• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konversi Lahan Pertanian

Tertanggal 12 November 2002 dalam sidang paripurna ke-12 DPR RI dengan agenda Pengesahan RUU Pemkot Banjar, kemudian tertanggal 21 Februari 2003 Mendagri Hari Subarno meresmikan peningkatan status kotif menjadi Kota Banjar dengan UU No. 27 Tahun 2002 dan melantik Pjs. Walikota Banjar H.M Effendi Taufikurahman. Sejak saat itu, Banjar mulai berdiri sendiri dan terpisah dari Kabupaten Ciamis. Walaupun umur Kota Banjar masih terbilang seperti bayi baru lahir, akan tetapi beberapa potensi yang menunjang terciptanya Kota Banjar bisa menjadi modal awal dalam menjalankan pemerintahannya.

Sejak Banjar berdiri, kinerja Pjs Walikota Banjar pada saat itu belum terlihat perubahan yang terjadi pada Kota Banjar. Kemudian pada tahun 2003 berlangsung pemilihan Walikota Banjar dan terpilihlah Walikota Banjar yang pertama adalah tokoh Herman Sutrisno. Sejak terpilihnya menjadi Walikota Banjar, beliau terus melakukan pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang terselenggaranya fungsi Kota Banjar. Sebagai contoh, dilakukanlah perbaikan gedung walikota, perbaikan gedung-gedung dinas serta pembangunan-pembangunan lain seperti perumahan yang terjadi di beberapa lokasi yang memanfaatkan lahan, baik lahan pertanian maupun lahan kosong.

Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, terjadilah peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menyebabkan kebutuhan akan lahan menjadi semakin meningkat, akan tetapi jumlah lahan yang ada bersifat tetap. Menurut Soetarto, guru besar Kajian Agraria IPB, konversi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal. Konversi vertikal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara (institusional). Sedangkan konversi horizontal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria kuasa individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual ( petani atau bukan petani)7. Objek agraria yang diteliti di lapangan adalah lahan pertanian (lahan sawah).

Kota Banjar memiliki empat kecamatan, yaitu Kecamatan Banjar, Kecamatan Langensari, Kecamatan, Purwaharja dan Kecamatan Pataruman serta memiliki 22 desa atau kelurahan. Pusat ibukota kabutapen/kota berada di Kecamatan Banjar, sehingga lebih banyak pembangunan terjadi di pusat kota, dan sebagian kecil lainnya tersebar di berbagai desa/ kelurahan. Sebagaimana yang tercantum dalam RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) Kota Banjar, dimana BWK I (Bagian Wilayah Kota) merupakan core atau inti/pusat dari wilayah Kota Banjar, yang cakupannya meliputi wilayah Kelurahan Banjar, Kelurahan Mekarsari, Kelurahan Pataruman (sebagian besar), dan Kelurahan Binangun; dengan luas 2.644,10 ha dan jumlah prediksi penduduk tahun 2014 adalah 71.300

jiwa. Tercantum dalam BWK ini meliputi kawasan yang diidentifikasikan sebagai

“pusat kota”

Kelurahan Mekarsari, di lingkup Kecamatan Banjar merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kota Banjar memiliki daya tarik yang relatif tinggi bagi para pengusaha/investor untuk menanamkan usahanya dalam berbagai sektor sehingga memerlukan ketersediaan lahan, yang sebagian harus mengkonversi lahan pertanian. Usaha tersebut antara lain meliputi bangunan perumahan (real estate), kampus universitas dan sarana pemerintahan yaitu bangunan DPRD Kota Banjar. Sebagai salah satu kawasan BWK I adalah

kawasan yang dikenal dengan “pusat kota”, sehingga terdapat kawasan dan

kegiatan fungsional, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran (sebagian), pendidikan tinggi, perumahan dan sebagainya.

Sebagai cacatan kelurahan ini hanya berjarak sekitar tiga km ke ibukota kabupaten/kota atau hanya membutuhkan waktu sekitar 0.2 jam jika menggunakan kendaraan bermotor. Menurut Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari tahun 2012, luas lahan sawah sebesar 129 ha/m2, sedangkan tahun 2010 mencapai 132 ha/m2, telah terjadi pengurangan selama dua tahun terakhir. Di sisi lain jumlah luas permukiman menjadi semakin meningkat, tahun 2012 sebesar 131 ha/m2, sedangkan tahun 2010 hanya sebesar 128 ha/m2. Hal ini memberikan gambaran dari tahun ke tahun adanya pengurangan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi non-pertanian. Berikut Tabel 6 data luas lahan sawah menurut Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Banjar.

Tabel 6Luas lahan sawah Kelurahan Mekarsari Tahun 2008-2014

Tahun Luas (ha/m2) Persentase (%)

2008 132 14.4 2009 132 14.4 2010 132 14.4 2011 132 14.4 2012 129 14.1 2013 129 14.1 2014 129 14.1 Total 915 100

Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Kota Banjar

Terdapat empat lokasi lahan pertanian yang sudah beralihfungsi menjadi non-pertanian di Kelurahan Mekarsari, yaitu tiga lokasi di daerah Sumanding, lahan pertanian seluas kurang lebih 2.5 ha telah berubah menjadi Perumahan Royal Banjar Mansions, gedung STISIP ( Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) dan gedung baru DPRD Kota Banjar. Sedangkan di daerah Sukarame lahan pertanian yang telah beralih fungsi menjadi Perumahan Shappire adalah seluas kurang lebih 1.5 ha.

Faktor-faktor Konversi Lahan Pertanian

Sejalan dengan penemuan di lapangan, konversi lahan pertanian di kota Banjar dikarenakan adanya beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya konversi tersebut. Peningkatan status Banjar menjadi Kota menimbulkan berbagai pembangunan dalam melengkapi Kota Banjar yang terjadi berbagai daerah di Kota Banjar, termasuk konversi lahan pertanian yang terjadi Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Kelurahan Mekarsari hanya berjarak sekitar tiga km ke ibukota kabupaten/ kota atau hanya membutuhkan waktu sekitar 0.2 jam jika menggunakan kendaraan bermotor. Melihat jarak yang begitu dekat ke pusat kota serta potensi lahan pertanian yang masih banyak, menyebabkan daya tarik bagi para pengusaha/investor untuk mendirikan bangunan di daerah sana.

Tidak hanya itu, penawaran dan permintaan akan lahan mengalami meningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan. Selanjutnya berkaitan dengan pergeseran struktural dalam perekonomian dan perkembangan pembangunan yang mendorong petani beralih profesi dan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya. Hal ini yang terjadi di Kelurahan Mekarsari, dimana pemilik lahan menjual lahannya kepada pihak lain, karena lahan tersebut berada di daerah dekat pusat kota, maka banyak pihak yang menginginkannya berubah menjadi modal usaha. Hal ini menyebabkan terjadinya pembangunan, antara lain dua kawasan perumahan, universitas dan sarana pemerintahan yaitu bangunan DPRD Kota Banjar.

Berkaitan dengan faktor di atas, faktor selanjutnya adalahberhubungan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi pada sektor industri, namun laju investasi industri belum diikuti dengan laju penetapan peraturan sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan petanian. Selain itu peraturan pemerintah yang memperbolehkan terjadinya pembangunan di lahan sawah tadah hujan membuat semakin maraknya fenomena konversi. Hal ini sebagaimana tercantum dalam RTRW Kota Banjar, yaitu perlu pula diantisipasi untuk jangka panjang sawah tadah hujan tersebut secara selektif akan beralihfungsi menjadi lahan terbangun, terutama yang berdekatan dengan kawasan budidaya perkotaan. Sehingga ini terlihat ketika investor menginventasikan modalnya pada pembangunan perumahan. Kebijakan pemerintah Kota Banjar yang berusaha mengundang investor untuk menunjang pembangunan Kota Banjar menjadi lebih berkembang.

Proses Konversi Lahan Pertanian secara Vertikal di Kelurahan Mekarsari

Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, Walikota Banjar terus melakukan pembangunan untuk melengkapi terciptanya Kota Banjar. Proses perkembangannya dari tahun ke tahun pemerintah setempat terus semangat dalam mempercantik Kota Banjar ini. Perlahan tapi pasti saat ini Kota Banjar telah berbeda seperti waktu dulu. Perjalanan dalam proses pembangunan tersebut

membutuhkan area lahan yang tidak sedikit, sehingga lahan sawah pun menjadi kian tergerus oleh maraknya pembangunan. Seperti pembangunan perkantoran pemerintah, perumahan, infrastruktur dan sebagainya. Oleh karena itu telah terjadi konversi baik secara vertikal dan horizontal.

