasa-bahasa setempat. Terjemahan antar- baris dan catatan-catatan pinggir dalam bahasa Melayu, dengan memakai huruf yang

sama, merupakan alat bantu belajar yang berguna, serta menjadi panduan untuk mener- jemahkan berbagai istilah dan ungkapan secara akurat, sekalipun terjemahan itu tetap lisan.

Tahap ketiga terjadi dengan munculnya terjemahan antarbaris lengkap bagi seluruh teks. Teks sejenis tertua yang berhasil ditemukan adalah al-‘Aqa’id al-Nasafiyya4. Teks itu adalah teks dasar karya Abu Hafs ‘Umar Najm al-Din, yang biasanya dikenal melalui nisbahnya “al-Nasafi”, yang menya- jikan penjelasan tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan, hakekat dunia, sifat-sifat Allah, kemampuan manusia berbuat yang hak maupun yang batil, azab dan pahala Allah, serta kedudukan para nabi dan wali. Karangan al-Nasafi itu buku yang populer dan dipakai di banyak madrasah di seluruh dunia Islam. Reproduksi (facsimile) naskah yang ditulis tahun 1590 ini, berikut analisisnya oleh Al- Attas perlu dikaji dengan teliti.

Teks terjemahan antarbaris lain yang berasal dari masa yang sama adalah sebuah puisi dalam bahasa Arab berjudul Burda karya Sharaf al-Din Muhammad b. Sa‘id al-Busiri. Burda berisi ungkapan rasa cinta dan puji- pujian bagi Nabi Muhammad, serta mukjizat yang ada pada jubahnya. Burda sangat berbeda dari teks al-Nasafi karena bersifat persembahan dan penuh unsur mistik, sementara teks al-Nasafi lebih teratur dan memiliki ketelitian intelektual.

Berbeda pula karya Hamzah Fansuri. Tanggal lahir tokoh ini tidak diketahui, dan tahun meninggalnya pun masih diperdebat- kan, meskipun jelas pada abad ke-165. Penam- pilannya hanya dapat dilukiskan sebagai munculnya satu sosok jenius, yang menun- jukkan bahwa proses arabisasi bahasa Melayu serta pemakaiannya sebagai bahasa perantara, meski bertahap, terus saja bertambah. Karya Fansuri adalah salah satu bukti kejayaan dari berpadunya bahasa Arab dan bahasa Melayu yang dapat hidup berdampingan di bawah atap yang sama, yakni di sekolah-sekolah mengaji. Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh mistik dalam tradisi Ibn ‘Arabi, juga seorang penyair religius yang menulis pembahasan dalam

bentuk prosa untuk syair-syairnya. Orang ini memiliki semangat dan vitalitas John Donne, dan ke dalam puisi-puisinya dia banyak memasukkan frasa-frasa dari berbagai ayat al- Qur’an yang diterjemahkannya dengan sangat elok dalam bahasa Melayu. Bersama ayat-ayat al-Qur’an itu dia sisipkan pula sabda-sabda Nabi, bersama dengan berbagai frasa, kata mutiara dan simbol dari para Sufi terbesar. Unsur-unsur terakhir ini kian berkembang dalam karya-karya prosanya, yang tidak dikekang oleh berbagai syarat dan aturan penulisan syair. Dengan demikian dia berhasil mengutarakan tema-tema besar dari teosofi sufi dalam bahasa Melayu. Dengan kata lain, dengan banyak menggali bahan dari Arab (dan sedikit dari Persia), dia berhasil menuangkan ke dalam bahasa Melayu berbagai pemikiran religius dan filosofi yang paling dalam dan halus, yang merupakan tingkat pemikiran paling abstrak pada jamannya6.

Ketiga jenis karya di atas sangat berbeda satu sama lain. Ketiganya nampak terpisah- pisah, bagaikan pulau yang terpencar di dalam arus sejarah Islam. Antara satu dan lainnya sulit dicari keterkaitannya. Hal ini sebagian disebabkan oleh kondisi tidak menentu yang mengakibatkan hilangnya naskah-naskah Me- layu dari masa itu, namun yang jelas fakta ini menunjukkan keanekaragaman aliran dan fokus pemikiran Islam pada masa itu. Islam bukan sebuah agama yang monolitik – betapa sering ini perlu dinyatakan? Pada abad ke-16, tidak semua orang Islam tertarik pada hal-hal mistis, dan ada berbagai tingkat pengajaran agama dan praktik ibadah yang dianut oleh para ulama dan pengikut mereka.

Bukti-bukti lebih jauh tentang keaneka- ragaman pemikiran dan aliran agama pada paruh kedua abad ke-16 ini disodorkan oleh Nur al-Din al-Raniri yang sangat berperan di Aceh antara tahun 1637 s/d 1652, sekaligus seorang penulis yang produktif. Dalam kitab sejarahnya yang berjudul Bustan al-Salatin, pada bagian yang khusus membahas sejarah Aceh, dia mengisahkan adanya empat ulama asing yang mengajar di Aceh selama paruh kedua abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan ‘Ali Ri‘ayat Shah (t.1571-79), seraya

mencatat ilmu-ilmu yang mereka ajarkan. Di antara ilmu-ilmu yang mereka ajarakan adalah ilmu fiqh (fikih), usul-al-fiqh (asal-usul fikih), bayan (retorika), tasawwuf (praktik sufisme) dan al-ma‘ani (ilmu semantik). Dilihat sebagai satu keseluruhan, sama dengan kurikulum suatu sekolah madrasah yang bermutu. Al- Raniri seorang sejarawan yang teliti, dan salah seorang ulama tersebut adalah pamannya dari garis ayahnya, maka laporannya itu dapat dipercaya7. Sayangnya tidak satu pun karya keempat ulama abad ke-16 itu sampai kepada kita.

Naskah-naskah tertua berisi terjemahan dari keping-keping tafsir al-Qur’an berasal dari kira-kira tahun-tahun pertama abad ke-17. Sungguh disayangkan, naskah-naskah itu tidak utuh lagi, tinggal sisa-sisa dari sebuah karya yang jauh lebih besar. Tafsir sebagai satu golongan tulisan Arab juga sangat berperan dalam memperkaya khazanah wacana Islam di Melayu pada waktu itu. Riddel telah melapor- kan mengenai naskah-naskah jenis ini dalam sejumlah makalahnya, salah satunya mem- bahas mashaf al-Qur’an tertua dari ranah Melayu (1604)8. Pada periode itu ada sejumlah tulisan bertema mistik yang dikarang beberapa penulis lain, di antaranya Shams al-Din dari Pasai (w.1636). Dialah penulis Melayu pertama yang menulis dalam bahasa Arab, terutama buku Jawhar al-Haqa’iq, yang beberapa bagiannya telah diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Melayu oleh penulis lain9. Terjemahan Melayu dari buku berbahasa Arab karya penulis Melayu sejenis itu merupakan suatu bagian tersendiri dari khasanah karya- karya terjemahan Melayu.

Penulisan buku-buku berbahasa Arab oleh penulis-penulis Melayu yang pada giliran- nya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu merupakan salah satu aspek dari proses arabisasi bahasa Melayu. Ini bagian dari tahap keempat dalam proses arabisasi tersebut. Pada tahap ini semakin banyak karya asli berbahasa Melayu ditulis berdasarkan teks-teks dasar agama Islam, atau pembahasannya. Buku- buku itu menyajikan atau menciptakan karya- karya penting tentang ilmu agama Islam dalam

bahasa Melayu, yang dimungkinkan oleh adanya terjemahan-terjemahan terdahulu dalam bahasa Melayu, termasuk terjemahan yang tak pernah berbentuk tulisan. Buku-buku tersebut merupakan hasil dari apa yang dapat disebut penyerapan kosakata, idiom dan dunia khayal dari pemikiran dan budaya Islam. Nur al-Din al-Raniri memperkenalkan ilmu sejarah dalam bahasa Melayu melalui bukunya berjudul Arab, Bustan al-Salatin (“Taman Raja-Raja”) di samping karya-karya lainnya tentang fikih, tasawuf dan eskatologi (ilmu tentang akherat).

