• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEMPAT. PEMERINTAH DAERAH HARUS MEMILIKI BUKTI PENGUASAAN ATAU PEMILIKAN HAK ATAS TANAH

Bagaimana hubungan hukum antara pemerintah daerah dengan tanah dan apakah pemerintah daerah adalah pemegang hak atas tanah? Pertanyaan ini diajukan karena Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 51 Prp Tahun 1960 apabila ditafsirkan secara sistematis menempatkan Penguasa Daerah atau Pemerintah Daerah sebagai pemegang hak atas tanah.

Pasal 2.

Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.

Pasal 3.

(1) Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu.

(2) Penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Ketentuan di atas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan penertiban tanah, yaitu tanah yang bukan perkebunan dan kehutanan dimana tanah tersebut dipakai oleh orang tanpa izin yang berhak atau pemegang kuasa atas tanah tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang dimaksud dengan yang berhak dan kuasanya? Untuk menjawab hal tersebut maka perlu diperjelas mengenai siapa saja subjek yang memiliki kualifikasi untuk menjadi pemegang hak atas tanah. Apakah Pemerintah Daerah merupakan subjek pemegang hak atas tanah?

Berdasarkan Bab II, terutama Pasal 16 UUPA, Pemerintah Daerah bukanlah pemegang hak atas tanah pada umumnya. Pasal 16 UUPA mengatur mengenai berbagai jenis hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak lain yang akan ditetapkan dengan undang. Dari sejumlah hak atas tanah tersebut, pemerintah daerah dan instansi pemerintah lainnya hanya dapat menjadi

pemegang hak pakai. Hak pakai oleh instansi pemerintah diberikan sepanjang tanah yang dibutuhkan tersebut masih dipergunakan oleh instansi pemerintah yang bersangkutan, misalkan untuk keperluan mendirikan kantor pemerintah dan fasilitas pendukung lainnya. Termasuk dalam hal ini pemberian hak pakai atas tahan untuk pendirian kantor-kantor kedutaan asing di Indonesia.

Jadi, kedudukan pemerintah sebagai pemegang hak atas tanah sangatlah terbatas. Oleh karena pemerintah merupakan pemegang hak atas tanah yang sangat terbatas, maka tidak bisa kemudian pemerintah daerah mengusir masyarakat yang memakai tanah yang bukan hak atas tanah dari pemerintah daerah. Dalam arti lain, apabila suatu bidang tanah bukan merupakan hak pakai atas tanah dari pemerintah daerah, maka pemerintah daerah tidak punya wewenang untuk mengusir masyarakat yang memakai tanah tersebut.

Selain hak pakai, pemerintah daerah dapat menguasai tanah atas dasar hak pengelolaan. Hak pengelolaan tidak diatur secara eksplisit dalam UUPA, namun keberadaannya dipandang sebagai sempilan dari Hak Menguasai Negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1999, Hak Pengelolaan (HPL) diartikan sebagai hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997, hak pengelolaan merupakan objek pendaftaran tanah. Sehingga untuk membuktikan apakah pemerintah daerah sebagai pemegang HPL, maka hams diperiksa apakah tanah hak pengelolaannya tersebut sudah terdaftar atau belum. Serupa dengan hak pengelolaan, instansi pemerintah juga dapat menjadi penguasa tanah negara yang tidak dibebani hak atas tanah, dengan kata lain sebagai penguasa tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Tanah ini lazim disebut sebagai tanah negara. Baik UUPA maupun UU No. 51 Prp Tahun 1960 menempatkan pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian yang mengurusi agraria dan pertanahan sebagai penguasanya. Namun hal itu bisa saja dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997, tanah negara juga merupakan objek pendaftaran tanah, sehingga untuk memberikan kepastian hukum mengenai penguasaan tanah negara dan tidak ada hak atas tanah individu atau badan hukum di atasnya, maka tanah negara hams didaftarkan kepada instansi pertanahan.

Jadi, hubungan penguasaan dan pemilikan tanah oleh pemerintah daerah dapat terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Penguasaan terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara).

2. pemegang hak pengelolaan. 3. pemegang hak pakai.

Terhadap ketiga hubungan hukum penguasaan dan pemilikan tanah di atas hams dapat dibuktikan oleh pemerintah daerah sebelum menerapkan ketentuan larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Tanpa ada pembuktian sebagaimana tersebut, maka tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah bertentangan dengan jaminan perlindungan terhadap hak milik, hak atas rasa aman dan lingkungan yang baik dari warga negara.

KELIMA. PENGERTIAN "TANPA IZIN YANG BERHAK DAN KUASANYA YANG SAW"

Ketentuan kunci yang menjadi jantung dari UU No. 51 Prp Tahun 1960 terletak pada frasa "tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah". Frasa yang memiliki makna serupa terdapat juga dalam beberapa peraturan perundang-undangan lain, misalkan frasa "secara tidak sah" yang terdapat di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan juga undang-undang penggantinya yaitu UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Terhadap rumusan ketentuan perundang-undangan yang demikian ini telah pernah dtafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 138/PUU-XIII/2015 mengenai pengujian ketentuan tindak pidana di bidang perkebunan. Ketentuan yang diuji tersebut berbunyi:

"Setiap Orang secara tidak sah dilarang:

a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;

b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;

c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.

Menurut Mahkamah Konstitusi frasa "secara tidak sah" dalam UU Perkebunan tersebut baru memiliki kekuatan hukum mengikat apabila konflik tanah perkebunan dan pemetaan tanah ulayat masyarakat hukum adat telah selesai dilakukan. [Halaman 270, 284-285 Putusan Nomor 138/PUU-XIII/20151. Artinya, apabila tanah yang menjadi objek dimana ketentuan tindak pidana tersebut hendak diterapkan, harus terlebih dahulu diselesaikan konflik tanahnya, dan apabila disana terdapat masyarakat hukum adat maka terlebih dahulu harus dilakukan pemetaan wilayah adat, sebelum diberlakukan ketentuan tindak pidana tersebut.

Dalam kaitannya dengan UU No. 51 Prp Tahun 1960, maka sebelum menerapkan ketentuan mengenai pemakaian tanah tanpa izin yang berhak dan kuasanya yang sah, maka terlebih dahulu yang harus dibuktikan adalah keabsahan penguasaan dan pemilikan tanah dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Tanpa ada tahapan tersebut, maka frasa "tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah" semestinya tidak memiliki kekuatan hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

KEENAM. TANAH YANG DIKUASAI LANGSUNG OLEH NEGARA HARUS