• Tidak ada hasil yang ditemukan

K HUSUSNYA YANG B ERKAITAN DENGAN “C ERITA C ERITA P ARSI ” 1 Vladimir Braginsky

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 59-70)

JALINAN DAN KHAZANAH KUTIPAN T ERJEMAHAN D ARI B AHASA P ARS

K HUSUSNYA YANG B ERKAITAN DENGAN “C ERITA C ERITA P ARSI ” 1 Vladimir Braginsky

SOAS, University of London alam kajiannya yang memikat tentang

Hikayat Merong Mahawangsa, H. Maier (1985: 1) kembali mengajak pembaca me- nyimak definisi R. Barthes bahwa teks sastra merupakan suatu “jalinan kutipan-kutipan yang berasal dari pusat-pusat kebudayaan yang tidak terkira banyaknya” (Barthes 1998: 121). Definisi yang diterapkannya pada setiap tipe teks sastra itu secara jitu menjabarkan hakikat teks dalam sastra-sastra tradisional, yang satu di antaranya ialah sastra tradisional Melayu. Seperti kebanyakan prinsip teori sastra kon- temporer, definisi Barthes itu menjadi menarik bukan saja karena baru, tapi lebih-lebih karena perumusannya yang ringkas, jitu, sekaligus menantang. Definisi tersebut membuat penulis mempertanyakan kembali sejumlah aspek penting dari ontologi sastra, terutama yang menyangkut bentuk-bentuk eksistensi teks sastra.

Di satu pihak, setiap karya sastra hadir sebagai sesuatu yang utuh, segenap unsurnya (satuan-satuan, atau “quanta”, narasi yang ber- aneka-ragam, permenungan pengarang dan tokoh-tokoh rekaannya, aforisme-aforismenya, motif-motif deskriptifnya, dan sebagainya) tersusun dan saling terkait, sehingga mem- bawa makna tertentu yang utuh. Inilah

eksistensi “sintagmatik” dari karya sastra dalam arti kata yang sebenarnya, keber- adaannya dalam bentuk sebuah jalinan, yakni sebuah struktur tertentu. Dalam bentuk ini karya sastra tersebut diniatkan dalam hati pengarangnya (apa pun makna kata ini dalam kaitannya dengan kesusastraan tradisional). Demikianlah wujud karya sastra di mata orang. Di pihak lain, karya sastra juga hadir sebagai unsur-unsur terurai yang saling terpisah. Inilah eksistensi “paradigmatik” karya sastra dalam bentuk khazanah kutipan, atau lebih tepatnya kontribusi dari karya sastra tersebut bagi khazanah kutipan yang menyeluruh, dalam suatu kesusatraan. Dalam bentuk ini karya sastra tersebut melintasi alam pikiran pembaca dan rekan-rekannya sesama pe- ngarang dalam berbagai kondisi kehidupan dan proses kreatif mereka. Demikianlah wujud “bayang-bayang” karya sastra itu.

Secara jitu definisi Barthes itu seakan- akan menggugat kita agar memperluas konsep tentang “kutipan”, agar istilah itu tidak hanya berarti salinan persis dari bagian-bagian verbal teks yang dikutip, melainkan juga tiruan – persis ataupun tidak – dari unsur-unsur naratif, deskriptif dan retorik yang terdapat pada teks tersebut, serta juga berbagai-bagai

