• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN Daftar koleksi naskah milik St Martin, yang

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 102-108)

Syair XIX 3 Minuman ini bukannya cahaya

KESIMPULAN Daftar koleksi naskah milik St Martin, yang

dikumpulkannya antara tahun 1672 dan 1696 di Batavia dan Banten, dan yang berkali-kali disebutkan dalam artikel ini, sepertinya merangkum hasil-hasil yang dicapai pada periode penerjemahan karya sastra dari bahasa Parsi ke bahasa Melayu.

Di satu pihak, koleksi naskah St. Martin itu (De Haan 1900: 298-303) berisi sebagian besar karya yang telah disebutkan di atas, yang diterjemahkan dari bahasa Parsi. Di antaranya dapat kita temukan epik-epik kepahlawanan Hikayat Muhammad Hanafiyah dan Hikayat Amir Hamzah beserta kisah lanjutannya, Hikayat Badi az-Zaman dan hampir semua buku “Cerita-cerita Parsi” (kecuali Hikayat Bayan Budiman), yaitu “Hikayat Raja Parsi Asbah” (maksudnya Hikayat Bakhtiar), Hikayat Kalila dan Damina dan Taj as-Salatin. Di samping karya-karya itu, dalam daftar naskah St. Martin juga terdapat Mantiq al-tayr berbahasa Melayu yang sangat membingungkan, Hikayat Aceh yang berpola India-Parsi, Hikayat Indraputra yang dapat ditelusuri prototipe Parsinya78, dan Hikayat Isma Yatim yang mungkin juga terkait dengan karya-karya sastra Parsi atau India-Parsi, karena ia terbagi ke dalam beberapa bab berisi judul-judul deskriptif dan berisi sejumlah bait berbahasa Parsi.

Mengingat bahwa kebanyakan naskah dari koleksi tersebut rupanya sudah disalin beberapa lama sebelum diperoleh oleh St. Martin, dapat kita asumsikan bahwa koleksi tersebut secara cukup akurat mencerminkan kedudukan penting karya-karya terjemahan sastra Parsi di tengah kesusastraan Melayu sekitar pertengahan abad ke-17. Bahwa sejumlah naskah yang mengan- dung terjemahan dan karya yang terkait dengan terjemahan diperoleh di wilayah Banten tidaklah terlalu mengejutkan. Seperti sudah diketahui, pada abad ke-16 dan ke-17 kesultanan Banten menjalin hubungan ekonomi, diplomatik (Guillot dkk. 1990: 37) dan keagamaan79 dengan

kesultanan Pasai dan Aceh, yang merupakan pusat-pusat terpenting kegiatan penerjemahan karya-karya sastra Parsi. Selain itu, karena hampir seluruh khazanah terjemahan dari bahasa Parsi ke dalam bahasa Melayu serta karya-karya Melayu utama yang diilhami oleh sastra Parsi dapat ditemukan di Banten, di luar batas alam Melayu itu sendiri, tidak boleh diragukan bahwa karya-karya itu pasti sangat populer dan tersebar luas80.

Selain bermacam-macam kitab (agama, hukum, terasul dan sebagainya), koleksi naskah St. Martin juga berisi dua puluh satu naskah lain, yang karena kekurangan istilah yang lebih tepat, kita sebut saja karya susastra (belles lettres). Dua belas gubahan susastra itu adalah terjemahan dari bahasa Parsi dan karya lain yang terkait. Sedangkan di antara yang lainnya, empat ditelusuri ke sastra Jawa, dua berasal dari sastra Arab, satu adalah karya asli Melayu (Hikayat Pelanduk Jinaka) dan satu lagi tidak jelas asal- usulnya.

Walaupun angka perbandingan di atas (12 karya yang ditelusuri ke sastra Parsi, 9 karya yang berasal dari sastra-sastra lain) tidak dapat menggambarkan secara tepat susunan susastra Melayu di sekitar tahun 1650-an, namun angka ini sungguh-sungguh mengagumkan. Dan seperti telah kita ketahui, karya-karya yang diterje- mahkan dari bahasa Parsi ataupun diilhami oleh gubahan sastra Parsi sangat mendorong penciptaan karya-karya asli Melayu oleh para sastrawan pribumi. Tentu saja karya-karya sastra Parsi mampu memberikan dorongan itu, sekaligus menjadi sumber “bahan bangunan” untuk membangun karya-karya asli Melayu di masa kemudian, hanya setelah mereka mem- peroleh kerangka bahasa yang baru melalui berbagai strategi penerjemahan dan memasuki interteks sastra Melayu sebagai bagiannya yang tak terpisahkan. Tabel di bawah ini merangkum strategi-strategi penerjemahan itu.

