• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan

6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikas

Dampak ekonomi akibat adanya sertifikasi dikelompokkan dalam beberapa indikator yang diperoleh dari penelitian terdahulu. Untuk memberi gambaran bagaimana dampak ekonomi berpengaruh pada pendapatan petani hutan maka dilakukan analisis biaya dan manfaat dengan menggunakan tiga skenario.

6.3.2.1 Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBMLpada Petani Hutan Indikator mengenai dampak ekonomi yang dijadikan panduan mengacu pada Simula et al (2005) yang membahas mengenai financial cost-benefit. Hasil dari penelitian mengenai dampak ekonomi ditunjukkan pada Lampiran 4. Dampak ekonomi yang diteliti terkait dengan persepsi petani hutan mengenai dampak yang dirasakan. Adapun indikator yang diteliti meliputi (1) ada atau tidaknya premium price, (2) penambahan volume penjualan, (3) penetrasi ke pasar baru, (4) eksistensi di pasar lama, (5) posisi tawar petani hutan rakyat, (6) peningkatan pendapatan petani hutan rakyat, (7) semakin pendek atau tidaknya rantai distribusi dan dampak-dampak lain yang ditemukan berdasarkan penelitian di lapang terkait dengan adanya bantuan dari kunjungan ke wilayah sertifikasi.

Kriteria pertama yang diteliti terkait dengan dampak ekonomi adalah ada atau tidaknya premium price. Harga kayu di ketiga unit manajemen saat ini sedang mengalami kenaikan. Kenaikan harga yang terjadi ini menurut responden petani terjadi karena harga kayu di pasar kayu konvensional sedang naik. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 90 responden di unit manajemen hutan rakyat, 80,00% petani FKPS Selopuro, 93,33% petani FKPS Sumberejo, dan 70,00% petani PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan bahwa harga kayu memang sedang mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan harga kayu di pasar konvensional. Petani hutan rakyat di ketiga unit manajemen merasa kenaikan harga ini berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Tetapi, kenaikan harga yang berpengaruh pada pendapatan petani ini bukanlah akibat dari sertifikasi. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pembeli yang menghargai kayu di atas harga pasar (premium price).

Pada FKPS Selopuro 80,00% responden menyatakan pembeli tidak menghargai kayu sertifikasi dengan premium price, di FKPS Sumberejo sebesar 96,67% responden menyatakan pembeli tidak menghargai kayu sertifikasi dengan

premium price, dan di PPHR Catur Giri Manunggal responden yang menyatakan pembeli yang tidak menghargai kayu dengan premium price sebesar 86,67%. Fenomena ini menjadi justifikasi bahwa kenaikan harga yang sedang terjadi saat ini adalah karena harga kayu di pasar yang semakin naik. Menurut salah satu pedagang di Desa Selopuro, naiknya harga kayu ini karena permintaan terhadap kayu semakin banyak namun supply-nya tidak mencukupi. Premium price tidak bisa dicapai karena pasar sertifikasi dan TPKS tidak berjalan dengan optimal. Padahal apabila pasar

adanya premium price. Persentase premium price di tiga unit manajemen ini ditentukan oleh pihak TPKS berdasarkan musyawarah yang didampingi oleh LSM Persepsi. Tetapi sampai saat ini TPKS hanya bisa memfasilitasi perdagangan kayu sertifikasi saat ada pembeli. Padahal pembeli kayu sertifikasi belum tentu ada setiap waktu dan petani hutan masih terbiasa menjual kayunya saat butuh, sehingga saat petani hutan terdesak kebutuhan dan pembeli kayu sertifikasi tidak ada maka mereka menjual kayu melalui perdagangan konvensional yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun yakni melalui pedagang kayu (bakul) dimana dalam perdagangan dengan bakul ini terdapat informasi yang asimetris baik mengenai harga maupun kontak pedagang. Sehingga pada akhirnya harga kayu petani hutan sertifikasi belum mengalami perubahan.