D

pola penyusunan unsur-unsur tersebut. Jika istilah “kutipan” diartikan seperti ini, maka khazanah kutipan seperti yang disebutkan di atas, yang semakin diperkaya dengan muncul- nya setiap karya baru yang menirukan (“mengutip”) unsur-unsurnya, tak lain adalah “interteks sastra” seperti yang diistilahkan oleh teori sastra kontemporer. Interteks sastra tidak hanya menyediakan kutipan-kutipan yang berfungsi sebagai “bahan bangunan” bagi seorang penulis untuk membangun karyanya, namun lewat proses pencampuran baru dan penyusunan ulang, memungkinkan si penulis untuk mengungkapkan makna baru. Di samping itu, karena kutipan-kutipan itu dise- lubungi oleh “aura” asosiatif, maka si penulis dapat mengungkapkan makna yang dimaksud- nya melalui berbagai sindiran, petunjuk, atau polemik sastra tertentu yang ditujukan pada karya yang asli. Oleh karenanya, sebagai sebuah “jalinan (kesatuan struktural, V.B.) kutipan” karya sastra itu berada secara aktual dalam “ruang” di antara penulis/pembaca dan teks. Pada waktu yang sama, sebagai “kha- zanah kutipan” karya sastra itu juga berada secara potensial dalam “ruang” di antara penulis/pembaca dan interteks. Eksistensi potensial ini dapat melahirkan karya-karya sastra baru dan menjadi kerangka acuan yang akan menjamin pemahaman tentang karya- karya itu nanti.

Semua itu tidak hanya berlaku pada karya asli dari kesusastraan tertentu, namun juga pada karya-karya asing yang telah masuk kesusastraan tersebut melalui terjemahan, terlebih-lebih karena batas antara kedua kategori karya itu agak kabur dalam dunia sastra tradisional. Meskipun asal suatu karya sebagai terjemahan kadang-kadang terungkap secara nyata, kekaburan tanggapan tentang “terjemahan” itu mempermudah orang baik menirukan karya terjemahan itu sebagai keseluruhan maupun menyisipkan unsur- unsur kutipannya dalam interteks sastra untuk menciptakan karya asli nanti, antara lain dengan menggunakan “kutipan-kutipan” itu. Sulit ditentukan proses mana yang lebih berperan dalam penyerapan pengaruh sastra. Yang pasti, berbagai bentuk penyerapan itu

dengan mudah dapat dideskripsikan dan ditafsirkan berdasarkan konsep “kutipan- kutipan yang diterjemahkan”, yang dipahami secara luas, serta juga perubahan atau transformasi kutipan itu, yang berjenis-jenis, dan penggabungannya dengan unsur-unsur asli sastra tersebut.

Dalam hal ini, karya-karya sastra Melayu terjemahan yang berasal dari salah satu pusat kebudayaan (atau yang disebut Maier sebagai “pusat kekuasaan”), yakni kawasan yang menggunakan bahasa Parsi, patut dipelajari. Anehnya, meskipun tidak banyak karya sastra Parsi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, ternyata pengaruh sastra Parsi pada seluruh aspek kesusastraan Melayu – apakah itu doktrin kesusasteraan dan sistem genre2 atau isi dan struktur karya-karya sastranya – amat besar. Pendekatan yang kami ajukan (yang di sini hanya diterapkan pada isi dan struktur karya sastra) nampaknya mampu menjelaskan situasi paradoksal ini.

Kami akan mengawali artikel ini dengan menyajikan sebuah survai umum tentang karya-karya Parsi yang diterjemahkan (dalam pengertian yang paling luas) ke dalam bahasa Melayu. Meskipun sebelumnya sudah ada dua survai sejenis (Marrison 1955, Brakel 1970), namun survei-survei itu sudah kadaluwarsa, kurang lengkap dan, lebih penting lagi, keduanya tidak membahas berbagai strategi penerjemahan yang dikembangkan para sastrawan Melayu dalam menerjemahkan berbagai jenis karya sastra Parsi. Padahal, justru berbagai strategi penerjemahan itulah yang menentukan bukan saja ciri-ciri teks asli mana yang akan ditirukan pada teks sasaran, melainkan juga bagian-bagian karya asli mana saja yang akan menjadi “kutipan-kutipan” yang harus ditambahkan ke dalam interteks kesu- sastraan Melayu tradisional. Di sinilah letak pentingnya strategi-strategi penerjemahan itu dalam survei ini. Pada bagian kedua artikel ini kami akan mengkaji secara lebih teliti terjemahan kisah-kisah yang relatif pendek (“cerita-cerita Parsi”) yang digabungkan satu sama lain dengan berbagai piranti komposisi – dan yang rupanya telah mendapatkan sam- butan paling luas dalam kesusastraan

