• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan

6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikas

penerapan sertifikasi, diantaranya adalah (1) klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik, (2) partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat dari pengelolaan hutan, (3) penguatan kelembagaan, (4) peningkatan kapasitas petani hutan rakyat, dan (5) peningkatan peran serta dalam pengelolaan hutan lestari akibat dari adanya peningkatan pengetahuan. Hasil dari penelitian terhadap empat kriteria terhadap petani di tiga unit manajemen ditunjukkan dalam Lampiran 2 sedangkan hasil penelitian mengenai kriteria dampak sosial berupa penguatan kelembagaan dilakukan dengan depth interview kepada keyperson unit manajemen dan hasilnya ditunjukkan dalam Lampiran 3.

Indikator dampak sosial pertama adalah aspek klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik. Berdasarkan hasil penelitian semua anggota unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi sudah mempunyai kejelasan status hak milik lahan mereka dengan memegang surat-surat resmi untuk melegalkan kepemilikan lahan mereka. Seluruh responden di tiga unit manajemen menyatakan bahwa hak milik lahan mereka sudah jelas sebelum sertifikasi dan sudah memiliki surat resmi hak milik lahan sebelum sertifikasi. Hal ini terjadi karena peran serta pemerintah mendorong masyarakat untuk mengesahkan kepemilikan lahannya melalui program sertifikasi tanah masal. Kejelasan status hak milik lahan ini selain membantu kemudahan proses sertifikasi juga membantu meminimalisir konflik. Tetapi, secara legitimate, dua orang responden di PPHR Catur Giri Manunggal malah mengalami konflik berebut batas lahan dengan tetangga dan sampai lima tahun sertifikasi PHBML di PPHR Catur Giri Manunggal berjalan, kedua responden ini tidak menemukan solusi dari konflik lahan yang mereka hadapi. Padahal unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal memiliki peta penyelesaian sengketa dan konflik berebut batas ini seharusnya ditangani oleh KPHR selaku unit manajemen level dusun yang paling dekat dengan anggota. Tetapi sampai sekarang tidak ada soluso konflik yang dapat dicapai karena unit manajemen pusat (level kecamatan) yakni PPHR juga vakum dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Indikator dampak sosial kedua adalah aspek partisipasi dan kesadaran komunitas. Aspek partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat pengelolaan hutan dilihat dari seberapa sering petani menghadiri pertemuan rutin unit manajemen yang terkadang membahas masalah pengelolaan hutan dengan mendatangkan

penyuluh PKL (Petugas Kehutanan Lapang). Pada ketiga unit manajemen, diketahui bahwa 96,67% petani FKPS Selopuro, 93,33% petani FKPS Sumberejo, dan 56,67% petani PPHR Catur Giri Manunggal sering menghadiri pertemuan rutin kelompok tani. Diantara ketiga unit manajemen, frekuensi partisipasi petani dalam menghadiri pertemuan rutin yang paling rendah adalah di PPHR Catur Giri Manunggal. Hal ini terjadi karena tidak berjalannya unit manajemen bahkan saat dikonfirmasi kepada key person maupun responden, pertemuan rutin kelompok tani ini sudah tidak ada lagi. Satu-satunya yang masih berjalan adalah program pembelian pupuk dengan harga murah lewat kelompok tani. Tetapi program tersebut juga tidak ditangani langsung oleh PPHR, melainkan dilimpahkan sesuai dengan kebijakan masing-masing desa dan dusun.

Indikator dampak sosial ketiga adalah aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat. Aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat diteliti melalui semakin mudah atau tidaknya kemudahan mengakses informasi harga dan bertambah atau tidaknya pengetahuan mengenai hutan rakyat setelah sertifikasi. Apabila peningkatan akses informasi mengenai harga semakin tinggi maka hal ini mengindikasikan semakin bertambahnya kapasitas petani dalam proses pemasaran karena sudah mengetahui harga-harga kayu di pasaran. Pada FKPS Selopuro 100,00% responden petani hutan menyatakan setelah sertifikasi semakin mudah mendapatkan informasi mengenai harga dan pasar kayu, sedangkan di FKPS Sumberejo 86,67% responden menyatakan semakin mudah mengakses informasi, dan di PPHR Catur Giri Manunggal 66,67% responden menyatakan semakin mudah

diakibatkan oleh semakin canggihnya teknologi dan peran bakul sebagai pembawa informasi. Kecanggihan teknologi memperluas akses informasi yang tadinya hanya lewat mulut ke mulut sekarang mulai disebarkan melalui Short Message Services

(SMS) ataupun telepon. Peningkatan akses informasi ini juga disebabkan oleh peran serta bakul yang aktif menginformasikan mengenai semakin naiknya harga kayu untuk mempersuasi mereka agar mau menjual kayu. Tetapi sayangnya peningkatan kapasitas petani dalam pemasaran melalui peningkatan akses informasi tidak disertai dengan simetrisnya informasi harga yang beredar di kalangan petani dan bakul. Ketimpangan informasi ini menurut Djogo et al (2003) menyebabkan ketimpangan pembangunan dan kesejahteraan; ketidakmerataan penguasaan atas bisnis dan perdagangan; dan eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain.

Selain aspek peningkatan kapasitas informasi, kapaistas pengetahuan petani juga mengalami peningkatan. Pada aspek ini, 100% responden petani FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo serta 63,33% responden petani PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan ada peningkatan pengetahuan mengenai hutan rakyat. Pengetahuan hutan rakyat yang meningkat ini juga disebabkan oleh semakin banyaknya penyuluhan- penyuluhan setelah sertifikasi dan hal ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh salah satu responden yang juga merupakan ketua KPS dan perangkat desa.

