• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGARAP

REGINA AGUSTIN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

(3)

ABSTRAK

REGINA AGUSTIN. Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.

Peningkatan status Banjar menjadi kota menyebabkan pembangunan di wilayah setempat semakin intensif. Akibat pembangunan tersebut menyebabkanterjadinya konversi sehingga lahan pertanian (lahan sawah) menjadi berkurang. Dampak konversi terlihat pada perubahan penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan perubahan pola kerja, sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap secara materiil dan moriil. Dampak konversi terhadap tingkat kesejahteraan materiil mereka relatif meningkat namun tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan moriil mereka. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap menghasilkan dua varian rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu (1) tersisih /termaginalisasi dan (2) bertahan atau mirip dengan kondisi sebelumnya (pra konversi).

Kata kunci: transformasi, konversi, rumahtangga, penggarap, kesejahteraan

ABSTRACT

REGINA AGUSTIN. Impact Transformation Banjar on Household Welfare Farmers Cultivators. Supervised byENDRIATMO SOETARTO.

Improved status of Banjar into the city causing major project development in there more intensiv. As a result of the development of agricultural land erosion caused conversionso make decreased of agricultural land (field). The impact of the changes seen in the conversion of arable land tenure, employment and changes in work patterns, thereby affecting the level of household welfare peasants materially and moriil. The impact of the conversion on the level of material well-being of their relatively increased but not followed by an increase in the welfare of their moriil. Based on the analysis it can be concluded that the impact of the conversion of agricultural land to landless household welfare level produces two variants of peasant households are excluded from the social and economic, that (1) excluded / marginalized and (2) similar to the last or previous condition (pre-conversion).

(4)

PENGGARAP

REGINA AGUSTIN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul skripsi : Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap Nama : Regina Agustin

NRP : I34100066

Disetujuioleh

Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(6)

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk untuk memenuhi syarat kelulusan padaDepartemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis bertujuan untuk melihat dampak dari adanya transformasi Kota Banjar terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti terlebih dahulu akan menganalisis perubahan dari peningkatan status Kota Banjar yang mengakibatkan konversi secara vertikal dan horizontal yang terjadi sehingga menyebabkan berbagai dampak yang terjadi, yang pada akhirnya dampak yang ditimbulkan dari konversi tersebut mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik secara materiil maupun moriil ruamhtangga petani penggarap.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Bapak Agus Sutiagraha dan Ratu Rully Irana serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan laporam proposal skripsi ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada seluruh teman-teman terutama kepada teman-teman-teman-teman SKPM angkatan 47sebagai teman-teman yang membantu, memberi semangat, dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kota 5

Transformasi 6

Konsep Rumahtangga Petani 7

Petani Penggarap (Tunakisma) 8

Konversi Lahan Pertanian 8

Gambaran Umum Kesejahteraan Petani 12

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis Penelitian 15

Definisi Konseptual 16

Definisi Operasional 16

PENDEKATAN LAPANGAN 21

Metode Penelitian 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Teknik Pengambilan Informan dan Responden 22

Teknik Pengumpulan Data 23

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23

BINGKAI POTRET KELURAHAN MEKARSARI 25

Masa Lalu Kelurahan Mekarsari 29

(8)

Tujuan Pembentukan Kota Banjar 36

Ikhtisar 38

KOTA BANJAR DAN PENYUSUTAN LAHAN PERTANIAN 41

Konversi Lahan Pertanian 41

Faktor-faktor Konversi Lahan Pertanian 43

Proses Konversi Lahan Pertanian secara Vertikal di Kelurahan Mekarsari 43

Proses Konversi Lahan Pertanian secara Horizontal di Kelurahan Mekarsari 45

Ikhtisar 45

PELUANG USAHA/ KERJA PASCA KONVERSI LAHAN PERTANIAN 47

Tersisihnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Pertanian 47

Tumbuhnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Non-Pertanian 48

Ikhtisar 49

DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT

KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP 51

Perubahan Penguasaan Lahan Garapan 51

Perubahan Kesempatan Kerja 52

Perubahan Ragam Pekerjaan 53

Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Materiil 56

Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Moriil 58

Perubahan Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap Pasca Konversi

Lahan Pertanian 61

Ikhtisar 62

SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 67

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 73

(9)

DAFTAR TABEL

1. Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2014 22

2. Luas wilayah menurut penggunaan Kelurahan Mekarsari 25

3. Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan jenis kelamin 26 4. Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan kelompok usia 26

5. Frekuensi jumlah agama berdasarkan jumlah penduduk 29

6. Luas lahan sawah Kelurahan Mekarsari tahun 2008-2014 42

7. Presentase tingkat penguasaan lahan garapan rumahtangga petani

penggarap pra konversi dan pasca konversi 51

8. Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut tingkat kesempatan kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan

Mekarsari 52

9. Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut

ragam pekerjaan pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari 54 10. Tabel tabulasi silang antara variabel dampak konversi lahan

pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil responden 56 11. Tabel tabulasi silang antara variabel dampak konversi lahan

pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil responden 59

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran 15

2. Diagram persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian,

sumber data potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012 27 3. Diagram tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Mekarsari,

sumber data potensi desa dan Kelurahan Mekarsari 2012 28

4. Sejarah Kota Banjar 34

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Kota Banjar 73

2. Daftar responden 74

3. Kuesioner Penelitian 75

4. Pedoman Wawancara 84

5. Uji statistik Rank Spearman 86

6. Uji statistik Uji T 87

7. Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data 89

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agraria berasal dari kata ager yang berarti lahan atau sebidang lahan dan agrarius mempunyai arti yang sama dengan “perladangan, persawahan, dan

pertanian”. Secara terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan lahan

pertanian dan perkebunan (Supriadi 2007). Agraria mempunyai definisi yang sangat luas. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Jadi, dapat dikatakan bahwa lahan termasuk ke dalam kategori bumi dan merupakan bagian dari agraria. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki potensi yang besar dalam hal agraria terutama bidang pertanian. Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang sangat strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat. Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 41 persen terdapat di Jawa, dan sekitar 59 persen terdapat di luar Jawa (BPS 2006 dalam Wahyunto 2009).

(12)

Adanya kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan lahan pertanian semakin beralihfungsi menjadi non-pertanian. Data menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian di Indonesia adalah seluas 2 917 737.5 ha sepanjang tahun 1979-1999. Tingkat konversi per tahun ini meningkat sepanjang tahun 1999-2002 mencapai 330 000 ha atau setara dengan 110 000 ha per tahunnya. Pada periode 1999-2002 ini, konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa mencapai 73.71 ribu ha atau 71.24 persen dari total konversi lahan pertanian di Jawa. Padahal lahan pertanianproduktif pulau Jawa adalah lahan relatif lebih subur yang tentu saja berkontribusi signifikan terhadap produksi pangan nasional. Laju konversi lahan pertanian sepanjang tahun 2002 sampai 2008 diperkirakan berkisarantara 100 000-110 000 ha per tahun (Irawan 2008 : 1 dalam Handoyo 2010)

Menurut guru besar Kajian Agraria, konversi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal. Konversi vertikal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara (institusional). Sedangkan konversi horizontal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria kuasa individual ke obyek-obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual ( petani atau bukan petani) 1. Menurut Undang-undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undang-undang hukum perdata Barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA.Konversi Lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke pertanian atau dari lahan non-pertanian ke lahan non-pertanian. Konversi lahan dari non-non-pertanian ke lahan non-pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Lahan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan sawah. Penulis akan memusatkan konversi peralihan obyek-subyek agraria ke obyek-subyek agraria dari pertanian ke non-pertanian, baik secara vertikal maupun horizontal.

Kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum menyebabkan petani dan penggarap harus rela kehilangan lahan sawah dan garapannya. Akibat konversi lahan tersebut, berdampak pada pendapatan petani, baik petani pemilik maupun petani penggarap menjadi beragam, ada yang menurun, tetap bahkan menjadi meningkat dari kondisi sebelumnya (Hidayat et al. 2012). Penelitian tersebut melihat perbedaan pendapatan petani dikarenakan perubahan mata pencaharian yang diambil oleh petani, ditunjang dengan bantuan pekerjaan dari pemerintah setelah adanya konversi lahan pertanian.

Seiring dengan perkembangan di era sekarang dalam rezim liberalistik di masa ini, banyak praktek-praktek dari pihak yang berkuasa menindas petani yang yang lemah dalam akses terhadap lahan, sehingga akses atas lahan yang dimiliki oleh petani semakin berkurang atau tercabut. Oleh sebab adanya perampasan lahan atau land grabbing yang terjadi di masa sekarang kian meningkat, menyebabkan petani harus rela melepaskan lahannya. Perampasan lahan tersebut dilindungi oleh hukum, seperti contoh pengadaan lahan untuk pembangunan. Land grabbing tersebut termasuk ke dalam konversi lahan secara vertikal, dalam kondisi ini terjadi pemotongan akses petani terhadap lahannya2.

1Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 2 Desember 2013.

(13)

Kota Banjar yang terbentuk pada tanggal 21 Februari 2003 berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2002, merupakan pecahan dari Kabupaten Ciamis. Sebelum menjadi kota, pada awalnya Kota Banjar merupakan Kota Administratif. Oleh karena itu, transformasi atau peningkatan status Banjar dari Kota Administratif menjadi kota diduga telah terjadi konversi yang bertujuan untuk pemenuhan sarana dan prasarana, perdagangan dan pembangunan perumahan sebagai pelengkap pembangunan Kota Banjar. Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kota Banjar, pada daerah ini paling banyak lahan sawah yang terkonversi. Agar terlaksananya pembangunan tersebut, beberapa petani penggarap harus rela kehilangan lahan garapannya dan beralih fungsi dari pertanian menjadi non-pertanian. Perubahan fungsi atau konversi tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan pada tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap yang menggarap sawah tersebut, baik dilihat dari aspek materiil maupun moriil. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat dampak transformasi Kota Banjar terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap.

Masalah Penelitian

Ada latar belakang khusus seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, sehingga pembangunan pun kian giat dilaksanakan, baik sarana dan prasarana fisik, transfornasi, perdagangan, dan sebagainya sebagai pelengkap pembangunan Kota Banjar. Pembentukan kota sewajarnya menyebabkan proses konversi lahan sawah baik secara vertikal maupun horizontal di berbagai lokasi, khusunya di Kelurahan Mekarsari. Oleh karena itu, dapat dirumuskan pertanyaan,

bagaimana latar belakang pembentukan Kota Banjar dan proses konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terjadi baik secara vertikal dan horizontal di Kelurahan Mekarsari?

Melihat semakin giatnya pembangunan yang dilakukan oleh Walikota Banjar untuk melengkapi pembangunan Kota Banjar, pengalihfungsian atau konversi dari lahan pertanian menjadi non-pertanian tidak dapat dihindarkan yang memicu timbulnya konversi, sehingga muncul pertanyaan bagaimana faktor-faktor tertentu dapat menyebabkan konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarsari?

Transformasi Kota Banjar menyebabkan timbulnya konversi lahan sawah, hal ini disebabkan untuk melengkapi pembangunan kota dan sebagai imbas dari adanya pendatang, pembangunan di lahan sawah pun tidak dapat dihindarkan. Konversi tersebut menyebabkan berbagai dampak yang terjadi pada rumahtangga petani penggarap, oleh karena itu muncul pertanyaan sejauhmana dampak transformasi Kota Banjar mempengaruhi tingkat kesejahteraan baik secara materiil maupun moriil rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari?

(14)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah dipaparkan yaitu menelaah dampak konversi pemanfaatan lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan petani di Kelurahan Mekarsari. Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:

1. Menganalisis bagaimana latar belakang pembentukan Kota Banjar dan proses konversi lahan pertanian menjadi non pertanian baik secara vertikal dan horizontal terjadi di Kelurahan Mekarsari.

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadi konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarsari.

3. Menganalisis sejauhmanadampak transformasi dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain ialah:

1. Peneliti dan Akademisi.

Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait fenomena konversi yang terjadi langsung di lapangan. Sedangkan untuk akademisi hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dampak konversi lahan pertanian, baik secara vertikal dan horizontal serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agrarian. 2. Pemerintah.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari semakin meningkatnya laju konversi lahan pertanian.

3. Masyarakat.

(15)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Kota

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 1, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Pasal 3, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kemampuan daerah b. Potensi daerah c. Sosial budaya d. Sosial politik e. Jumlah penduduk f. Luas daerah

g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Penjelasan pasal 3 dijelaskan dalam pasal 4 sampai pasal 10 secara berturut-turut, yaitu kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari:

a. Produk domestik regional bruto (PDRB); b. Penerimaan daerah sendiri.

Pasal 5, Potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminantersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari:

a. Lembaga keuangan; b. Sarana ekonomi; c. Sarana pendidikan; d. Sarana kesehatan;

e. Sarana transportasi dan komunikasi; f. Sarana pariwisata;

g. Ketenagakerjaan.

Pasal 6, Sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yangberkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budayamasyarakat yang dapat diukur dari:

a. Tempat peribadatan;

(16)

Pasal 7, Sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan cerminan kondisi

sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari: a. Partisipasi masyarakat dalam berpolitik; b. Organisasi kemasyarakatan.

Pasal 8, Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, merupakan jumlahtertentu penduduk suatu Daerah.Pasal 9, Luas daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu Daerah.Pasal 10, Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, merupakanpertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari:

a. Keamanan dan ketertiban;

b. Ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan; c. Rentang kendali;

d. Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan/atau Kota;

e. Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan;

f. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan. Menurut Louis Wirth mendefinisikan Kota sebagai suatu pemukiman permanen yang cukup besar dan padat dari individu-individu yang dari segi sosial

bersifat heterogen. Di sini ‘urbanisme’ menganai tata kehidupan Kota, yang ditentukan oleh komponen-komponen yang tercantum dalam definisi di atas. Adanya pendekatan dari gejala pembentukan Kota dan tata kehidupan yang berhubungan dengan itu, dapatkan dengan tegas menyebutkan untuk memandang banyak dan padatnya penduduk serta heterogenitasnya itu sebagai

komponen-komponen dari sebuah faktor yang disebut ‘urban’. Nyatanya, terdapat kota-kota yang penduduknya cukup homogen, sedangkan daerah-daerah yang termasuk dalam tipe pedesaan sering susunan penduduknya amat heterogen (Geoge 1980).

Transformasi

Menurut kamus Bahasa Indonesia, terdapat berbagai macam pengertian mengenai transformasi, yaitu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)3.

Menurut Soehoed (2004) pada transformasi Jakarta sebagai ibukota propinsi menjadi ibukota negara, pada waktu itu mengalami proses perubahan bentuk suatu konsep daerah menjadi bentuk lain yang lebih mapan. Dijadikan ibukota nasional karena kota yang berkembang dari masa ke masa secara bertahap dengan suatu rencana. Kota Jakarta harus melintasi suatu reformasi dari ibukota suatu wilayah jajahan menjadi ibukota suatu negara baru yang masih akan berkembang. Ketika mulai membangun, tanda-tanda urbanisasi mulai memperlihatkan diri sehingga menyebabkan kebutuhan tanah meningkat.

Menurut Sztompka (2011) memahami transformasi fundamental dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yakni munculnya tatanan

masyarakat urban, industrial dan kapitalis. Proses transformasi (“perubahan dari” dan tidak hanya “perubahan di dalam” saja) lebih baik bila digabungkan dengan

(17)

kemajuan. Melihat dari transfomasi yang di dalamnya terdapat proses sosial, begitu proses sosial itu terjadi maka ia meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus dan meninggalkan pengaruh yang tidak terelakan atas proses sosial tahap selanjutnya, contohnya perkembangan sebuah kota.

Menurut Sarigih dalam Gunawan (2013), kisah-kisah kelompok atau individu yang memperjuangkan kemajuan desa sudah banyak dilakukan, kesemuanya menunjuk pada satu titik penting, yaitu masyarakat pedesaan itu sendiri yang harus bergerak dan mengupayakan perbaikan. Masyarakat pedesaan, entah sendiri atau bersama dengan kelompok masyarakat lain di luar lingkungan mereka perlu menentukan peran mereka mengenai apa-apa yang perlu dimajukan. Menurut Soemarwoto (1976), banyak pembangunan di pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan hidup di desa malah memperburuk situasi, hal ini terutama berdampak pada sawah yang terletak di dekat kota digunakan untuk industri atau bangunan lain. Lain hal menurut Astuti, Kolopaking dan Pandjaitan (2009), transformasi sosial atau perubahan sosial merupakan hal yang pasti terjadi dalam masyarakat. Sebagian besar pakar sosiologi memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat. Menurut Suryo (2009) terdapat proses transformasi sosial dan budaya, sejak berakhirnya penjajahan Belanda dan lahirnya Indonesia menjadi tonggak perubahan dan pergeseran berbagai dimensi kehidupan. Kota-kota di Indonesia sebagai pusat komunitas sosial sekaligus sebagai pusat kebudayaan tidak terlepas dari arus transformasi melalui perubahan pemerintahan dari masa ke masa. Proses pergeseran sepanjang masa tersebut juga diikuti dengan terjadinya proses pergeseran kota-kota di Indonesia menjadi lebih modern. Proses transformasi kota dan kebudayaan kota di Indonesia telah berlangsung semanjak masa lampau, pada masa kini serta mencapai puncak perkembangannya dan menuju ke arah masa depannya. Berdasarkan uraian di atas, transfomasi kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pergeseran sebuah wilayah rural menjadi urban.

Konsep Rumahtangga Petani

Rumahtangga (household) berbeda dengan istilah keluarga (family). Menurut Ellis (1993) dalam Wulan (2014), keluarga adalah sebuah unit sosial yang didefinisikan sebagai hubungan kekeluargaan antar orang namun pada masyarakat petani kecil, keluarga tidak hanya sebatas dua orang dewasa yang hidup bersama anak-anaknya seperti konsep keluarga inti pada konsep Barat. Akan tetapi, rumahtangga adalah sebuah unit sosial yang berbagi tempat tinggal yang sama atau tungku yang sama. Menurut Mattila (1999) dalam Wulan (2014), rumahtangga adalah sebuah grup lebih dari hanya sekedar seorang individu (meskipun seorang individu dapat juga sebagai rumahtangga), yang melakukan berbagai aktivitas ekonomi yang diperlukan untuk bertahannya rumahtangga dan untuk menjaga agar anggota rumahtangga tetap sejahtera.

(18)

Rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku rumahtangga petani dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar (Ellis 1988 dalam Wulan 2014)

Petani Penggarap (Tunakisma)

Menurut hasil penelitian Sitorus et al. (2008) terdapat enam lapisan masyarakat agraris dalam komunitas petani, salah satunya yaitu petani penggarap. Para petani pada lapisan ini mengusasi sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain, umumnya melalui sistem bagi hasil). Ditinjau dari kepemilikan lahan, patani penggarap termasuk tunakisma, tetapi tidak mutlak karena dari sisi penggarapan mereka termasuk petani pengusaha tanah. Menurut Planck (1990) dalam Munir (2008) yang menggolongkan penduduk pedesaan berdasarkan cara penguasaan lahan, menjelaskan pemilik dan penyakap murni adalah mereka yang tidak memiliki lahan tetapi memiliki garapan melalui sewa atau bagi hasil. Kelompok ini termasuk dalam tunakisma, namun jika dilihat dari garapan, termasuk pengusaha lahan efektif.

Proses kehidupan petani di perdesaan Jawa tidak terlepas dari adanya penguasaan lahan sawah yang jauh dari keadilan. Sebagian kecil warga masyarakat menguasai lahan yang sangat luas, namun disisi lain sebagian besar masyarakat memiliki lahan sawah yang sempit, bahkan tidak memiliki lahan sawah sama sekali. Oleh karena itu, muncul istilah petani berdasi atau petani bersafari yang merupakan segolongan orang yang menguasai lahan sawah di perdesaan dengan jumlah sawah yang cukup luas, petani ini tidak melakukan aktivitas pertaniannya namun hanya menerima setoran uang tunai atau hasil usaha padi miliknya (Sastraatmadja 2010).

Konversi Lahan Pertanian

a. Konsep Konversi Lahan Pertanian

Utomo et al. tahun 1992 dalam Hidayatet al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

(19)

lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian.

Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) konversi lahan sawah tidak dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian dari tahun ke tahun. Sawah bukan sekedar sebagai faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari eksistensi petani. Oleh karena itu, konversi lahan bukan sekedar berkurangnya luas lahan sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menjelaskan bahwa konversi yang terjadi merupakan konversi atau alih fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian. Sangat langka sekali terjadi konversi lahan non-pertanian menjadi lahan pertanian, oleh karena itu luas lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin berkurang.

b. Faktor Penyebab Timbulnya Konversi Lahan Pertanian

Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian menimbulkan berbagai dampak yang dirasakan bagi pihak yang tersisih. Dibalik semua itu, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani. Menurut Sihaloho (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

1. Faktor pada aras makro: meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi.

2. Faktor pada aras mikro: meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga).

Menurut Nasoetion dan Winonto tahun 1996 dalam Asmara (2011) menggolongkan alih fungsi lahan pertanian ke dalam dua faktor:

1. Berkaitan sistem pertanian, yakni perubahan land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian.

2. Faktor di luar sistem pertanian, yaitu industrialisasi dan faktor perkotaan lainnya

(20)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota Banjarbaru, konversi lahan pertanian disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian. Serupa dengan hasil penelitian oleh Rustiadi dan Wafda (2005):

1. Daerah seputar perkotaan aktivitas urban merupakan faktor utama terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Oleh karena itu, proses alih fungsi lahan terjadi di kawasan pedesaan, khususnya diperbatasan desa-kota dan perbatasan budidaya-non-budidaya.

2. Nature atau instristik sumberdaya lahan, dimana penawaran dan permintaan akan lahan mengalami meningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan. Selanjutnya berkaitan dengan pergeseran struktural dalam perekonomian dan perkembangan pembangunan yang mendorong petani beralih profesi dan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya.

3. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi pada sektor industri, namun laju investasi industri belum diikuti dengan laju penetapan peraturan sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan petanian.

c. Dampak Konversi Lahan Pertanian

Menurut penelitian Lestari dan Dharmawan (2011) di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, memandang dampak negatif konversi lahan pertanian dari segi sosio-ekonomi dan sosio-ekologi. Dampak sosio-ekonomi yaitu:

1. Perubahan pada struktur agraria. Semakin tinggi tingkat konversi yang terjadi, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan derajat penguasaan lahan. Selain itu, penurunan derajat penguasaan lahan diiringi dengan penurunan derajat luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga petani.

2. Persepsi kesempatan kerja. Terdapat perbedaan kesempatan kerja di sektor pertanian dan non-pertanian di daerah yang mengalami konversi lahan pertanian. Semakin tinggi tingkat konversi, maka kesempatan kerja di sektor pertanian akan menjadi semakin sulit, akan tetapi kesempatan kerja di sektor non-pertanian menjadi mudah, namun tidak semua petani dapat mengakses pekerjaan di sektor non-pertanian. Hal ini dikarenakan kendala dalam perbedaan kemampuan keterampilan masing-masing petani.

3. Pola kerja. Pola kerja berubah seiring dengan perubahan kesempatan kerja. Kebanyakan rumahtangga setempat bermatapencaharian di bidang luar pertanian. Sebagian besar lahan milik warga luar sehingga rumahtangga setempat mengalami kesulitan untuk masuk ke bidang pertanian, kalaupun ada hanya menjadi penggarap atau buruh tani.

4. Struktur pendapatan. Perubahan pola pekerjaan rumahtangga sebagian besar beralih ke sektor non-pertanian adalah keinginan sendiri untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih dari sekor pertanian. Sehingga struktur pendapatan tiap rumahtangga pun menjadi berubah.

5. Kondisi tempat tinggal. Hubungan antara status penguasaan lahan dengan kegiatan konversi terlihat dari semakin tingginya jumlah tempat tinggal maka semakin besar kemungkinan terjadi konversi lahan, karena tempat tinggal yang dimiliki sekarang berasal dari lahan yang dikonversi.

(21)

ini dikarenakan di tempat yang masih rendah konversi, intensitas warga untuk berkomunikasi, kedekatan tempat tinggal, sama-sama bekerja di sektor petanian sehingga hubungan yang terjalin antar warga bersifat horizontal yaitu sesama warga.

7. Prostitusi. Konversi yang terjadi adalah lahan diperuntukan untuk tempat wisata di kawasan Puncak menjadi vila, hotel dan restoran sehingga menarik perhatian wisatawan untuk menghabiskan liburannya di kawasan ini. Akan tetapi kondisi ini dijadikan kesempatan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan-kegiatan asusila.

Sedangkan dampak sosio-ekologi, yaitu dampak sosio-ekologi konversi lahan adalah adanya perubahan pada akses rumahtangga terhadap air, cara membuang limbah rumahtangga dan degradasi lingkungan, seperti banjir, longsor dan kebisingan. Kebanyakan warga dengan mudah mengakses air dari Sungai Ciliwung. Kebiasaan membuang sampah ke sungai menyebabkan sungai menjadi kotor. Semakin tinggi tingkat konversi lahan, semakin tinggi pula pembangunan di sektor non pertanian, sehingga pengelolaan limbah rumahtangga lebih rendah. Hal ini dikarenakan sampah tidak diolah menjadi pupuk, seperti di Kampung Sukatani dan begitu juga sebaliknya.

Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi lahan sawah, terdiri dari :

1. Degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung menyebabkan turunnya produktivitas lahan sawah serta akibat degradasi ekologi lahan. Hal ini dikarenakan berkurangnya produksi padi akibat konversi lahan bersifat permanen.

2. Penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan. Hal ini dikarenakan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani karena hanya segelintir golongan saja yang dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi baru. Adanya senjang permintaan dan penawaran tenaga kerja karena petani biasa kalah bersaing dengan pendatang.

3. Pemubaziran investasi. Anggaran pembangunan irigasi merefleksikan nilai investasi yang dibutuhkan. Sekian biaya yang dikeluarkan untuk pemilihraan sistem irigasi, pembentukan kelembagaan pendukung dan sebagainya juga harus diperhitungkan sebagai akibat dari kerugian akibat konversi lahan sawah. 4. Dampak negatif lainnya adalah akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Selain itu, konversi lahan sawah yang terjadi pada suatu hamparan yang cukup luas dan masif dengan sendirinya akan mengubah struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Keuntungan yang dirasakan pada golongan atas, yaitu pemilik lahan sedangkan pada golongan bawah (teruama buruh tani dan petani gurem) mereka tidak dapat dengan mudah beralih pekerjaan/usaha ke sektor non pertanian sehingga semakin sempit peluang usaha yang mereka hadapi.

Menurut Sihaloho (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, konversi lahan pertanian berdampak pada perubahan aspek, yaitu:

(22)

perubahan ini adalah buruh tani sulit untuk mendapatkan lahan dan terjadi proses marginalisasi.

2. Perubahan pola penggunaan lahan. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria. Konversi lahan pertanian menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi.

3. Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang semakin terbatas menyebabkan berubahnya sistem pembagian hasil, demikian juga munculnya sistem tanah baru, yaitu sistem sewa dan jual gadai.

4. Perubahan pola nafkah agraria. Keterbatasan lahan pertanian dan keterkelurahankan ekonomi rumahtangga menyebabkan pergeseran mata pencaharian dari pertanian menjadi non pertanian.

5. Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan penurunan atau kemunduran dalam kemampuan ekonomi (pendapatan semakin menurun).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota Banjarbaru yang menyatakan bahwa, konversi lahan pertanian dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah menurunnya kapasitas produksi padi yang berimplikasi pada penurunan penghasilan petani dan hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, pembangunan irigasi yang sia-sia, berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, dan pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru yang digelutinya. Setelah adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat karena berhasil dalam usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan dan menurun karena tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan Dampak positif adalah petani atau pemilik lahan dapat meningkatkan pendapatan mereka.

Penelitian oleh Metera (1996), menyatakan bahwa konversi lahan pertanian berdampak positif, hal ini dikarenakan memanfaatkan uang ganti rugi atas lahan tersebut. Adanya perbaikan keadaan kehidupan petani pada keadaan (jenis dan luas rumah), fasilitas rumah dan pemilikan alat-alat transportasi. Selain itu, dampak negatif dari konversi lahan pertanian yaitu penurunan luas lahan sawah. Menurut Bachriadi dan Lucas (2011), konversi lahan berdampak pada hilangnya nafkah pada buruh tani, hilangnya lahan garapan maka hilang juga persediaan pangan, sehingga menimbulkan pengangguran. Hal tersebut berimplikasi pada mental diri petani yang tadinya sibuk bertani sekarang hanya lebih sering berdiam diri. Sebagai contoh kasus di Cimacan, karena lahannya digusur untuk dijadikan Lapangan Golf Cibodas, beberapa petani lebih sering termenung berdiam diri, hanya sesekali ngobyek di Cibodas.

Gambaran Umum Kesejahteraan Petani

(23)

a. Pendekatan mikro, kesejahteraan dinyatakan dengan indikator-indikator yang disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data empiris suatu masyarakat.

b. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.

Menurut BKKBN4merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009yang dimaksud keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Menurut BPS 2006 dalam Utami (2013) untuk mengukur seberapa tinggi tingkat kesejahteraan suatu individu, diperlukan berbagai indikator dari berbagai dimensi. Sama seperti definisi dari konsep kesejahteraan, sebuah indikator yang menyatakan apakah individu sejahtera atau tidak, juga memiliki berbagai versi dari banyak ahli. BPS menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan seseorang, maka ada 6 hal yang mengindikasikan, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan serta sosial dan budaya. Menurut Sawidack (1985) dalam Lestari (2010) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, akan tetapi dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi pendapatan tersebut. Kesejahteraan akan dirasakan bila kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan) dan sekunder telah terpenuhi, disamping kebutuhan batiniah (rasa aman, rasa puas dan rasa bangga). Bila kesejahteraan materiil dan batin atau moriil terpenuhi maka akan terbentang dalam dirinya adalah akutualisasi diri yang lebih tinggi, tercipta full capacity sesuai dengan predikat yang disandangnya.5

Kaitan antara struktur agraria dengan kesejahteraan petani sangat erat karena bagi para petani sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah utama. Melalui pengusahaan sumberdaya lahan diharapkan para petani akan memiliki pengahasilan yang cukup dan berkelanjutan, sehingga tujuan utama para petani untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup dan membuat kehidupan yang lebih baik dapat tercapai (Sitorus et al.2008). Arti berkelanjutan menurut Haan (2000) dalam Sitorus et al. (2008) adalah suatu mata pencaharaian dapat dikategorikan sebagai mata pencaharian berkelanjutan bila terdapat kecukupan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar serta menjamin orang untuk dapat menghadapi goncangan dan tekanan.

4

(24)

Kerangka Pemikiran

(25)

Keterangan :

: Menyebabkan

: Penelitian secara deskriptif : Terdiri dari

: Mempengaruhi

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Hipotesis Pengarah

1. Diduga transformasi Kota Banjar menyebabkan konversi lahan pertanian di dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal

Transformasi Kota

Konversi Lahan Pertanian: 1. Konversi Vertikal 2. Konversi Horizontal

Dampak Konversi lahan pertanian:

1. Perubahan Penguasaan lahan garapan

2. Perubahan Kesempatan kerja 3. Perubahan ragam

pekerjaan

Tingkat Kesejahteraan

Materiil : 1. Tingkat

Pendapatan 2. Tingkat

Kepemilikan Aset 3. Tingkat Konsumsi

Pangan 4. Tingkat

Pendidikan 5. Akses terhadap

sarana kesehatan

Moril:

1. Frekuensi Hubungan Antar Warga

(26)

2. Diduga konversi lahan pertanian di dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal menyebabkan dampak pada tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan pola pekerjaan

Hipotesis Uji

1. Terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap

2. Terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap

Definisi Konseptual

1. Transformasi kota adalah perubahan status dariKota Administratif menjadi kota.

2. Konversi vertikal adalah peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara (institusional).

3. Konversi horizontal adalah peralihan dari obyek-subyek agraria kuasa individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual ( petani atau bukan petani).

4. Dampak konversi lahan pertanian adalah suatu kondisi atau keadaan setelah terjadinya konversi yang menyebabkan adanya perubahan pada beberapa aspek.

5. Tingkat kesejahteraan adalah suatu ukuran dimana petani dapat memenuhi kehidupannya secara materiil dan moriil.

Definisi Operasional

1. Dampak konversi lahan pertanian adalah akibat dari adanya konversi lahan pertanian yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap pasca konversi yang menyebabkan adanya perubahan pada beberapa aspek, yaitu tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan. Dampak konversi diukur dengan metode penelitian kuantitatif. Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori:

Berdampak rendah (nilai 6-7) skor 1, berdampak sedang (nilai 8-9) skor 2 dan berdampak negatif (niali 10-12) skor 3.

(27)

Rendah : luas lahan tidak berkurang dan miliki lahan garapan pengganti (skor 1)

Sedang : luas lahan berkurang dan ada lahan garapan pengganti (skor 2)

Tinggi : luas lahan berkurang dan tidak ada lahan garapan pengganti (skor 3)

b) Perubahan kesempatan kerja adalah persepsi responden mengenai perubahan peluang untuk mendapatkan pekerjaan pada sektor pertanian atau non-pertanian pasca konversi lahan pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal, dengan penilaian sebagai berikut:rendah(skor 1) : menganggap sulit bekerja pada sektor pertanian/non-pertanian, sedang (skor 2): menganggap biasa saja bekerja pada sektor pertanian/non-pertanian, tinggi(skor 3) : menganggap mudah bekerja pada sektor pertanian/non-pertanian.

 Kesempatan kerja sektor pertanian adalah persepsi responden mengenai perubahan peluang untuk mendapatkan pekerjaan pada sektor pertanian pasca konversi lahan pertanian.Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal, dengan penilaian sebagai berikut: - Rendah : menganggap mudah usaha pada sektor pertanian (skor 1) - Tinggi : menganggap sulit usaha pada sektor pertanian (skor 2)

 Kesempatan kerja sektor non-pertanian adalah persepsi responden mengenai perubahan peluang untuk mendapatkan pekerjaan pada sektor non-pertanian pasca konversi lahan pertanian.Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal, dengan penilaian sebagai berikut:

- Rendah : menganggap mudah kerja pada sektor non-pertanian (skor 1)

- Tinggi : menganggap sulit kerja pada sektor non-pertanian (skor 2)

c) Ragam pekerjaan adalah jumlah kesibukan atau kegiatan responden yang dilakukan setiap hari untuk mencari nafkah pasca konversi lahan pertanian, berikut:

Rendah : tidak memiliki pekerjaan (skor 1)

Sedang : bekerja pada sektor pertanian/ sektor non-pertanian(skor 2)

Tinggi : bekerja pada sektor pertanian dan sektor non-pertanian(skor 3) 2. Tingkat kesejahteraan petani pada hal meteriill adalah perubahan pada ukuran

seberapa tinggi atau rendah aspek-aspek kesejahteraan yang dirasakan responden dinilai berdasarkan nilai-nilai ekonomi dan keberadaan aset fisik yang berharga bagi petani. Perubahan tingkat kesejahteraan secara materiil diukur dengan metode penelitian kuantitatif. Akumilasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori:

Tingkat kesejahteraan materiil rendah (nilai 28-62) skor 1, sedang (nilai 63-100) skor 2, dan tinggi (nilai 101-138) skor 3.

a) Tingkat pendapatan adalah seluruh jumlah pemasukan yang diterima oleh responden atas setiap pekerjaan yang dilakukan dari sektor pertanian maupun non-pertanian saat ini pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah ≤ Rp 9 436 000 per tahun (skor 1)

(28)

Tinggi ≥ Rp 16 693 000 per tahun (skor 3)

b) Tingkat kepemilikan aset adalah kondisi tempat tinggal dan jumlah seluruh barang berharga yang dimiliki oleh responden pasca konversi. Aset-aset yang diperhitungkan antara lain: rendah (nilai 11-24) skor 1, sedang (nilai 25-39) skor 2 dan tinggi (nilai 40-55) skor 3.

 Kondisi tempat tinggal adalah kondisi dari rumah yang ditempati oleh responden pasca konversi dibandingkan dengan pra konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 8-18) skor 1

Sedang (nilai 19-29) skor 2

Tinggi (nilai 30-40) skor 3

 Kepemilikan barang berharga adalah banyaknya barang-barang berharga yang dimiliki oleh respondenpasca konversi dibandingkan dengan pra konversi. Kepemilikan barang berharga dilihat dari jumlah barang yang dimiliki berupa kendaraan beroda, barang elektronik, dan hewan ternak. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 3-6) skor 1

Sedang (nilai 7-10) skor 2

Tinggi (nilai 11-15) skor 3

c) Tingkat konsumsi pangan adalah seberapa besar kemampuan petani untuk dapat mengkonsumi dan membeli beras, sayuran, telur, susu, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan, dan minyak goreng pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 8-18) skor 1

Sedang (nilai 19-29) skor 2

Tinggi (nilai 30-40) skor 3

d) Tingkat akses pendidikan adalah kemampuan petani dalam menyekolahkan anak-anaknya pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 4-8)skor 1

Sedang (nilai 9-14) skor 2

Tinggi (nilai 15-20)skor 3

e) Akses terhadap sarana kesehatan adalah kemampuan petani dalam mengekses fasilitas kesehatan pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 4-8) skor 1

Sedang (nilai 9-14) skor 2

Tinggi (nilai 15-20) skor 3

(29)

kesejahteraan moriil rendah (nilai 6-14) skor 1, sedang (niali 15-23) skor2 dan tinggi (nilai 24-30) skor 3.

a) Hubungan antar warga adalah perubahan rasa nyaman yang dirasakan atas responden dengan orang-orang disekitarnya, baik dalam berinteraksi, bekerja sama dan tolong-menolong saat ini pasca konversi lahan pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 5-11)skor 1

Sedang (nilai 12-18) skor 2

Tinggi (nilai 19-25) skor 3

b) Keamanan bekerja adalah persepsi rasa aman yang dirasakan responden atas pekerjaan beserta pendapatan yang dihasilkan oleh pekerjaan tersebut pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal.

Rendah (nilai 1-2) skor 1

Sedang (nilai 3-4) skor 2

(30)
(31)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah studi persepsi penelitian sensus, dengan menggunakan pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun 1989).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif untuk memperoleh data yang diperlukan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner (lampiran 3) sebagai alat pengumpulan data yang utama. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap responden dan informan yang dipilih melalui metode snowball dengan menggunakan panduan wawancara (lampiran 4). Kedua pendekatan tersebut juga dilengkapi dengan penelusuran literatur untuk memperoleh data sekunder.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya ialah:

1. Kelurahan Mekarsari termasuk dalam wilayah Kota Banjar yang merupakan salah satu kelurahan yang mendapatkan dampak dari terjadi perubahan status dari kota administratif menjadi kota sejak 21 Februari 2003.

2. Terkait pembangunan yang semakin gencar dan giat dilakukan oleh Walikota Banjar, terdapat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang terjadi di Kelurahan Mekarsari.

(32)

Tabel 1Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2014

Kegiatan Jan Feb Maret April Mei

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pra-Penelitian

Penyusunan Proposal

Skripsi Kolokium

Perbaikan Proposal

Skripsi Pengambilan

Data Lapang

Pengolahan dan Analisis

Data Penulisan

Draft Skripsi Uji Petik

Sidang

Skripsi

Perbaikan Laporan

Skripsi

Teknik Pengambilan Informan dan Responden

Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisa dalam penelitian ini adalah populasi rumahtangga penggarap yang terkena dampak konversi di Kelurahan Mekarsari. Hal ini dikarenakan lahan sawah yang

terdapat di Kelurahan Mekarsari dimiliki oleh petani berdasi6, sehingga yang

mengalami kerugian yang penggarap. Responden diambil sebanyak jumlah

populasi tersebut, yaitu 35 rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Hal ini dikarenakan jumlah populasi yang tidak terlalu banyak, oleh karena itu jumlah sampel sama dengan jumlah populasi. Prosesdalam menentukan populasi adalah dengan mensurvey lokasi-lokasi yang saat ini telah berubah menjadi bangunan. Selanjutnya, menanyakan kepada orang-orang yang berada

6

(33)

pada wilayah setempat siapa yang dahulu menjadi penggarap pada lahan ini. Setalah itu, didapatkan sejumlah nama-nama responden adalah sejumlah 35 penggarap, dan ditentukanlah sebagai responden. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioneryang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumahtangganya.Alasan pemilihan unit analisa ini dikarenakan kesejahteraan erat kaitannya dengan kondisi rumahtangga.

Sedangkan untuk mendapatkan informasi lain didapatkan dari informan yang dipilih melalui metode snowball, orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah, petugas Dinas Pertanian Kota Banjar, aparatur Kelurahan Mekarsari, anggota DPRD Kota Banjar, Kepala bagian Administrasi Pembangunan Kota Banjar, dan tokoh masyarakat setempat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai sejarah transformasi Kota Banjar dan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian di Kota Banjar khususnya di Kelurahan Mekarsari.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi untuk melihat lokasi-lokasi yang saat ini telah terkonversi menjadi bangunan. Selain itu, melihat kondisi dari responden saat ini.Selain dengan kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Data sekunder diperoleh baik dari dokumen-dokumen tertulis di kantor Dinas Pertanian Kota Banjar, kantor BAPPEDA Kota Banjar, BPS Kota Banjar dan kantor Kelurahan Mekarsari. Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah pembentukan Kota Banjar, data luas sawah di Kota Banjar dan Kelurahan Mekarsari, data monografi dan profil Kelurahan Mekarsari. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya. Tabel kebutuhan data dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada lampiran 7.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(34)

Microsoft Excell 2007. Kemudian SPSS. for windows 20 digunakan untuk membantu dalam uji statitistik yang akan menggunakan Rank Spearmandan Uji T. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antar dua variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil dan moriil yang berskala ordinal. Uji T digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata penilaian tingkat kesejahteraan materiil dan moriil pra dan pasca konversi serta melihat apakah terdapat perbedaan pada tingkat kesejahteraan materiil dan moriil pra dan pasca konversi.

(35)

POTRET KELURAHAN MEKARSARI

Kondisi Geografis

Kelurahan Mekarsari merupakan salah satu kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah cakupan Kota Banjar. Pada tahun ini Mekarsari berganti nama dari desa menjadi kelurahan, dan terbagi menjadi 25 RW dan 99 RT. Kelurahan ini mempunyai luas wilayah sebesar 285454 ha/m2 dengan curah hujan sekitar 2 645

Mm dan mempunyai tinggi tempat dari permukaan laut sebesar 32 mdl. Batas administrasi Kelurahan Mekarsari adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : Kelurahan Banjar, Kecamatan Banjar Sebelah selatan : Desa Binangun, Kecamatan Pataruman Sebelah timur : Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman Sebelah barat : Kelurahan Banjar, Kecamatan Banjar

Pada tabel di bawah ini akan menunjukkan luas wilayah dari Kelurahan Mekarsari menurut penggunaannya.

Tabel 2 Luas wilayah menurut penggunaan Kelurahan Mekarsari

Penggunaan lahan Luas (ha/m2) Persentase (%)

Luas pemukiman 131 999 46

Luas persawahan 129 542 45

Luas perkebunan 0.6 0.21

Luas kuburan 0.2 0.79

Luas pekarangan 0 0

Luas taman 0 0

Perkantoran 2 931 1

Luas prasarana umum lainnya 19 981 7

Total luas 284 454.8 100

Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012

(36)

ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam.

.

Kondisi Demografi Kelurahan Mekarsari

Penduduk

Menurut sumber data dari Kelurahan Mekarsari, terdapat perkembangan kependudukan yang terjadi dilihat jumlah penduduk dari tahun sebelumnya.

Tabel 3Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan jenis kelamin

Waktu Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Jumlah KK Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan

2012 4 613 16 632 8 368 8 264

2011 4 628 16 404 8 264 8 140

Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012

Berdasarkan kelompok usia, usia penduduk Kelurahan Mekarsari ini sangat beragam tabel di bawah ini menunjukkan sebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia.

Tabel 4 Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan kelompok usia

Kelompok Usia Jumlah

0-4 1 260

5-9 1 516

10-14 1 505

15-19 1 435

20-24 1 207

25-29 1 522

30-34 1 291

35-39 1 074

40 tahun ke atas 5 822

Total 16632

(37)

Ketenagakerjaan

Melihat dari data desa, penduduk usia 18-56 tahun adalah laki-laki sebanyak 4 672 orang dan perempuan sebanyak 4 695 orang, namun penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja adalah laki-laki sebanyak 2 261 orang dan perempuan sebanyak 1 249 orang. Terdapat berbagai macam jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga Mekarsari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Berikut gambar diagram persentasi penduduk berdasarkan mata pencaharian.

Gambar 2 Diagram persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian, sumber data potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012

Berdasarkan gambar 2 dapat terlihat bahwa, mata pencaharian didominasi oleh pedagang keliling, petani disusul dengan buruh tani. Mata pencaharian lainnya adalah terdiri dari pekerjaan yang dilakukan oleh beberapa penduduk, seperti pengrajin, montir, dokter swasta, bidan swasta, perawat swasta, TNI, POLRI, pengacara, dosen dan dukun terlatih kampung.

Pendidikan

Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh penduduk di Kelurahan Mekarsari juga sangat beragam, mulai dari tamat SD/ sederajat, tamat SMP/ sederajat, tamat SMA/ sederajat, tamat D-1, D-2, D-3, Tamat S-1, S-2, S-3. Hal ini dapat dilihat pada gambar diagram berikut.

20%

9%

9%

45%

1% 9%

3% 4%

Petani

Buruh tani

PNS

Pedagang Keliling

POLRI

Pensiunan PNS/TNI/POLRI

Pengusaha Kecil dan Menengah

(38)

Gambar 3 Diagram tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Mekarsari, sumber data potensi desa dan Kelurahan Mekarsari 2012

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan mayoritas tingkat pendidikan di Kelurahan Mekarsari adalah tamat SD. Hal ini dikarenakan masyarakat dahulu tidak terlalu mementingkan pendidikan, adanya faktor biaya dan keadaan ekonomi kelurga yang mengharuskan anak tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin hari kesadaran akan pendidikan pun menjadi berubah. Masyarakat sadar bahwa anaknya kelak harus berusaha dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuannya. Adanya bantuan pemerintah pusat, yaitu BOS (Bantuan Operasional Sekolah) maka biaya sekolah menjadi gratis, maka semakin bersemangatlah anak-anak untuk bersekolah. Selain itu, setelah Banjar menjadi Kota, walikota Banjar Herman Sutrisno sangat memperhatikan pendidikan, beliau berusaha agar semua masyarakat Kota Banjar dapat bersekolah.

Religi

(39)

Tabel5Persentase jumlah agama berdasarkan jumlah penduduk

Agama Persentase (%)

Islam 98

Kristen 1.3

Katholik 0.3

Hindu 0

Budha 0.2

Khonghucu 0.2

Total 100

Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012

Sarana dan Prasarana

Prasarana transportasi darat di Kelurahan Mekarsari dimana kondisi jalan kelurahan, jalan kabupaten yang melewati kelurahan dan jalan propinsi yang melewati kelurahan adalah baik. Sarana transportasi darat yang dimiliki oleh Kelurahan Mekarsari adalah ojek dan becak. Selain itu, kelurahan ini juga mempunyai prasarana komunikasi dan informasi, prasarana air bersih yang lebih didominasi oleh pengguna sumur gali dan PAM, serta keadaan sanitasi yang cukup baik. Kelurahan Mekarsari juga memiliki gedung kantor dengan kondisi yang baik karena baru saja selesai dibangun dilengkapi dengan inventaris dan alat tulis kantor. Selain itu, terdapat bangunan untuk peribadatan masing-masing agama, seperti masjid, mushola, gereja Kristen Protestan dan gereja Katholik.

Di samping itu, kondisi di sana dilengkapi dengan prasarana olah raga, antara lain terdapat lapangan bulu tangkis, lapangan voli, meja pingpong dan pusat kebugaran. Fasilitas ini bisa digunakan oleh semua warga yang ingin memanfaatkannya. Menangani masalah kesehatan, fasilitas yang dimiliki oleh kelurahan ini adalah puskesmas dan puskemas pembantu, poliklinik/ balai pengobatan, apotek, posyandu, toko obat, balai pengobatan masyarakat yayasan/ swasta, kantor praktek dokter dan rumah bersalin. Fasilitas tersebut juga dilengkapi dengan tenaga kesehatan yang memadai, seperti dokter umum dan spesialis, dokter gigi, dukun bersalin, bidan, perawat, dan pengobatan alternatif.

Masa Lalu Kelurahan Mekarsari

(40)

Tidak hanya menjadi penggarap, beberapa responden ada pula yang memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan rumahtangga.

Saat itu, mereka merasakan apa yang disebut sejahtera dan dapat mensyukuri apa yang telah mereka dapatkan. Kondisi tempat tinggal yang dimiliki memang sudah permanen dan ada beberapa yang memiliki kendaraan pribadi seperti sepeda motor. Tidak hanya itu, akses kesehatan dan akses pendidikan pun semakin mudah karena janji program Walikota Banjar yang ingin mensejahterakan masyarakatnya. Menjadi penggarap adalah anugrah bagi mereka, karena ada yang telah menggarap sejak zaman Jepang pada lahan tersebut. Walaupun sempat tersirat untuk bekerja pada sektor non-pertanian namun kembali mereka berfikir minimnya kemampuan mereka bila bekerja di luar sektor pertanian. Sehingga mereka sangat menikmati menjadi penggarap dengan rasa aman pada penghasilan yang mereka dapat dari hasil menggarap dan hanya beberapa saja mempunyai sampingan bekerja pada sektor non pertanian seperti menjadi buruh bangunan, usaha dagang dan tukang becak.

Melihat area tempat tinggal yang berdekatan masih satu kampung membuat kualitas hubungan sosial antar mereka terjalin dan terjaga dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan ketentraman dan kedamaian yang mereka bangun, tolong menolong ketika ada warga yang membutuhkan terlebih ketika ada kegiatan gotong-royong untuk memperbaiki fasilitas umum di kampungnya. Tidak hanya itu, kebersamaan terjalin ketika musim panen tiba, bersama-sama pergi menuju hamparan kuningnya padi yang siap untuk dipanen. Biasanya, setalah panen selesai mereka mengadakan syukuran bersama-sama, mereka menyebutnya botram,yang artinya makan bersama-sama warga setempat. Sangat terasa kebersamaan dan kedakatan yang terjalin saat itu dan tidak dapat mereka lupakan saat-saat berkumpul dan bercengkrama bersama warga.

Masa Kini KelurahanMekarsari

Saat ini Banjar telah menjadi Kota yang baru menginjak umur 11 tahun. Seiring dengan peningkatan status Banjar tersebut, dalam prosesnya kota baru ini terus melakukan pembangunan di beberapa wilayah Kota Banjar, termasuk di Kelurahan Mekarsari yang memiliki jarak relatif dekat dengan pusat kota. Walikota Banjar terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya, sehingga kebutuhan akan lahan pun menjadi semakin meningkat dan pada akhirnya merampas lahan pertanian, dalam penelitian ini yang dimaksud adalah lahan sawah yang berubah menjadi bangunan baru atau non-pertanian. Musibah ini dialami oleh rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya yang sekarang telah berubah menjadi perumahan (real estate), gedung STISIP (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) dan gedung DPRD Kota Banjar.

(41)

lahan garapan yang selama ini telah menghidupi keluarganya. Sedih rasanya mereka harus kehilangan lahan garapan dan tidak mendapat lahan garapan pengganti, hanya beberapa saja yang dapat memperoleh lahan garapan pengganti sehingga saat ini masih menjadi penggarap. Bagi mereka yang sudah kehilangan lahan garapannya, saat ini bekerja pada sektor non-pertanian dengan penghasilan yang tidak tetap, bahkan ada yang sudah tidak lagi bekerja karena terbentur usia yang sudah tua.

Merasakan kondisi saat ini, kesejahteraan yang dahulu mereka rasakan kian berubah. Walaupun sebagian mendapat kesempatan bekerja pada sektor non-pertanian dengan upah per hari yang relatif cukup tinggi, akan tetapi pekerjaan yang mereka lakukan sekarang bersifat temporer atau tidak tetap. Sehingga ini belum tentu dapat berkelanjutan pada beberapa tahun yang akan datang. Oleh karena itu, rasa aman yang mereka miliki dalam pekerjaan yang sekarang ini sangat menurun. Jika melihat kondisi akses kesehatan dan akses pendidikan, memang sudah baik dirasakan. Hal ini dikarenakan janji Walikota Banjar yang ingin semakin mensejahterakan dan memajukan masyarakatnya, sehingga dengan adanya program pemerintah dalam hal kesehatan dan pendidikan sangat membantu masyarakat yang kurang mampu, termasuk rumahtangga petani penggarap ini.

(42)

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran
Tabel 1Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2014
Tabel 2  Luas wilayah menurut penggunaan Kelurahan Mekarsari
Tabel 4  Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan kelompok usia
+4

Referensi

Dokumen terkait

dapat diperoleh bahwa pendapatan bersih pada strata I menurut luas lahan usahatani padi sebelum terjadi peningkatan harga dan sesudah terjadi peningkatan harga beras dengan

Hasil analisis mengenai hubungan antara responden yang memiliki hewan peliharaan dan yang tidak terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap asas

Dengan demikian, pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo ini, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani dipengaruhi oleh pengubahan fungsi lahan pertanian mereka menjadi tambang

Dilihat pada aspek sosial dan ekonomi, yang mana keberadaan perusahaan tersebut diduga akan dapat memberikan nilai positif terhadap Peluang kerja pada sektor

Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dilakukan analisis Pengaruh Tingkat Kesejahteraan Keluarga Dan Partisipasi Perempuan Bekerja Terhadap Ketahanan Pangan

Regresi Linear Persamaan dari regresi linear adalah sebagai berikut: Y= 1,190 – 0,047 X + e Berdasarkan persamaan di atas, nilai dari variabel kredit X terhadap kesejahteraan Y