• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDELAPAN. PENGECUALIAN TINDAK PIDANA TERHADAP MASYARAKAT YANG TINGGAL SECARA TURUN TEMURUN

D. Kewajiban Negara Paska Penggusuran

3. Gandi Yacop Hamid

- Saksi bertempat tinggal di Jalan Patra Raya, Nomor 95, Tanjung Duren,

Jakarta Barat, Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebun Jeruk;

- Pekerjaan saksi sehari-hari adalah sebagai pedagang material atau bahan

bangunan;

- Saksi adalah korban gusuran di Kawasan Duri Kepa oleh pihak swasta yang

mengaku bernama Haji Ramli, tetapi pelaksanaannya dibantu oleh pihak Walikota Jakarta Barat;

- Saksi dan seluruh warga Duri Kepa telah menghuni kawasan tersebut selama

lebih dari 20 tahun yang dibeli dari seorang jawara yang menduduki lahan tersebut.

- Dari jual beli tanah tersebut saksi mendapatkan akta jual beli, dan pajak bumi

dan bangunannya rutin dibayar setiap tahunnya.

- Saksi dan warga memiliki KTP yang berlokasi di tempat tinggal yang digusur,

yang permanen, ada beberapa rumah yang bertingkat dan menghadap ke jalan utama.

- Selama 10 tahun terakhir, saksi dan warga sudah beberapa kali mencoba

mendaftarkan tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional, namun selalu ditolak dengan berbagai macam alasan. Misalnya, diharuskan mempunyai 1000 meter tanah dan itu digunakan untuk kepentingan umum. Saksi merasa bingung karena sama sekali tidak mengetahui apa sebabnya sehingga menjadi korban penggusuran.

- Saksi mendapatkan informasi yang simpang siur. Terdapat berbagai versi

informasi, ada yang bilang bahwa lahan tersebut untuk proyek normalisasi mengembalikan lahan Haji Ramli ataupun penertiban aset pemerintah daerah. Dengan adanya informasi tersebut, saksi dan warga mencoba mengklarifikasi kebenarannya dengan menuliskan surat kepada lurah setempat dan juga Biro Hukum Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta agar dapat bertemu, namun sama sekali kita tidak pernah digubris oleh aparat.

- Ketika saksi dan warga berhasil bertemu dengan lurah, lurah malah

menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan dan mengusir serta bahwa saksi dan warga adalah warga ilegal yang tanpa memberikan keterangan sedikitpun;

- Saksi dan warga belakangan mengetahui bahwa Haji Ramli yang mengklaim

tanah warga dan saksi juga memiliki girik, sehingga menurut Undang-Undang Pokok Agraria hal tersebut merupakan bukan bukti kepemilikan yang kuat karena belum didaftarkan, sama seperti bukti kepemilikan saksi dan warga. Tapi anehnya hanya dengan bukti kepemilikan tersebut Pemprov DKI Jakarta bersedia untuk menjadi pelaksana penggusuran paksa terhadap saksi dan warga dengan mengatasnamakan girik dari Haji Ramli tersebut;

- Saksi dan warga merasa awam akan hukum, dan menyadari bahwa jika para

pihak yang bersengketa bersama-sama memiliki klaim yang sama kuat sebaiknya ditempuh dengan proses musyawarah atau pengadilan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa tanah, tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh pihak yang mengklaim tanah saksi dan warga. Padahal saksi dan warga telah mencoba pendekatan musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tersebut, baik dengan pemprov maupun perwakilan Haji Ramli, tetapi itikad baik kami tidak dipedulikan dan itikad kami hanya dibalas dengan

surat perintah bongkar dari Pemprov DKI Jakarta yang datang mendadak tanpa proses musyawarah terlebih dahulu. Sehingga kami bahkan tidak sempat mempertimbangkan membawa perkara ini ke pengadilan negeri;

- Pada saat proses penggusuran yang berbarengan dengan penggusuran

Kampung Pulo pada tanggal 20 Agustus 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengancam akan menurunkan 700 aparat gabungan TNI, Polri, serta Satpol PP. Mereka juga membawa excavator yang menurut saksi intimidasi ini sungguh berlebihan mengingat jumlah warga Duri Kepa hanya 22 kepala keluarga dan sebagian dari warga cuma hanya bisa berpasrah.

- Akibat dari penggusuran tersebut, saksi dan warga tidak dapat

menyelamatkan barang-barang dagangan, sehingga terpaksa mencari kontrakan-kontrakan yang bisa dibilang menambah biaya ekstra buat saksi sebagai pedagang;

- Saat ini sebagian warga masih ada yang belum bekerja akibat penggusuran

tersebut begitu juga dengan anak-anak yang masih sekolah, dan mereka terkadang bertanya “rumah kami yang digusur itu bagaimana?”

- Seusai penggusuran, Pemrov tidak sama sekali memberikan kompensasi apa

pun. Saksi dan warga juga tidak diberikan bantuan hukum dan akhirnya terpaksa datang ke LBH Jakarta yang bersedia mendampingi hak-hak kami;

- Pada saat ini saksi dan warga sedang mengajukan gugatan di pengadilan.

Pemprov DKI Jakarta selalu berdalih sebagai pemilik lahan tersebut. Hal tersebut tentu saja sangat tidak konsisten karena penggusuran didasarkan pada girik milik H. Ramli;

- Pemprov DKI Jakarta menyatakan bahwa saksi dan warga tidak berhak atas

kompensasi apa pun karena Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak dan Kuasanya telah mengatur demikian.

- Saksi dan warga tidak terima disamakan dengan warga ilegal karena saksi

dan warga membeli tanah dan rumah tersebut dengan uang sendiri.

- Saksi dan warga juga membayar pajak dengan rutin dan sudah tinggal lebih

daripada 20 tahun di tempat tersebut sehingga seharusnya saksi dan warga berhak atas sertifikat tanah berdasarkan hukum yang berlaku;

- Memahami kondisi yang saksi dan warga alami diakibatkan adanya aturan

4. Anzori

- Saksi tinggal di Papanggo Jakarta Utara;

- Saksi adalah korban penggusuran paksa oleh Pemprov DKI Jakarta di

wilayah RT 010, RW 08, Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara;

- Saksi digusur pada tanggal 25 Agustus 2008, dengan cara Petugas

Pemprov DKI Jakarta datang secara mendadak untuk melakukan penggusuran tahap kedua. Padahal menurut informasi bagian rumah saksi tidak termasuk yang digusur pada awalnya. Saksi sempat bertanya kepada Satpol PP, “bagaimana perasaan bapak kalau ini terjadi kepada keluarga bapak?” yang dijawab, “bahwa ini perintah atasan”.

- Pada saat penggusuran terjasi saksi merasa sedih sekali, karena saksi masih

mempunyai anak yang masih bayi. Ketika itu saksi baru membuat tempat tidur bayi dari kayu bekas, namun tmpat tidur tersebut tetap dihancurkan juga oleh Satpol PP. Ketika itu bayi dan istri saksi menangis karena tidak punya apa-apa lagi;

- Rumah saksi yang tadinya berdiri tegap, tiba-tiba menjadi tenda

penampungan karena Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan solusi apa pun. Padahal saksi sebagai warga negara haknya dijamin oleh Undang-Undang Dasar untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Namun Pemprov DKI Jakarta mengatakan bahwa saksi dan warga adalah warga ilegal dan melanggar hukum. Bahkan bantuan untuk makan selama penampungan saja hanya diberikan pada hari pertama. Selanjutnyasaksi dan warga terlantar. Ketika itu suasananya sangat mencekam dan menakutkan;

- Saksi juga kehilangan pekerjaan setelah penggusuran. Hidup di tenda

penampungan tidak mungkin bagi saksi bekerja. Saksi buruh lepas yang mencari nafkah di kawasan pabrik Jakarta Utara. Oleh karena rumah tidak ada maka saksi tidak tenang meninggalkan anak dan istri.

- Banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah. Mereka trauma atas

kejadian penggusuran paksa yang menimpa mereka. Ada beberapa anak yang dihina teman-teman sekolahnya karena orang tuanya menjadi korban penggusuran. Anak-anak sekarang kalau melihat aparat berseragam masih ketakutan dan trauma;

- Warga sempat mengajukan gugatan ke pengadilan dibantu teman-teman

LBH Jakarta secara cuma-cuma, tetapi sudah kasasi, namun tetap kalah, dan dinyatakan tidak berhak mendapatkan kompensasi apa pun. Hakim juga mengatakan bahwa saksi dan warga adalah warga illegal;

- Saksi dan warga bersedia untuk bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta

untuk menjalankan program menata kota menjadi lebih baik jika menggunakan cara yang manusiawi, namun tidak perlu menggunakan jalan kekerasan;