Indikator keempat dampak sosial adalah aspek peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari. Pada aspek ini dilakukan penelitian dengan melihat bagaimana tanggapan masyarakat mengenai perlu atau tidaknya hutan dijaga agar tetap lestari dan darimanakah masyarakat memperoleh pengetahuan terkait dengan manfaat hutan apabila dijaga kelestariannya. Dengan persentase yang

tinggi, responden di ketiga unit manajemen menyatakan bahwa hutan perlu dan sangat perlu dijaga agar tetap lestari dan perolehan pengetahuan mengenai manfaat hutan agar perlu dijaga agar tetap lestari diperoleh dari penyuluhan dan pertemuan rutin dengan persentase sebesar 96,67% untuk FKPS Selopuro dan Sumberejo serta 46,67% untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Persentase terendah ditemukan di PPHR Catur Giri Manunggal karena pertemuan rutin sudah tidak pernah diadakan dan banyak petani yang merasa kelompok tani tidak membantu peningkatan pengetahuan mereka.

Indikator terakhir untuk melihat dampak sosial adalah ada atau tidaknya penguatan kelembagaan. Untuk kriteria terakhir ini, penelitian dilakukan melalui

depth interview kepada key person dan hasilnya direpresentasikan pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil dari penelitian diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan yang ada sangat potensial untuk didorong dan dibimbing untuk bekerjasama dalam bidang ekonomi secara berkelompok karena terdiri dari anggota-anggota yang saling mengenal dan memiliki visi dan misi yang sama. Tetapi selama ini pelatihan untuk menimbulkan kemandirian belum efektif dan belum menjangkau semua anggota. Hal ini dikarenakan saat ada pelatihan hanya beberapa anggota saja yang mengikuti dan dilakukan secara bergiliran/ bergantian. Oleh karena itu perlu adanya pendampingan yang lebih intensif dan merata agar unit manajemen yang ada lebih mandiri dan anggota dapat bekerja secara berkelompok. Disamping itu, penumbuhan gabungan kelompok masyarakat yang ada selama ini hanya dalam bentuk kelompok tani dan belum ada usaha untuk membentuk gabungan kelompok masyarakat yang aktif dalam

unit manajemen, misalnya FKPS Sumberejo yang mengkursuskan salah satu anggotanya dan PPHR Catur Giri Manunggal yang memasarkan kayu sertifikasi dan berusaha untuk meningkatkan posisi tawar melalui kerjasama dengan PT. Jaring Akar Ranting. Usaha untuk mengembangkan jalinan kemitraan baik kemitraan bisnis, kemitraan bantuan, maupun kemitraan pelatihan sudah dilakukan tetapi belum ada perkembangan berarti. Sulitnya mencapai kesepakatan antara perusahaan dengan pihak petani terkait harga, kuota kayu yang harus dipasok, dan kualitas menjadi penyebab sulit berkembangnya kemitraan bisnis.

Pada awal pendampingan, kelembagaan yang ada difasilitasi pelatihan khusus dan pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai jual kayu dengan mengubah kayu yang tadinya hanya sebagai raw material sudah mulai diproses menjadi handicraft. Ketiga unit manajemen ini bahkan memiliki satu bengkel handicraft lengkap dengan mesin-mesinnya namun hanya beberapa orang saja dari petani kompeten dan mengikuti pelatihan khusus. Namun pelatihan dan keberadaan bengkel handicraft

yang terletak di Desa Selopuro belum mampu membuat ketiga unit manajemen hutan rakyat untuk mempunyai unit usaha yang independen. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa bengkel handicraft yang ada jarang terpakai karena hanya berfungsi saat ada pesanan dari mitra bisnis untuk membuat handicraft misalnya pot kayu, frame, dan kursi. Handicraft yang telah dibuat oleh unit manajemen sertifikasi ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh Petani-Petani Unit Manajemen Hutan Rakyat

Selain itu, unit manajemen yang ada tidak mengalami perbaikan sistem administrasi. Administrasi unit manajemen yang lengkap hanya terdapat awal proses pendampingan sertifikasi dilakukan perbaikan sistem administrasi berupa pencatatan potensi tegakan, kepemilikan lahan dan status lahan, serta data keanggotaan. Namun sistem administrasi yang baik berupa pencatatan potensi tegakan tidak dilanjutkan lagi oleh petani hutan rakyat sehingga administrasi dan data yang lengkap hanya tersedia di awal pengajuan sertifikasi saja. Padahal pencatatan potensi tegakan secara rutin dapat membantu pengontrolan penebangan legal yang berlebihan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan belum ada penguatan kelembagaan setelah adanya sertifikasi berdasarkan dari hasil penelitian mengenai aspek penguatan kelembagaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi. Tidak berfungsinya unit manajemen secara optimal, tidak adanya pelatihan yang intensif dan merata, tidak berjalannya pasar sertifikasi, dan kurangnya modal merupakan alasan mengapa unit manajemen yang ada sulit berkembang. Namun adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut,

memberikan peningkatan kapasitas pengolahan hasil hutan dari rawmaterial menjadi

handicraft melalui pelatihan dan fasilitas pengembangan aktivitas usaha yakni mesin

handicraft dan pengembangan kemitraan antara petani dengan institusi lain baik dalam segi kemitraan bisnis, bantuan, maupun pelatihan.

6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi