• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Keragaan Kelembagaan Unit Manajemen Hutan Rakyat dalam

6.1.1 Identifikasi Stakeholder , Peran, dan Hubungan Antar

Untuk melihat bagaimana peran kelembagaan selama proses sertifikasi maka dilakukan identifikasi stakeholder-stakeholder yang memegang peranan penting dan bagaimana pengaruh stakeholder dalam sertifikasi berdasarkan pengelompokan peran

stakeholder secara langsung dan tidak langsung. Selain identifikasi stakeholder, dalam analisis kelembagaan dilakukan identifikasi hubungan antar stakeholder dan kelembagaan yang ada di ketiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi.

6.1.1.1 Identifikasi Stakeholder dan Peran

Dalam proses sertifikasi ada stakeholder yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh. Berdasarkan pengamatan, ada tujuh stakeholder yang ditemukan. Stakeholder-stakeholder yang terlibat dan peranan yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder dijelaskan pada Tabel 11.

Tabel 11. Peranan Masing-Masing Stakeholder

No Stakeholder Peranan Berperan Langsung

1 LEI A. Mengembangkan sistem sertifikasi.

B. Membantu kemitraan dengan lembaga donor. 2 Lembaga donor Memberikan bantuan pendanaan sertifikasi.

3 LSM Persepsi A. Mendampingi unit manajemen menuju sertifikasi dengan cara pendampingan administrasi yaitu pembuatan dokumen dan inventarisasi tegakan yang ada.

B. Memberikan bantuan softskill dalam bidang handicraft hasil hutan sertifikasi dan memberikan bantuan mesin kerajinan.

C. Membentuk TPKS.

4 Ketua kelompok tani A. Memberikan pengarahan kepada anggota kelompok tani mengenai sertifikasi.

B. Mengurus proses pengajuan sertifikasi. C. Mengikuti ujian sertifikasi.

No Stakeholder Peranan

5 Kelompok tani A. Sarana pengembangan dan kerjasama antar anggota kelompok tani. B. Sarana networking untuk menghubungkan petani dengan pemerintah

dan institusi lain.

C. Sarana pembentukan modal kelompok tani.

D. Membantu kelancaran proses sertifikasi terutama di bidang administrasi sertifikat tanah dan inventarisasi tegakan.

Berperan Tidak Langsung

1 Pemerintah daerah A. Membuat program sertifikat tanah massal pada tahun 1990-an dan masih berlanjut sampai sekarang.

B. Memberikan legalitas atas hasil hutan kayu yang dijual oleh masyarakat melalui SKAU.

C. Menetapkan peraturan-peraturan formal dalam pengelolaan hutan rakyat.

D. Mewajibkan pembentukan kelompok tani. 2 Dinas Kehutanan A. Membuat program-program penghijauan.

B. Membina kelompok tani sejak awal didirikan.

C. Memberikan penyuluhan-penyuluhan mengenai pengembangan hutan rakyat.

Berdasarkan Tabel 11 mengenai peranan masing-masing stakeholder secara keseluruhan, tujuh stakeholder yang ada dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan peranannya:

1. Stakeholder yang Berperan Langsung

Dalam proses sertifikasi, stakeholder yang berperan langsung dan terjun dalam proses sertifikasi adalah LEI selaku pengembang sertifikasi dan secara teknis membantu menjalin kemitraan dengan lembaga donor, lembaga donor, LSM Persepsi selaku lembaga pendamping, ketua kelompok tani, dan kelompok tani hutan rakyat. Pada kategori ini hanya lembaga independen dan non governmental yang terlibat secara langsung dalam sertifikasi sedangkan pemerintah tidak berperan secara langsung. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan aparat pemerintah daerah akan

konsep sertifikasi dan dikonfirmasi oleh Petugas Kehutanan Lapang setempat yakni Bapak Wardi.

"...Waktu itu saya disuruh mengutarakan sambutan (tentang sertifikasi), lah

saya belum tahu apa-apa (tentang sertifikasi) kan dulu itu waktu itu, cuma saya ya mendukung 100% PHBML apalagi itu bersangkutan dengan kita langsung..." (Bapak Wardi, Petugas Kehutanan Lapang)

Selain itu pemerintah tidak termasuk dalam kategori stakeholder yang berperan tidak langsung karena tidak memberikan bantuan kepada unit manajemen dalam pengajuan sertifikasi. Bantuan terkait dengan pengajuan sertifikasi ditanggung sepenuhnya oleh pihak donor. Bantuan dana dari lembaga donor kemudian disalurkan melalui LSM Persepsi sebagai lembaga pendamping unit manajemen pada saat proses sertifikasi.

2. Stakeholder yang Berperan Tidak Langsung

Stakeholder yang berperan tidak langsung dalam sertifikasi adalah dinas kehutanan dan pemerintah daerah. Dinas kehutanan melalui penyuluhan dan pembinaan kelompok tani sebenarnya merupakan aktor utama yang menginisiasi pengembangan hutan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya program-program pemerintah sejak tahun 1965-an yakni program dari World Food Programme, IDT (Inpres/ Instruksi Presiden Desa Tertinggal), Gerhan (Gerakan Penghijauan), dan lain-lain. Dari program penghijauan inilah masyarakat secara mulai menanam tanaman kayu bahkan masyarakat memilih jenis tanaman kayu yang menurut mereka memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dan sampai saat ini tanaman kayu digunakan sebagai tabungan. Sedangkan pemerintah daerah lebih berperan dalam

adanya program sertifikasi massal di ketiga daerah tempat unit manajemen berada sejak tahun 1990-an dan masih berlanjut sampai sekarang selain itu pemerintah juga berperan dalam mendukung program-program penghijauan dinas kehutanan. Keberhasilan program pengembangan hutan dan legalitas kayu maupun lahan inilah yang sebenarnya mengantarkan dan mempermudah pengajuan proses sertifikasi. Jadi sebenarnya pemerintah melalui pemerintah desa dan dinas kehutanan mempunyai peranan dalam sertifikasi meskipun secara tidak langsung tapi pengaruhnya sangat besar. Tanpa adanya bantuan dan binaan dari pemerintah tidak mungkin unit manajemen hutan rakyat yang ada dapat memperoleh sertifikasi dengan mudah karena kejelasan batas lahan dan kelestarian hutan merupakan salah satu indikator dalam sertifikasi PHBML.

6.1.1.2 Hubungan Antar Stakeholder

Hubungan antar stakeholder yang terjadi di unit manajemen hutan rakyat sertifikasi dapat dikelompokkan dalam dua level, yakni:

1. Level Penentu Kebijakan (CollectiveChoiceLevel)

Pada level penentu kebijakan, stakeholder yang berperan dalam menentukan kebijakan sertifikasi melalui pengembangan standar sertifikasi adalah LEI. Sedangkan stakeholder yang berperan dalam menentukan kebijakan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah pemerintah daerah dan dinas kehutanan. Pengelolaan hutan yang lestari tidak bisa dilakukan tanpa adanya kebijakan dari pemerintah dan dibantu dengan kebijakan yang berlaku di kelompok.

2. Level Operasional (OperationalLevel)

Stakeholder yang tergolong dalam level operasional adalah stakeholder yang bertugas mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh stakeholder

level penentu kebijakan. Pada level operasional ini, stakeholder yang terlibat adalah ketua dan kelompok tani sertifikasi yang berperan sebagai stakeholder yang menjalankan peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah terkait dengan pengelolaan hutan.

Berdasarkan dari pengelompokan di atas, hubungan antar stakeholder dalam sertifikasi ditunjukkan pada Gambar 4.

Keterangan:

Garis Koordinasi

Garis Koordinasi Teknis Lapangan Garis Instruksi

Garis Saluran Dana/ Bantuan

Gambar 4. Hubungan Antar Stakeholder

Collective Choice Level Pemerintah Daerah LEI Dinas Kehutanan Operational Level LSM Persepsi Lembaga Donor Ketua Kelompok Kelompok Tani

Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa pada level collective choice

terdapat stakeholder LEI yang merupakan perumus kebijakan sertifikasi dan

stakeholder pemerintah daerah dan dinas kehutanan yang merupakan perumus kebijakan pengelolaan hutan. Dalam proses sertifikasi, antara LEI dengan pemerintah dan dinas kehutanan tidak ada koordinasi langsung. Hal ini juga dikonfirmasi oleh pihak LEI. LEI hanya mengundang pemerintah dan dinas kehutanan untuk menyaksikan proses pengambilan keputusan sertifikasi. Dalam lingkup proses koordinasi dana sertifikasi, garis koordinasi ada pada stakeholder LEI dan lembaga donor, LEI dan Persepsi, lembaga donor dan Persepsi, dimana LEI membantu jalinan kerjasama lembaga internasional untuk ambil bagian menjadi menjadi donor sertifikasi pada program sertifikasi PHBML yang diajukan oleh LSM Persepsi. LSM Persepsi kemudian melakukan proses koordinasi langsung dengan pemerintah daerah dan dinas kehutanan terkait dengan perizinan dan pemberitahuan pelaksanaan program sertifikasi. LSM Persepsi juga melakukan koordinasi dan koordinasi teknis di lapangan dengan ketua kelompok terkait dengan pengajuan sertifikasi misalnya penyusunan dokumen, administrasi, dan inventarisasi tegakan maupun dalam penyaluran bantuan, misalnya pemberian bibit dan dana komisi untuk inventarisasi tegakan. Sedangkan ketua kelompok berperan menginstruksikan, membentuk koordinasi, membentuk koordinasi teknis di lapangan, dan penyaluran bantuan (bibit maupun dana dari stakeholder) kepada kelompok tani.

Stakeholder lain yakni pemerintah daerah dan dinas kehutanan tidak terlibat langsung dalam sertifikasi namun stakeholder-stakeholder ini berperan dalam level

terkait dengan pengelolaan hutan yang akhirnya mengakar pada peraturan-peraturan pengelolaan hutan yang ada di kelompok tani. Meskipun pemerintah dan dinas kehutanan tidak memberikan bantuan dana dalam proses sertifikasi, tetapi pemerintah dan dinas kehutanan memberikan bantuan-bantuan melalui program penghijauan, sertifikat tanah masal, dan penyuluhan yang membantu petani dalam pengembangan hutan rakyat secara lestari.

6.1.1.3 Identifikasi Kelembagaan Unit Manajemen

Ketiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi awalnya merupakan kelompok tani biasa. Hingga akhirnya dilakukan pendampingan sertifikasi oleh LSM Persepsi dan dibentuklah organisasi swadaya mandiri yakni unit manajemen hutan rakyat. Namun sampai saat ini unit manajemen ini tidak hanya memfasilitasi penyuluhan dan pertemuan mengenai pengelolaan hutan saja, namun juga tentang pertanian, peternakan, dan sarana menyampaikan informasi-informasi penting. Ketiga unit manajemen ini tidak memiliki perbedaan kelembagaan yang signifikan. Identifikasi dari kelembagaan ketiga unit manajemen ini diperjelas melalui analisis terhadap delapan unsur kelembagaan yang ditunjukkan dalam Lampiran 1 mengenai kelembagaan tiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi.

Berdasarkan dari indikator yang dirumuskan sebelumnya melalui studi literatur, ada delapan unsur yang diteliti dalam indentifikasi kelembagaan yakni (1) institusi, (2) norma tingkah laku, (3) peraturan dan penegakan aturan/ hukum, (4) aturan dalam masyarakat, (5) kode etik, (6) hak milik (property rights atau

diinginkan. Pada unsur pertama, yakni institusi, berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan dalam Lampiran 1 diketahui bahwa unit manajemen di FKPS Selopuro dan Sumberejo mempunyai bentuk organisasi yang sama. Kedua unit manajemen hutan rakyat ini memiliki delapan Kelompok Petani Sertifikasi yang tergabung dalam satu Forum Komunikasi Petani Sertifikasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di kedua unit manajemen FKPS Selopuro dan Sumberejo, penyebaran informasi mengenai pemahaman sertifikasi di kedua unit manajemen ini juga relatif rata. Hal ini disebabkan oleh tingginya intensitas pertemuan antara LSM pendamping dengan masyarakat dan jumlah anggota yang relatif sedikit dan hanya terdiri dari satu desa. Lain halnya dengan PPHR Catur Giri Manunggal yang terdiri dari tiga desa dan satu kelurahan dengan jumlah anggota 2.902 orang. Hal ini membuat penyebaran informasi sertifikasi menjadi sulit ditambah lagi dengan rendahnya intensitas pertemuan langsung antara petani hutan dan LSM pendamping.