TABEL81

Teks Sumber Teks Sasaran

Strategi Penerjemahan

Reproduksi (Peniruan) dari terjemahan (idiomatik [wajar] Gaya / tidak idiomatik [kaku])

Perubahan, berupa penambahan, penghapusan dan pemindahan Makna harfiah dan sintaksis kalimat Makna lewat kombinasi terjemah-

an, parafrase dan penuturan ulang Urutan bagian- bagian teks (asli/ berbeda) Pola-pola struktur dan unsur-unsur utama (besar/kecil) H. Muhammad-i Hanafiyah

a) Cerita H. Muhammad Hanafiyah 0 + + + + –

b) Sajak + 0 + + – 0

Qissa-i Amir Hamzah

a) Cerita H. Amir Hamzah 0 + + + + –

b) Sajak + 0 + + – 0

Tuti-nama H. Bayan Budiman + + + + + Bakhtiyar-nama H. Bakhtiar 0 + + + + –

Kalila wa- Dimna H. Kalila dan Damina 0 + + + + + – Nasihat al-Muluk Taj as-Salatin 0 + – + + – +

Hazar ma-sa'il K. Seribu Masa’il 0 + + + + – – Malfuzat-i Timuri H. Aceh 0 0 0 + 0 0

Puisi-puisi dari

Lama‘t, Lava‘ih, dsb.

Puisi-puisi sisipan dalam

karya prosa Hamzah + 0 + + – –

Puisi-puisi Sa’di, Rumi, dsb. Antologi puisi-puisi mistik + 0 + +

Buku tata- bahasa Arab dalam bahasa Parsi

Terjemahan antar barisnya + 0 + +

Buku pelajaran menulis surat dalam bahasa Parsi

Kitab tarasul dari

Tabel ini menunjukkan bahwa strategi-strategi penerjemahan tersebut sangat beragam dan membentuk semacam kesinambungan (continu- um). Pada satu ujung kesinambungan ini kita menemukan reproduksi (peniruan) kaku semua ciri teks sumber, baik arti harafiah maupun sintaksisnya (demikianlah terjemahan sajak- sajak dan sejumlah bagian teks Kitab Seribu Masa’il). Reproduksi yang kaku dan tidak idiomatik itu disusul oleh reproduksi yang wajar dan idiomatik dari teks sumber, yang merupakan kombinasi terjemahan yang akurat, parafrase kalimat demi kalimat dan penuturan ulang bagian-bagian teks yang tertentu; proporsi setiap jenis reproduksi tersebut berbeda dalam masing- masing karya sasaran (mis. epik-epik kepah- lawanan, hikayat berbingkai). Pada ujung lain dari kesinambungan itu kita dapati perombakan total terhadap teks sumber dalam proses ter- jemahan-adaptasi, dengan sejumlah perubahan pada urutan bagian-bagian teks atau bahkan seluruh bab-babnya dalam teks sasaran (demikianlah terjemahan Nasihat al-muluk yang diubah menjadi Taj as-Salatin). Akhirnya kita jumpai hanya reproduksi pola-pola (patterns) umum dari struktur teks sumber dan unsur- unsur atau motif-motifnya yang utama dalam teks sasaran; pada dasarnya reproduksi semacam ini (yang ditemukan dalam Hikayat Aceh) tak lain dari peniruan (imitasi) teks sumber.

Prosa naratif Parsi memiliki pengaruh terbesar atas kesusastraan Melayu. Versi-versi populer karya Parsi yang memadukan prinsip- prinsip sastra lisan dan sastra tulis dengan mudah ditirukan oleh para sastrawan Melayu pada awal era Islam, ketika untuk pertama kalinya mereka mengenal karya-karya Parsi itu. Unsur-unsur sastra Parsi seperti plot-plot dan bahkan cerita-cerita yang lengkap, motif-motif narasinya dan konstelasi motif itu, penggam- baran-penggambaran yang berupa klise des- kriptif dan pola-pola strukturalnya – semua itu menembus ke dalam interteks sastra Melayu. Dan setelah mengubah eksistensi “sintagmatik”- nya menjadi eksistensi “paradigmatik” dalam bentuk “kutipan-kutipan”, semua unsur tersebut digunakan oleh para sastrawan Melayu untuk menyusun karya-karya sastra baru dalam bahasa