tradisional Melayu. Akhirnya sebagai kesim- pulan kami akan merangkum berbagai strategi penerjemahan karya sastra Parsi oleh penulis- penulis Melayu, dan kembali meninjau eksis-

tensi paradigmatik karya-karya itu dalam bentuk “kutipan-kutipan” dalam interteks sastra untuk menjelaskan paradoks di atas.

Survai tentang Karya-Karya Parsi yang Diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dan Karya-Karya yang Terkait3

Walaupun data tentang kontak budaya antara negeri-negeri Melayu dan alam budaya Parsi hanya berupa kepingan-kepingan, namun “mosaik”nya (betapapun banyaknya kepingan yang berkurang atau bahkan sudah sama sekali hilang) menyajikan garis besar perkembangan kontak-kontak di atas, meski sangat samar- samar. Daerah Sumatra utara dan barat laut yang selama sekian abad menjalin hubungan dagang dengan pusat-pusat kekuasaan ter- penting di Teluk Parsi dan India-Parsi memegang peranan terpenting dalam kontak- kontak budaya itu, terutama kesultanan Pasai (antara tahun 1300-an sampai 1520-an) dan Aceh. Masyarakat di kesultanan Aceh yang sejak tahun 1520-an telah mewarisi orientasi budaya dan agama Pasai, pada umumnya tetap memegang teguh warisan budaya itu sampai sekitar paruh kedua abad ke-17, ketika sumber- sumber inspirasi dari Arab mulai menggeser kedudukan warisan budaya India-Parsi, seperti yang lazim melanda seluruh alam Melayu.

Bukti-bukti paling awal yang dapat diandalkan mengenai kontak budaya antara Pasai dan alam Parsi terdapat dalam buku “Kisah Perjalanan” Ibn Battuta yang singgah di Pasai pada tahun 1350-an (Gibb 1994: 876-80, 912-13). Dalam buku itu Ibn Battuta bukan saja menyebut-nyebut seorang syahbandar dan seorang amir yang bernama Parsi, yakni Bihruz dan Daulatshah ('Buhruz' dan 'Daulasa' dalam teks Ibn Battuta), namun dia juga mengisahkan secara terperinci tentang bebe- rapa ahli hukum (fuqaha) asal Parsi yang akrab dengan sultan Pasai, Malik al-Zahir; mereka secara teratur “datang ke majelis sang sultan untuk mengaji Qur’an dan berdiskusi”. Nama kedua orang itu yang disebut oleh Ibnu Battuta, yakni Amir Sayid dari Shiraz dan Taj

al-Din dari Isfahan, jelas membuktikan bahwa mereka berasal dari Parsi. Pengarang (atau para pengarang) Hikayat Raja Pasai (abad ke- 14) juga mengisahkan tentang para ahli hukum atau alim ulama dari negeri-negeri “atas angin” dan menganggap bahwa Samarkand adalah pusat pendidikan ilmu agama yang paling berwibawa (Jones 1987: 37). Berdasarkan hikayat yang sama Alves (1994: 142, cat. 52) menganggap bahwa beberapa fuqaha tersebut (misalnya Sayid Ali Giyasuddin dan Sayid Asmauddin, Jones 1987: 16, 24-5, 29-34) telah menjadi wazir para sultan Pasai. Dalam Hikayat Aceh (abad ke-17) disebut juga seorang tokoh India-Parsi bernama Kasdin yang menjadi wazir sultan Aceh, Salah al-Din (1530-1548) (Iskandar 1958: 79).