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi di lapangan menunjukkan ketiga unit manajemen belum optimal bahkan PPHR Catur Giri Manunggal tidak berfungsi sebagai mestinya karena pertemuan rutin yang diadakan selama tiga bulan sekali tidak berjalan, padahal skala unit manajemennya lebih luas dan pemerataan pemahaman informasi sangat rendah. Pertemuan rutin di PPHR Catur Giri Manunggal tidak berjalan karena dianggap tidak ada masalah besar yang harus diselesaikan dan dimusyawarahkan.

"...Karena tidak ada masalah di kelompok dan dipandang tidak perlu mengumpulkan anggota. Namun pengurus kelompok tetap berkomunikasi mengenai perkembangan kelompok..." (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal)

Pada FKPS Selopuro pertemuan rutin diadakan sebulan sekali dan di FKPS Sumberejo pertemuan rutin diadakan setiap 35 hari (selapan). Pertemuan rutin di dua unit manajemen FKPS masih tetap berjalan sampai sekarang namun sertifikasi bukan merupakan topik yang prioritas dibicarakan. Hal ini disebabkan karena awalnya unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani biasa yang akhirnya diajukan sertifikasi sehingga masalah yang sering dibahas saat pertemuan rutin tidak hanya masalah mengenai sertifikasi, tetapi masalah mengenai subsidi pupuk dan penghimpunan modal kelompok melalui ternak seperti yang terjadi di Desa Sumberejo. Sertifikasi bukan merupakan topik yang selalu dibahas dalam pertemuan rutin karena tidak ada masalah terkait dengan sertifikasi. Gambar mengenai pertemuan rutin Desa Sumberejo ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pertemuan Rutin per 35 Hari (Selapan) yang Diadakan oleh FKPS Sumberejo

Unit manajemen seharusnya banyak membahas mengenai bagaimana caranya agar dapat menghimpun modal untuk resertifikasi dan kendala-kendala lain terkait

berjalannya sistem sertifikasi. Pendekatan participatory dengan melibatkan masyarakat perlu dilakukan oleh unit manajemen agar masyarakat mengetahui masalah yang dihadapi terkait dengan sertifikasi dan masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Saat masyarakat aktif berpartisipasi dalam sektor sertifikasi akan menimbulkan kesadaran dari masyarakat untuk mempertahankan dan merasa bangga dengan sertifikasi yang selama ini diperoleh. Lain halnya saat masyarakat tidak tahu menahu betapa sulitnya memperoleh sertifikasi.

Unsur kelembagaan kedua yang diteliti adalah norma tingkah laku. Norma tingkah laku yang selama ini berlaku di masyarakat diadopsi untuk membuat AD/ ART dan tata kelola hutan. Sehingga ada tiga peraturan yang berlaku dalam masyarakat, yakni norma lokal, AD/ ART, dan tata kelola hutan. Sebelum berbentuk aturan tertulis seperti sekarang, masyarakat sudah memiliki norma-norma yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Norma-norma yang diadopsi menjadi peraturan tertulis adalah norma mengenai kewajiban penanaman setiap tahun; penanaman kembali setelah penebangan; pengaturan mengenai pengembalaan ternak agar tidak merusak tegakan; pelarangan pengambilan bibit, tegakan dan pucuk daun di luar lahan miliknya; dan lain-lain. Norma-norma yang diadopsi ini kemudian disahkan menjadi peraturan tertulis dan merupakan rules of the game yang dirumuskan dan disepakati bersama secara musyawarah.

Unsur kelembagaan ketiga yang diteliti adalah peraturan dan penegakan peraturan. Pada ketiga unit manajemen sudah terdapat peraturan tertulis mengenai pengelolaan hutan yang merupakan adopsi dari norma-norma dan peraturan pengelolaan hutan yang telah berjalan sebelum sertifikasi. Penegakan peraturan di