mereka sendiri. Piranti-piranti sastra lisan Melayu (lih. Sweeney 1972: 49-54) diterapkan pada “kutipan-kutipan” Parsi itu. Di antara piranti-piranti yang dimaksud itu adalah variasi, inversi, dan rekombinasi motif dalam plot-plot cerita baku; penyisipan “quanta” naratif dari karya-karya lain ke dalam plot itu, yang sesekali berakhir dengan membaurnya “quanta” asli dengan quanta serapan; peralihan deskripsi dan topoi dari satu karya ke dalam karya lainnya, dan sebagainya. Dengan demikian piranti-piranti itu memungkinkan para penulis Melayu menulis banyak sekali karya sastra baru berdasarkan seperangkat komponen yang relatif terbatas.

Sejumlah karya sastra Melayu yang didasarkan pada “cerita-cerita Parsi” itu menun- jukkan bagaimana cara “kerja” piranti-piranti itu ketika diterapkan pada “quanta” naratif yang cukup panjang. Contohnya dapat dilihat pada berbagai kitab bunga rampai yang mengandung beberapa “cerita Parsi” yang lepas dari cerita bingkainya; dalam Hikayat Bakhtiar semu yang sebaliknya hanya menggunakan cerita bingkai Parsi, cerita bingkai itu bahkan diisi dengan banyak variasi; dalam Hikayat Syah Mardan dan Hikayat Maharaja Ali, yang pertama di antaranya ditulis berdasarkan kisah dari Hikayat Bayan Budiman yang disisipi ringkasan cerita lain dari hikayat yang sama, sedangkan dalam yang kedua banyak “dikutip” bagian-bagian teks yang panjang dari Hikayat Bakhtiar dan Hikayat Bayan Budiman, namun bagian itu dirombak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud yang dikehendaki penulisnya. Penerapan piranti-piranti yang disebut di atas pada berbagai-bagai motif narasi dan klise des- kriptif, misalnya yang dipinjam dari Hikayat Amir Hamzah, dapat dilihat pada Hikayat Indraputra (lih. artikel yang bersangkutan dalam buku ini). Persis luasnya dan intensifnya pemakaian “kutipan-kutipan” karya Parsi, yang telah mengakar kuat dalam interteks sastra naratif Melayu, yang sampai tingkat tertentu menjelaskan kuatnya pengaruh kesusastraan Parsi terhadap kesusastraan Melayu, yang tidak sebanding dengan kecilnya jumlah karya sastra Parsi yang dikenal orang Melayu. Meskipun demikian, ketika membahas piranti-piranti sastra lisan yang mendukung pemakaian intensif

karya-karya sastra Parsi yang diterjemahkan, janganlah kita lupa bahwa piranti-piranti yang serupa juga digunakan dalam karya-karya sastra tradisional yang tertulis, dan bahwa terjemahan cerita-cerita Parsi itu pada umumnya lebih mengingatkan karya-karya sastra tertulis ketimbang sastra lisan, atau berada di tengah- tengah dua jenis sastra itu.

Berbeda dengan prosa naratif Melayu (dan sastra-sastra dalam bahasa lokal dari India-Parsi dan Turki), puisi Parsi dengan bentuk sajaknya yang beraneka-ragam dan kombinasi berbagai figura bahasa puitiknya yang canggih tidak terlalu disukai dalam tradisi kesusastraan Melayu. Hanya penulis Taj as-Salatin saja – kemungkinan besar orang asing – yang dengan gabas mencoba menirukan bentuk-bentuk dan gaya puisi Parsi. Namun demikian, syair-syair yang diciptakan Hamzah Fansuri tidak bebas dari pengaruh Parsi. Selanjutnya syair itu menjadi genre utama dalam puisi tertulis Melayu, dan citraan Parsi yang begitu banyak terdapat dalam syair-syair Hamzah Fansuri, melalui perantaraanya, juga merasuk ke dalam sastra Sufi dalam bentuk puisi dan prosa berirama yang berasal dari Sumatra. Bagai- manapun juga, kebanyakan karya Sufi itu terutama mengandung citraan laut, perahu dan burung ajaib yang – walaupun bergema dengan syair Sufi Parsi, terutama Mantiq al-tayr – ternyata juga dapat ditelusuri asal-usulnya pada tradisi sastra Melayu pra-Islam.

