• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERJEMAHAN DARI BAHASA URDU

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 119-155)

DALAM KESUSASTRAAN TRADISIONAL MELAYU

1

Vladimir Braginsky & Anna Suvorova

eskipun pada tahun 1960-an Bausani (1979: 46, 69) telah menulis tentang peranan penting dari kisah-kisah yang berasal dari kerajaan-kerajaan Dekan, baik puisi (mathnawi) maupun prosa (dastan), terhadap kemunculan hikayat petualangan fantastis dalam bahasa Melayu, namun hingga sekarang penelitian tentang keterkaitan antara kesusas- traan Melayu dan sastra-sastra India Islam jauh dari memuaskan. Dua artikel Van Ronkel (1910, 1912) mengenai unsur-unsur Hindustani dalam bahasa Melayu dan mengenai kisah Gul Bakawali ‘Bunga Mawar Bakawali’ yang diter- jemahkan dari bahasa Urdu ke bahasa Melayu dan kemudian dari bahasa Melayu ke bahasa Aceh; catatan-catatan Overbeck (1928, 1931) di samping ringkasannya dari Hikayat Ganja Mara dan Hikayat Sultan Bustaman; sejumlah catatan di sana sini dalam buku-buku tentang sejarah kesusastraan Melayu; kata pengantar oleh Siti Hawa Haji Saleh (1986: iii-xxxiv) pada edisi Hikayat Gul Bakawali; kata pengantar oleh Khalid Hussain (1992: xv-xxxi) pada edisi Syair Indra Sebaha; serta artikel Wieringa (1994) tentang kemungkinan cerita Dewi Maleka dalam bahasa Jawa berasal dari bahasa Urdu – itulah saja kiranya semua hasil penelitian yang kita miliki.

Sungguh disayangkan bahwa hingga se- karang belum ada upaya untuk membanding- kan terjemahan-terjemahan (atau lebih tepat saduran) Melayu dari karya sastra Urdu itu

dengan teks aslinya, untuk mempelajari keis- timewaan dan kedudukannya dalam kesusas- traan Melayu, serta apa yang menarik khalayak Melayu sehingga karya itu diterjemahkan. Seperti dahulu, sekarang pun para peneliti lebih suka mencari dalam tulisan-tulisan India sumber motif-motif India yang terdapat dalam berbagai hikayat Melayu, sembari mengelom- pokkan hikayat-hikayat Melayu yang mengan- dung motif-motif tersebut (termasuk saduran- saduran dari bahasa Urdu) ke dalam sebuah periode transisi antara budaya Hindu dan peradaban Islam yang didefinisikan secara sangat samar (lih. misalnya Siti Hawa 1986: vii). Padahal semua saduran itu baru muncul setelah tahun 1870-an, jauh sesudah periode “transisi” itu berakhir.

Tetapi lebih penting lagi, sintesis Hindu- Islam telah terbentuk dalam sastra-sastra Islam di India pada abad ke-16 (jika bukan sebelum- nya). Kalau mengingat fakta ini serta adanya hubungan yang telah lama terjalin antara India Islam dengan Alam Melayu, rasanya tidak ber- lebihan jika diasumsikan bahwa cukup banyak alur cerita dan konstelasi motif India diketahui oleh orang Melayu dalam bentuk sintesis seperti ini, sehingga merangsang timbulnya bentuk sintesis serupa dalam kesusastraan Melayu itu sendiri (lih. Braginsky 2004: 324-30). Akibat- nya alur-alur cerita dan motif-motif jenis itu seringkali harus dicari sumbernya dalam sastra- sastra Islam di India, bukan dalam sastra-sastra

M

Hindu (lih. artikel Braginsky tentang Hikayat Indraputra dalam buku ini).