Pada awal abad ke-16 Pires melaporkan adanya sejumlah besar saudagar Parsi di Pasai (Cortesão 1944: I: 142). Dia juga menam- bahkan bahwa kebanyakan penduduk Pasai diduga berasal dari orang Bengali Islam, dan dari mereka itulah Pasai mewarisi agama Islam, dinasti yang berkuasa di Pasai dan “ritus” pembunuhan raja (ibid.: 142-4). Alves (1991: 16-20), yang secara rinci meneliti latar belakang historis dari pernyataan-pernyataan Pires itu, dengan tepat mengemukakan bahwa orang-orang Bengali yang dilaporkan oleh Pires itu ternyata bukan hanya orang Bengali persis, tetapi juga orang Parsi, Arab dan Turki (demikian pula orang-orang dari Gujarat – mitra dagang Pasai yang lain – dalam laporan Pires). Komentar Pires tentang hubungan antara Pasai dan kesultanan Islam Bengal yang menggunakan bahasa Parsi di istana dan dalam karya-karya sastranya, jelas sangat menarik. Akhirnya dilaporkan bahwa di Pasai terdapat prasasti kubur seseorang yang

bernama India-Parsi, yakni Na’ina Husam al- Din, yang di nisannya terpahat sebuah ghazal dari tayyibat dalam divan karya Sa’di, yang digores dalam batu itu pada tahun 1420 (Cowan 1940), sementara Guillot (baca artikelnya dalam koleksi ini) menyebutkan sebuah prasasti kubur berisi tulisan dalam bahasa Parsi, yang berasal dari Barus, Sumatra Barat Daya4.

Schrieke (1955-57, II: 251-53) mengutip beberapa contoh tentang pengaruh berbagai tradisi dari istana Mogul (yang juga berbahasa Parsi) terhadap kehidupan dan adat istiadat istana Aceh. Dengan mengacu pada sumber- sumber Belanda lama, dia menyebutkan contoh-contoh Mogul buat arsitektur istana Aceh, taman para sultan Aceh yang diperindah dengan bangunan-bangunan khas, arak-arakan kerajaan dengan gajah, pelayaran bertamasya di atas sungai, gaya berpakaian, kebiasaan minum arak, serta kegemaran akan acara adu gajah, adu kambing dan adu ayam. Schrieke menambahkan juga ciri-ciri khas yang terdapat pada istana baik Aceh maupun Mogul, seperti peranan penting orang-orang kasim (yang dikebiri) sebagai perantara antara penguasa dan dunia luar, kebiasaan sultan menyapa rakyatnya dari balkon atau jendela, serta penggunaan bunyi-bunyian kesultanan (nobat) yang bertempat di atas gerbang istana. Dia juga menyebutkan beberapa gelar jabatan Aceh yang berasal dari Mogul (misalnya karkun, “juru tulis” dan kotval, “panglima pasukan pengawal kota”), gaya dan format surat-surat raja Aceh, serta desain stempel kerajaan.

Meskipun baru-baru ini Andaya telah mempersingkat daftar ini dengan menun- jukkan bahwa beberapa butirnya dapat saja berasal dari sumber lain, dan mencatat bahwa sultan-sultan Aceh telah berusaha memajukan kehidupan masyarakatnya “agar setara dengan kejayaan kekaisaran Ottoman, Safavid dan Mogul yang seagama” (Andaya 2001: 38), dia kembali menyebutkan bahwa “hubungan paling kuat antara kesultanan Aceh dan dunia Islam terjalin melalui kerajaan-kerajaan Muslim India, terutama dinasti Timur dari Mogul” (ibid.: 39). Dia juga (ibid.: 39-40, 42-4) menunjukkan hubungan ekonomi, politik dan

budaya yang terjalin pada abad ke-16 dan pertengahan abad ke-17 antara Aceh dan kesultanan Dekkan, terutama Golkonda, yang sebelumnya telah disebut oleh Bausani (1964: passim, 1979: 46, 69)5. Kesultanan Syiah Golkonda yang menjalin hubungan erat dengan Iran dan telah lama diperintah oleh kaum elit Parsi, merupakan mitra dagang penting bagi Aceh sehingga kesultanan Aceh menempatkan agen dagang tetap di Masuli- patnam, bandar utama Golkonda di Pesisir Koromandel. Demikian pula agen-agen dagang Golkonda juga sering singgah di Aceh, yang merupakan “pelabuhan perdagangan Koro- mandel yang terpenting”6.

Sulit dipastikan dari pusat-pusat kebu- dayaan Parsi mana berasal berbagai karya sastra asli Parsi yang diterjemahan ke dalam bahasa Melayu. Hal ini dikarenakan semasa jayanya kesultanan Delhi (abad ke-14 s/d 15) dan kekaisaran Mogul (abad ke-16 s/d 18) bahasa dan kesusastraan Parsi telah tersebar luas bukan hanya di Iran, Afghanistan (Khu- rasan) dan Asia Tengah (Mawar an-Nahr), tetapi juga di segala penjuru India, baik di lingkungan istana maupun dalam masyarakat perkotaan. Karya-karya Parsi dan India-Parsi kemungkinan besar juga disalin dan ditulis di pusat-pusat kontak India dengan Melayu yang tertua dan terpenting, misalnya Gujarat, Bengal, Pesisir Koromandel, dan oleh karena- nya karya-karya itu mungkin saja mencapai daratan Melayu dari tempat mana pun di antaranya7. Tentang cara karya-karya itu bisa sampai ke orang Melayu, pada saat ini kami hanya dapat mengajukan berbagai hipotesa dengan sangat berhati-hati.

Ibn Battuta (lih. Gibb 1994: 878) menulis tentang seorang utusan Pasai di istana sultan Delhi Muhammad ibn Tughluq (1325- 51), dan itu dapat membuktikan adanya hubu- ngan antara kesultanan Pasai dan kesultanan Delhi. Jika buku Tuti-nama (“Buku Burung Nuri”) versi tahun 1371 (lih. di bawah), seperti versi-versi tahun 1315 dan 1330, benar ditulis di Delhi, maka buku tersebut mungkin sampai ke alam Melayu langsung dari Delhi, atau tidak langsung melewati Gujarat atau Bengal yang termasuk orbit politik kesultanan Delhi.

Karena Pasai sudah menjalin hubungan yang erat dengan Bengal, dan karena dua dari tiga naskah Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah, yang merupakan prototipe Parsi dari Hikayat Muhammad Hanafiyah dalam bahasa Melayu, berasal dari Bengal, boleh jadi teks prototipe ini mencapai Pasai dari Bengal. Kitab Seribu Masa'il dalam bahasa Melayu sangat mirip dengan karya asli Parsi versi Golkonda, dan ini mendukung andaian kita bahwa karya tersebut dibawa ke Sumatra (Aceh) dari Golkonda. Pada akhirnya sulit ditepis kemungkinan bahwa Taj as-Salatin (“Mahkota para Sultan”) – atau pengarangnya, jika karya tersebut memang dikarang, bukan hanya diterjemahkan di Aceh – telah melanglang buana dari Asia Tengah (Bukhara) ke alam Melayu melalui India yang dikuasai kaisar Mogul.

Epik-Epik Kepahlawanan Parsi

Nampaknya, karya-karya sastra Parsi pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah dua karya epik yang tergolong sastra populer, bukan sastra istana. Yang pertama, Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah, merupa- kan karya sastra Parsi yang kurang penting, yang mungkin ditulis pada abad ke-14 (Brakel 1975: 54-6) dan kini tersedia dua naskahnya dari Bengal (Bangladesh) dan satu yang mungkin berasal dari Asia Tengah (ibid.: 12, 280, cat. 19; 1977: 95-6). Menurut Brakel, karya yang diterjemahkan di Pasai antara tahun 1250 dan 1390 ini merupakan prototipe dari genre hikayat Melayu (ibid.: 56-7, 1979a).

Teks asli Parsi yang merupakan sumber dari hikayat Melayu tentang Muhammad Hanafiyah, putra Khalifah Ali yang lahir dari seorang budak perempuan, terdiri atas dua bagian yang genrenya berbeda namun mem- bentuk sebuah kesatuan yang utuh. Bagian pertama yang bergaya maqtal dan berkisah tentang putra-putra Ali, Hasan dan Husain, yang mati syahid, sangat menonjol karena menyajikan tema tragisnya dengan irama ketegangan yang kian lama kian mencekam. Pada bagian kedua yang bercorak hikayat, tema tragis itu diselesaikan melalui kisah balas

dendam Muhammad Hanafiyah terhadap para pembunuh kedua putra Khalifah Ali tersebut.

Struktur ganda ini masih terjaga dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah Melayu yang mungkin mulanya secara ketat menirukan versi Parsi pada kedua bagiannya. Namun, dikarenakan meruncingnya sentimen anti Syiah dalam budaya Melayu, maka kelancaran dan ketegangan yang mula-mula terdapat pada bagian pertama lambat laun dihilangkan, dan diubah menjadi kumpulan cerita yang tidak jelas strukturnya, dan mirip pemaparan singkat tentang sejarah awal Islam. Sebaliknya, bagian kedua versi Parsi asli tetap diper- tahankan seadanya dalam terjemahan Melayu. Bagian tersebut menampilkan struktur yang ketat, berdasarkan irama interaksi antara tokoh pahlawan dan para sahabatnya (per- pisahan – pertemuan – perpisahan // per- temuan – perpisahan – pertemuan) yang membentuk dua siklus lengkap. Pada masing- masing siklus, para sahabat itu secara berturut-turut disatukan kembali dengan Muhammad Hanafiyah di tengah keadaan genting, meraih kemenangan, terpisah lagi dan, ketika berharap kesulitannya telah berakhir, maka kembali dihadang bahaya baru (Brakel 1975: 66-9).

Karya epik yang kedua, Hikayat Amir Hamzah (Van Ronkel 1895), lebih bercorak he- roik-romantik daripada heroik-relijius. Karya itu adalah terjemahan dari Dastan-i Amir Hamzah atau Qissa-i Amir Hamzah versi Parsi (juga Hamzah-nama, Rumuz-i Hamzah dan sebagainya), yaitu karya populer yang seku- rangnya berada dalam tiga versi yang berisi antara 69 sampai 82 bab. Karya yang penulis- nya tak dikenal ini (kadang-kadang disebutkan karangan Jalal-i Balkhi, terkadang pula Muhammad Abu’l-Ma’ali), ditulis sekitar abad ke-128.

Tokoh utama kisah tersebut – Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad – setelah melewati masa kanak-kanak yang penuh gejolak, mengabdi kepada raja Parsi, Nus- hirvan. Dia melakukan berbagai tindakan yang nekat karena ingin melamar putri raja, Mihrnigar, dan menggagalkan berbagai upaya

licik dari para hulubalang istana dan dari wazir yang jahat, Behtek. Dalam petualangannya dia tidak hanya menaklukkan banyak negeri dan mengislamkan penduduknya, namun juga sampai ke negeri ajaib di Gunung Qaf. Di tempat itu dia membantu perjuangan para peri muslim yang telah lama sekali berjuang melawan jin kafir, hampir menemui ajalnya, digoda oleh satu peri licik, membebaskan satu jin dari kutukan Nabi Sulaiman dan berbagai petualangan lainnya. Di akhir kisah Amir Hamzah membantu kemenakannya, Nabi Muhammad dan menantu Nabi, ‘Ali, untuk melindungi kota Mekkah dari gerombolan orang kafir yang mengepungnya, dan dia gugur dalam salah satu pertempuran. Sejumlah besar petualangan Amir Hamzah (membunuh div [monster jahat] hitam dan div putih, singa Bebri, seekor ular naga, seorang penyihir jahat dan burung Simurgh yang menyelamatkannya) merupakan tiruan dari kisah kepahlawanan Rustam, tokoh terkenal dari Shah-nama karya Firdausi (Van Ronkel 1895: 239-40), yang sangat mempengaruhi Qissa-i Amir Hamzah. Dengan diterjemahkannya Qissa-i Amir Ham- zah, motif-motif yang terkandung dalam epik Parsi yang termasyhur itu merasuki interteks kesusastraan tradisional Melayu9.

Brakel (1979a: 6-20) yakin bahwa Qissa- i Amir Hamzah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu di Pasai sekitar tahun 1390. Bagaimanapun juga Hikayat Amir Hamzah telah dikenal oleh pengarang Hikayat Raja Pasai (Braginsky 1998a: 79-81) yang ditulis setidaknya di awal abad ke-15 (ibid.: 71-9), dan pada awal abad ke-16 salah satu salinannya, sebagaimana salinan Hikayat Muhammad Hanafiyah, sudah terdapat di perpustakaan sultan Melaka (Winstedt 1938b: 191-92). Maka boleh kita membenarkan pendapat Brakel bahwa terjemahan karya itu mungkin sekali dibuat pada akhir abad ke-14. Yang menarik, Hikayat Melayu telah melengkapi karya asli Parsi itu tidak hanya dengan sebuah kisah yang berisi pelbagai petualangan putra Amir Hamzah, Badi az-Zaman, yang juga diter- jemahkan dari bahasa Parsi, namun juga dengan sebuah kisah perjuangan Amir Ham- zah melawan Raja Lahad, seorang musuh

Islam yang terkutuk, yang jelas dikarang oleh seorang penulis Melayu (Van Ronkel 1895: 168-80). Maka jelas, sebagaimana Hikayat Muhammad Hanafiyah, sejak awal Hikayat Amir Hamzah ditambahi kisah-kisah Melayu.

Versi Melayu dari epik-epik Parsi itu menunjukkan bahwa, sesuai dengan ciri-ciri masing-masing bagian teks itu, para pener- jemahnya memilih salah satu dari dua strategi penerjemahan yang berbeda. Menurut penga- matan Brakel, strategi pertama, yang dite- rapkan pada bagian terbesar teks Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah dan Qissa-i Amir Hamzah, memiliki ciri

gaya narasi yang lancar, yang jarang mem- perlihatkan bahwa teks itu adalah hasil terjemahan… Dia (si penerjemah; V.B.) bu- kannya menaati aturan-aturan baku yang mungkin telah dibuat untuk menerjemahkan pola-pola tertentu, tetapi justru memeras intisari dari tiap-tiap situasi kebahasaan yang ada, kemudian menyesuaikan terjemahannya (Brakel 1975: 43, 109).

Di samping itu, terjemahan tersebut dengan patuh mengikuti urutan bagian-bagian teks pada kedua karya sumbernya.

Secara umum, “strategi penerjemahan wajar” (strategi idiomatik) itu didasarkan pada parafrase teks sumber kalimat demi kalimat (atau hampir demikian) dengan sedikit penam- bahan, pengurangan dan hiasan, dan hanya sedikit menampilkan jejak-jejak kosakata dan bentuk sintaksis teks sumber itu di sana-sini (untuk contoh yang dipetik dari Hikayat Amir Hamzah, lih. Lampiran 1). Secara kongkret, parafrase teks sumber berupa jenis-jenis saduran yang paling beraneka ragam, di antaranya yang paling jauh dari teks asli ialah pemaparan isi satu bab secara umum saja.

Sebaliknya, strategi kedua yang digu- nakan untuk menerjemahkan sisipan-sisipan sajak pada kedua karya Melayu tersebut, dan juga dipakai dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah untuk menerjemahkan beberapa bagian tentang agama dan hukum, tak lain

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 59-70)