Yang menarik, kebanyakan karya Parsi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu itu juga populer di kawasan India-Parsi, terutama di kekaisaran Mogul, antara akhir abad ke-16 dan akhir abad ke-17. Epik kepahlawanan tentang Amir Hamzah sangat dikenal dan disukai semasa pemerintahan kaisar-kaisar Mogul Humayun (1530-56), terutama Akbar (1556-1605) (Lang & Meredith-Owens 1959: 473). Pada akhir abad ke- 16 dan awal abad ke-17, atas perintah kaisar Akbar, Abu’l-Fazl menulis versi-versi baru dari Tuti-nama dan Kalila wa-Dimna. Kira-kira pada masa yang sama versi populer Bakhtiar-nama, yakni persis versi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, sudah dikenal di wilayah kekaisaran Mogul. Taj as-Salatin bahkan dapat disejajarkan dengan “cerita petuah” yang ditulis bagi kaisar Mogul, Jahangir (1605-27) (Alvi 1989: 10-11, 29-34). Malfuzat-i Timuri, yang mungkin merupakan prototipe untuk Hikayat Aceh, ditulis selama pemerintahan Shah Jahan (1628-58). Putra Shah Jahan, Muhammad Dara Shukuh Qadiri, menulis sebuah versi lain untuk Tuti-nama. Akhirnya prototipe Kitab Seribu Masa'il dapat ditelusuri asal usulnya pada naskah Golkonda (tahun 1615), dan pada tahun 1680, juga di Golkonda, ditulis dua masnavi (meskipun dalam bahasa Dakhni, bukan Parsi) yang mengisahkan Muhammad Hanif, yakni Muhammad Hanafiyah, dan pertarungannya melawan Yazid (Sherwani 1974: 612-130).

Persamaan-persamaan antara kesusasteraan India-Parsi dan alam Melayu ini cukup berkesan dan tidak dapat tidak menarik perhatian.

Lampiran 1

Perbandingan adegan pertemuan antara Buzurjmirh dan wazir yang membunuh ayahnya dalam Qissa-i Amir Hamzah (Parsi) dan Hikayat Amir Hamzah (Melayu)

_________________________ Qissa-i Amir Hamzah

(Van Ronkel 1895: 101, 103)

Hikayat Amir Hamzah (Samad 1987: 11-13)

Ibunya (yakni ibu Buzurjmihr; V.B.) pernah berkata, “Wahai anakku, aku

Pada suatu hari berkatalah Ibu Khoja Buzurjumhur Hakim83 kepada anaknya, “Aku ini ingin hendak

ingin sayur-sayuran hijau, bawakanlah untukku, hai anakku”. Mendengar perintah ibunya, khaja (bangsawan; V.B.) itu segera bangkit dan melangkah menuju ke taman milik wazir Arqash. Sesampai di pintu gerbang taman itu, segara mengetuk-ngetuk pintunya.

[Saat] khaja itu mengetuk pintu,

datanglah juru taman dan dia melihat seorang pemuda yang begitu elok rupanya sampai bunga-bunga di jambangan pudar karena kagum akan keelokannya. [Juru taman] itu bertanya, “Hai orang muda, apa yang kau inginkan?” Khaja Buzurjmihr berujar, “Aku ingin membeli seikat sayur hijau dari tamanmu dengan harga satu

chital”82. Sahut si juru taman itu, “Hai

orang muda, dengan sukacita kuterima satu chitalmu itu. Masuklah ke taman, agar aku dapat menunjukkan keramahan dan melayani-mu”.

makan sayur yang ada di taman Alkis Menteri84,

karena aku dengar ada banyak sayurnya di sana”. Maka Khoja Buzurjumhur Hakim pun pergilah ke taman Alkis Menteri itu. Setelah sampai, ia pun bersiar-siar di keliling taman itu, lalu ia pergi ke pintu taman itu; maka pintu taman itu pun digoncangnya. Apabila didengar oleh zanggi yang menunggu pintu taman itu ada orang di luar pintu, ia pun segera membuka pintu itu dan melihat ke luar; dilihatnya seorang muda belia berdiri di muka taman itu, terlalu elok rupa dan sikapnya; cahaya mukanya pun terlalulah bersihnya. Maka segala bunga dalam taman itu pun seolah-olah pudar warnanya oleh cahaya muka orang muda itu. Maka zanggi penunggu pintu taman itu pun bertanya, “Hei orang muda, apa kehendakmu datang ke mari ini?” Ujar Khoja Buzurjumhur Hakim, “Aku datang ini hendak mengambil sayur”. Maka kata zanggi itu, “Daripada kasihan hatiku kepada engkau, ambillah olehmu sayur itu, marilah ke dalam taman ini”.

