• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETAN

PENGGARAP

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai dampak transfomasi Kota Banjar dilihat dari fenomena konversi lahan pertanian yang menyebabkan dampak yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap yang mempengaruhi terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Rumahtangga yang dimaksud adalah petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya, sehingga mempengaruhi pada kesejahteraan mereka. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan materiil dan moriil pada rumahtangga petani penggarap. Berikut uraian dari masing-masing tersebut.

Perubahan Penguasaan Lahan Garapan

Lahan garapan sangat penting bagi penggarap, karena dari lahan tersebut mereka dapat menyambung hidup. Keadaan itu berbeda pada saat ini, ketika pemilik lahan menjual lahannya untuk dijadikan bangunan sehingga petani penggarap mau tidak mau harus merelakan lahan garapannya. Berikut gambar grafik penguasaan lahan garapan rumahtangga petani penggarap.

Tabel 7 Presentase tingkat penguasaan lahan garapan rumahtangga petani penggarap pra konversi dan pasca konversi

Luas Lahan Garapan

Pra Konversi Pasca Konversi

∑ % ∑ %

0 ha 0 0 25 71

0,01-,0,5 ha 35 100 10 29

Total 35 100 35 100

Sumber: Analisi Data Primer, 2014

Pada tabel 7 dapat dilihat bahwapasca konversi yang menguasasi lahan garapan berkisar 0.01-0.5 ha hanya tinggal 29 persen dengan catatan luas garapan yang relatif menurun dan sisanya 71 persen sudah tidak memiliki lahan garapan. Padahal pada pra konversi seluruh responden rumahtangga petani penggarap memiliki lahan garapan walaupun dengan luasan yang relatif beda. Faktor yang membuat adanya perbedaan tingkat penguasaan lahan adalah sulitnya mencari lahan yang masih dapat digarap, karena sudah banyak terjadi konversi sehingga harus mencari ke daerah yang masih banyak lahan sawah. Selain kesulitan tersebut, akses terhadap pemilik lahan lain serta kemampuan dalam mengelola lahan pertanian menjadi penunjang penurunan penguasaan lahan garapan.

Sebagian besar rumahtangga petani penggarap tidak mempunyai akses kepada pemilik lahan lain, sehingga setelah lahan garapannya terkonversi, mereka sudah tidak mempunyai lahan garapan pengganti. Selain itu, ketidakmampuan dalam mengelola lahan garapan karena faktor usia yang sudah tidak muda lagi memicu ketidakmampuan dalam mengelola lahan. Perasaan sedih yang mereka alami tidak dapat terus berkelanjutan, karena kehidupan yang semakin keras saat ini harus terus dihadapi.

Perubahan Kesempatan Kerja

Dampak konversi lahan pertanian juga terlihat pada kesempatan kerja yang dimiliki oleh rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Kesempatan kerja dilihat dari peluang kesempatan kerja responden pada sektor pertanian dan non-pertanian pasca konversi.

Tabel 8 Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menuruttingkatkesempatan kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari

Tingkat Kesempatan

Kerja

Pra Konversi Pasca Konversi

Pertanian Non-pertanian Pertanian Non-pertanian

∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%)

Rendah 0 0 14 40 25 71 13 37

Tinggi 35 100 21 60 10 29 22 63

Total 35 100 35 100 35 100 35 100

Sumber: Analisis data primer, 2014

Tabel 8 menunjukkan perbandingan gambaran kesempatan kerja di sektor pertanian dan non–pertanian pada saat pra dan pasca konversi. Terlihat perbedaan jelas jika pada saat pra konversi semua responden menganggap kesempatan kerja pada sektor pertanian adalah tinggi dan hanya sebesar 40 persen yang menganggap kesempatan kerja pada sektor non-pertanian tinggi dan 60 persen menganggap kesempatan kerja di sektor non-pertanian rendah. Hal ini dikarenakan hanya beberapa responden saja yang saat itu bekerja pada sektor non- pertanian sebagai pekerjaan sampingan.