Karya-karya dastan dan mathnawi yang disebut oleh Bausani itu dikarang baik dalam bahasa Urdu (Hindustani) maupun bahasa Parsi. Para peneliti kesusastraan Melayu selama ini lebih memperhatikan karya-karya Parsi. Akan tetapi, apakah hanya karya-karya sastra India berbahasa Parsi saja yang mempengaruhi kesusastraan Melayu lama? Bagaimanakah tepatnya bentuk pengaruh itu? Kelompok sosial mana memainkan peranan sebagai perantara sastra dalam proses ini, dan lewat jalur apa karya-karya tersebut mencapai Ranah Melayu? Dan terakhir tapi tidak kalah penting, bagaimanakah yang “asing” itu menjadi “asli”, atau dengan kata lain, bagaimanakah cerita- cerita Islam India “dipribumikan” di Ranah Melayu? Untuk semua pertanyaan ini kita tidak mempunyai jawaban, atau hanya jawaban yang sangat samar. Maka terlihat betapa berharga penelitian tentang keterkaitan antara sastra Urdu dan sastra Melayu di paruh kedua abad ke-19 (setidaknya sejauh ada dokumentasinya). Bahkan, seraya mengingat bahaya yang timbul kalau data-data tentang suatu fenomena dari suatu era tertentu dengan konteks historisnya yang khas diekstrapolasi pada fenomena dari era yang lebih awal, kita boleh berasumsi bahwa penelitian semacam ini dapat memberikan sorotan baru terhadap hakekat kontak-kontak antara Alam India dan Melayu jauh sebelum abad ke-19.

Pembahasan Karya-Karya Terjemahan (Saduran) dari Bahasa Urdu ke dalam Bahasa Melayu yang telah Diterbitkan Karya terjemahan, atau lebih tepat saduran, yang tertua dari kesusastraan Urdu adalah Hikayat Sultan Bustaman, yang dicetak dengan teknik litografi di Singapura pada tahun 1874 dan kemudian pada tahun 1895 dan 1900 di kota Penang2. Edisi-edisi Penang mengin- formasikan pembaca bahwa kisah tersebut, “yang aslinya [ditulis] dalam bahasa Hindustan (Hindustani = Urdu? pen.), telah disadur ke dalam bahasa Melayu oleh Saudagar Putih”3. Akan tetapi hingga kini sumber aslinya di India

belum diketahui.

Datuk Saudagar Putih Sya’ia bin Syaikh Umar Basir adalah tokoh luar biasa di pentas kesusastraan Melayu pada akhir abad ke-19. Pria muslim campuran India-Melayu (“Jawi Pekan, Jawi Peranakan”) itu bermukim di Penang dan merupakan “seorang pelopor besar yang telah berjasa dengan berbagai peranan: sebagai penerjemah, editor dan penerbit, sekaligus pengecer buku” (Proudfoot 1993: 47). Di samping Hikayat Sultan Bustaman, dia juga menerjemahkan Hikayat Ganja Mara dari bahasa Urdu, dan bersama penerbit yang paling produktif di Singapura, Haji Muham- mad Siraj b. Salih, dia berperan dalam pener- bitan Syair Indra Sebaha, yaitu saduran sebuah sandiwara berbahasa Urdu. Seperti halnya Siraj di Singapura, Saudagar (atau Haji) Putih adalah penerbit yang paling produktif di Penang, dan dia menerbitkan separuh dari semua buku yang diterbitkan di Penang antara tahun 1880-1910 (ibid.: 47). Kedua edisi Hikayat Sultan Bustaman di Penang menun- jukkan bahwa melalui perantaraan agen-agen dagangnya, karya ini (dan barangkali juga semua buku yang diterbitkannya) dijual di seluruh kawasan Semenanjung Melayu dan Sumatra: di Singapura dan Malaka, Johor dan Aceh, Deli dan Langkat, Palembang dan Padang-Pariaman, dan bahkan di kota Batavia di Pulau Jawa (ibid.: 187-8). Yang menarik, edisi pertama hikayat tersebut, yaitu edisi Singapura, selain terbit sebelum Saudagar Putih menjalani periodenya yang paling aktif sebagai penerbit, ternyata juga tidak mencan- tumkan namanya, hal mana kiranya mem- buktikan bahwa dia menulis hikayat itu seba- gai penulis muda yang tengah mengawali karirnya.

