• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang menteri-menteri (wazir)

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 109-119)

Syair XIX 3 Minuman ini bukannya cahaya

Bab 10. Tentang menteri-menteri (wazir)

113-43

1. Pembahasan pembuka 113 106 Mengacu pada Kitab sifat as-salatin

2. Al-Qur'an 20: 33 113-4 106

3. Pembahasan pertama tentang lembaga kewaziran

114 106 Mengacu pada Kitab adab al-wuzara

4. Al-Qur'an 3: 153 114 106

5. Pembahasan kedua tentang lembaga kewaziran

114-6 Tidak ada Pengembangan dari komponen 3

yang mengacu pada Kitab adab al- umara

6. Kata-kata bijak Ardasyir Babakan 116 106

7. Enam aturan tentang cara raja memperlakukan menteri-menterinya

116-7 106-7 Mengacu pada Kitab tuhfat al-

wuzara, bagian teks ini sudah sangat diperluas dan diperindah, mengacu pada Kitab nasa’ih al-muluk,

mengutip kata-kata Kitab al-asrar

karya ‘Attar, dan juga memasukkan

nazm karangan Bukhari

8. Kata-kata bijak Bahram Gur 118 107 Diperluas dan dihiasi dengan saj' dan

ghazal karangan Bukhari; di situ bukan tukang masak yang disebut, melainkan perempuan

9. Dua gudang harta yang penting bagi raja

119 Tidak ada Mengacu pada Fadha'il al-muluk

10. Kata-kata bijak Ardasyir Babakan 119 107 Tidak menyebutkan juru tulis

melainkan penjaga khazanah dan utusan

11. Tiga ciri menteri yang baik 119 108-9

12. Lima ciri lagi menteri yang baik 119-20 109 Mengacu pada Kitab sifat al-wuzara

13. Pembahasan tentang sifat yang mesti dimiliki wazir yang baik

120-1 109 Mengacu pada Kitab sifat al-wuzara,

diperluas dan diberi komentar

14. Al-Qur'an 20: 46 121 109

15. Kata-kata bijak Nusyirwan 121 109 Diperluas; dalam Nasihat al-Muluk

kata-kata itu diucapkan oleh Aristoteles

16. Nusyirwan bertanya kepada wazirnya, Yunan (1)

121-2 63-4 Diperluas dan diperindah bahasanya,

kata-kata tentang kebiasaan minum anggur dihilangkan

17. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (2) 122 83 (?)

18. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (3) 123 Tidak ada

19. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (4) 123 86 dan 92-3

serta kisah Raja Gusytasb dan wazir jahatnya, Rast Rawisyn

123-7 93-4 Diperluas dan diperindah bahasanya

20. Reaksi Nusyirwan terhadap kisah raja Gusytasb dan Rast Rawisyn

128 Tidak ada

21. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (5) dan kisah kehebatan penglihatan Ardasyir Babakan

128-9 96 Diperluas 22. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (6)

dan kisah Raja Qubad

129 Tidak ada

23. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (7) dan kisah mahkota Nabi Sulaiman

129-30 108 Nasihat al-Muluk tidak

menyebutkan mahkota, melainkan singgasana

24. Al-Qur'an 13: 12 130 108

25. Pembahasan tentang menteri yang paling buruk dan bahaya yang timbul bila raja ikut berperang

131 88+110-1

26. Kisah Raja Parviz dan Bahram Cubin 132-3 88

27. Pembahasan Yunan tentang lembaga kewaziran dan kisah tentang Nauruz (Tahun Baru)

133 133-5

Tidak ada 102-3 28. Nusyirwan bertanya kepada Yunan (8)

dan kisah menteri yang tidak membunuh permaisuri yang tengah mengandung, sehingga

menyelamatkan pewaris takhta.

