• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang dan Proses Terbentuknya Kota Banjar

Menyandang status kota, Banjar tidak serta-merta langsung terbentuk. Terdapat alur dan proses yang cukup panjang untuk menaikan status Banjar menjadi kota. Berpegang pada regulasi dan dengan usaha yang sangat kuat dari warga Banjar sehingga berbagai macam tahapan untuk menjadikan Banjar menjadi kota dapat terselenggara. Rencana peningkatan status Banjar menjadi Kota/Kabupaten telah tersirat dalam kebijakan Pemerintah Kabupaten Ciamis tahun 1995/1996 dengan membuat evaluasi Rencana Induk Kota Banjar dalam bentuk Rencana Induk Kotif (RIK). RIK ini disusun dengan dua konsep pengembangan Kabupaten DT II Ciamis, salah satunya yaitu Kabupaten DT II Ciamis dan Kabupaten DT II Banjar yang diproyeksikan hingga tahun 2005. Selanjutnya, tidak hanya dengan adanya RIK tersebut, tetapi diperkuat dengan adanya peraturan, yaitu:

Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 125: (1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Simeulue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undang- undang ini. (2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah ditetapkannya undang-undangini, Kotamadya, Kabupaten dan Kota Administratif sebagaimana disebut pada pasal (1), sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 undang-undang ini. (3)Kotamadya, Kabupaten dan Kota Administratif sebagaimana disebut pada pasal (1), dapat dihapus jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom.

Berdasarkan peraturan di atas tepat pada tanggal 7 Mei 2001 status kotif harus ada kejelasan apakah akan ditingkatkan statusnya atau dilebur kembali ke wilayah Kabupaten Ciamis. Hasil kajian Pansus DPRD saat itu akhirnya berujung pada diterbitkannya Surat Keputusan DPRD Ciamis No. 188.4/Kep/DPRD- 10/2001 tertanggal 9 Maret 2001 yang berisi persetujuan pengkajian Kotif Banjar untuk peningkatan status yang ditandatangi oleh ketua DPRD Ciamis, kemudian disusul dengan terbitnya surat No. 135/720-Pe, tertanggal 17 Mei 2001 yang ditandatangai oleh Bupati Ciamis mengajukan susulan peningktan status Kotif Banjar kepada Gubernur Jawa Barat dengan tembusan Mendagri dan Otda, Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat, dan Ketua DPRD Kabupaten Ciamis. Surat tersebut ditindaklanjut dengan dibentuknya Pansus DPRD Jabar untuk melakukan kajian terhadap Banjar yang diketuai oleh Rizal Fadillah dari Komisi A. Hasilnya tertanggal 14 Juni 2001 Gubernur Jawa Barat R Nuriana menandatangani surat bernomor 135/1502/Des serta surat keputusan DPRD Jawa Barat No. 135/Kep. DPRD-27/2001 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Jawa Barat sama-sama menyatakan persetujuannya atas peningkatan status Kotif Banjar menjadi Kota Banjar (Sudrajat, Amiruddin, Kuswara 2013).

Selanjutnya warga Banjar membuat sebuah forum yang bernama FPSKB (Forum Peningkatan Status Kota Banjar), hal ini dikarenakan warga Banjar tidak ingin statusnya yang sudah menjadi kotif harus turun status mejadi Kota Kewadanaan/ Kecamatan. Keanggotaan dari forum ini berisikan beberapa pihak yang terkait, yaitu tokoh masyarakat yang mewakili masyarakat, alim ulama, kalangan pengusaha dan birokrat. Perjuangan untuk mendirikan Kota Banjar berlangsung selama kurang lebih 1,5 sampai dua tahun lamanya. Akhirnya, dukungan mengalir dari sejumlah elemen masyarakat dan partai politik, kendati ada pula sejumlah elemen masyarakat yang melakukan penolakan atas peningkatan status mejadi Kota Banjar. Hal tersebut tidak menjadi kendala berarti karena kerasnya perjuangan dari Presidium FPSKB melalui lobi politik baik secara personal atau kelembagaan yang ternyata mampu meyakinkan pemerintah pusat.

Proses peningkatan status Banjar menjadi Kota nyaris tidak dapat tercipta. Jika pada saat itu salah satu tokoh yang paling berpengaruh, Herman Sutrisno tidak merelakan uang tabungannya dipinjam untuk proses pembuatan undang- undang peningkatan status Kotif Banjar, maka keinginan tersebut hanya akan menjadi angan atau harus menunggu waktu lama. Pendanaan sebenarnya dibiayai oleh APBN, namun jika pada saat itu ingin menggunakan dana APBN harus menunggu sekitar 1 tahun lagi. Pada saat itu semua daerah yang akan ditingkatkan statusnya menjadi kota sepakat semua bahwa ikut membantu mendanai termasuk Banjar. Bupati Ciamis pada saat itu tidak sanggup untuk mendanai proses ini, hingga akhirnya berkonsultasi secara pribadi dengan bupati dengan syarat diminta ganti dari APBD Ciamis dan APBD Provinsi Jawa Barat.

Pada akhirnya hari Selasa tanggal 12 November 2002 dalam sidang paripurna ke-12 DPR RI dengan agenda Pengesahan RUU Pemkot Banjar, sembilan fraksi di DPR RI menyetujui peningkatan status Banjar. Kemudian tertanggal 21 Februari 2003 Mendagri Hari Subarno meresmikan peningkatan status kotif menjadi Kota Banjar dengan UU No. 27 Tahun 2002 dan melantik Pjs. Walikota Banjar H.M Effendi Taufikurahman, yang dihadiri Gubernur Jawa Barat R Nuriana, Ketua DPRD Jawa Barat Eka Santosa, serta anggota DPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa, Chozin Chumaidy, Endang Karman, kemudian Bupati Ciamis Oma Sasmita beserta sejumlah pejabat dan Muspida Kabupaten Ciamis (Sudrajat, Amiruddin, Kuswara 2013). Menurut paparan Bappeda Kota Banjar, sejarah Kota Banjar dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4 Sejarah Kota Banjar

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan

1937-1940 Sebagai ibu Kota Kecamatan 1941-1992 Sebagai ibu Kota Kewedanaan 1992-2003 Sebagai ibu Kota Administratif 21 Februari 2003 Banjar menjadi kota (UU 27/2002)

Penggabungan Daerah Pasal 3, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a. Kemampuan daerah b. Potensi daerah c. Sosial budaya d. Sosial politik e. Jumlah penduduk f. Luas daerah

g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Menurut Pasal 4 yaitu penjelasan Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari produk domestik regional bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri. Selain itu, menurut Pasal 5, potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminantersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan.

Menurut penuturan mantan Sekjen FPSKB sekaligus sebagai anggota DPRD Kota Banjar Soedrajat Argadireja atau akrab disapa Ajat Doglo, pada awal pembentukan Kota Banjar tidak ada persiapan yang sungguh-sungguh matang,

karena Banjar dibuat ”tidak mampu” oleh Ciamis dengan anggaran hanya

diberikan 8 juta dalam 1 tahun. Sebagai contoh beberapa fasilitas yang dimiliki Banjar pada waktu itu banyak yang sudah tidak tertata dan kurang mendapat perhatian. Akhirnya hanya dengan modal dari potensi-potensi yang dimiliki Kota Banjar, yaitu letak geografis yang sangat strategis sebagai tempat transit sehingga bisa meningkatnya sektor perdagangan dan jasa sehingga saat ini APBD yang dimiliki Kota Banjar adalah kurang lebih 600 milyar per tahun.

Sejalan dengan pendapat Soedrajat, menurut Sahudi selaku Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Kota Banjar, selain beberapa potensi yang dimiliki oleh Kota Banjar karena adanya kenaikan status dari Kota kecamatan menjadi Kota Kewedanaan lanjut menjadi Kota Administratif dan akhirnya Banjar menjadi Kota, terdapat beberapa cabang kantor dinas di Banjar, antara lain dinas pendidikan, kejaksaan, dinas kesehatan, dinas pertanian dan lain-lain. Terdapatnya cabang kantor-kantor dinas yang ada di Banjar, memudahkan Banjar untuk semakin siap menjadi kota. Selain itu, bangunan-bangunan sekolah, sarana kesehatan seperti puskesmas, RSUD Kota Banjar, dan beberapa klinik pengobatan dilengkapi dengan tenaga medis, sarana transportasi dan komunikasi, seperti tersedianya akses jalan di tiap daerah, angkutan umum, ojek dan becak, kantor pos, radio dan tv serta koran atau majalah menjadi pelengkap modal dalam peningkatan status Banjar.

Menurut Pasal 6, sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yangberkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budayamasyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya dan sarana olah raga. Dilihat dari keadaan disana, sebelum Banjar meningkat status menjadi Kota telah memiliki beberapa tempat peribadatan, seperti mesjid, mushola, gereja dan

klenteng. Selain itu, wadah dari kegiatan sosial dan budaya dicirikan dengan adanya organisasi-organisasi masyarakat serta beberapa sarana olah raga, seperti lapangan sepak bola, lapangan tenis, lapangan voli dan lapangan golf .

Menurut Pasal 7 dan Pasal 3 huruf d, kondisisosial politik masyarakat dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan. Seperti telah dijaskan sebelumnya, saat awal proses peningkatan status Banjar menjadi kota, terbentuklah sebuah forum yang bernama FPSKB (Forum Peningkatan Status Kota Banjar) yang diinisiasi oleh tokoh Soedrajat. Pembentukan forum ini dilatari oleh keinginan mayoritas warga Banjar yang tidak ingin status daerahnya yang notabene sudah menjadi kotif harus turun kembali menjadi kewedanaan/kecamatan. Keanggotaan forum ini berisikan beberapa pihak yang terkait, yaitu tokoh masyarakat, alim ulama, kalangan pengusaha dan birokrat. Selain itu, partisipasi politik tercermin pula dari partisipasi setiap adanya pemilu.

Pasal 8 dan Pasal 3 huruf e parameternya menunjuk pada jumlahtertentu penduduk suatu daerah. Melihat peningkatan jumlah penduduk Banjar dari tahun ke tahun, menjadikan salah satu modal dalam pembentukan kota. Selain itu menurut Pasal 9 dan Pasal 3 huruf f, luas tertentu suatu daerah merupakan salah satu parameternya, dimana luas Banjar mencapai 131 97 km2, sehingga mendukung terselengaranya peningkatan status Banjar. Pasal 10 dan Pasal 3 huruf g, merupakanpertimbangan untuk terselenggaranya otonomi daerah yang dapat diukur dari keamanan dan ketertiban, ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kabupaten dan/atau kota, Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kecamatan, kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kecamatan.

Pada awal mulanya Banjar telah memiliki empat Kecamatan, yaitu Kecamatan Banjar, Kecamatan Purwaharja, Kecamatan Langensari dan Kecamatan Pataruman. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Sahudi, Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Kota Banjar, selain beberapa potensi tertentu yang dimiliki oleh Kota Banjar, terdapat pula beberapa cabang kantor dinas, antara lain cabang dinas pendidikan, cabang kejaksaan, cabang dinas kesehatan, cabang dinas pertanian dan lain-lain, sehingga membuat Banjar semakin siap menjadi kota.

Tujuan Pembentukan Kota Banjar

Setiap adanya pembentukan kota tentu mempunyai tujuan tersendiri, begitu juga dengan pembentukan Kota Banjar. Menurut tokoh Soedrajat tujuan awal setelah Banjar menjadi kota adalah ingin dikembangkan menjadi Kota transit dan pusat perdagangan. Hal ini dikarenakan posisi Banjar berada dipersinggahan transportasi lalu lintas yang akan menuju ke Jawa Tengah dan Pangandaran (salah satu tujuan wisata terkenal di Jawa Barat). Selain itu, Banjar juga merupakan simpul bagi arus perdagangan dari sejumlah daerah lain, yang meliputi Kecamatan/Kota seperti Rancah, Majenang, dan Pamarican. Demikian penuturan

beliau yang disanggah oleh Sahudi dengan memperkuat argumen tujuan pembentukan Kota Banjar. Sebagaimana posisinya sebagai Kota Agropolitan di wilayah Priangan Timur, dimaksudkan dengan Kota Agropolitan yaitu berfungsi memberdayakan sentra-sentra produk pertanian dari wilayah sekitarnya. Fungsi ini seperti yang telah dijalankan oleh daerah yang memanfaatkan sentra pertanian sebagai salah satu unggulan dari daerah tersebut, seperti yang berlokasi di Lembang-Bandung dan Garut yang merupakan penghasil makanan olahan.

Menurut Sahudi, Kabag Administrasi Pembangunan Kota Banjar, menyandang status barunya sebagai Kota Agropolitan, fungsi sebagai Kota transit dan perdagangan justru mendapatkan penguatan. Posisi Banjar tetap sebagai kota transit namun ditingkatkan menjadi Kota Agropolitan, yang artinya diharapkan Banjar kedepan sebagai pusat Agro, sebagai contoh terdapat toko alat-alat teknologi pertanian lengkap untuk pasarnya adalah Priangan Timur dan Jawa Tengah. Banjar bukan sebagai Kota Agraris, namun sebagai pengelolaan hasil alam dimana potensi sumberdaya alam tersebut boleh dari mana saja, tetapi pengelolaannya dan pemasarannya di Banjar. Bukan mengembangkan sawah, karena sudah cukup banyak sawah yang dikonversi. Lahan sawah yang dikonversi adalah sawah tadah hujan dan sawah teknik dipertahankan. Selama pembangunan menunjang kepada agropolitan, boleh dilakukan di atas lahan sawah teknis, seperti contoh beberapa lokasi sawah teknis yang berubah menjadi kolam ikan untuk melengkapi pembangunan rumah makan. Ikan yang berasal dari kolan tersebut dijual disana sehingga bisa mendukung agropolitan tersebut sebagai wisata kuliner.

Pembangunan dalam kota menyebabkan adanya beberapa dampak yang ditimbulkan. Menurut Soedrajat, melihat fakta yang ada setelah Banjar berubah menjadi kota, Banjar akan berubah menjadi pusat jasa dan perdagangan. Hal ini dikarenakan sektor jasa dan perdagangan akan hidup lebih cepat karena Banjar sebagai transit menuju Jawa Tengah dan Pangandaran. Lanjutnya, konsekuensi yang harus diterima Banjar setelah menjadi kota adalah berkurangnya lahan pertanian karena adanya konversi menjadi non-pertanian, seperti kantor-kantor pemerintahan dan swasta, pembangunan perumahan dan lain-lain. Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, menurut Yati selaku Kepala Bagian Ketahanan Pangan di Dinas Pertanian Kota Banjar, walaupun sekarang Banjar telah menjadi kota, kebutuhan pangan masih tetap tercukupi, serta walaupun lahan sawah berkurang namun produksi beras masih surplus, hal ini dikarenakan terdapat lahan sawah di daerah tidak dekat pusat kota masih dijaga untuk tidak dialihfingsikan menjadi non pertanian. Selain itu, telah dihimbau program diversivikasi pangan, serta program one day no rice setiap hari Rabu, akan tetapi, program ini belum berjalan dengan baik, karena pola pikir masyarakat yang masih sulit untuk dirubah apabila tidak makan nasi.

Bila dilihat dan dibandingkan dengan Kabupaten Ciamis, Kota Banjar memiliki kelebihan tersendiri. Banjar merupakan Kota baru yang baru memasuki umur 11 tahun. Walaupun terbilang kota kecil namun jangan disangka keramaiannya melebihi Kabupeten Ciamis yang dahulu induk dari Kota Banjar. Hal ini terlihat pada keramaian Kota Banjar yang ramai bila malam hari di daerah alun-alun dan taman Kota yang baru-baru ini menjadi primadona Kota Banjar. Ciamis dan Banjar secara tersirat saling bersaing dalam hal pembangunan kota/kabupaten. Pada saat Banjar membangun taman kota yang sudah akfit

sebelum hari raya Idul Fitri kemarin, Ciamis pun pada saat yang bersamaan membangun taman kota yang mirip konsepnya dengan yang ada di Kota Banjar. Namun, bila dilihat dari keramaiannya, lebih ramai taman kota yang ada di Kota Banjar, karena terdapat macam-macam alat transportasi hiburan keluarga yang lebih menarik pengunjung.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Kota Banjar sebagai transit arus lalu lintas menuju Jawa Tengah dan Pengandaran. Sehingga bagi wisatawan yang akan menuju kesana lebih suka bila beristirahat di Kota Banjar. Seiring dengan berjalannya waktu dan perlahan tapi pasti Walikota Banjar terus berusaha mempercantik kota baru ini. Hal ini terlihat dari infrastruktur jalan raya yang semakin bagus dan bila ada kerusakan cepat tanggap dalam menanganinya. Bila melihat bagaimana kondisi di terminal Kota Banjar, terkenal dengan pusat jasa transportasi, hal ini terindikasi oleh banyaknya bis, seperti Budiman, Gapuraning Rahayu dan sebagainya. Banjar menjadi pusat tujuan atau sebagai transit dari kendaraan umum, seperti Banjar-Jakarta, Bandung-Jakarta, Tasik- Yogyakarta, Karang Pucung-Jakarta dan lain-lain.

Melihat perkembangan yang semakin pesat di Kota Banjar, mengharuskan adanya pihak yang menjadi korban atau tersisih. Hal ini diakui oleh Sahudi, Kabag Administrasi Pembangunan Kota Banjar bahwa ketika adanya pembangunan di suatu daerah maka memang akan ada dampak positif dan negatif yang terjadi. Seperti di Kota Banjar, untuk memenuhi kebutuhan penduduknya maka permintaan akan lahan pun menjadi semakin meningkat dan menyebabkan ikut tergerusnya lahan pertanian sehingga terjadi konversi lahan pertanian.

Ikhtisar

Rencana peningkatan status Banjar menjadi kota ternyata telah tersirat dalam kebijakan Kabupaten Ciamis yang akan mengembangkan menjadi dua konsep, yaitu DT II Kabupten Ciamis dan DT II Kota Banjar. Selain itu, diperkuat dengan peraturan UU No. 22 Tahun 1999 tepat pada tanggal 7 Mei 2001 status kotif harus ada kejelasan apakah akan ditingkatkan statusnya atau dilebur kembali ke wilayah Kabupaten Ciamis. Kemudian tertanggal 21 Februari 2003 Mendagri

Hari Subarno meresmikan peningkatan status kotif menjadi Kota Banjar dengan UU No. 27 Tahun 2002. Beberapa syarat yang telah dimiliki Banjar memudahkan dalam terselenggaranya pembangunan Kota Banjar, seperti kemampuan daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah seperti minimal jumlah kecamatan yang dimiliki. Setelah Banjar berubah menjadi kota, Banjar akan berubah menjadi pusat jasa dan perdagangan. Hal ini dikarenakan sektor jasa dan perdagangan akan hidup lebih cepat karena Banjar sebagai transit menuju Jawa Tengah dan Pangandaran. Selanjutnya, konsekuensi yang harus diterima Banjar setelah menjadi kota adalah berkurangnya lahan pertanian karena adanya konversi menjadi non-pertanian, seperti kantor-kantor pemerintahan dan swasta, pembangunan perumahan dan lain-lain. Walaupun terbilang kota kecil namun jangan disangka keramaiannya melebihi Kabupetan Ciamis yang dahulu

induk dari Kota Banjar. Hal ini terlihat pada keramaian Kota Banjar yang ramai bila malam hari di daerah alun-alun dan taman kota yang baru-baru ini menjadi primadona Kota Banjar. Ciamis dan Banjar secara tersirat saling bersaing dalam hal pembangunan kota/kabupaten.