Konversi lahan sawah kian terlihat di Kelurahan Mekarsari sekitar tahun 2010 atau 2011 sejak dibangunnya gedung baru DPRD Kota Banjar dan di tahun 2013 dibangun dua perumahan (real estate), yaitu Perumahan Shappire dan Perumahan Royal Banjar Mansions. Bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas sebidang lahan sawah yang dijual oleh para pemiliknya, baik kepada pemerintah maupun perorangan. Empat lokasi lahan sawah yang telah dikonversi menjadi non-pertanian, tiga lokasi tersebut adalah gedung DPRD, dua perumahan (real estate, yaitu Perumahan Shappire dan Perumahan Royal Banjar Mansions. Ketiga bangunan tersebut berdiri di atas sebidang lahan sawah yang telah dijual oleh pemiliknya kepada pihak lain, yaitu kepada pemerintah Kota Banjar sebagai aset daerah untuk gedung DPRD Kota Banjar dan kepada pihak swasta untuk dibangun perumahan atau disebut dengan konversi vertikal.

Konversi vertikal yang terjadi di Kelurahan Mekarsari berada pada tiga lokasi yang berbeda, berikut juga dengan latar belakang yang berbeda pula mengapa lahan tersebut dijual sehingga menyebabkan konversi. Lokasi selanjutnya adalah lahan sawah seluas kurang lebih 0.5 ha di daerah Sumanding yang telah dikonversi menjadi bangunan baru DPRD Kota Banjar yang dibangun sekitar tahun 2010/ 2011. Pemilik lahan ini yang sekarang telah meninggal dunia dan kemudian dijual oleh anaknya kepada pihak pemerintah untuk dibangun gedung DPRD. Sehingga lahan ini menjadi aset kepemilikan dari pemerintah Kota Banjar.

Masih di daerah Sumanding, selain pembangunan DPRD Kota Banjar, terdapat pembangunan perumahan (real estate) yang bernama Perumahan Royal Banjar Mansions. Pembangunan perumahan ini memakan lahan sawah seluas kurang lebih 1.5 ha yang dimiliki oleh pemilik lahan yang akan mencalonkan diri menjadi caleg DPRD Kota Banjar dari salah satu partai. Menurut penuturan salah satu responden yang sangat dekat hubungannya dengan pemilik lahan, pada tahun 2013 kemudian sawah ini dijual kepada pihak lain yaitu salah satu pengembang yang akan menjadikan lokasi ini menjadi kawasan perumahan. Setelah dijual sawah ini tidak langsung dibangun, namun menunggu datangnya panen lalu setelah itu barulah pengembang tersebut memulai proyek pembangunan perumahan tersebut.

Berpindah lokasi dari daerah Sumanding ke daerah Sukarame, terdapat pula pembangunan perumahan, yaitu Perumahan Shappire yang memakan lahan sawah seluas kurang lebih 1.5 ha. Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian ini terjadi pada tahun 2013. Menurut penuturan dari penanggung jawab lahan tersebut, pada awalnya pemilik lahan pertama ini meninggal dan lahan tersebut dibagikan sebagai warisan kepada anak-anaknya. Setelah anaknya meninggal lahan tersebut menjadi hak istrinya yang bertempat tinggal di Jakarta kemudian dijual kepada pihak pengembang untuk dijadikan kawasan perumahan.

Proses Konversi Lahan Pertanian secara Horizontal di Kelurahan Mekarsari

Melihat dari empat lokasi konversi tersebut, satu lokasi lahan sawah telah berpindah kepemilikan kepada perorangan atau disebut dengan konversi horizontal. Proses dalam perpindahan kepemilikan lahan tersebut yang memicu awal mula terjadinya konversi. Konversi horizontal yang terjadi di Kelurahan Mekarsari berada di daerah Sumanding, dimana lahan sawah seluas kurang lebih 0.5 ha sekarang telah dibangun STISIP ( Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap di lahan yang saat ini telah dibangun STISIP adalah masih berstatus keluarga. Menurut penuturan responden ini, luasan sawah tersebut dimiliki oleh tiga orang8. Lahan yang pertama dijual oleh pemilik ketiga masih kepada salah satu keluarganya yang bekerja pada yayasan untuk dibangun STISIP.

Konversi ini menyebabkan rumahtangga petani penggarap menjadi pihak yang dirugikan dan terhempas dari lahan garapannya, tanpa adanya kompensasi dalam penggantian mata pencaharian mereka. Berbagai pranata sosial atau kelembagaan sosial pun ikut hilang seiring dengan hilangnya lahan sawah tersebut. Seperti hilangnya hubungan antara pemilik lahan dan penggarap, sistem dan peraturan dalam pembayaran serta acara syukuran setelah panen tiba. Demikian telah terjadi dua arah konversi di wilayah tersebut baik horizontal maupun vertikal. Terjadi konversi horizontal, namun condong sebagai usaha spekulasi sebagai bahan obyek usaha spekulan tanah. Oleh karena setelah terjadi perpindahan lahan, pada akhirnya hendak dijadikan lokasi untuk pembangunan STISIP (konversi vertikal).

Ikhtisar

Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, pembangunan pun semakin giat dilaksanakan diberbagai daerah dalam rangka untuk melengkapi terbentuknya Kota Banjar, termasuk di Kelurahan Mekarsari. Hal ini sejalan dengan RTRW Kota Banjar, dimana Kelurahan Mekarsari termasuk ke dalam

wilayah BWK I (Bagian Wilayah Kota) yang menjadi kawasan “pusat kota”.

Sehingga tidak dapat dipungkiri terjadi berbagai macam pembangunan dalam melengkapi kegiatan fungsional dan pada akhirnya terjadi konversi lahan pertanian. Terdapat faktor-faktor yang mendorong terjadinya koversi di Kelurahan Mekarsari, pertama permintaan dan penawaran akan lahan semakin meningkat sehingga menjadikan lahan pertanian ikut terkonversi menjadi bangunan, seperti gedung DPRD Kota Banjar, kampus STISIP, pembangunan dua perumahan real estate , yaitu Perumahan Shappiredan Perumahan Royal Banjar Mansions.

Kedua, melihat letak Kelurahan Mekarsari berada pada wilayah BWK I

yang menjadi “pusat kota”, maka semakin memicu terajdinya pembangunan di

wilayah ini. Terakhir, kebijakan pemerintah setempat yang mengizinkan adanya

8

pembangunan di lahan sawah tadah hujan membuat semakin maraknya konversi lahan pertanian. Hal ini sebagaimana tercantum dalam RTRW Kota Banjar, yaitu perlu pula diantisipasi untuk jangka panjang sawah tadah hujan tersebut secara selektif akan beralihfungsi menjadi lahan terbangun, terutama yang berdekatan dengan kawasan budidaya perkotaan.

Terjadi konversi vertikal,dimana sawah terkonversi seluas kurang lebih 3.5 ha yang telah berubah menjadi bangunan DPRD Kota Banjar dan kawasan perumahan (real estate). Konversi ini diawali oleh peralihan objek subjek agraria yang berpindah kepemilikan yang awalnya adalah dikusai oleh individu kemudian dijual oleh pemilik awalnya kepada pihak pemerintah (DPRD) sehingga lahan tersebut menjadi aset pemerintah Kota Banjar. Tidak hanya itu, peralihan objek subjek agraria yang berpindah kepemilikan yang awalnya adalah dikusai oleh individu kemudian dijual oleh pemilik awalnya kepada pihak swasta (kawasan perumahan), sehingga saat ini lahan tersebut menjadi milik swasta.

Telah terjadi dua arah konversi di wilayah tersebut baik horizontal maupun vertikal. Terjadi konversi vertikal pada 3 lokasi yang sekarang telah menjadi gedung DPRD Kota Banjar, Perumahan Shappiredan Perumahan Royal Banjar Mansions. Tidak hanya konversi vertikal, tetapi juga terjadi konversi horizontal, namun condong sebagai usaha spekulasi sebagai bahan obyek usaha spekulan tanah. Karena setelah terjadi perpindahan lahan, pada akhirnya hendak dijadikan lokasi untuk pembangunan STISIP (konversi vertikal).

PELUANG USAHA/ KERJA PASCA KONVERSI LAHAN