135-8 Tidak ada Diakhiri dengan syair karangan

Bukhari

29. Dua puluh tujuh sifat menteri yang baik

138-43 Tidak ada Rangkuman seluruh isi bab dengan

CATATAN

1. Artikel ini mustahil diselesaikan tanpa bantuan dari sahabat dan kolega kami, Dr Natalia Chalisova dari Moscow State University for the Humanities. Beliau telah berbagi pengetahuannya tentang kesusastraan Parsi dengan kami, dan bantuannya dalam menerjemahkan dan melacak asal-usul kutipan-kutipan dari puisi Parsi tidak ternilai.

2. Tentang pengaruh sastra Parsi terhadap kaidah-kaidah sastra Melayu, lih. Braginsky 1998a: 163, 178- 79, 182-83, 204, 2000: 191-95; tentang sistem genre karya sastra, lih. Brakel 1970, Braginsky 1996, 1998: 226-35, 237-39.

3. Dalam artikel ini penulis menggunakan tiga transkripsi: dengan huruf Arab, Parsi dan Melayu.

Transkripsi Melayu kami lakukan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Kamus Dewan, sedangkan

transkripsi huruf Arab dan Parsi menggunakan metode standar yang berlaku pada kedua bahasa itu. Namun tanda-tanda diakritik hanya digunakan pada sajak-sajak Parsi. Di samping itu, kedua transkripsi itu agak berbeda sedikit ('w' Arab mirip dengan 'v' Parsi, 'th' Arab mirip dengan 's' Parsi). 4. Tentang pengetahuan sastra Parsi di Barus, baca juga Brakel 1969: 209.

5. Perlu dicatat bahwa sebagian besar kata serapan dari bahasa Parsi yang kami temukan dalam bahasa Melayu terkait dengan bidang agama dan perdagangan, dan terutama dengan kultur istana Melayu: arsitekturnya, taman-tamannya, pesta-pesta, alat-alat musik, seni bela diri, perhiasan dan berbagai gelar/strata sosial di istana. Ada pula sejumlah kata serapan Parsi yang khusus digunakan di beberapa kesultanan Dekkan, yang memiliki makna khas (lih. Bausani 1964).

6. Tentang sejarah politik, agama dan budaya kesultanan Dekkan, Golkonda dan Bijapur, lih. Sherwani 1974; Eaton 1978; tentang hubungan antara Golkonda dan Iran (Safavid) di satu pihak dan antara Golkonda dan Aceh di pihak lain, lih. Subrahmanyam 1988; Arasaratnam & Ray 1994: 26-29.

7. Tentang kesusastraan berbahasa Parsi di India, lih. Rypka et al. 1968: 713-34; Aliyev, G. 1968; Schimmel 1973 (survei umum yang antara lain berisi informasi berharga tentang sastra India-Parsi di Bengal dan Gujarat); Majumdar 1990: 533-41 (sebuah survei singkat tentang sastra India-Parsi di kesultanan Delhi); Sherwani 1974: 193-4, 330-34, 525-28, 603-5 (Sastra India-Parsi di Golkonda); Shu'ayab 1993 (sastra Parsi di Tamilnadu).

8. Epik Parsi tentang Amir Hamzah masih belum banyak diteliti. Masalah-masalah seputar susunannya, pengarangnya, serta penyebarannya, telah dikaji secara relatif terinci dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Lang & Meredith-Owens (1959: 472-78, disertai ringkasan isi karya itu) dan Meredith-Owens (1971, disertai daftar pustaka yang berfaedah). Sebuah ringkasan lengkap Qissa-i Amir Hamzah dalam bahasa Belanda terdapat dalam Van Ronkel 1895: 98-167.

9. Shah-nama karya Firdausi juga dipakai dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin ar-Raniri (Buku 2, Bab 2) sebagai sumber silsilah raja-raja Persia pra-Islam, terutama raja Bahrum Shah (Bahram Gur) (lih. Jelani 1999: 93). Di samping itu, adegan tentang raja zalim Dhahhaq yang diambil dari Shah-

nama nampaknya juga dijadikan model untuk mengisahkan seorang raja kanibal, Raja Bersiung,

dalam Hikayat Merong Mahawangsa (lih. Braginsky 1993: 60, 1998a: 347-48).