Dan masuklah Khaja Buzurjmihr ke

dalam taman itu. Adapun wazir Arqash, dia memiliki mahligai yang dibangun bagi dia [di tengah-tengah taman itu], dan dia bersuka-sukaan di mahligai itu siang malam. Ketika khaja dan si juru taman memasuki taman, wazir Arqash melemparkan pandangan padanya. Sesaat dia kagum pada wajah pemuda itu, namun tak berkata satu kata pun. Kemudian juru taman itu memper- silakan khaja itu duduk, lalu dia pergi memetik sayuran. Khaja itu memandang ke sekelikingnya dan melihat seekor domba tertambat dekat tempat duduk-

nya. Khaja diam-diam menghuraikan

tali domba itu, dan domba itu lalai dengan memakan bunga-bunga di kebun bunga. [Ketika] si juru taman melihat- nya, dia mengira domba itu terlepas sendirinya secara kebetulan dan kembali menambatnya di tempat yang dulu. Lalu

khaja itu melepaskan [domba itu] sekali lagi, dan sang wazir melihat semua itu dari [teras] atas mahligaiya. Ketika si juru taman melihat domba itu berada di kebun bunga pada kali yang kedua, dia menjadi sangat marah dan memukulnya keras-keras hingga domba itu mati di tempat.

Khoja Buzurjumhur Hakim pun masuklah ke dalam taman itu, dilihatnya ada sebuah mahligai diperbuat oleh Alkis Menteri, malam siang di situlah ia duduk bersuka-sukaan. Maka zanggi itu pun berjalan bersama-sama dalam taman itu. Pada ketika itu Alkis Menteri pun ada duduk di atas mahligainya itu, terlihat olehnya Khoja Buzurjumhur Hakim, dan segala kelakuannya semuanya dilihat oleh Alkis Menteri, tetapi suatu pun tiada katanya. Arakian, zanggi penunggu taman itu pun menyuruh Khoja Buzurjumhur Hakim duduk pada suatu tempat, dan zanggi itu pun pergilah memungut sayur. Adapun pada tempat Khoja Buzurjumhur Hakim duduk itu, ada seekor kambing bertambat. Kambing itu menyentak-nyentak talinya hendak makan sayur. Setelah melihat demikian halnya kambing itu, maka Khoja Buzurjumhur Hakim pun bangkit perlahan- lahan, lalu dihuraikannya tali kambing itu, dilepaskannya. Maka kambing itu pun berlari-lari masuk ke dalam taman bunga itu lalu dimakannya pokok-pokok bunga itu. Dengan demikian, maka terlihat zanggi itu akan kambing itu terlepas daripada ikatannya. Pada sangkanya kambing itu terlepas sendirinya, lalu ia segera pergi, ditambatnya kambing itu di tempat yang dahulu itu juga. Sesudah itu ia pun pergi semula memungut sayur. Sekali lagi perlahan-lahan Khoja Buzurjumhur Hakim pergi melepaskan kambing itu. Maka segala kelakuan Khoja Buzurjumhur Hakim itu dilihat oleh Alkis Menteri dari atas mahligai itu. Maka sekali lagi zanggi itu melihat kambing itu sudah terlepas, ia pun sangat marah, lalu diambilnya batang cangkul

dilontarkannya kepada kambing itu, kena perutnya. Maka kambing itu pun matilah.

Khaja Buzurjmihr berkata: “Hai kau orang tak bersyukur, mengapa tiga hal yang halal kaujadikan haram?” [Ketika] mendengar kata-kata itu, wazir Arqash sangat heran dan berseru kepada si juru taman: “Hai juru taman, bawa pemuda dan bangkai domba itu ke [teras] atas mahligaiku!” [Si juru taman] itu mematuhi kata-katanya, dan membawa

khaja dan domba mati itu ke [teras] atas mahligai. Wazir itu berkata, “Hai anakku, siapakah kau dan siapa nama

bapamu?” Khaja menyahut: “Nama

hamba Buzurjmihr dan nama bapa hamba Bakht-i Jamal”. Wazir itu bertanya: “Apa yang terjadi pada bapamu?” Khaja menjawab, “Karena dia tukang onta, ayah hamba pergi dengan serombongan khafilah. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi padanya”.