Kriteria kedua yang diteliti adalah adanya penetrasi ke pasar baru. Aspek penetrasi ke pasar baru ini dilihat dari ada atau tidaknya pertambahan pembeli setelah sertifikasi. Pada dua unit manajemen yakni FKPS Selopuro dan PPHR Catur Giri Manunggal tidak ada pertambahan pembeli yang signifikan hal ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 46,67% dan 66,67%. Sedangkan di FKPS Sumberejo, 83,33% responden menyatakan ada pertambahan pembeli. Pada FKPS Selopuro delapan dari sembilan petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan pembeli ini signifikan, sedangkan di FKPS Sumberejo 20 dari 25 petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan pembeli ini signifikan dan di PPHR Catur Giri Manunggal lima dari tujuh petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan ini signifikan. Pertambahan pembeli memang ada di ketiga unit manajemen meskipun dengan persentase yang berbeda-

beda. Tetapi pertambahan pembeli ini sesungguhnya terjadi karena semakin banyaknya bakul atau pedagang kayu. Banyaknya bakul atau pedagang kayu ini dikarenakan semakin potensialnya pasar kayu sehingga masyarakat Wonogiri yang memiliki modal tertarik untuk terjun dalam bisnis perdagangan kayu.

Kriteria ketiga dari dampak ekonomi yang dilihat adalah adanya eksistensi di pasar lama. Berdasarkan hasil penelitian, dari 90 responden, 86,67% petani hutan FKPS Selopuro, 93,33% petani hutan FKPS Sumberejo dan 80,00% petani hutan PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan pembeli yang dulu membeli kayu kepada mereka sampai sekarang masih menjadi pembeli tetap. Data yang ditemui di lapang ini menjadi justifikasi bahwa eksistensi perdagangan kayu antara petani hutan dengan pembeli masih ada dan eksistensi petani hutan di pasar kayu sebelum sampai sesudah sertifikasi masih bagus. Eksistensi petani di pasar lama ini tidak diakibatkan oleh sertifikasi namun diakibatkan oleh perdagangan kayu yang potensial sehingga pedagang kayu masih mempertahankan petani hutan yang menjual kayu kepada pedagang. Hal ini dibuktikan dengan respon petani hutan yang menyatakan bahwa kalau ditawari untuk membeli kayu, pedagang kayu akan selalu bersedia untuk membeli kayu mereka. Tetapi kesediaan pedagang untuk membeli ini tidak diimbangi dengan kesediaan pedagang untuk menghargai kayu dengan harga di atas harga pasar (premium price). Padahal kayu yang ada di tiga unit manajemen merupakan kayu tersertifikasi karena masuk dalam wilayah area manajemen tersertifikasi dan selayaknya mendapat harga yang berbeda dibandingkan dengan kayu biasa. Tetapi sampai saat ini segmentasi pasar antara kayu biasa dan kayu sertifikasi sulit untuk

Kriteria yang diteliti untuk melihat adanya dampak ekonomi adalah dari aspek posisi tawar petani hutan rakyat. Aspek posisi tawar hutan rakyat ini terkait dengan asimetri informasi yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 90 responden diketahui bahwa 80,00% responden FKPS Selopuro, 96,67% responden FKPS Sumberejo, dan 76,67% responden PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan informasi mengenai kenaikan atau penurunan harga kayu selama ini hanya diperoleh dari bakul atau pedagang kayu. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan petani, petani hutan ini menyadari bahwa informasi yang diberikan tidak sepenuhnya akurat karena ada permainan pasar dari bakul. Penentu kenaikan harga kayu di tingkat petani selama ini juga ditentukan oleh informasi dari bakul. Menurut 83,33% petani FKPS Selopuro, 100,00% petani FKPS Sumberejo, dan 63,33% petani PPHR Catur Giri Manunggal yang menginformasikan dan menentukan harga suatu jenis kayu naik atau turun adalah bakul. Hal ini mendukung fakta bahwa bakul adalah satu-satunya pembawa informasi mengenai harga-harga kayu di pasar kayu. Harga jual kayu yang berlaku di masyarakat adalah harga yang disepakati oleh petani dan bakul dengan harga kayu di pasar sebagai patokan. Proses pemasaran konvensional yang masih berlangsung ini didominasi oleh bakul. Hal ini terjadi karena kurangnya jaringan kerjasama antara petani dan pengepul langsung serta kurangnya modal petani untuk menebang kayu sendiri dan mendistribusikan langsung ke pengepul. Akibatnya posisi tawar petani hutan rakyat masih kurang kuat. Terlebih lagi kelompok tani dan TPKS yang sudah terbentuk tidak dapat memperkuat posisi tawar petani karena kurangnya modal dan tidak adanya pasar khusus sertifikasi.