10. Tentang aspek-aspek linguistik dari kedua jenis (strategi) penerjemahan Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah ke bahasa Melayu, yang secara umum diterapkan juga pada penerjemahan Qissa-i Amir Hamzah, lih. Brakel 1975: 109-116, 267-77. Tentang strategi kedua (penerjemahan tidak idiomatik atau kaku) yang mereproduksi pola sintaksis teks asli, lih. Riddell 2002; meskipun ditulis berdasarkan

terjemahan kitab-kitab dari bahasa Arab, artikel Riddel ini juga bermanfaat untuk memahami

terjemahan dari teks-teks Parsi yang sejenis.

11. Penelitian tentang naskah-naskah yang cukup banyak dari Hikayat Amir Hamzah dan mungkin juga

Hikayat Isma Yatim dapat meningkatkan jumlah itu.

12. Demikianlah arti bait itu, sedangkan terjemahannya dalam Hikayat Melayu sbb.: “Lepaslah syafa’at kamu, sangat kamu menangis seperti awan yang membawa hujan pada hari perceraian dengan segala saudaranya'” (Brakel 1975: 265, 277).

13. Teks Parsi dari bayt ini begitu rusak sehingga tidak ada gunanya dikutip di sini. Terjemahan Melayunya ialah: “Yang nyawa itu asalnya daripada kandil yang di bawah arasy Allah Ta’ala; yang badan itu datangnya daripada bumi, menjadi tanahlah ia”. Jika dilihat bahwa kata 'arsh (“berasal dari

'Arsy”) telah diganti dengan sham'ī yang bermatra sama (“berasal dari lilin”), terjemahan ini membuktikan bahwa bayt itu dikutip di luar kepala atau dari versi lain sajak itu.

14. Pembaca dapat mencari contoh-contohnya pada tarikh Mogul yang awal, Tarikh-i Rashidi (ditulis tahun 1546) karya Mirza Haydar Dughlat (Thackston 1996). Tarikh ini berisi sisipan-sisipan puisi yang mirip dengan sisipan dalam epik-epik kepahlawanan Parsi, dan memiliki fungsi-fungsi yang disebutkan di atas.

15. Demikianlah arti bait itu, sedangkan terjemahan dan penjelasan Melayunya dalam Sejarah Melayu

sbb.: “Ra‘yat itu umpama akar, yang raja itu umpama pohon; jikalau tiada akar niscaya pohon tiada akan dapat berdiri: demikian lagi raja itu dengan segala ra‘yatnya”. Kata-kata dalam tanda kurung dalam bait Parsi merupakan misra' kedua dari bayt Sa’di, yang teks aslinya tersirat dalam terjemahan kutipan tersebut dalam bahasa Melayu meski tidak dikutip dalam Sejarah Melayu.

16. Mengenai masa hidup Hamzah Fansuri serta tahun meninggalnya, lih. antara lain Braginsky 1999 dan perdebatan baru-baru ini antara Guillot, Kalus dan Braginsky (Guillot & Kalus 2000, 2001; Braginsky 2001).

17. Terjemahannya dalam bahasa Melayu sebagai berikut: “Hai burung dinihari! Berahi pada waktu sahar kepada galuh-galuh pergi belajar, / Yang sudah tertunu itu menjadi nyawa tiada bunyinya datang. / Segala yang mengaku dalam menuntut Dia, tiada mereka itu khabar akan Dia” (Al-Attas 1970: 288- 89).

18. Tentang teks aslinya (Parsi), lih. Shabistari 1978: 51 [angka Arab]; tentang kutipan Hamzah, lih. Al- Attas 1970: 336, Drewes & Brakel 1986: 256, 271. Terjemahan De Bruijn, yang dikutip di atas, berasal dari buku yang terakhir.

19. Terjemahan Melayunya berbunyi: “Hai segala Islam! Jika kau ketahui bahwa berhala apa, / Kau ketahui olehmu bahwa yang jalan itu pada menyembah berhala dikata. / Jika segala kafir daripada berhalanya itu dalalnya, / Ngapa maka pada agamanya itu jadi sesat” (Al-Attas 1970: 336).