Kondisi tersebut tidak berlaku untuk saat ini, dimana pasca konversi lahan pertanian, kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 71 persen rumahtangga petani penggarap memiliki tingkat kesempatan kerja rendah dan 29 persen memiliki tingkat kesempatan kerja tinggi. Di samping itu, kesempatan kerja pada sektor non-pertanian sebanyak 14 persen memiliki tingkat kesempatan kerja rendah dan 86 persen memiliki tingkat kesempatan kerja tinggi. Bila dibandingkan hal yang dapat disimpulkan dari gambar tersebut adalah pada

kondisi pra konversi responden menganggap kesempatan kerja di sektor pertanian cukup tinggi sedangkan kesempatan kerja pada sektor non-pertanian saat itu rendah. Saat ini mereka menganggap mayoritas kesempatan kerja di sektor pertanian rendah dan kesempatan kerja di sektor non-pertanian tinggi. Hal ini terjadi karena saat ini mayoritas bekerja pada sektor non-pertanian, bagi yang masih menggarap juga bekerja pada sektor non-pertanian untuk menambah penghasilan rumahtangga.

Kurangnya kesempatan kerja pada sektor pertanian saat ini dikarenakan sulitnya untuk mencari lahan garapan pengganti. Sehingga hanya beberapa rumahtangga petani penggarap saja yang saat ini masih memiliki lahan garapan. Sedangkan tingginya kesempatan kerja pada sektor non-pertanian pasca konversi disebabkan sulitnya mencari lahan garapan pengganti dan akhirnya mencari pekerjaan pengganti pada sektor non-pertanian. Bagi mereka yang memiliki kesempatan kerja tinggi pada sektor non-pertanian adalah rumahtangga petani penggarap yang memanfaatkan kesempatan yang ada. Adanya proyek pembangunan perumahan saat ini dapat menyerap tenaga kerja mereka seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci dan usaha/ berdagang. Bagi rumahtangga petani penggarap yang memiliki kesempatan kerja rendah pada non-pertanian adalah mereka yang masih menggarap di tempat lain dan kurang memiliki kemampuan serta kesempatan untuk beralih mata pencaharian.

Di samping itu, faktor usia yang membuat beberapa responden sulit mencari mata pencaharian pengganti dan hanya mengandalkan uang kiriman dari anggota keluarga yang bekerja. Setelah terjadi konversi, mayoritas rumahtangga petani penggarap tersisih dari mata pencahariannya dan berusaha mencari mata pencaharian pengganti serta lebih memanfaatkan anggota rumahtangga untuk membantu mencari nafkah. Salah satu contoh responden yang sekarang sudah tidak lagi menggarap saat ini mengandalkan anaknya untuk bekerja, karena terbentur usia sehingga tidak mampu untuk mencari pekerjaan pada sektor non- pertanian yang memerlukan bebarapa keahlian dan modal.

Sekarang setelah lahan garapan jadi bangunan, saya sudah tidak lagi menggarap, usia sudah tau dan sering sakit. Padahal sudah sejak zaman Jepang saya jadi penggarap dan baru berhenti setelah sawah itu dibangun. Jadi mengandalkan uang kiriman dari anak yang sudah berkeluarga dan bekerja d luar

Kota.” (SBR, 84 tahun, petani penggarap).

Perubahan Ragam Pekerjaan

Konversi lahan sawah di Kelurahan Mekarsari juga berdampak pada perubahan ragam pekerjaan rumahtangga petani penggarap. Perubahan ragam pekerjaan tersebut adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan rumahtangga petani penggarap untuk mencari nafkah pasca konversi lahan pertanian. Mayoritas dari rumahtangga petani penggarap saat ini sudah tidak lagi menggarap, hanya

sebagian kecil yang masih menggarap namun dengan luas lahan pengganti yang lebih sempit dari sebelumnya, berikut tabel di bawah ini.