Berikut adalah ringkasan singkat hikayat tersebut:

Di sebuah negeri yang besar, Sematrani, bertakhtalah Sultan Yahya. Tak jauh dari negeri Sematrani ada sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan Damsyik, yang rajanya mempunyai dua putra, yakni Amir Sejaa dan Amir Ismail. Setelah dinobatkan sebagai raja, Amir Ismail, atas desakan ibundanya, meram- pas harta warisan Amir Sejaa. Amir Sejaa dan

istrinya menyingkir ke dalam hutan, dan di sana lahirlah putri mereka, Siti Selamih (Salmiah?). Sultan Yahya lama berburu di hutan. Sang ratu mengutus saudara laki- lakinya membawa tiga ekor gajah untuk mengirimkan makanan bagi Sultan Yahya. Salah seekor gajah itu mati di perjalanan, dan saudara sang ratu, Amir Bahud, yang ketika itu sampai di gubuk Amir Sejaa, dengan tanpa belas kasihan memaksa Amir Sejaa bersama istrinya memikul beban muatan gajah yang mati tersebut. Tinggallah Selamih sendirian di gubuk itu. Seorang budak sultan menemu- kannya, dan setelah beberapa lama, sang sultan yang jatuh cinta kepada Selamih menikahinya. Selamih pun mengandung. Istri Sultan menjadi cemburu dan mengatur siasat jahat terhadap istri muda sultan itu. Dengan dibantu dayang-dayangnya dia menjual Sela- mih kepada seseorang bernama Kakaduni, yang membawanya pergi naik kapal. Kepada sultan dia berdusta bahwa Selamih telah hilang. Semua pencarian sia-sia. Dikarenakan keberadaan Selamih yang tengah mengan- dung, perjalanan kapal itu ditimpa kesialan, dan nakhoda kapal memutuskan untuk menu- runkan Selamih. Setelah melalui berbagai cobaan berat, sampailah Selamih di sebuah kerajaan jin, yang dikuasai jin Thelahut dan ratunya, Nilawati. Di negeri itu Selamih tinggal di rumah seorang pertapa bernama Sufian, dan di sanalah dia melahirkan putranya yang diberi nama Bustaman. Pada saat yang sama kedua orang tua Selamih pun sedang mencarinya. Tak lama kemudian Selamih diculik lagi. Sufian membesarkan Bustaman dengan dibantu oleh para peri di negeri jin itu, dan Bustaman waktu sudah besar memutuskan untuk mencari ibu, ayah dan kakek-neneknya. Maka terjadilah serangkaian peperangan dan petualangan asmara, penderitaan dan pengembaraan baru sementara para tokoh itu saling mencari satu sama lain, yang kisahnya menghabiskan beratus-ratus halaman. Topik-topik tentang bertobatnya orang kafir masuk agama Islam juga memiliki peranan penting dalam narasi ini. Di akhir cerita Bustaman berhasil menemukan kedua orang tuanya dan naik takhta dengan gelar Sultan Tahtayamin (lih. Overbeck 1931).

Overbeck mengutip beberapa argumen tam- bahan yang mendukung pendapat bahwa

hikayat itu berasal dari India, terutama ung- kapan rasa hormat yang dalam oleh pengarang kepada “baginda raja Gujarat […] yang mung- kin menunjukkan bahwa kisah tersebut berasal dari Gujarat atau daerah sekitarnya” (ibid.: 36). Dia juga menyebut indahnya cerita hikayat itu, dan dengan mengutip Winstedt, dia mela- porkan bahwa orang Melayu sangat meng- hormati kisah tersebut dan membaca mantra- mantra khusus sebelum membuka buku itu, yang rupanya berkaitan dengan aspek-aspek Islami yang terkandung di dalamnya.