20. Tentang kutipan Hamzah, lih. Al-Attas 1970: 339, Drewes & Brakel 1986: 259. Terjemahan oleh Chittick ini dikutip dari Jami 2000: 176.

21. Terjemahan Melayunya: “Sekampung sekedudukan sekejalanan sekalian itu [Ia] jua; / Pada telekung segala minta makan dan pada atlas segala raja-raja itu pun Ia jua; / Pada segala perhimpunan dan perceraian dan rumah yang terbuni dan yang berhimpun itu pun Ia jua, / Demi Allah sekaliannya Ia jua! Maka demi Allah sekaliannya Ia jua!” (Al-Attas 1970: 339).

22. Lih. Al-Attas 1970: 245, 259, 271, 272, 330, 333, 338, 348; Iraqi 1982: 76, 93, 95, 89, 77, 82, 78, 88, 97, 112.

23. Tentang kutipan-kutipan Hamzah dari ruba'i itu, lih. Al-Attas 1970: 339, 344-5; Drewes & Brakel 1986: 259, 261, 263. Ketiganya terdapat dalam terjemahan Lava’ih oleh Chittick (Jami 2000: 148, 152, 176).

24. Tentang kutipan-kutipan Hamzah yang diambil dari Gulshan-i raz, lih. Al-Attas 1970: 336, 348, Drewes & Brakel 1986: 256, 266, 271; Shabistari 1978: 51, 29-32. Di antara citraan-citraan simbolis yang mungkin dapat ditelusuri sumbernya pada karya Shabistari, adalah “kapas”, “buah badam (kelapa dalam karya-karya Hamzah)”, “pohon”, “arak-arakan”, “emas” dan sebagainya; lih. Shabistari 1978: 15-16, 36, 37, 50, 53.

25. Tentang edisinya dalam bahasa Parsi, lih. Mashkur 1968; tentang terjemahan bahasa Inggrisnya, lih. Darbandi & Davis 1986.

26. Tentang teks asli Parsinya, lih. Mashkur 1968: 270; tentang kutipan-kutipan Hamzah, lih. Al-Attas 1970: 349; Drewes & Brakel 1986: 267.

27. Terjemahan Melayunya berbunyi: “Daripadanya kembali setengah daripada melihat tamasya tepuk dan tari, / Nyawanya pun diberi selesailah ia daripada tuntut” (Al-Attas 1970: 349).

28. Untuk teks asli Parsinya, lih. Mashkur 1968: 89; untuk kutipan Hamzah, lih. Al-Attas 1970: 353; Drewes & Brakel 1986: 269.

29. Atau “tu dū rū gum shav” – “janganlah bermuka dua”.

30. Dalam teks Melayu hanya terdapat acuan kepada karya ‘Attar dan kutipan Parsi yang sangat korup, terjemahan Melayunya hilang (lih. Al-Attas 1970: 353).

31. Mengenai pengetahuan Hamzah atas kaidah versifikasi dan figura-figura bahasa puisi Parsi, juga tentang susunan syairnya sebagai tiruan struktur ghazal, lih. Braginsky 1998a: 227-29, 235; Braginsky 1999: 141-42, cat. 8.

32. Satu naskah, yakni Cod.Or. 2016, p.92 (fol. 46r.), mempunyai varian “takarnya nyata”, yang lebih dekat sumber Parsi.

33. Bahwa citraan emas dalam baris-baris yang dikutip oleh Hamzah dapat dilacak pada bayt karya Shabistari ini dapat dibuktikan pada dua karya prosa Hamzah yang menampilkan citraan yang sama, misalnya, “Sebagaimana emas dan uang Ashfari; jika uang itu dibakar, hanya logamnya saja yang terbakar, bukan emasnya [...], emasnya tetap utuh' (Al-Attas 1970: 287-88, 313-14).

34. Tentang studi terinci mengenai berbagai kesamaan antara syair Hamzah Fansuri tentang Burung Pingai dan Mantiq al-tayr serta sumber-sumber Parsi dari karya-karya Melayu lainnya yang bertema laut, perahu dan burung, gejala transformasi dan penambahan unsur-unsur lokal bagi motif-motif Parsi dalam karya ini serta perubahan selanjutnya, lih. Braginsky 1998a: 507-524, 1998b; Braginsky [akan terbit].