Pada ketika itu Khoja Buzurjumhur Hakim pun ada melihat, lalu ia berkata, “Hei zanggi, tiga yang halal engkau jadikan haram!” Apabila didengar oleh Alkis Menteri kata Khoja Buzurjumhur Hakim demikian itu, maka ia pun hairan mendengar kata itu, lalu ia pun memanggil zanggi, katanya, “Hei zanggi, bawa ke mari orang muda itu!” Maka zanggi itu pun disuruh bawa ke hadapannya85. Kemudian Alkis

Menteri pun bertanya kepada Khoja Buzurjumhur Hakim, “Hei kanak-kanak, siapa namamu dan siapa nama bapamu?” Sahut Khoja Buzurjumhur Hakim, “Hei Alkis Menteri, bahwa namaku Khoja Buzur- jumhur Hakim, nama bapaku Khoja Bakhti Jamal”. Maka bertanya lagi Alkis Menteri, “Hei Khoja Buzurjumhur Hakim, sekarang bapamu ke mana perginya?” Jawab Khoja Buzurjumhur Hakim, “Adapun bapaku itu, ada seorang biaperi tolong modal; dibawa ia belayar bersama-samanya, sekarang lamalah sudah surat pun tiada, wartanya pun tiada kami dengar, di negeri mana-mana ia duduk pun tiada kami tahu sampai sekarang, demikianlah kata ibuku”.

Wazir Arqash bertanya, “Apa yang sebenarnya tadi kau katakan tentang domba itu?” Khaja menjawab, “Ketika juru taman itu membunuh domba ini, hamba berkata, [“Mengapa tiga hal yang halal kaujadikan haram?”]”. Arqash bertanya lagi, “Satu yang haram adalah domba yang mati ini, tetapi apakah dua lainnya yang haram?” Khaja menjawab, “Ada dua anak domba dalam perut domba ini: seekor hitam dengan kaki putih, dan seekor lagi buta matanya karena pukulan tukang kebun itu. Ketiga-tiganya menjadi haram”. Arqash menyuruh supaya perut domba itu dibelah. Dan apa yang dilihatnya sungguhlah seperti kata khaja.

Maka kata Alkis Menteri, “Hei kanak-kanak, kambing itu mati tadi apa engkau kata?” Sahut Khoja Buzurjumhur Hakim, “Adapun zanggi yang menunggu taman itu, dilontarnya kambing itu lalu mati. Kata aku kepadanya mengapa tiga halal engkau jadikan haram?” Bertanya lagi Alkis Menteri, “Hei orang muda, di manatah tiga halal menjadi haram? Seekorlah yang mati jadi haram; yang dua lagi itu di mana halal, di mana haramnya?” Maka jawab Khoja Buzurjumhur Hakim, “Hei Alkis Menteri, dalam perut kambing itu ada dua ekor anaknya, seekor hitam dan seekor lagi putih; yang putih itu buta sebelah matanya, sebab terkena lontar zanggi itulah maka matanya sebelah buta”. Setelah itu, Alkis Menteri pun menyuruh zanggi membelah perut kambing yang mati itu. Selesai dibelah perut kambing itu, maka dilihat Alkis Menteri, sung- guhlah seperti kata Khoja Buzurjumhur Hakim itu. Wazir itu heran dan dia berfikir dalam

hatinya, “[Bagaimanakah] dia tahu apa yang ada dalam perut domba itu, namun tidak tahu apa yang terjadi pada bapanya?” Lalu dia menyuruh pada seorang pembawa senjatanya, “Bawalah pemuda ini ke penjuru taman, tikam dia, tusuk dan pangganglah hatinya, lalu bawa kemari supaya aku makan”.

Alkis Menteri pun hairan seraya ia berfikir dalam hatinya – “Apakala ia tahu anak dalam perut kambing itu, nescayalah ia tahu orang yang membunuh bapanya itu”. – Setelah sudah ia berfikir demikian, maka Alkis Menteri pun memanggil seorang hulubalang Habsyi, katanya, “Hei hulubalang, engkau bawalah kanak-kanak ini ke penjuru taman itu, sembelih lehernya dan belah dadanya. Sudah itu, engkau pacakkan hatinya, bawa kepada aku, supaya aku makan hatinya itu maka puas hatiku”.

Lampiran 2

Perbandingan antara Taj as-Salatin (Roorda 1827) dan Nasihat al-Muluk (Bagley 1964)

Taj as-Salatin Nasihat

al-Muluk

Catatan

Komponen isi cerita hlm. hlm.

Bab 7. Perihal watak raja-raja yang

Dalam dokumen SADUR SEJARAH TERJEMAHAN DI INDONESIA DA (Halaman 102-108)