Selain edisi-edisi litografi, ada beberapa naskah Hikayat Sultan Bustaman yang ter- simpan di Jakarta dan Cambridge. Naskah yang tertua berasal dari tahun 1874, seperti halnya edisi litografi yang pertama4. Di samping itu, sebelum tahun 1892 kisah Bustaman itu disusun lagi dalam bentuk sebuah syair Aceh dengan judul Hikayat Sulutan Béseutaman (lih. Snouck Hurgronje 1906: 153-5), sambil dising- katkan dan diubah baik alur cerita maupun nama tokoh-tokohnya (versi bahasa Aceh itu hanya 100 halaman sedangkan hikayat asli Melayu setebal 500-600 halaman). Overbeck (1931: 35) memandang adaptasi ini sebagai “sebuah versi ‘penglipur lara’ dari teks aslinya”5.

Pada tahun 1886 di Penang Datuk Sau- dagar Putih menerbitkan adaptasi kedua dari sebuah karya sastra Urdu, yakni Hikayat Ganja Mara6. Prototipe India dari hikayat tersebut, yang hingga kini belum diketahui, jelas sebuah drama Urdu, yang berjudul Jahanbakhsh-o- Gulrukhsar (Jahanbakhsh dan Gulrukhsar) karya Kaykhosrov Kabraji, salah seorang dramawan perintis dalam dunia teater Parsi (lih. Nami 1970, 1: 236 dan Lampiran 1). Kabraji, seorang Parsi, menulis teks drama dalam bahasa Gujarat untuk dua rombongan teater (Elphinstone dan Victoria Dramatic Companies) yang didirikan pada tahun 1853, dan menggelar pertunjukan berkeliling kawasan Singapura pada tahun 1870-an hingga 1880-an (lih. Lampiran 2). Dia dikenal sebagai penulis teks-teks drama asli (seperti Jahanbakhsh-o Gulrukhsar) dan beberapa adaptasi karya Shakespeare, yang kemudian (setelah tahun 1864) juga diterjemahkan ke dalam bahasa

Urdu. Ringkasnya, alur cerita dari kedua karya itu, yakni Jahanbakhsh-o Gulrukhsar dan Hikayat Ganja Mara, adalah sebagai berikut:

Istri seorang wazir yang jahat dan licik ingin agar hanya putranya saja bisa naik takhta, maka dengan sengaja dia menukar putra raja yang baru saja lahir (dia bernama Jahanbakhsh dalam sandiwara, dan Keta Buana, alias Ganja Mara dalam Hikayat) dengan putranya sendiri. Kemudian, putra raja itu diterlantarkan di sebuah pulau yang jauh, di mana dia dibesarkan oleh raja jin. Setelah lama mencari sang putra, gadis tunangannya menemukan Jahanbakhsh (Ganja Mara) di pulau itu. Tokoh itu berhasil membuktikan bahwa dialah keturunan raja yang asli dan akhirnya berhasil naik takhta menjadi raja hampir seluruh dunia, sesuai dengan ramalan yang didengar orang tuanya beberapa saat setelah kelahirannya. Selain alur cerita utamanya, hikayatitu juga menunjukkan kesamaan dengan drama dalam bahasa Urdu pada sejumlah besar epidose dan motif tertentu. Di antaranya adalah motif ciri-ciri khusus pewaris takhta kerajaan yang ada di kening sang putra raja dan sebuah cincin mulia yang menjadi tanda pengenalnya, yang memainkan peranan yang sangat penting (lih. Lampiran 1).

Pada saat yang sama, nama-nama tempat dan tokoh drama Urdu itu telah diubah dalam versi hikayat, dan sebagaimana dengan Hikayat Sultan Bustaman, beberapa episode pepe- rangan sengit serta deskripsi yang panjang tentang pengembaraan di negeri-negeri ajaib dan kisah-kisah masuk Islam para kafir penyembah berhala, yang dalam drama Urdu sangat kecil porsinya, dimasukkan ke dalam teks hikayat. Hikayat itu juga menampilkan tokoh-tokoh baru. Di samping itu, “ramalan- ramalan dan petunjuk-petunjuk rahasia” tokoh sufi Malim Dewana memainkan peranan penting dalam narasi tersebut. Seorang haji tua yang menjual litografi hikayat tersebut kepada Overbeck menarik perhatiannya pada hal ini (Overbeck 1928: 45).

Hikayat Ganja Mara mirip dengan Hikayat Sultan Bustaman bukan hanya pada gaya dan sebagian isinya, namun juga pada nasib literernya. Seperti halnya Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Ganja Mara mengalami cetak litograf beberapa kali, diedarkan oleh

jaringan agen dan toko buku yang sangat besar, lalu kembali lagi ke dalam tradisi naskah, setelah diterjemahkan (lebih tepat diadaptasi) ke dalam bahasa Aceh7.

Pada tahun 1875, setahun setelah terbit- nya Hikayat Sultan Bustaman, terbit Hikayat Gul Bakawali oleh Muhammad Ali bin Ghulam Husain al-Hindi, yaitu terjemahan salah satu dastan Urdu yang paling terkenal.

Alur cerita asli India tentang bunga ma- war peri Bakawali yang dapat menyembuhkan kebutaan pertama kali ditulis sebagai sebuah mathnawi anonim dalam bahasa Dakhni (Urdu selatan) pada tahun 1625. Kemudian karya itu, juga dalam bentuk mathnawi, diterjemahkan ke bahasa Parsi oleh Izzatulah Bangali (1710) dan Farhat (1760). Versi puitis Izzatulah Bangali itu menjadi dasar penulisan dastan prosa dalam bahasa Urdu yang berjudul Mazhab-e ‘Isq, urf Gul-e Bakawali ‘Agama Cinta, atau Mawar Bakawali’, yang ditulis oleh Nihal Chand Lahori dan diterbitkan di Fort William College (Calcutta) pada tahun 1804 (Gooli 1804)8. Pada gilirannya, dastan karya Nihal Chand itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Bengali, Punjabi, Sindhi, Gujarati dan bahasa- bahasa India lainnya, serta juga ke dalam bahasa Melayu.

Karya tersebut menceritakan kisah Taj al- Muluk, putra Raja Firoz-shah, yang berpetu- alang mencari bunga mawar milik Bakawali, seorang putri peri, yang merupakan satu- satunya obat untuk memulihkan penglihatan ayahandanya. Dia berhasil mencuri bunga itu, namun manakala dilihatnya putri Bakawali tengah tertidur lelap di taman terlarang, dia jatuh hati kepada putri itu, dan menukar cincin si putri dengan cincinnya. Taj al-Muluk pulang ke istananya membawa mawar ajaib itu, dan putri Bakawali yang juga jatuh cinta padanya, meninggalkan istananya untuk mencari sang kekasih. Setelah melewati berbagai rintangan dan cobaan berat di tengah-tengah hutan rimba yang angker, berulang kali bertemu dan terpisah lagi, akhirnya keduanya menikah dengan penuh kebahagiaan. Akan tetapi, Raja Indra, sang penguasa kayangan, yang meng- undang putri Bakawali untuk menari di acara jamuan musiknya, sangat murka melihat putri peri yang berasal dari kayangan itu

mencintai seorang manusia biasa, kemudian mengutuk Bakawali sehingga bagian bawah tubuhnya berubah menjadi batu, dan kemu- dian mengasingkannya ke sebuah kuil. Pada saat yang bersamaan Putri Chitrawat dari Sarandip jatuh hati kepada Taj al-Muluk. Karena terharu dengan cinta kasih Taj al- Muluk kepada Bakawali, Chitrawat memu- tuskan untuk menolong Bakawali dan menghancurkan kuil tersebut. Seperti telah ditakdirkan oleh Indra, putri Bakawali ter- bakar menjadi abu, dan dia terlahir kembali sebagai anak sepasang petani miskin. Bebe- rapa tahun kemudian setelah Bakawali hidup dalam kehinaan, masa kutukan Raja Indra pun berakhir, dan dia kembali menyatu dengan Taj al-Muluk, kini untuk selama- lamanya. Kisah yang setara dengan alur utama ini adalah kisah cinta sahabat Taj al- Muluk, Bahram, yang jatuh cinta kepada seorang peri bernama Ruhafza.

