• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDELAPAN. PENGECUALIAN TINDAK PIDANA TERHADAP MASYARAKAT YANG TINGGAL SECARA TURUN TEMURUN

3. Tersedianya berbagai alternatif solusi yang telah secara sepihak

2.1. Standard Kelayakan Hak atas Tempat Tinggal

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan.

Untuk pemajuan hak asasi manusia, pemerintah Indonesia telah meratifikasi perjanjian (Kovenan) Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Kovenan Internasional Hak Sipil Politik yang mengikat secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil Politik.

Hak atas tempat tinggal yang layak dimuat dalam Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya Pasal 11 ayat (1): Negara-negara peserta perjanjian mengakui hak setiap orang akan suatu standar penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan tempat tinggal yang cukup dan perbaikan kondisi penghidupan yang terus menerus.

Sebagai pihak/anggota dari Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan adanya realisasi progresif hak atas perumahan yang layak, sambil memastikan tidak adanya diskriminasi dengan alasan apapun.

Hak atas tempat tinggal yang layak, ditarik dari standar hidup yang layak dan mengacu tidak hanya pada tempat tinggal melainkan juga tempat tinggal yang layak. Hak atas tempat tinggal yang layak tidak boleh ditafsirkan dalam arti sempit atau terbatas, misalnya hanya memiliki atap di atas kepala seseorang.

Ukuran “layak” ditentukan berdasarkan faktor sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologi dan faktor-faktor lainnya sebagai berikut.

(a) Jaminan legalitas kepemilikan. Kepemilikan mencakup berbagai bentuk, termasuk di dalamnya sewa akomodasi (umum dan swasta), kerjasama perumahan, sewa beli, penguasaan hak, rumah darurat dan tempat tinggal sementara, termasuk juga penguasaan terhadap tanah

dan properti. Selain jenis kepemilikan, semua orang seharusnya memiliki tingkat kepemilikan tertentu yang menjamin perlindungan hukum terhadap pengusiran paksa, gangguan dan bentuk ancaman lainnya. Negara-negara pihak semestinya secara sadar mengambil langkah langkah segera yang bertujuan memberikan jaminan legalitas kepemilikan kepada orang orang dan rumah tangga yang saat ini kurang mendapat perlindungan.

(b) Ketersediaan akan berbagai layanan, bahan-bahan, fasilitas dan infrastruktur (sarana dan prasarana). Tempat tinggal yang ”layak” seharusnya terdiri dari berbagai fasilitas khusus untuk kesehatan, keamanan, kenyamanan dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak tersebut semestinya memiliki akses yang berkelanjutan kepada seluruh sumber daya alam dan sumber daya umum, air minum yang sehat, energi untuk memasak, pemanas dan penerangan, sanitasi dan fasilitas mencuci, sarana penyimpanan makanan, pembuangan sampah, tempat drainase, dan layanan darurat.

(c) Keterjangkauan (biaya). Biaya pribadi atau rumah tangga yang terkait dengan tempat tinggal seharusnya sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat. Negara pihak semestinya menyediakan subsidi perumahan untuk mereka yang tidak mampu memiliki rumah yang terjangkau. Dalam kaitannya dengan prinsip keterjangkauan bagi rumah sewa, penyewa/penghuni semestinya mendapat perlindungan dari berbagai hal yang memungkinkan terjadinya tingkat sewa atau kenaikan tingkat sewa yang tidak sesuai dengan kemampuan warga. Negara juga menjamin ketersediaan bahan-bahan bangunan rumah.

(d) Layak huni. Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat memberi penghuninya ruangan yang layak dan dapat melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman-ancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin.

(e) Aksesibilitas. Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anakanak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, kelompok miskin dan lain-lain harus diprioritaskan dalam undang-undang dan kebijakan tentang masalah tempat tinggal. Perluasan akses tanah untuk segmen-segmen masyarakat yang tidak mempunyai tanah atau dimiskinkan harus dijadikan tujuan utama kebijakan itu. Kewajiban-kewajiban pemerintah harus dikembangkan dengan sasaran untuk memperkuat hak setiap orang atas hunian yang aman untuk hidup secara damai dan bermartabat, termasuk akses tanah sebagai sebuah hak. Negara harus memberikan prioritas pada kelompok-kelompok masyarakat yang kondisi kehidupannya memprihatinkan. (f) Lokasi. Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Hal ini berlaku baik di kota besar maupun kawasan pinggiran dimana tuntutan biaya transportasi dinilai terlalu tinggi. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya.

(g) Kelayakan budaya. Cara rumah didirikan, material bangunan yang digunakan, dan

kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan. Hak atas tempat tinggal yang layak tidak boleh dipandang lepas dari hak asasi manusia lain yang tercantum dalam dua Perjanjian Internasional (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Kovenan Hak Sipil Politik), yang memuat konsep martabat manusia dan prinsip-prinsip non-diskriminasi. Penikmatan penuh atas hak-hak lainnya – seperti hak untuk berekspresi, hak untuk berasosiasi/berserikat (misalnya, para penyewa dan kelompok-kelompok berbasis komunitas lainnya), hak untuk menetap, dan hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik – sangat

diperlukan supaya hak atas tempat tinggal yang layak dapat direalisasikan dan dipertahankan oleh seluruh kelompok masyarakat. Di samping itu, hak untuk menolak perlakuan yang sewenang-wenang atau tindakan yang melanggar hukum atas privasi, keluarga, rumah, atau korespondensi adalah dimensi yang paling penting dalam pengenalan hak atas tempat tinggal yang layak. Terkait dengan hak atas tempat tinggal yang layak, penggusuran paksa tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam standard HAM internasional dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan-keadaan yang paling luar-biara serta dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum HAM internasional.

2.2. Kaitan Hak Atas Tempat Tinggal yang Layak dengan Akses Atas Tanah