Tabel 9Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut ragam kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari

No Ragam Pekerjaan Pra Konversi Pasca Konversi

∑ (%) ∑ (%)

1 Rendah 0 0 6 17

2 Sedang 20 57 23 66

3 Tinggi 15 43 6 17

4 Total 35 100 35 100

Sumber: Analisis data primer, 2014

Terlihat pada tabel di atas kondisi pra konversi dimana ragam pekerjaanrumahtangga petani penggarap berada pada tingkat sedang 57 persen dan berada pada tingkat tinggi 43 persen. Dahulu semua mempunyai lahan garapan, namun yang membedakan adalah kepemilikan pekerjaan sampingan. Responden yang memiliki ragam pekerjaan sedang adalah mereka yang hanya menjadi penggarap, namun yang memiliki ragam pekerjaan tinggi adalah mereka yang selain menggarap juga memiliki pekerjaan sampingan pada sektor non- pertanian.

Keadaan berubah pasca konversi, dimana rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya berusaha mencari mata pencaharian pengganti untuk dapat tetap mempertahankan hidupnya. Tabel 9 menunjukkan bahwa 17 persen rumahtangga petani penggarap mengalami perubahan ragam pekerjaan rendah, 66 persen mengalami perubahan ragam pekerjaan sedang dan 17 persen mengalami perubahan ragam pekerjaan yang tinggi. Melihat realita yang ada, bagi mereka yang termasuk kategori perubahan ragam pekerjaan rendah adalah rumahtangga petani penggarap yang pada kondisi pasca konversi sudah tidak lagi menggarap dan tidak mempunyai pekerjaan sampingan atau dengan kata lain tidak melakukan aktivitas dalam mencari nafkah. Keadaan ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam akses lahan garapan maupun pekerjaan pada sektor non-pertanian karena faktor usia dan minimnya keterampilan serta modal. Uang yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah mengandalkan anggota rumahtangga yang bekerja atau kiriman dari anggota rumahtangga.

Kategori perubahan ragam pekerjaan sedang adalah rumahtangga petani penggarap yang pada kondisi pasca konversi masih menjadi penggarap atau beralih mata pencaharian menjadi non-pertanian atau yang masih menggarap dengan memiliki pekerjaan pada sektor non-pertanian. Melihat data tabel di atas, dari 66 persen yang mempunyai ragam pekerjaan sedang terdiri atas tiga persen yang masih menjadi penggarap, 54 persen yang beralih kerja pada sektor non- pertanian serta sembilan persen yang masih menjadi penggarap sekaligus bekerja pada sektor non-pertanian. Perbedaan ini terjadi karena hanya beberapa rumahtangga saja yang masih dapat akses kepada pemilik lahan lain, sehingga

mendapat lahan garapan pengganti. Selain itu, bagi mereka yang tidak memiliki akses tersebut, berusaha mencari mata pencaharian lain pada sektor non-pertanian untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya, antara lain menjadi buruh bangunan, buruh cuci, usaha/ berdagang dan menjadi tukang becak. Dikategorikan sedang karena tidak begitu banyak ragam pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga petani penggarap dan hanya beberapa melibatkan anggota rumahtangga. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak begitu banyak melibatkan anggota keluarga adalah ketidakmampuan mereka dalam mencari pekerjaan atau hanya melibatkan anggota rumahtangga yang benar-benar mampu untuk membantu dalam mencari nafkah.

“Dulu hanya saya yang bekerja menjadi penggarap, karena lahan

sudah dibangun dan tidak ada garapan lagi, sekarang saya usaha kayu atau meubel tapi penghasilannya pun tidak tentu, tergantung pada pesanan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup terpaksa istri harus ikut bekerja di luar Kota, dan saya yang menjaga anak-

anak”. (YSY, 37 tahun, petani penggarap)

Kategori perubahan ragam pekerjaan tinggi adalah rumahtangga petani penggarap pada kondisi pasca konversi masih menjadi penggarap ditambah memiliki pekerjaan sektor non-pertanian atau yang bekerja pada sektor non- perranian dengan memiliki pekerjaan sampingan. Melihat dari total 35 responden rumahtangga petani penggarap, hanya 17 persen yang memiliki ragam pekerjaan tinggi. Hal ini menandakan bahwa, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya mereka harus bekerja lebih banyak sehingga curahan waktu kerjanya pun menjadi meningkat. Selain itu, dengan melibatkan anggota rumahtangga dalam rangka membantu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Latar belakang rumahtangga penggarap mencurahkan alokasi waktu dan tenaga lebih banyak adalah ingin mendapatkan pendapatan dan kondisi yang minimal sama seperti dulu dan berharap bisa lebih baik dari kondisi pra konversi.

“Kalau dulu dari hasil menggarap berupa beras bisa sampai

dijual karena saking banyaknya persediaan beras, tetapi walaupun sekarang masih manggarap dengan luas garapan yang berkurang lebih mementingkan untuk disimpan dan dimakan oleh keluarga saja. Selain menggarap sawah, sekarang saya jualan lengko dan anak sulung alhamdulillah bisa membantu bekerja di

sekolah.”(ARS, 48 tahun, petani penggarap)

Melihat kondisi yang terjadi, rumahtangga petani penggarap harus segara mencari mata pencaharian pengganti untuk tetap melanjutkan hidup. Setelah konversi terjadi, mayoritas responden membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun untuk mencapai masa stabil dan beradaptasi dengan mata pencaharian baru serta dengan keadaan kehidupan yang baru pula. Hal ini terjadi karena, ketika tersisih dari lahan garapannya tidak mudah bagi mereka untuk merubah kondisi kehidupan dan menyesuaikan dengan berbagai macam perubahan yang terjadi saat ini, dimana Banjar telah menjadi kota dan akan semakin banyak perubahan- perubahan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Sehingga untuk

mencukupi kebutuhan hidup, harus mampu bertahan hidup dan bersaing dengan sumberdaya manusia lain untuk mendapatkan nafkah. Oleh karena itu, mata pencaharian pada sektor non-pertanian pun menjadi pilihan. Selain itu, rata-rata responden menggunakan pola nafkah ganda dan memanfaatkan tenaga kerja anggota rumahtangga untuk membantu mencari nafkah.

Setelah tidak lagi menggarap, sekarang saya jadi buruh cuci harian di perumahan yang dulu lahan garapan saya. Alhamdulillah upah per harinya cukup besar Rp 40.000 tapi kalau dari hasil dagang kalau dihitung-hitung ga ada untungnya, malah

rugi atau sama aja”.( HNI, 49 tahun, petani penggarap)

Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Materiil

Transformasi Kota Banjar menimbulkan proses pembangunan yang terjadi di dalam kota ini. Proses pembangunan tersebut membutuhkan lahan dan telah memakan lahan pertanian di berbagai wilayah di Kota Banjar, terlebih pada daerah dekat pusat kota. Lahan pertanian yang ikut tergerus seiring dengan perkembangan Kota Banjar kian marak terlihat, seperti yang terjadi di Kelurahan Mekarsari. Lahan sawah telah berubah menjadi bangunan-bangunan baru yang telah menyingkirkan pihak yang memiliki mata pencaharian pada lahan garapannya, yaitu petani penggarap. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pasca konversi lahan sawah, terjadi perubahan yang dialami oleh rumahtangga petani penggarap, baik pada penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan.

Dampak yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap adalah mayoritas negatif, akan tetapi tidak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan materiil, yang mengahasilkan tingkat kesejahteraan materiil mereka saat ini relatif tinggi. Namun, sebelum penghitungan dilakukan, dibuat tabel tabulasi silang untuk melihat korelasi kedua variabel tersebut. Tabel tabulasi silang dapat dilihat dalam tabel 10.

Tabel10 Dampak konversi lahan pertanian menurut tingkat kesejahteraan materiil Tingkat

Dampak Konversi Lahan

Pertanian

Tingkat Kesejahteraan Materiil

Total

Rendah Sedang Tinggi

∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%)

Rendah - - - -

Sedang - - 4 11 6 17 10 29

Negatif - - 6 17 19 55 25 71

Total - - 10 28 25 100 35 100

Tabel tabulasi silang antara kedua variabel menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan materiil tinggi. Selanjutnya berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan materiil sedang. Tidak terdapat responden pada dampak konversi rendah maupun tingkat kesejahteraan rendah. Hal ini membuktikan bahwa tidak terdapat korelasi antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap. Pada tabel juga terlihat dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan materiil tinggi dan dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan materiil sedang.

Hal ini terjadi karena, bila dilihat saat ini dari segi pendapatan pertanian memang relatif menurun karena telah banyak terjadi konversi, tetapi diganti dengan peningkatan pada pendapatan di sektor non-pertanian. Tingginya pendapatan tersebut dikarenakan rumahtangga petani penggarap mendapatkan pekerjaan pengganti pada sektor non-pertanian dengan penghasilan yang tidak menghasilkan gaji yang tetap. Seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci, berdagang dan tukang becak bergantung pada proyek, pembeli, penumpang dan faktor kesehatan yang sangat penting untuk dapat mengerjakan kegiatan sehari- hari.

Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, fenomena konversi telah melanda Kota Banjar di beberapa daerah. Hal ini terjadi dalam rangka untuk melengkapi pembangunan Kota Banjar di berbagai sektor. Selain itu, karena peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan lahan untuk membangun berbagai keperluan tersebut. Antara lain pembangunan gedung DPRD Kota Banjar, pembangunan kampus STISIP dan pembangunan kawasan dua perumahan (real estate).

Setalah Kota Banjar berdiri, Walikota Banjar sangat memperhatikan kesehatan dan pendidikan masyarakatnya. Sehingga, untuk dapat memudahan akses kesehatan dan pendidikan untuk kalangan masyarakat yang kurang mampu, digencarkan program Jamkesmas atau Jaminan Kesehatan Masyarakat dan program bantuan sekolah, yaitu BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Adanya bantuan program Jamkesmas tersebut biaya kesehatan menjadi ringan dan sangat membantu masyarakat yang kurang mampu, termasuk rumahtangga petani penggarap ketika ada anggota rumahtangganya yang sakit dan akan berobat ke puskemas atau ke rumah sakit terdekat. Sehingga, setalah Banjar menjadi kota dan terjadi konversi lahan pertanian tidak berpengaruh terhadap akses kesehatan mereka.

Adanya program bantuan sekolah, seperti BOS sangat meringankan beban rumahtangga petani penggarap untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga, program dana bantuan sekolah sangat membantu warga yang khususnya kurang mampu agar dapat menyekolahkan anak-anaknya, termasuk kepada rumahtangga petani penggarap. Walaupun mereka rata-rata tamatan sekolah dasar, tetapi berusaha untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai semampu mereka. Hal ini didasarkan karena ketidakmampuannya jika menurunkan harta benda, sehingga mereka ingin anak-anaknya sekolah agar bisa hidup lebih baik. .

Melihat kepemilikan aset mereka saat ini, setelah terjadi konversi relatif tidak perubahan. Hal ini terlihat pada kondisi tempat tinggal mereka yang tetap namun adanya perbedaan kualitas tempat tinggal pada rumahtangga petani penggarap. Jika dilihat pada kepemilikan barang-barang berharga, relatif tidak banyak perubahan, cenderung tetap. Sehingga, setelah terjadi konversi lahan pertanian tidak terjadi perubahan dalam tingkat kepemilikan aset rumahtangga petani penggarap. Pada tingkat konsumsi pangan, setalah terjadi konversi ada yang mengalami penurunan atau bahkan masih dalam kondisi tetap atau sama dengan tingkat konsusmi sebelumnya. Hal ini dipengaruhi juga dari besarnya pendapatan dan mata pencaharian pengganti setelah terjadinya konversi lahan pertanian yang berdampak pada kemampuan daya beli mereka, sehingga tidak ada perubahan yang signifikan. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak, yaitu tidak ada hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dan tingkat kesejahteraan materiil.

Hasil korelasi yang dapat dilihat dari tabulasi silang di atas sejalan dengan hasil korelasi uji statistik Rank Spearman pada spss (lampiran 5), nilai korelasi antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil

menunjukkan angka sebesar 0.160 dengan nilai α = 0.05, angka ini menunjukkan

korelasi yang sangat lemah. Hal tersebut disebabkan karena nilai hitung berada pada kategori lebih dari 0-0.25. Menurut Sarwono (2009) jika nilai hitung berada pada kategori lebih dari 0-0.25 maka korelasi antar variabel sangat lemah. Korelasi tersebut merupakan korelasi searah dengan ditunjukan oleh nilai hitung yang positif. Searah memiliki makna bahwa jika variabel A rendah, maka variabel B juga rendah, begitupun sebaliknya. Selanjutnya mengenai masalah signifikansi korelasi antar variabel, variabel dampak konversi dengan tingkat kesejahteraan materiil dikatakan tidak signifikan. Hal ini tersebut diperlihatkan dengan nilai signifikan sebesar 0.359 yang berarti lebih dari 0.05. Nilai 0.05 didapat karena tingkat ketepatan sebesar 95 persen yang berarti kesalahan pengambilan sampel sebesar 5 persen atau 0.05.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil memiliki korelasi yang sangat lemah, searah, dan tidak signifikan. Demikian hipotesis penelitian untuk metode kuantitatif ditolak, semakin negatif dampak konversi lahan pertanian, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan materiil, dengan kata laintidak terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap.

Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Moriil

Dampak konversi lahan pertanian tidak hanya berhubungan dengan tingkat kesejahteraan materiil, tetapi juga berhubungan dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Tingkat kesejahteraan moriil yang diukur adalah bagaimana hubungan antar warga rumahtangga petani penggarap dan keamanan bekerja pasca konversi.

Tabel11 Dampak konversi lahan pertanian menurut tingkat kesejahteraan moriil Tingkat

Dampak Konversi Lahan

Pertanian

Tingkat Kesejahteraan Moriil

Total

Rendah Sedang Tinggi

∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%)

Rendah - - - -

Sedang - - - - 10 29 10 29

Negatif - - 22 63 3 9 25 71

Total - - 22 63 13 38 35 100

Sumber: Analisi data primer, 2014

Tabel tabulasi silang antara dua variabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan morill sedang dan dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan moriil tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara dampak koversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil. Pada tabel juga terdapat responden berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan maoriil tinggi dan tidak terdapat responden pada dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan sedang.

Perubahan kesejahteraan moriil yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap dikarenakan setalah terjadi konversi terdapat perubahan pada tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan, sehingga ketika semua aspek tersebut berubah berdampak pada tingkat kesejahteraan materiil begitu juga moriil yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap. Kondisi saat ini yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap adalah ketika sudah tidak lagi menggarap, kesempatan kerja yang berkurang pada sektor pertanian namun terjadi peningkatan pada sektor non-pertanian dengan perubahan ragam pekerjaan yang beragam untuk mengatasi kondisi rumahtangga. Hal ini berakibat pada penurunan kualitas kesejahteraan moriil yang dirasakan rumahtangga petani penggarap. Walaupun kesejahteraan materiil mereka relatif tinggi, tetapi tidak diikuti dengan kesejahteraan moriil.

Perubahan pada hubungan antar warga rumahtangga petani penggarap dilihat dari area usaha mereka saat ini, mereka yang saat ini masih menggarap di tempat lain yang saling berdekatan dan yang bekerja di non-pertanian dengan lokasi kerja masih di sekitar tempat tinggalnya, memiliki hubungan yang baik sehingga masih bisa lebih banyak berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Sehingga bagi mereka yang tersisih, berkaitan dengan relasi dan kualitas hubungan yang terbangun, relasi yang tinggi menuntut untuk menjaga dan merawat hubungan dengan baik, serasi dan selaras. Rumahtangga petani penggarap yang bekerja di sektor non-pertanian dengan area usaha di luar tempat