Kriteria selanjutnya yang dilihat dari dampak ekonomi adalah aspek peningkatan pendapatan. Berdasarkan kuesioner terhadap responden diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh penjualan kayu pada petani hutan di ketiga unit manajemen naik dengan persentase sebesar 80,00% untuk petani FKPS Selopuro, 93,33% untuk petani FKPS Sumberejo, dan 73,33% untuk petani PPHR Catur Giri Manunggal. Pendapatan yang naik ini dikarenakan oleh naiknya harga kayu, bukan merupakan dampak dari sertifikasi karena tidak ada pembeli yang menghargai dengan

premium price.

Kriteria terkait dengan dampak ekonomi yang juga diteliti adalah semakin pendek atau tidaknya rantai distribusi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perubahan signifikan pada rantai distribusi penjualan kayu sebelum dan sesudah sertifikasi. Pada FKPS Selopuro dan Sumberejo tidak ada perubahan rantai distribusi. Sedangkan di PPHR Catur Giri Manunggal perubahan yang terjadi adalah 3,33% atau hanya satu responden saja. Perubahan rantai distribusi yang terjadi di PPHR Catur Giri Manunggal terjadi pada rantai distribusi awal yang terdiri dari penjual-pengepul-industri dan kemudian berubah menjadi penjual-TPKS-pembeli sertifikasi. Namun persentase tertinggi pada rantai distribusi ini masih dimiliki oleh rantai distribusi pembeli-pedagang (bakul)-pengepul-industri dan pada masing- masing unit manajemen ditunjukkan dengan persentase 83,33% untuk FKPS Selopuro, 100% untuk FKPS Sumberejo, dan 83,33% untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Rantai distribusi yang dominan ini merupakan rantai distribusi yang panjang dan seharusnya bisa diperpendek melalui mekanisme sertifikasi yang sudah

dibangun yakni pemutusan rantai distribusi melalui TPKS. Mekanisme memperpendek rantai distribusi melalui TPKS ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Perbandingan Mekanisme Perdagangan Konvensional dan Sertifikasi

Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa dalam mekanisme perdagangan konvensional petani tidak memiliki akses untuk menjual kayu langsung kepada industri ataupun konsumen sedangkan dalam mekanisme perdagangan sertifikasi, petani secara tidak langsung memiliki akses untuk menjual kayu langsung kepada industri ataupun konsumen karena TPKS adalah 'perpanjangan tangan' dari petani sendiri. Mekanisme perdagangan melalui TPKS ini merupakan mekanisme yang ideal karena bisa meningkatkan posisi tawar dan memberikan keuntungan lebih banyak kepada petani. Tetapi karena TPKS tidak berfungsi karena kekurangan modal, tidak adanya pembeli sertifikasi, ketidakmampuan memasok kuota kubikasi yang ditetapkan oleh pembeli dan tidak berjalannya mekanisme pasar sertifikasi menjadi kendala dalam memperpendek rantai distribusi. Akibatnya petani tetap berada di

ujung rantai perdagangan bahkan biaya seperti biaya transportasi pengangkutan kayu menjadi tanggungan petani. Apabila TPKS bisa berfungsi rantai distribusi bisa diperpendek, harga kayu bisa ditetapkan sesuai dengan standar premium price, dan

bargaining position petani bisa lebih kuat karena penjualan dilakukan melewati sebuah lembaga bukan secara individu.

Selain dampak ekonomi yang diidentifikasi berdasarkan indikator dari studi literatur, ditemukan dampak ekonomi lain dari penerapan sertifikasi PHML. Setelah sertifikasi diberikan kepada ketiga unit manajemen, semakin banyak kalangan akademisi yang melakukan penelitian dan kalangan pemerintah maupun non- pemerintah yang mengadakan kunjungan studi banding. Setiap kali ada kunjungan, tamu yang datang biasanya memberikan bantuan berupa dana untuk mengisi kas kelompok. Bantuan yang datang dari individu maupun instansi ini disalurkan melalui kelompok dan dikategorikan sebagai dampak ekonomi tidak langsung yang bersifat positif bagi unit manajemen hutan rakyat. Sedangkan itu dampak ekonomi di luar indikator yang ditemukan di lapang adalah terciptanya bengkel handicraft yang menjadi sarana untuk unit manajemen dalam mengembangkan usaha pengolahan raw material. Bengkel handicraft yang ada awalnya digunakan sebagai sarana pengolahan kayu sertifikasi sesuai dengan pesanan pembeli yakni perusahaan furniture. Namun hal ini tidak berlangsung lama, dikarenakan sulitnya dicapai kesepakatan dengan pembeli dan minimnya tenaga terampil yang ada.

Dari hasil penelitian yang didapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan signifikan pada penjualan kayu yang terjadi di masyarakat setelah proses sertifikasi.

bakul meskipun hal ini tidak memperbaiki kondisi posisi tawar petani. Dampak sertifikasi pada sektor ekonomi secara langsung tidak signifikan. Hal ini selain disebabkan oleh tidak berfungsinya mekanisme pasar sertifikasi, tidak berjalannya TPKS yang seharusnya menjembatani proses penjualan kayu, tidak adanya pembeli kayu sertifikasi akhir-akhir ini, dan tidak adanya pasar khusus bagi kayu sertifikasi.

6.3.2.2 Pengaruh Biaya Sertifikasi terhadap Manfaat Pengusahaan Hutan bagi Petani Hutan Rakyat

Dampak ekonomi sertifikasi terhadap petani hutan rakyat diestimasi dengan pendekatan analisis biaya dan manfaat pada salah satu unit manajemen hutan rakyat, yakni FKPS Selopuro. Analisis dilakukan dengan membandingkan kondisi tanpa biaya sertifikasi PHBML dan dengan pemberlakuan biaya sertifikasi PHBML dengan tingkat suku bunga 5,75%. Analisis ini dilakukan agar dapat diketahui seberapa besar biaya sertifikasi berdampak terhadap manfaat dan biaya petani hutan rakyat dalam pengusahaan hutan rakyat. Cashflow pengusahaan hutan rakyat pada dua skenario secara detail ditunjukkan pada Lampiran 5 dan 6, sedangkan ringkasan analisis pengusahaan hutan rakyat dengan dan tanpa sertifikasi ditunjukkan dalam Tabel 13.

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa pembebanan biaya sertifikasi akan mengurangi manfaat akhir pengusahaan hutan rakyat sebesar 2% dari Rp 15.235.134.047 menjadi Rp 14.961.368.163. Pada unit manajemen hutan rakyat FKPS Selopuro yang beranggotakan 682 petani hutan rakyat, pembebanan biaya sertifikasi akan mengakibatkan hilangnya manfaat pengusahaan hutan sebesar Rp 401.431 atau turun 1,79% per petani dalam periode pengusahaan 20 tahun. Hal ini mengakibatkan manfaat yang diperoleh petani dari pengusahaan hutan rakyat yang

sudah kecil akan semakin kecil dengan adanya pembebanan biaya sertifikasi. Walaupun penurunan manfaat tersebut tidak terlalu besar, namun sertifikasi di hutan rakyat akan tetap membebani petani dalam hal biaya pengelolaan hutan rakyat tersebut.