ketiga unit manajemen tergolong lemah. Di unit manajemen FKPS Selopuro ada pengurus khusus yakni seksi keamanan yang bertugas mengawasi apakah ada anggota yang melanggar aturan dan pengawasan ini dibantu oleh seluruh anggota. Kalaupun ada pelanggar peraturan FKPS Selopuro, semuanya akan dilaksanakan dengan cara kekeluargaan dan tidak pernah ada sanksi yang dibebankan. Hal ini menunjukkan tidak tegasnya peraturan yang sudah dibuat dan efek jera bagi pelanggar tidak ada. Kondisi penegakan peraturan di FKPS Sumberejo sama dengan kondisi FKPS Selopuro namun pengawasan hanya dilakukan antar anggota. Lain halnya dengan PPHR Catur Giri Manunggal, unit manajemen ini memiliki wilayah keanggotaan yang lebih luas dibandingkan dua unit manajemen lainnya karena merupakan unit manajemen hutan rakyat tingkat kecamatan dengan anggota empat desa, penegakan peraturan dilakukan dengan pembebanan tugas kepada Kelompok Petani Hutan Rakyat (KPHR) sebagai pengawas penegakan peraturan di tingkat dusun. Peraturan yang pernah dilanggar oleh anggota adalah peraturan mengenai lahan tapi sanksinya tidak pernah dilaksanakan sesuai AD/ ART tetapi masalah yang ada diselesaikan secara kekeluargaan.

"...Ya tidak sering sih, pernah ada (peraturan yang dilanggar) tapi bisa diselesaikan secara kekeluargaan dulu di tingkat KPHR, jadi meskipun ada permasalahan tidak sampai ke GPHR atau tidak sampai ke PPHR... Tidak ada (peraturan) yang sering dilanggar, tapi pernah ada yang melanggar tentang garis-garis batas dari hak milik, tapi tidak sampai besar, permasalahannya ya umpamanya saling berebut batas, tetapi akhirnya juga bisa diselesaikan secara damai... Sebetulnya ada (sanksi), tapi tidak pernah dilaksanakan dengan seberat seperti dicantumkan pada AD/ ART, seandainya kan nggak

sampai parah gitulho. Jadi sebelum parah, sudah diantisipasi sedini mungkin, jadi ibaratnya melanggar tidak sampai jauh, paling baru akan melanggar sudah dikasih tahu dan mereka juga sadar bahwa itu perbuatan yang tidak benar..." (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal)

Namun pengawasan dan penegakan peraturan di PPHR sangat lemah. PPHR mempunyai peta sengketa pengelolaan hutan lintas desa namun secara legitimate

masih ada dua anggota PPHR yang menjadi responden yang memiliki konflik berebut batas dengan warga lain namun tidak terselesaikan sampai sekarang. Hal ini dikarenakan PPHR vakum atau tidak berjalan sebagaimana mestinya,

Unsur kelembagaan keempat yang diteliti adalah aturan dalam masyarakat. Di ketiga unit manajemen aturan yang berlaku adalah aturan tidak tertulis yakni norma sosial dan aturan tertulis yakni AD/ ART kelompok dan aturan kelola hutan rakyat. Unsur kelembagaan kelima yang diteliti adalah kode etik. Dalam kelembagaan pengelolaan hutan rakyat di ketiga unit manajemen tidak ditemukan adanya kode etik.

Unsur kelembagaan keenam yang diteliti adalah hak milik (property rights

atau tenureship). Meskipun semua anggota di tiga unit manajemen yang menjadi responden sudah memiliki kejelasan hak milik lahan atau tenureship secara legal tetapi secara legitimate masih ada anggota yang mengalami konflik berebut batas. Kejelasan status hak milik lahan anggota ini akibat adanya program sertifikasi massal dari pemerintah. Adanya status hak milik yang jelas dilakukan agar kepemilikan lahan petani legal dan diakui secara hukum di samping itu kejelasan status hak milik ini seharusnya dapat meminimalisir konflik berebut batas lahan. Dalam menangani konflik berebut batas lahan seharusnya unit manajemen dapat menjadi mediator yang efektif karena merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani. Namun fungsi mediasi tidak berjalan secara optimal di PPHR bahkan ketua PPHR tidak mengetahui anggotanya mengalami konflik berebut batas. Hal ini menunjukkan lemahnya

komunikasi antara anggota dan ketua dan tidak berfungsinya unit manajemen sebagaimana mestinya.