Munsyi Syaikh Muhammad Ali bin Ghulam Husain al-Hindi, kalau dilihat dari nisba-nya, tentu juga berasal dari India (India muslim atau campuran India-Melayu), sementara awalan munshi menunjukkan dia seorang juru tulis profesional dan sastrawan. Ini semakin dipertegas oleh karya-karya terjemahannya dari bahasa Urdu, yakni ceritera Gul Bakawali dan Laili Majnun. Za’ba, seorang pakar kesusastraan Melayu terkenal yang sangat menghargai bakatnya di bidang sastra, menulis sebagai berikut tentang dirinya:

Namanya […] menunjukkan dia bukan orang Melayu. Namun dia tentu tumbuh besar dan akrab dengan para pujangga Melayu dan sastra Melayu sehingga dia sangat menguasai gaya sastra (Melayu) klasik […]. Karya adaptasi [Gul Bakawali yang ditulisnya] begitu bersahaja dan spontan, syair dan pantun yang dituang- kannya [dalam teks itu] begitu mempesona dan kaya dengan tamsil puitis, dan ceriteranya sendiri begitu mirip dengan kisah cinta klasik, sehingga buku itu dalam sekejap disukai para pembaca Melayu dan kini juga menjadi sebuah karya klasik. Beberapa syair dalam buku itu banyak dikutip dan kemungkinan akan menjadi kata-kata mutiara. (Za’ba 1939: 144).

Munsyi Syaikh Muhammad Ali tak hanya menerjemahkan karya-karya sastra indah

(belles lettres). Namanya pun dikait-kaitkan dengan koran-koran mingguan Indo-Melayu pertama pada masa itu, yakni Jawi Peranakan (1876-1896) dan Sekola Melayu (1888-1890) (Proudfoot 1993: 580)9, yang menyediakan banyak tempat bagi berita-berita sastra dan teater. Tambahan pula, bersama dengan kepo- nakan dan menantunya Sayid Mahmud bin Sayid Abdul Kadir al-Hindi (1865-1913), dia mengedit koran Taman Pengetahuan yang “sangat populer di Malaysia selama masa singkat terbitnya” (Za’ba 1939: 145). Selain itu dia juga menerjemahkan teks-teks agama dari bahasa Arab10 dan pada tahun 1893 berencana akan menerbitkan Nahu dan Kamus Melayu (Tata Bahasa dan Kamus Bahasa Melayu) (Proudfoot 1993: 300), sebuah proyek yang, entah mengapa, justru dilaksanakan oleh Sayid Mahmud pada tahun 1894 dengan judul Kamus Mahmudiyah. Za’ba menilai kamus Melayu ini sebagai “upaya pertama yang berhasil ditun- taskan dalam bidang ini […] yang unik dalam sejarah leksikografi Melayu” (Za’ba 1939: 145).

Hikayat Gul Bakawali diterbitkan empat kali11, yang membuktikan popularitasnya, dan juga dapat ditemukan dalam bentuk naskah berbahasa Melayu dan Aceh, diterjemahkan ke dalam bahasa Aceh dengan judul Hikayat Putroe Baka’uli, pada tahun 1882, hanya berselang dua tahun setelah penerbitan per- dananya12.

