• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Terhadap Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal Layak

KEDELAPAN. PENGECUALIAN TINDAK PIDANA TERHADAP MASYARAKAT YANG TINGGAL SECARA TURUN TEMURUN

3. Tersedianya berbagai alternatif solusi yang telah secara sepihak

2.3. Dampak Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Terhadap Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal Layak

Selama satu-satunya prinsip pemberian hak atas tanah adalah siapa yang bisa membayar paling tinggi, maka selama itu pula distribusi lahan – termasuk lahan kota – akan berjalan tanpa keadilan. Ketidakadilan dalam distribusi lahan menciptakan kondisi di mana sebagian besar masyarakat – khususnya yang miskin dan berpenghasilan rendah – tidak akan mampu memiliki lahan dan miskin akses atas tempat tinggal layak. Kondisi ketidakadilan dalam distribusi tanah ini terlihat jelas dari data BPN yang menunjukkan bahwa 56% aset nasional (87% diantaranya adalah tanah) dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk. Di Jakarta saja, dalam kurun waktu 2000 – 2005 ruang komersial untuk mall dan pusat perbelanjaan meningkat 300%, dari 1,4 juta meter persegi di tahun 2000 menjadi 4,2 juta meter persegi di tahun 2005.

Ruang untuk mall tumbuh 31,4% per tahun. Sementara itu studi yang dilakukan Universitas Trisakti menunjukkan, lebih dari 80% penggunaan ruang di Jakarta menyalahi peruntukan.

Lahan yang diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau (RTH) diubah menjadi kawasan perumahan elit dan pusat perbelanjaan. Pemprov DKI inkonsisten terhadap tata ruangnya sendiri. Tata ruang juga dibuat tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Bukan hanya di Jakarta, kebijakan pertanahan dan tata ruang secara nasional yang dilaksanakan pemerintah selama ini cenderung melayani kalangan menengah atas. Pelanggaran tata ruang oleh pihak pengembang dilegalkan dengan menyusun tata ruang baru. Sementara penegakan hukum secara keras contong diterapkan terhadap pelanggaran yang dilakukan kalangan bawah. Data berikut sekadar contoh.

(bagan terdapat pada keterangan tertulis)

Bandingkan dengan alasan penggusuran terhadap pemukiman dan tempat usaha warga miskin di bawah ini, yang disusun Institute for Ecosoc Rights berdasarkan hasil investigasi Institute Sosial Jakarta, Forum Warga Kota Jakarta, LBH Jakarta dan dari pemberitaan media massa ibukota tahun 2001 – 2003. (bagan terdapat pada keterangan tertulis)

Di Jakarta, ada banyak pelanggaran tata ruang yang dilakukan pengembang kemudian dilegalkan atau diputihkan dengan menyusun tata ruang baru. Sementara kalangan bawah yang menempati ruang-ruang marjinal dan tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan menyangkut pertanahan dan tata ruang akan terus menghadapi situasi tidak aman.

Cap “ilegal” membuat mereka kian rentan terhadap ancaman penggusuran. Mereka tidak kuasa untuk mengubah status ilegal permukiman mereka menjadi legal. Bahkan desakan kekuatan modal dan pasar membuat warga yang memiliki sertifikat dan kepemilikan legal atas tanah mereka juga tidak terlepas dari ancaman penggusuran paksa. Banyak kasus perampasan lahan dan penggusuran di berbagai wilayah di Indonesia dialami oleh mereka yang lahannya bersertifikat, seperti yang dialami oleh masyarakat di desa-desa transmigran di berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat berkonflik dengan pihak perusahaan karena lahan bersertifikat mereka berada di area HGU perusahaan. Pemerintah memberikan ijin HGU meskipun di lokasi tersebut ada lahan masyarakat yang bersertifikat. Kalau tanah yang legal saja bisa dengan mudah digusur, apalagi yang dicap sebagai ilegal.

Dalam kondisi ketidakadilan dalam distribusi lahan dan penataan ruang, maka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya akan memperburuk kondisi ketidakadilan dalam distribusi lahan,dan meningkatkan ketimpangan dalam penguasaan lahan. Sebab Undang-Undang tersebut memberi kuasa besar pada pemerintah (daerah) untuk melakukan dan melegalkan penggusuran paksa. Undang-undang tersebut memperlemah akses kelompok miskin terhadap tanah dan tempat tinggal layak, dan membuat kelompok miskin dan berpenghasilan rendah semakin rentan terhadap ancaman penggusuran. Penggusuran paksa membuat yang termajinalkan kian termajinalkan dan yang miskin menjadi semakin miskin.

Hak rakyat atas lahan dijamin dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Terkait dengan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil menjabarkan bahwa frasa “dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat diukur dengan menggunakan empat indikator, yaitu:

(1) Kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat (2) Tingkat pemerataan manfaat sumbedaya

(3) Tingkat partisipasi rakyat menentukan manfaat sumberdaya

(4) Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfatkan sumbedaya alam

Penerapan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 bisa menutup peluang bagi negara untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebab Undang-Undang tersebut, bisa dipakai atau dijadikan dasar untuk melegalkan pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan kalangan berduit tanpa menghormati hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumberda alam sehingga hanya sekelompok kecil kaum berduit saja yang dapat berpartisipasi dalam menentukan manfaat sumberdaya, tak terkecuali tanah. Kondisi ini bisa berdampak pada memburuknya ketidakmerataan dalam pemanfaatan sumberdaya dan melemahnya partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya, termasuk tanah.

(3) Standard HAM Dan Tanggung Jawab Negara Terkait Penggusuran

Menurut hukum hak asasi internasional, kewajiban negara terhadap pelaksanaan hak asasi manusia mencakup penghormatan, perlindungan dan pemenuhan semua hak asasi manusia. Ini berarti bahwa negara harus menahan diri dari pelanggaran hak asasi manusia dalam negeri dan ekstrateritorial – termasuk melindungi warga dari penggusuran paksa, memastikan bahwa pihak lain dalam yurisdiksi negara dan dalam kontrol efektif negara tidak melanggar hak asasi orang lain, dan mengambil langkah-langkah pencegahan dan perbaikan untuk menegakkan hak asasi manusia serta memberikan bantuan bagi mereka yang haknya telah dilanggar.

Kewajiban negara untuk menahan diri dari pelanggaran HAM dan melindungi warga dari penggusuran paksa rumah dan tanah, muncul dari beberapa instrumen HAM internasional, di antaranya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya [Pasal 11 ayat (1)], Konvensi Hak Anak [Pasal 27 ayat (3)], ketentuan-ketentuan non-diskriminasi yang ditemukan dalam Pasal 14, ayat (2) h dalam

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Pasal 5 e dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras, Pasal 17 dari Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa "tidak seorang pun akan terkena gangguan yang sewenang-wenang atau melanggar hukum dalam hal privasi, keluarga, rumah atau korespondensi,” dan juga bahwa "setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap gangguan atau serangan tersebut", Pasal 16, ayat (1) Konvensi Hak Anak berisi ketentuan yang serupa, Pasal 21 dari Konvensi tahun 1951 sehubungan dengan Status Pengungsi, Pasal 16 Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 169 tentang masyarakat pribumi dan adat di negara-negara yang telah merdeka (1989); dan Pasal 49 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan terhadap Masyarakat Sipil ketika Perang (Konvensi Jenewa Keempat, 12 Agustus tahun 1949).