Unsur kelembagaan ketujuh yang diteliti adalah organisasi. Bentuk organisasi FKPS Selopuro dan Sumberejo secara umum sama dengan struktur yang ditunjukkan pada Gambar 6. Sedangkan bentuk organisasi PPHR Catur Giri Manunggal lebih kompleks karena merupakan unit manajemen level kecamatan yang membawahi 2.902 petani dari empat desa. Bentuk organisasi PPHR Catur Giri Manunggal ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 6. Bentuk Organisasi FKPS

Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat

Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat

Forum Komunikasi Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi

Apabila dibandingkan antara bagan organisasi FKPS dan PPHR berdasarkan Gambar 6 dan 7, PPHR memiliki struktur yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan FKPS. Hal ini juga mempengaruhi penyebaran informasi mengenai sertifikasi. Dengan intensitas pertemuan yang lebih tinggi antara LSM dan masyarakat dengan lingkup anggota lebih kecil dan susunan organisasi yang sederhana mempermudah sampainya informasi langsung kepada masyarakat. Sedangkan pada PPHR, proses penyampaian informasi lama dan sulit karena pendampingan hanya dilakukan kepada petani-petani yang memegang peranan penting di organisasi dan proses penyampaian informasi hanya mengandalkan beberapa petani yang menjabat sebagai pengurus. Informasi yang diterima pengurus PPHR disampaikan ke pengurus lain di tingkat desa (Gabungan Pelestari Hutan Rakyat/ GPHR) lalu diteruskan ke tingkat dusun (Kelompok Pelestari Hutan Rakyat/ KPHR) lalu ke petani seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Sedangkan pada FKPS, baik Selopuro maupun Sumberejo, pendekatan dilakukan langsung ke masyarakat dengan intensitas yang lebih tinggi, terlebih lagi struktur kepengurusan FKPS hanya memuat level desa (FKPS), level dusun (Kelompok Petani Sertifikasi), dan kemudian level petani anggota FKPS. Disamping itu, ada perbedaan metode penyuluhan mengenai sertifikasi. Fenomena ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh ketua program sertifikasi dari LSM Persepsi.

"...Wilayah kelola dan waktu penyiapan, untuk di Selopuro ini satu FMU sekitar 272 hektar dan itu kan coverage-nya kecil kemudian waktu penyiapannya sekitar 14 bulan, sementara untuk di Giriwoyo dengan luasan 2.434 ha di empat desa hanya dalam waktu 12 bulan, atas ketersediaan sumberdaya untuk menyiapkan itu maka ada pendekatan yang berbeda dari Selopuro dan Giriwoyo, Selopuro dan Sumberejo hampir sama, di Selopuro itu frekuensi dan intensitas kita (LSM Persepsi) ketemu dengan masyarakat

itu tinggi karena lebih kecil, tapi untuk di Giriwoyo agak jarang. Itu artinya kita (LSM Persepsi) lebih banyak menggunakan jalur komunikasi formal, jadi misalnya rapat perangkat desa, kemudian pertemuan dusun...di Giriwoyo kan

empat desa jadi satu dan itu dengan kondisi yang bergunung-gunung, itu artinya menyebabkan komunikasinya tidak secepat yang disini (Selopuro dan Sumberejo)..." (Pak Taryanto Wijaya, Ketua Program Sertifikasi LSM Persepsi)

Dalam lingkup wilayah Kabupaten Wonogiri, posisi ketiga unit manajemen hutan rakyat ini merupakan organisasi swadaya dan tidak berada di bawah naungan instansi pemerintah daerah maupun dinas kehutanan setempat. Meskipun awalnya unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani, tetapi dalam pendampingan sertifikasi instansi pemerintah sama sekali tidak terlibat. Hal ini dikonfirmasi oleh Ketua PPHR Catur Giri Manunggal.

"Sebenarnya kelompok mandiri, karena pemerintah tidak terlibat di dalamnya. PPHR berdiri atas bimbingan pendamping LSM Persepsi. Hanya kelompok ini eks-terasiring (pada waktu) Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Penghijauan)" (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal)

Unsur kelembagaan kedelapan yang diteliti adalah ada atau tidaknya insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Di ketiga unit manajemen tidak ada insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan misalnya menaati peraturan dan mau bergabung dalam kegiatan unit manajemen hutan rakyat. Hal ini terjadi karena unit manajemen yang ada merupakan unit manajemen small scale forest management dan bentuk unit manajemen berdasarkan rasa kekeluargaan dan kesadaran. Untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan, misalnya untuk mematuhi aturan, didasarkan pada kesadaran masing-masing anggota yang juga diawasi dengan anggota lain yang akan melaporkan bila terjadi pelanggaran peraturan atau konflik.