Tabel 13. Analisis Biaya dan Manfaat Pembebanan Sertifikasi dalam 20 Tahun

Skenario 1 Skenario 2

Manfaat

Manfaat hasil kayu

Manfaat hasil pertanian/ tumpangsari Total manfaat 46.244.404.000 1.685.885.760 48.690.791.200 46.244.404.000 1.685.885.760 48.690.791.200

Biaya Pengusahaan Hutan

Biaya operasional Biaya tahunan (pajak) Biaya transaksi Total biaya 1.655.979.713 131.812.001 34.100.000 1.795.529.314 1.655.979.713 131.812.001 34.100.000 1.795.529.314 Biaya Sertifikasi

Biaya persiapan pengajuan sertifikasi Biaya sertifikasi Biaya surveillance Total Biaya 0 0 0 0 300.000.000 120.000.000 60.000.000 480.000.000 NPV

NPV Per Petani dalam 20 Tahun NPV Per Petani Per Tahun

15.235.134.047 22.338.906 893.556 14.961.368.163 21.937.475 877.499

Selama periode pengusahaan hutan 20 tahun diperlukan biaya sertifikasi sebesar Rp 480.000.000 untuk dua kali sertifikasi yang akan dilaksanakan pada tahun ke-3 dan ke-19. Biaya terdiri dari biaya persiapan sertifikasi, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya surveillance. Biaya persiapan sertifikasi dikenakan pada tahun ke-1 dan 17, biaya penilaian sertifikasi dikenakan pada tahun ke-3 dan 19, dan biaya

surveillance dikenakan pada tahun ke-8, 12, dan 18. Dalam hal ini petani dalam unit manajemen harus menyediakan dana Rp 240.000.000 untuk satu kali sertifikasi pada

tahun-tahun tersebut. Hal ini sangat membebani petani karena pada tahun-tahun tersebut mereka belum panen. Sehingga perlu dipertanyakan darimana petani memperoleh dana sebesar itu saat petani baru menanam kayu dan belum memperoleh hasilnya.

Apabila sertifikasi dipandang perlu dan penting diterapkan di hutan rakyat, maka sumber pendanaan biaya sertifikasi perlu diperhatikan oleh semua pihak yang terlibat agar tidk membebani petani hutan rakyat. Solusi pendanaan sertifikasi dapat berdasarkan atas tiga alternatif yakni iuran, subsidi, dan membangun jalinan kemitraan. Pada skema pertama yakni iuran, anggota unit manajemen hutan rakyat dapat mengangsur biaya sertifikasi melalui unit manajemen hutan rakyat. Namun untuk menjalankan skema iuran ini diperlukan kesadaran petani akan pentingnya sertifikasi dan dibutuhkan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat yang kredibel.

Pada skema kedua yakni subsidi, pemerintah dapat memberikan subsidi melalui sistem reward and punishment dimana unit manajemen yang memiliki kinerja bagus akan diberi subsidi lebih banyak dan demikian pula sebaliknya. Skema bantuan ketiga yang dapat diberlakukan adalah pembangunan jalinan kemitraan antara unit manajemen hutan rakyat dengan industri yang mengekspor ke negara yang mengharuskan sertifikasi. Pada skema kemitraan dengan industri kayu, industri kayu yang menjalin kemitraan diberlakukan kewajiban untuk memberikan bantuan dana sertifikasi bagi petani hutan dan menampung kayu sertifikasi petani hutan rakyat. Selain ketiga skema yang ditawarkan, dapat juga diberlakukan kombinasi antara ketiga skema tersebut, sehingga pemerintah tidak perlu memberikan subsidi 100%.

6.3.3 Dampak Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi