• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN

5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai ekolabel sektor kehutanan difokuskan di tiga unit manajemen hutan rakyat yang memperoleh sertifikasi PHBML dengan skema sertifikasi LEI. Ketiga unit manajemen yang diteliti berada di Kabupaten Wonogiri dan lokasinya saling berdekatan. Kondisi topografi di ketiga unit manajemen Kabupaten Wonogiri relatif sama dengan karakteristik responden yang homogen.

Ketiga unit manajemen yang diteliti merupakan unit manajemen yang memperoleh sertifikasi dengan skema pendanaan dari lembaga donor. Ketiga unit manajemen ini dipilih untuk didanai berdasarkan rekomendasi dari LSM Persepsi yang melihat adanya peluang dari unit manajemen untuk memperoleh sertifikasi karena keberhasilan pengembangan hutan rakyatnya. Adapun kesuksesan pengembangan hutan rakyat di ketiga unit manajemen hutan rakyat merupakan hasil dari program penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Awalnya daerah Wonogiri dikenal sebagai daerah yang tandus. Lalu pada tahun 1965-an ada program perbaikan hutan dan alam, kemudian di tahun 1970-an terdapat program pengembangan kebun bibit desa yang diikuti dengan program dari penanaman pohon dari World Food Programme, gerakan penanaman lahan kosong untuk menanggulangi banjir di Waduk Gajah Mungkur atas anjuran pemerintah sekitar tahun 1956-1978, gerakan penanaman turus jalan dan tebang satu tanam 20 oleh Bupati Umarsono sekitar tahun 1979-1998, program Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) sekitar tahun 1999-2005-an. Lahan-lahan terlantar

mulai ditanami dengan jati dan mahoni. Lalu pada tahun 2002, LSM Persepsi mulai melakukan pendampingan sertifikasi di Kelurahan Selopuro dan Desa Sumberejo yang dilanjutkan dengan diperolehnya sertifikasi PHBML pada tahun 2004 untuk kedua desa tersebut. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat tidak hanya ditemukan di kedua desa itu saja tetapi juga di Kecamatan Giriwoyo yang letaknya tidak jauh dari Kelurahan Selopuro dan Desa Sumberejo. Setelah dilakukan pendampingan dan pemberian bantuan dana oleh lembaga donor, unit manajemen hutan rakyat yang ketiga yakni PPHR Catur Giri Manunggal berhasil memperoleh pengakuan atas usaha pelestarian hutan di tahun 2007.

5.1.1 Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal Unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal berada di wilayah Kecamatan Giriwoyo yang memiliki 16 desa, namun hanya empat desa yang pada tahun 2006 dipilih oleh lembaga pendamping yakni LSM Persepsi untuk mengikuti sertifikasi. Keempat desa tersebut adalah Desa Sejati, Desa Guwotirto, Desa Tirtosuworo, dan Kelurahan Girikikis. Pemilihan empat desa ini dilakukan karena desa-desa tersebut berada di satu hamparan dan memiliki kondisi penutupan tajuk tanaman kayu relatif lebih rapat dibandingkan dengan 12 desa lain.

Pada keempat desa yang menjadi anggota unit manajemen terdapat 43 Kelompok Pelestari Hutan Rakyat (KPHR) yang merupakan unit manajemen hutan rakyat sertifikasi di tingkat dusun yang tersebar di empat desa. Unit KPHR ini tergabung dalam Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR) yang merupakan unit manajemen hutan rakyat sertifikasi di tingkat desa. Empat GPHR yang ada bergabung

dalam unit manajemen Unit manajemen hutan rakyat ini mempunyai 2.902 anggota dan luas lahan hutan rakyat 2.434,24 hektar yang terdiri dari lahan hutan pekarangan dan ladang (tegalan). Lahan hutan rakyat yang ada dirintis sejak tahun 1956 diinisiasi oleh petani hutan yang dilanjutkan dengan pengembangan kebun bibit desa oleh kepala dusun hingga pada tahun 2006 hutan rakyat yang dikembangkan sudah lestari dan akhirnya diajukan untuk memperoleh sertifikasi. Adapun tipologi PHBM pada kawasan PPHR Catur Giri Manunggal adalah PHBM pada Kawasan Budidaya Non- Kehutanan (KNBK) dengan orientasi usaha komersial dan dilakukan di atas lahan milik formal.

5.1.2 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro

FKPS Selopuro merupakan salah satu unit manajemen hutan rakyat yang mendapatkan Sertifikasi PHBML LEI pertama di Indonesia. FKPS Selopuro berada dalam wilayah Kelurahan Selopuro yang memiliki delapan Komunitas Petani Sertifikasi (KPS) dengan jumlah anggota 682 orang dan luas lahan hutan rakyat 262,77 hektar dengan pola pengembangan hutan pada lahan pekarangan dan ladang. Selain itu di wilayah FKPS Selopuro ini juga terdapat Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi (TPKS) dan bengkel kerajinan tangan sertifikasi.

FKPS Selopuro yang memiliki luas lahan hutan rakyat 262,77 ha ini memiliki kontur berbatu-batu yang kerap disebut dengan 'batu bertanah' dengan solum yang tipis. Kontur seperti ini juga ditemui hampir di semua wilayah lokasi penelitian. Pada tanah berkontur batu-batuan ini, hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat didominasi dengan tanaman jati dan mahoni. Keberhasilan dari

pengembangan hutan rakyat di daerah ini mengakibatkan munculnya sumber mata air di tengah-tengah pemukiman penduduk. Awalnya di tahun 1965 daerah Selopuro merupakan padang alang-alang dan sudah ada program perbaikan hutan dan alam melalui penghijauan dari pemerintah meskipun tidak banyak. Program pengembangan hutan dan kegigihan petani dalam menanam kayu inilah yang memperbaiki kondisi lingkungan di Kelurahan Selopuro dan juga mengantarkan Kelurahan Selopuro memperoleh sertifikasi PHBML di tahun 2004.

5.1.3 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Sumberejo

FKPS Sumberejo merupakan salah satu unit manajemen hutan rakyat pertama, disamping FKPS Selopuro, yang memperoleh Sertifikasi PHBML LEI. FKPS Sumberejo terletak di Desa Sumberejo dengan luas lahan hutan 526,19 hektar dan memiliki 958 anggota yang tergabung dalam delapan Komunitas Petani Sertifikasi (KPS). FKPS Sumberejo yang letaknya bersebelahan dengan FKPS Selopuro memiliki lahan dengan kontur yang sama yakni 'batu bertanah' dengan solum tipis. Lahan-lahan yang ada diairi dengan sistem sederhana yang bersumber dari sungai dan mata air yang muncul di tengah-tengah pemukiman penduduk akibat dari pengembangan hutan rakyat yang intensif yang dilakukan sejak tahun 1967. Pada awal tahun 1970-an lahan Desa Selopuro gundul akibat eksploitasi kayu yang tidak terkontrol. Akibat keprihatinan petani akan kondisi daerahnya maka dilakukan penanaman yang dilanjutkan dengan program pembangunan kebun bibit desa, World Food Programme, dan Gerhan. Pada tahun 2002 mulai dilakukan pendampingan program sertifikasi oleh LSM setempat yakni, Persepsi.