• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijabarkan seluruhnya dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini menjawab masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada pendahuluan serra menjelaskan pengujian hipotesis yang telah disusun sebelumnya. Berdasarkan tujuan dan masalah penelitian yang telah disusun, maka terdapat tiga kesimpulan untuk menjawab hal tersebut, yaitu pertama, latar belakang terbentuknya Kota Banjar didasari oleh adanya rencana peningkatan status Banjar menjadi kota/ Kabupaten ternyata telah tersirat dalam kebijakan Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam bentuk Rencana Induk Kotif (RIK) dengan disusun dua konsep penngembangan Kabupaten Ciamis DT II dimekarkan menjadi Kabupaten DT II Ciamis dan Kabupaten DT II Banjar. Di samping itu dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tepat pada tanggal 7 Mei 2001 pada akhirnya Banjar sekarang menjadi Kota.

Transformasi Kota Banjar menyebabkan berbagai pembangunan di beberapa wilayah Kota Banjar, hal ini tertuang dalam RTRW Kota Banjar. Seiring dengan perkembangan Kota Banjar, membutukan lahan untuk melengkapi pembangunan Kota, sehingga membuat kebutuhan akan lahan menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, lahan pertanian pun ikut berubah menjadi berbagai bangunan atau biasa disebut konversi lahan pertanian. Fenomena ini terjadi di berbagai wilayah Kota Banjar, salah satunya di Kelurahan Mekarsari. Melihat fenomena konversi yang terjadi, dengan demikian telah terjadi dua arah konversi di wilayah tersebut baik secara horizontal maupun vertikal. Terjadi konversi horizontal, namun condong sebagai usaha spekulasi sebagai bahan obyek usaha spekulan tanah. Hal ini karena setelah terjadi perpindahan lahan, pada akhirnya hendak dijadikan lokasi untuk pembangunan STISIP (konversi vertikal).

Kedua, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi, antara lain jarak yang begitu dekat ke pusat kotasehingga menyebabkan daya tarik bagi para pengusaha/investor untuk mendirikan bangunan di daerah sana, penawaran dan permintaan akan lahan mengalami peningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan menyebabkan pemilik lahan menjual lahannya kepada pihak lain, karena lahan tersebut berada di daerah dekat pusat kota banyak pihak yang menginginkannya berubah menjadi modal usaha, ini menyebabkan terjadinya berbagai pembangunan. Selanjutnya adalahberhubungan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi pada sektor industri dan kebijakan yang memperbolehkan melakukan pembangunan di atas lahan sawah tadah hujan, terlihat ketika investor menginventasikan modalnya pada pembangunan perumahan. Kebijakan pemerintah Kota Banjar yang berusaha mengundang investor untuk menunjang pembangunan Kota Banjar menjadi lebih berkembang. Ketiga, dampak transformasi Kota Banjar dilihat dari fenomena konversi yang terjadi menimbulkan adanya perubahan pada penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan. Penurunan luas lahan

garapan, berubahnya kesempatan kerja yang diiringi dengan berubahnya ragam pekerjaan mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik secara materiil maupun moriil rumahtangga petani penggarap. Walaupun kesejahteraan materiil mereka relatif tinggi akan tetapi tidak diikuti dengan kesejahteraan moriil.

Selain itu, berdasarkan hipotesis yang disusun dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa satu hipotesis ditolak dan satu hipotesis diterima. Hipotesis tersebut adalah pertama terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap. Melihat hasil uji statistik maka dapat disimpulkan semakin negatif dampak konversi lahan pertanian maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap. Kedua, terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap. Hasil uji statistik menyimpulan semakin negatif dampak konversi lahan pertanian maka semakin rendah tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap.

Hasil temuan lain dari penelitian ini adalah bila dilihat dari tingkat kesejahteraan dapat disimpulkan bahwa dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap menghasilkan dua varian rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu:

1. Tersisih (termarginalisasi). Bagi rumahtangga petani penggarap yang mengalami kondisi ini pasca konversi adalah sebanyak 57 persen. Walaupun jika dilihat dari rincian jumlah absolut pendapatan mereka beragam tergantung dari mata pencaharian penggantinya setelah konversi. Walaupun dari kesejahteraan materiil mereka relatif meningkat, akan tetapi ada kecenderungan lain dari kesejahteraan moriilnya yang relatif menurun. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang mereka lakukan sekarang bersifat temporer dengan penghasilan yang belum tentu berkelanjutan atau dengan gaji yang tidak tetap per bulan. Selanjutnya melihat dari pekerjaan mereka yang berada di luar lokasi tempat tinggal (kampungnya) berakibat menurunkan frekuensi hubungan antar sesama warga yang secara otomatis akan mempengaruhi kualitas hubungan mereka. Tidak dapat dibayangkan apabila proyek tersebut sudah selesai bagaimana nasib kehidupan mereka. Secara keseluruhan yang termasuk dalam varian ini mereka dengan tingkat kesejahteraan yang menurun.

2. Bertahan atau mirip dengan kondisi sebelumnya (pra konversi). Jumlah mereka sekitar 43 persen, dengan 2 (dua) varian masing-masing, tetap berpendapatan dengan relatif tinggi sebanyak 26 persen dan tetap berpendapatan relatif sedang sebanyak 17 persen. Rumahtangga petani penggarap yang sampai saat ini dapat mempertahankan kondisinya untuk tetap tinggi adalah mereka yang memiliki pekerjaan dengan usaha dan alokasi waktu kerja yang meningkat. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah dengan masih menggarap sekaligus bekerja di sektor non pertanian, seperti usaha/ berdagang, buruh bangunan dan yang hanya bekerja di sektor non pertanian, seperti usaha/ berdagang. Bagi mereka yang bekerja masih di sekitar area tempat tinggal cenderung memiliki kesejahteraan moriil yang sedang. Hal ini dikarenakan frekuensi bertemu dan berkomunikasi masih terjaga dengan baik sehingga mempengaruhi kualitas relasi antar mereka. Selain itu, karena beberapa masih ada lahan garapan sehingga mereka merasa aman dengan pekerjaannya yang sekarang, oleh

karena itu pekerjaan pada sektor non-pertanian yang saat ini mereka kerjakan dapat mengganti kondisi yang dulu.

Berbeda dengan rumahtangga petani penggarap yang saat ini kondisinya masih tetap sedang seperti dahulu. Pekerjaan yang dilakukan sekarang dapat

mempertahankan kondisi hidupnya namun belum mampu untuk

memperbaikinya. Mereka adalah yang masih menggarap sekaligus bekerja pada sektor non pertanian atau bekerja pada sektor non pertanian saja. Walaupun sudah memiliki pekerjaan pengganti setelah konversi, dengan menambah pekerjaan dan alokasi waktu kerja yang meningkat, terdapat perbedaan dalam pekerjaan pengganti yang mereka kerjaakan saat ini yang mempengaruhi kondisi tersebut.

Demikian setelah Banjar menjadi kota, konversi lahan pertanian pun akan semakin meningkat sehingga akan menimbulkan korban atau pihak yang tersisih dari mata pencahariannya. Konversi lahan pertanian menghasilkan 2 varian rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu tersisih (termarginalisasi) dan kondisi yang tetap sama dengan sebelumnya (pra konversi) yang terbagi menjadi 2, yaitu tetap tinggi dan tetap sedang. Namun, kondisi tersebut bersifat sementara, karena saat ini masih terdapat pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja mereka, tidak dapat dibayangkan bila beberapa tahun kemudian kondisi tersebut akan berubah atau tetap. Mereka yang saat ini dalam posisi tersisih (termarginalisasi) selanjutnya bisa saja akan tetap tersisih atau meningkat atau bahkan semakin terpuruk, bagi yang merasa kondisi tetap, bisa saja akan tetap sama kondisinya atau meningkat menjadi berkah atau bahkan menurun ke varian sebelumnya.

Saran

Seiring dengan berkembangnya Kota Banjar, pembangunan pun kian dilaksanakan, sehingga membutuhkan lahan untuk terselenggaranya pembangunan tersebut, maka konversi lahan pertanian pun tidak dapat dihindarkan. Konversi lahan pertanian menyebabkan adanya pihak yang tersisih dari sosial ekonominya, yaitu rumahtangga petani penggarap. Setelah terjadi konversi tidak ada kompensasi mata pencaharian bagi mereka dari pemilik lahan, sehingga dengan sendirinya harus mencari mata pencaharian pengganti untuk tetap dapat mempertahankan hidup. Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah perlunya bantuan pihak pemerintah dalam mengatasi dampak konversi, agar pihak yang tersingkir dari lahan garapnnya dapat tetap melanjutkan hidupnya dengan memberikan kompensasi pekerjaan baru yang sesuai atau setara dengan penghasilan yang dulu. Demikan perlunya strategi dan kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap dibantu dengan pemerintah untuk tetap menjaga kelangsungan sosial dan ekonominya bagi pihak yang tersisih.