35. Iskandar (1995: 326) menganggap bahwa yang terdapat dalam daftar naskah St. Martin itu bukan terjemahan Mantiq at-tayr karya 'Attar dalam bahasa Melayu, melainkan karya asli Melayu Hikayat Si Burung Pingai (tentang karya ini, lih. Braginsky 1998a: 511-514). Pendapat Iskandar ini sulit diterima karena alasan-alasan berikut: (1) hikayat itu tidak berisi motif percakapan burung-burung; (2) hanya penelitian yang amat seksama dan pengetahuan yang sangat mendalam tentang puisi Hamzah Fansuri

memungkinkan seorang peneliti mengungkapkan kesamaan-kesamaan antara Mantiq at-tayr dan

Hikayat Si Burung Pingai. Bahwa penyusun daftar naskah St. Martin memiliki informasi yang sedalam itu amat diragukan. Rupanya dia hanya memasukkan judul naskah itu ke dalam daftar, menerjemahkannya ke bahasa Belanda dan hanya menambahkan keterangan bahwa, meskipun judul karya itu dalam bahasa Arab, karya itu sendiri ditulis atau diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (kemungkinan dalam naskahnya sendiri ada petunjuk-petunjuk yang mengarah ke situ).

36. Terjemahan Melayunya berbunyi: “Satu tanah harum dalam hammam pada suatu hari / Sampai ia daripada tangan ke[kasih] pada tanganku./ Berkata aku padanya, “Engkau kasturi atau ambarkah? / Karena daripada baumu yang menggantung hati itu aku [mabuk]”. / Katanya, “Aku tanah sesuatu juga adaku, / Tetapi lama aku sekedudukan dengan bunga [mawar] / Kesempurnaan sekedudukan itu dibekaskannya padaku, / Jika tiada aku tanah yang itulah adaku”. (Bausani 1968: 50 [dengan sedikit perubahan]).

37. Terjemahan Melayunya berbunyi: “Aku hamba [yang] derhaka, karunia dan anugraha[mu]

manakatah? (catatan pinggir berbunyi: ya'ni mana gerang[an]; Bausani) / hatiku kelam, cahaya [kesucianmu] manakatah? / Bagi kami syurga itu kauanugrahakan karena kebaktian, / Ini berniaga adanya, karuniamu dan pemberi[an]mu saja itu manatah?” (Bausani 1968: 55).

38. Winstedt 1938: 129, 157; Situmorang & Teeuw 1958: 186; Samad 1986: 256; Braginsky 1998a: 84. 39. Rieu 1879-83, I: 178; Beveridge 1921; tetapi baca Elliot & Dowson 1871, III: 390-4.

40. Dalam artikel khusus berjudul “Once again on the structure, date and sources of Hikayat Aceh: towards the problem of Mughal-Malay literary ties” (akan terbit) kami sudah mengkaji secara terinci masalah Malfuzat-i Timuri sebagai pola dasar Hikayat Aceh; yang diberikan di sini hanya ringkasan artikel tersebut.

41. Untuk analisa yang mendalam mengenai masalah ini, baca penelitian-penelitian perintis oleh Amin Sweeney (1972, 1980, 1987).

42. Lih. misalnya, Ethe 1889, I: kol. 426-39; 1903-37, I: kol. 518-36, 542-5, II: kol. 12-14; Tumanovich 1981.

43. Sebagai contoh, sebuah naskah yang tersimpan dalam koleksi India Office berisi 52 cerita (802 halaman) (Ethe 1903-37, I: kol. 524-6). Salah satu naskah dalam koleksi St. Petersburg Institute of Oriental Studies berisi 56 cerita (lebih dari 1500 halaman), dan naskah lainnya berisi 15 cerita dan 3 kisah cinta yang agak panjang atau romance (540 halaman) (Tumanovich 1981: 11-38, 51-7). Namun naskah yang paling tebal di antara naskah-naskah tersebut ialah naskah yang tersimpan dalam koleksi Dushanbe, yang kurang lebih sebanding dengan buku modern setebal 2000 halaman yang dicetak kecil. Isinya 7 epik, 40 cerita dan romance cinta ditambah beratus-ratus anekdot pendek, kisah-kisah perumpamaan dan sebagainya, yang ditulis di pinggir halaman (lih. Braginsky, I. 1977: 6).

44. Sebagai contoh, naskah British Museum dari buku Muhammad Kazim, yang berilustrasi sangat mewah dan ditulis dengan “bahasa yang benar dan indah” (Rieu 1879-83, II: 760), berisi sejumlah cerita yang sama dengan cerita pada naskah 477 dalam koleksi Perpustakaan Bodleian, mansukrip 797 dalam Perpustakaan India Office (Ethe 1889, I: kol. 437-9, 1903-37, I: kol. 524-6), dan naskah B 256 di St.

Petersburg (Tumanovich 1981: 12-38). Penampilan ketiga naskah itu jauh kurang mewah dan bahasanya juga lebih bersahaja dibandingkan dengan naskah British Museum. Sebuah studi perbandingan tentang naskah-naskah yang berisi kisah cinta (romance) berjudul “Mihr dan Mah” dalam koleksi British Museum (Add 15099) dan koleksi St. Petersburg (C 1640) juga menunjukkan bahwa naskah-naskah itu berasal dari lingkungan sosial yang berbeda. Naskah yang pertama ditulis dengan aksara nastalik yang sangat indah dan dihias dengan 'unvan dan enam gambar miniatur bergaya India (Rieu 1879-83, II: 765), sedangkan naskah yang kedua sangat sederhana dan penuh kesalahan ejaan dan berbagai kesalahan lainnya (Tumanovich 1981: 64, 121).

45. Tentang karya-karya Parsi yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta, lih. Schimmel 1973: 27; Aliyev, G. 1968: 98-100.

46. Tentang karya-karya tersebut dan terjemahannya dalam bahasa Parsi, baca literatur yang disebutkan dalam catatan 7 di atas dan juga Garcin de Tassy 1870; Ethe 1896; Suvorova 2000: 1-43.

47. Lih. Ethe 1889, I: kol. 436-8, 1903-37, I: kol. 525-6, 545; Tumanovich 1981: 107-12.

48. Dalam artikel tentang karya-karya terjemahan dari bahasa Urdu dan artikel tentang Hikayat

Indraputra dalam buku ini kami membahas secara lebih terinci aspek-aspek terpenting dari bentuk dan berkembangnya kontak-kontak seperti itu, dan penyerapan serta perombakan romance-romance

petualangan ajaib yang berasal dari sastra India-Parsi oleh masyarakat Melayu.

49. Lih. Winstedt 1920: 191; Iskandar 1995: 173-74; Brandes 1899: 443-44. Kata-kata dalam tanda kurung terdapat pada kolofon naskah yang diedit oleh Winstedt. Tetapi dalam naskah yang digunakan oleh Brandes tanggal 773 Hijrah itu dapat ditemukan sebelum cerita yang ke-21.

50. Penyebutan nama Qadi Hasan sebagai penerjemah karya Parsi itu hanya muncul pada awal cerita ke- 13 dalam naskah Cod.Or 3208 dan nampaknya sebagai kombinasi frasa dari bagian prakata (“Ini hikayat [...] dipindahkan daripada bahasa Parsi kepada bahasa Jawi”) dan frasa dari kolofon di halaman terakhir (“oleh Qadi Hasan”). Lih. Cod.Or. 3208, hlm. 47: “Hikayat ini dipindahkan daripada bahasa Parsi kepada bahasa Jawi // oleh Qadi Hasan” (Iskandar 1995: 173) dan “Ini hikayat [...] daripada bahasa Parsi maka dipindahkan kepada bahasa Jawi” (Winstedt 1920: 29) + “oleh Qadi Hasan”' (ibid.: 191).