Keempat tahap penerjemahan di atas hanyalah hasil perkiraan dan tidak dapat dianggap sebagai periodisasi yang akurat. Karya Hamzah Fansuri sebenarnya lebih tepat dimasukkan ke dalam tahap keempat ini. Dan saya tidak bermaksud bahwa keempat tahap tersebut saling menggantikan satu sama lain. Tahap-tahap itu mungkin susul-menyusul, namun masing-masing terus saja memberikan kontribusi yang khas terhadap proses ini dengan caranya masing-masing. Juga jangan diabaikan bahwa nama-nama agung di atas menimbulkan gagasan pernah ada sebuah khazanah kitab-kitab keagamaan yang keba- nyakan telah hilang. Proses penerjemahan kultural yang tercakup dalam islamisasi tidak terbatas pada karya-karya nama-nama agung itu. Proses itu berlangsung juga di berbagai madrasah, besar atau kecil, yang hasil-hasilnya telah dicatat oleh Voorhoeve10. Ada gerakan yang tak pernah berhenti, yang terdorong oleh komitmen agama yang membara, untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Melayu lebih banyak dan lebih banyak lagi khazanah Arab dari wacana Islam.

Tidak perlu rasanya berusaha mendaf- tarkan di sini semua karya berbahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, atau mencari sumber semua kutipan dari karya Arab, ataupun karya-karya asli berbahasa Melayu yang berdasarkan buku-buku berba- hasa Arab itu. Namun ada sejumlah buku yang berstatus klasik dalam arti diakui penting secara luas, bahkan berperanan di lingkungan madrasah. Di antaranya ialah Tarjuman al-

Mustafid oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili (1615- 1693). Buku itu merupakan saduran Melayu “terbuka” dari buku Tafsir al-Jalalayn (“Tafsir karya kedua Jalal”)11 yang ditulis di Timur Tengah pada awal abad ke-16. Kini pun karya berbahasa Arab ini masih termasuk tafsir utama bagi para pembelajar al-Qur’an di seluruh dunia Islam, dan masih populer di Indonesia dan Malaysia12. Buku itu merupakan ringkasan yang sangat jelas dan padat dari tradisi tafsir al-Qur’an yang terpenting, dan saduran Melayunya oleh ‘Abd al-Ra’uf itu hingga kini masih dijadikan pembimbing yang sangat berharga bagi para murid madrasah yang belum terampil berbahasa Arab. Karena berisi juga terjemahan harfiah dalam bahasa Melayu dari setiap ayat al-Qur’an, maka buku tersebut sangat berdampak pada pemahaman al-Qur’an di kawasan Melayu. ‘Abd al-Ra’uf juga menulis buku dalam bahasa Melayu tentang cabang-cabang lain dari ilmu agama Islam, antara lain tentang tasawuf aliran Ibn ‘Arabi, tentang fikih dan tentang praktik dzikir. Semua tulisannya itu berdasarkan sumber- sumber Arab, dan ikut memperkaya kosakata keagamaan dalam bahasa Melayu.

Buku lain yang tak kalah penting berasal dari abad ke-18, ialah saduran dalam bahasa Melayu dari sebuah ringkasan dari karya Ihya ‘ulum al-Din, yang rupanya ditulis oleh saudara ‘Abd al-Ghazali bernama Ahmad pada tahun-tahun pertama abad ke-1213. Buku tersebut, seperti halnya Tarjuman karya ‘Abd al-Rauf, merupakan saduran “terbuka” dari sumber aslinya, yaitu ditulis mengikuti struk- tur dasar sumber itu, dan akurat dalam terjemahan, namun ada bagian-bagian yang diperluas dan ada yang dipersingkat. Di dalamnya banyak mengutip dan mengacu pada tulisan-tulisan Ghazali yang diterjemahkan dalam buku-buku Melayu yang terdahulu, akan tetapi inilah saduran lengkap yang pertama dari ringkasan Ihya’ yang tebalnya mencapai empat jilid itu. Buku itu diper- gunakan di madrasah-madrasah, dan cetak ulangnya masih dapat ditemukan di Indonesia, di Malaysia, bahkan di Mesir. Buku itu adalah tonggak penting dalam sejarah penerjemahan Islam di dunia Melayu. Namun bukan itu saja.

Ghazali konon disanjung karena dia dapat mempersatukan aliran fikih dan tasawuf. Namun karyanya juga memiliki dimensi lain. Ada ciri manusiawi yang kental dalam pemikiran dan kepribadiannya. Ghazali mem- benarkan puisi dan musik, dan bahkan

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 49-59)