• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDELAPAN. PENGECUALIAN TINDAK PIDANA TERHADAP MASYARAKAT YANG TINGGAL SECARA TURUN TEMURUN

D. Kewajiban Negara Paska Penggusuran

III. Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Untuk Diuji

3. Maria Immaculatus Djoko Marihandono:

- Berdasarkan sejarahnya, prinsip demokrasi yang tercetus dalam Revolusi Prancis 14 Juli 1879 adalah pengakuan bahwa hak milik adalah suci. Oleh karena itu, hak tersebut harus dilindungi dan diamankan oleh penguasa dalam hal ini pemerintah (negara). Untuk melaksanakan prinsip itu, harus dibuat aturannya, sehingga apabila terjadi pengambilalihan hak itu demi kepentingan umum (kepentingan masyarakat) dapat diberikan ganti rugi. Oleh karena itu, prinsip negara yang menganut paham demokrasi harus menjalankan prinsip ini;

- Dengan demikian, semua tindakan melawan hukum yang melanggar hak milik (termasuk nyawa seseorang) harus diproses oleh penguasa (dalam hal ini negara) tanpa harus menunggu laporan pihak yang dirugikan.

- Hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing pihak (pribadi, kelompok/ organisasi atau bahkan negara sekalipun) dilindungi oleh negara berdasarkan status kepemilikan dari benda/harta yang dimilikinya.

Dengan demikian semua peraturan haik dari tingkat undang-undang hingga peraturan yang tingkatnya paling bawah sekalipun ditujukan untuk mengatur masyarakatnya agar tidak terjadi perselisihan pada pihak-pihak yang merasa berkepentingan sesuai hak yang dimilikinya.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960, dari sudut pandang sejarahnya dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Dalam kaitannya dengan Kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Konferensi Meja Bundar, pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949. Dengan pengakuan itu, terdapat beberapa konsekuensi:

a. Wilayah bekas kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda mulai tanggaI itu menjadi milik negara Republik Indonesia;

b. Semua perusahaan milik negara, seluruh assetnya menjadi milik negara Republik Indonesia;

c. Pengambilalihan perusahaan-perusahaan Swasta Belanda oleh negara akan diselesaikan tersendiri oleh Pemerintah Republik Indonesia;

2. Dengan dikuasainya seluruh wilayah bekas kekuasaan Pemerintah KoIonial Belanda (kecuali Papua), Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1953 tentang "Penguasaan Tanah-Tanah Negara" di luar tanah-tanah yang sudah diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan, atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah negara ada pada Menteri Dalam Negeri (Pasal 2). Pemerintah berhak menyerahkan penguasaan itu kepada suatu kementerian (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri), atau Jawatan, atau Daerah Swatantra untuk keperluan tertentu. 3. Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 86

Tahun 1958 tentang "Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda" akan mengambil alih semua asset perusahaan swasta Belanda termasuk tanahnya. Undang-undang ini kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang "Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda" (berisi tentang nasionalisasi 10 perusahaan kereta api swasta) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1959 tentang "Nasionalisasi Perusahaan Kereta Api dan Telepon milik Belanda". Keputusan yang diambil dalam Peraturan Pemerintah ini adalah pengambilalihan asset kereta api dan telepon milik NV. Deli Spoorweg Maatschappij di Medan (termasuk asset tanahnya). Peraturan Pemerintah juga dikeluarkan untuk ranah perlistrikan, perkapalan, pertambangan, dll.

4. Dengan dikeluarkannya UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, menyatakan bahwa tanah eks hak Barat harus dikonversi menjadi hak baru dan apabila batas waktu tertentu tidak dikonversi maka akan menjadi tanah negara bebas. (Ketentuan ini tidak berlaku bagi tanah yang dikuasai oleh instansi pemerintah/BUMN dan tetap dikuasai oleh negara). Undang-Undang menetapkan bahwa walaupun ada tanah negara bebas, bukan berarti bahwa tanah negara bebas itu boleh diambil oleh siapa pun tanpa izin. Status tanah itu tetap menjadi tanah negara. Bahkan Tanah Swapraja atau bekas Swapraja berdasarkan dictum IV huruf A UUPA nomor 5 tahun 1960 beralih menjadi milik negara.

5. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Undang-Undang ini memperkuat status tanah-tanah negara yang dikuasai oleh instansi maupun tanah negara bebas. Pasal 1 Perpu ini menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara (Pasal 1 a) dengan pengecualian tanah yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perorangan atau suatu badan hukum. Perpu Nomor 51 Tahun 1960 hingga kini tidak pernah dicabut. bahkan pemerintah memperkuat dengan beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah atau surat dari kementerian untuk penyelamatan asset-asset yang dimiliki oleh negara.