51. Untuk edisi dan terjemahan bahasa Inggris Tuti-nama karya Nakhshabi, lih. Nakhshabi 1976 dan Simsar 1978; untuk edisi dan terjemahan bahasa Rusia dari Javahir al-asmar karya Na’ari, lih. Saghari (=Na'ari) [t.t.] dan Na'ari 1985.

52. Meskipun cerita-cerita lepas dari Tuti-nama banyak ditemui pada naskah-naskah cerita populer (lih. misalnya Tumanovich 1981: 12-13, 26-7, 32, 36-7, 43-4, 55-6; Rieu 1879-83, II: 760, 772; Ethe 1889- 1930, I: kol. 438 (MS 477, 5), kol. 447-8 (MS 488, 4); Ethe 1903-37, I: kol. 524-26 (MS 797, 13, 27, 34), hingga sekarang kami belum berhasil menemukan versi Qadi Hasan dalam berbagai katalog naskah Parsi. Namun ini tidak mengejutkan, mengingat kesusastraan populer Parsi memang belum diteliti secara tuntas, dan usaha untuk mencari versi itu baru akan berhasil bila dilakukan oleh para pakar sastra Parsi secara bersama. Bahwa versi-versi Parsi populer seperti itu mungkin sudah ada sebelumnya dibuktikan oleh karya akhir abad ke-18 berjudul Chehel-tuti (“Empat puluh burung nuri”), yang diketahui lewat sejumlah naskah, namun kebanyakan dalam bentuk litograf. Karya ini cukup pendek (berisi antara 10 sampai 13 cerita, lih. Marzolph 1979: 56-156; Borshchevsky dkk. 1963: 414- 44) dan ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana tanpa hiasan retorika.

53. Yang menarik, plot-plot dari dua cerita lain yang berasal dari Tuti-nama karya Nakhshabi juga terdapat dalam sastra Melayu. Namun kami menemukannya dalam Hikayat Bakhtiar, bukan Hikayat Bayan Budiman. Kedua cerita itu adalah: “Kisah putri kaisar Rum dan penderitaannya yang

disebabkan oleh kehadiran putranya” dari Tuti-nama = “Ratu dan putranya dari pernikahan

terdahulu” dari Bakhtiyar-nama, dan “Kisah raja Bahram, dua vizirnya Khassa dan Kholasa,

kekejaman Bahram dan bagaimana putri Kholassa memperoleh keadilan” dari Tuti-nama = “Raja yang membunuh dua vizirnya” dari Baktiyar-nama. Tentang kedua cerita itu dalam versi Parsi lih. Simsar 1978: 307-322; Ouseley 1883: 62-88; dalam terjemahan Melayu, lih. Gonggrijp 1892: 357-61. Sumber kisah-kisah itu kemungkinan adalah versi tertua dari kisah Bakhtiar yang ditulis oleh Daqa'iqi pada awal abad ke-13.

54. Untuk detil selengkapnya, lih. artikel tentang Hikayat Indraputra dalam buku ini. 55. Tumanovich 1981: 22; Ethe 1889-1930, I: kol. 438, 1903-37, I: kol. 525.

kisah lainnya tentang Ibrahim ibn Adham dalam Hikayat Khoja Maimun (MS Maxwell 18), yang merupakan varian dari Hikayat Bayan Budiman. Kisah-kisah dari kelompok hikayat yang terakhir itu tidak terlalu mirip dengan seluruh isi dan pesan moral dari kisah burung nuri tersebut. Namun yang menarik, kisah itu “berasal dari legenda Parsi (bukan Arab) tentang Ibrahim ibn Adham” dan “ada sejumlah petunjuk bahwa cerita itu berasal dari sumber India-Parsi” (Jones 1985: 272).

57. Naskah (tertanda tahun 1264/5) buku karya Daqa'iqi ditemukan dan kemudian diterbitkan pada tahun 1966 oleh cendekiawan terkenal dari Iran, Z. Safa, yang kesimpulannya dirangkum dalam epilog yang ditulis Osmanov untuk terjemahannya dari karya Daqa'iqi dalam bahasa Rusia.