Pada tahun 1888, penerbit Sekola Melayu menawarkan kepada para pembaca terjemahan Syaikh Muhammad Ali yang kedua dari bahasa Urdu, yakni satu versi ceritera Laila Majnun. Legenda tentang rasa cinta tragis dari penyair Arab Qays, yang dijuluki Majnun (Si Gila), terhadap Laila, gadis yang tak mungkin dimi- likinya, sudah termasyhur dalam berbagai interpretasinya oleh beberapa penyair Persia, Turki dan India, terutama karya-karya besar Nizami dan Amir Khusraw Dihlawi. Di samping itu, karya puisi tersebut juga diadaptasi menjadi sebuah sandiwara yang sangat populer ketika itu. Versi drama inilah yang diterjemahkan oleh Syaikh Muhammad Ali. Karya itu muncul dalam bentuk buku kecil setebal 57 halaman yang dihiasi 16 halaman ilustrasi (Proudfoot

1993: 318). Seperti karya-karya lain di atas, Laila Majnun juga diterjemahkan dalam bahasa Aceh, dengan judul Hikayat Loyla Majeunun (atau Majeunun Diwana) (Voor- hoeve 1994: 128)13.

Pada tahun 1889 muncul Syair Indra Sebaha yang dikarang oleh seseorang bernama Muhammad Hasan bin Nasrudin. Syair ter- sebut, yang merupakan hasil perombakan sandiwara Urdu Indar Sabha (“Istana Raja Indra”), diterbitkan secara bersama-sama oleh penerbit Singapura, Haji Muhammad Siraj, dan penerbit Penang, Haji Putih (= Datuk Sau- dagar Putih). Syair ini juga termasuk terje- mahan-terjemahan karya Urdu dalam bahasa Melayu yang paling populer. Antara tahun 1889 hingga 1901 syair tersebut diterbitkan empat kali14.

Menurut catatan jitu oleh A.T. Gallop (1990: 108), gambar-gambar ilustrasi pada edisi kedua syair tersebut membuktikan ada- nya kaitan dengan karya Indar Sabha edisi litografi Bombay (tidak bertanggal), yang salinan faksilimenya terdapat dalam lampiran buku oleh Rosen yang berisi kajian dan ter- jemahan Jerman drama tersebut (Rosen 1892). Oleh sebab itu, sulit ditepis kemungkinan bahwa drama edisi Bombay inilah yang menjadi dasar syair Muhammad Hasan, yang mungkin juga seorang Jawi Peranakan namun tak diketahui jati dirinya.

Indar Sabha, yang dianggap sandiwara pertama dalam bahasa Urdu dan tak diragukan lagi merupakan sandiwara yang paling populer dalam bahasa itu, ditulis pada tahun 1851 oleh penyair asal Lucknow, Sayid Agha Hasan Musawi, yang dijuluki Amanat (1816-1859)15. Drama ini dipentaskan untuk pertama kali di kota Lucknow tahun 1853 dan diterbitkan beserta komentar Amanat tahun 1854. Sejak itu teks drama tersebut telah belasan kali dicetak ulang dengan teknik litografi, diterje- mahkan ke dalam banyak bahasa India, dan dipentaskan di Nepal, Burma, Sri Lanka dan di Ranah Melayu16. Drama tersebut menjadi dasar sebuah genre teater baru (sabha or indarsabha) dan disusul oleh sejumlah karya buah tangan para penerus dan peniru Amanat, mulai dengan sebuah sandiwara karya Mada-

rilal dengan judul yang sama (lih. Rosen 1892: 19-21; Suvorova 1985: 44-5).

Menurut sebuah kisah yang tersebar luas (mungkin legendaris), sandiwara itu dipesan oleh nawab Awadh, Wajid Ali Shah, seorang patron seni tari, seni suara dan sandiwara, sekaligus seorang penyair17, sebagai tiruan opera Prancis, dan dipentaskan di istananya (Nur Ilahi dan Muhammad ‘Umar 1982: 154). Kadang-kadang ditambahkan pula bahwa nawab itu sendiri tampil memainkan peranan Indar (Raja Indra) (Suvurova 1985: 35; Hansen 1998: 5). Hal ini bertentangan dengan komen-

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 119-155)