6. Kepres Nomor 32 Tahun 1979 dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak Barat (hasil nasionalisasi) apabila tidak dikonversikan akan dikuasai langsung oleh negara (Pasal 1). Bagi bekas pemegang hak akan diberikan hak baru atas tanahnya. Berhubung tanah negara sangat luas dan biaya pengelolaannya sangat tinggi (sementara pemerintah belum memiliki anggaran khusus untuk pensertifikatannya), belum semua tanah negara dapat dikelola, dipelihara. diawasi sesuai peruntukannya;

7. Pada 4 September 1990. Nomor S-1069/HK.03/1993 Menteri Keuangan Sumarlin selaku pengelola kekayaan negara mengirimkan surat kepada Kepala BPN sehubungan dengan adanya Kepres 32/79 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak Barat meminta kepada kepala BPN agar:

a. Tanah-tanah hak Barat yang dikuasai/dimiliki oleh Instansi pemerintah Badan-Badan Negara dan BUMN baik yang ada di pusat maupun di daerah yang telah berakhir haknya berdasarkan Kepres 32/79 agar tetap dimantapkan statusnya menjadi milik negara;

b. Apabila tanah-tanah asal konversi hak Barat tersebut akan diberikan hak baru kepada pihak lain, terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri Keuangan;

8. Menteri Keuangan Mari Muhammad pada 6 Juni 1994 Nomor SE-25/MK/1994 mengeluarkan Surat Edaran yang intinya mengatakan bahwa setiap pemindahtanganan (ruislag, penjualan, penghibahan, atau sejenisnya), pemanfaatan (penyewaan, peminjaman, KSO, Bangun Guna

Sarah, dan sejenisnya) harus mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan atau Presiden atas usul Menteri Keuangan (Nomor 2). Oleh karena itu, setiap pemindahtangan dan pemanfaatan kekayaan Negara tanpa persetujuan Menteri Keuangan dinyatakan tidak sah.

9. Pengertian Tanah Negara.

a. Tanah negara atau tanah yang dikuasai negara, sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UUPA (UU No. 5 Tahun 60)

Penjelasan umum, angka II Nomor 2 Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Bangsa) bertindak selaku badan penguasa dari sudut inilah, harus dilihat arti ketentuan pasal 2 ayat 1 "yang menyatakan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai negara. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut pengertian dikuasai dalam pasal ini bukanlah dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkat tertinggi. Selanjutnya sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang

dan bumi luar angkasa.

3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

b. Pengertian tanah milik Negara (asset Negara)

Tanah milik negara (asset negara) dahulu diatur ICW (Indhische Comptabiliteitswet) Staatsblad Tahun 1925 Nomer 448, dan sekarang diatur dengan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 10, "barang milik negara/daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan" Jo Pasal PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang milik Negara dan Daerah). yaitu tanah yang diperoleh dari hibah/sumbangan/yang sejenis; Tanah yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian kontrak;

Tanah yang diperoleh sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku;

Tanah yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

c. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan Pasal 1 ayat (9) menyebutkan: "Tanah Asset adalah tanah Barang Milik Negara/Daerah dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara/Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Sedangkan Tanah Negara atau tanah yang dikuasai Iangsung oleh Negara, yang selanjutnya disebut Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati sesuatu hak atas tanah dan bukan merupakan Barang Milik Negara/Daerah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah.

10. Kesimpulan

a. Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 masih relevan balik sekarang maupun yang akan datang untuk melindungi pemegang hak kepunyaan perorangan, badan hukum maupun pemerintah pusat/daerah dari penyerobotan orang-orang yang tidak berhak.

b. Bahwa larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya mencegah adanya perbuatan untuk mengambil tanah kepunyaan seseorang, badan hukum, pemerintah pusat/daerah dengan sewenang-wenang dan tidak mengindahkan hukum dan aturan.

c. Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 merupakan tindakan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan negara mempunyai peran untuk tidak ada pembiaran (nalatigheid) atas penyerobotan hak atas tanah yang mengakibatkan ketidaktertiban dalam masyarakat, karena sesuai dengan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun."

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai berikut:

A. Ketentuan Pasal/Ayat UU 51 PRP 1960 Yang Dimohonkan Pengujian

Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian pasal-pasal a quo yang berketentuan sebagai berikut:

1. Pasal 2:

“Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.” 2. Pasal 3 ayat (1):

“Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu.”

3. Pasal 3 dan (2):

“Penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.”

4. Pasal 4 ayat (1)

“Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3, maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerima hak dari padanya.”

5. Pasal 4 dan (2):

“Jika setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan tersebut pada ayat (1) pasal ini perintah itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri.”

6. Pasal 6 ayat (1) butir a, b, c, dan d,

“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah ); a. barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang

sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat (1);

b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

c. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini;

d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini.”

7. Pasal 6 ayat (2) :

“Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria dan Pengusaha Daerah sebagai yang dimaksud dalam pasal-pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhinya.”

B. Hak Dan/Atau Kewenangan Konstitusional Yang Dianggap Para Pemohon