58. Secara lebih terinci mengenai “kisah Bakhtiar” dalam sastra Parsi dan sastra-sastra lainnya, lih. Horovitz & Masse 1960; Hanaway 1989 (dan daftar pustakanya masing-masing).

59. Sekarang menjadi Cod.Or. 6069 dan Cod.Or. 12.201, lih. Iskandar 1999, I: 294, 642-3.

60. Meskipun pada umumnya isi cerita-cerita dalam Hikayat Ghulam (sebagaimana dalam cerita-cerita Bakhtiar dalam bahasa Arab pada umumnya) agak serupa dengan isi cerita itu dalam versi populer Parsi dari Bakhtiyar-nama, namun cerita-cerita itu berbeda dengan yang disebut terakhir (dan juga dengan terjemahan Melayunya) dari segi detil-detil penting dan urutan cerita yang dalam Hikayat Ghulam khas Arab (lih. Goriaeva 1990: 149, Tabel 1).

61. Karena Winstedt mungkin sekali tidak mengetahui tentang adanya terbitan baru itu ataupun tentang sisipan-sisipan Gonggrijp dalam edisinya, maka dalam buku History of Malay literature yang terbit tahun 1939 dia memberikan penjelasan berdasarkan ide-ide yang diajukan Brandes pada tahun 1891, dan penjelasan itu masih dipertahankannya dalam edisi-edisi bukunya yang selanjutnya. Dari situ, penjelasan Winstedt “bermigrasi” ke dalam setiap survei umum tentang kesusastraan Melayu, bahkan dapat ditemukan dalam buku karya pakar naskah Melayu seperti T. Iskandar (1995: 276-77).

62. Menurut kepercayaan Parsi, siapa yang dibayangi oleh sayap burung phoenix mati serta-merta.

63. Namun Dr. Jelani Harun memberitahu penulis bahwa buku dengan judul itu tidak dapat ditemukan di antara ke-40 karya Kashifi yang terdaftar dalam Encyclopedia of Islam, jil. 4 (1978: 704-5).

64. Salinan karya ini didapatkan di sekitar tahun 1604 di Aceh oleh seorang pedagang dan kolektor Belanda, Pieter Willemsz van Elbinc (Peter Floris, lih. Robson 2000). Sekarang naskah itu tersimpan di perpustakaan Universitas Cambridge (Ricklefs & Voorhoeve 1977: 111) dan belum banyak diteliti. 65. Tentang Nasihat al-Muluk oleh Kashifi, lih. Van Ronkel 1896; tentang deskripsi lengkapnya, lih. Jelani

1999: 123-25, 357-60.

66. Sebagai contoh, Taj as-Salatin menyebutkan musim kemarau dan musim hujan, kerbau dan macan, ukuran berat seperti tahil dan unsur-unsur lokal lainnya(Roorda 1827: 14, 35-6). Meskipun di balik unsur-unsur lokal itu masih tersembunyi beberapa unsur Parsi yang nampaknya telah “diubah” oleh penerjemah, namun cara Bukhari membandingkan kemasyhuran sultan dengan sebilah keris, atau permintaannya agar tidak membaca hikayat palsu yang merupakan buku-buku cerita kegemaran orang Melayu, dapat dengan lebih jelas menunjukkan asal usul buku Bukhari itu. Ada hal yang sangat menarik untuk memecahkan teka-teki ini, yaitu isi Bab 21 dari buku Taj as-Salatin tentang hubungan antara penguasa Islam dengan rakyatnya yang kafir. Subyek bab tersebut, meskipun tidak menunjukkan perbedaan gaya dengan karya-karya lain, jelas merupakan topik pembicaraan orang Aceh pada rentang masa antara penghujung abad ke-16 dan awal abad ke-17, manakala kesultanan Aceh tengah gigih mengembangkan daerah kekuasaannya dengan menaklukkan daerah-daerah ‘kafir’, terutama tanah Batak. Di samping itu, secara tegas juga dinyatakan bahwa bab tersebut ditulis untuk

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 109-119)