• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN BENCANA

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 143-148)

Kebijakan

Kebijakan di bidang Lingkungan Hidup selama periode waktu 2010-2014 dilaksanakan melalui tiga arahan, yaitu: (1) antisipasi dampak dan pengendalian laju perubahan iklim; (2) pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan; (3) sistem peringatan dini dan penanganan bencana.

Untuk langkah kebijakan yang pertama, yaitu mengantisipasi dampak dan mengendalikan laju perubahan iklim antara lain dilaksanakan melalui: (1) perkuatan peraturan perundangan terkait dengan perubahan iklim, seperti penyusunan, sosialisasi dan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan pelaksanaan inventarisasi GRK sebagai basis data dalam menurunkan emisi GRK; dan (2) melakukan upaya upaya-upaya penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan lahan kritis melalui rehabilitasi dan reklamasi hutan dan pembangunan perhutanan sosial di sektor kehutanan.

Langkah kebijakan yang kedua, yaitu upaya pengendalian

pencemaran dan kerusakan lingkungan diarahkan pada: (1) penurunan beban pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan, dan penurunan tingkat polusi sebesar 50 persen pada tahun 2014; (2) penghentian kerusakan lingkungan di 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rawan bencana; (3) penekanan laju kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui upaya penurunan jumlah

titik api (hotspot) dan luas kebakaran hutan, serta meningkatnya

dan lahan, dan (4) rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir dan peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

Langkah-langkah kebijakan yang ketiga, yaitu pengembangan sistem peringatan dini dan penanganan bencana diarahkan pada: (1) penguatan sistem informasi kebencanaan dan perubahan iklim, yang ditekankan pada penjaminan berjalannya fungsi Sistem Peringatan

Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System/TEWS), Sistem

Peringatan Dini Cuaca (Meteorological Early Warning

System/MEWS) yang dimulai pada 2010, dan Sistem Peringatan Dini

Iklim (Climate Early Warning System/CEWS) pada 2013, untuk

menyebarluaskan informasi kebencanaan dan iklim secara akurat, tepat, cepat, dan terpercaya; (2) pengembangan informasi geospasial berbagai tema, baik matra darat maupun matra laut, berbagai atlas untuk keperluan khusus, untuk memenuhi kebutuhan akan informasi geospasial lingkungan hidup dan sumber daya alam; (3) penguatan kapasitas penanggulangan bencana di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil dan laut, percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana, serta meningkatkan ketahanan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap dampak perubahan iklim serta bencana alam laut; (4) pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, (5) penanganan darurat bencana, dan (6) rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana.

Hasil Pelaksanaan

Sebagai wujud komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi

gas rumah kaca sebesar 26 persen dariBusiness as Usualpada tahun

2020, maka pada tahun 2011 telah ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Perpres Nomor 71 Tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang merupakan bagian dari pelaksanaan RAN-GRK agar inventarisasi dapat menghasilkan program pengurangan emisi GRK yang terukur,

terlaporkan dan terverifikasi (Measurable, Reportable and Verifiable/MRV). Selanjutnya, sesuai dengan amanah dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tersebut di atas, Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK, yang disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan daerah dalam melakukan

aktivitas penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam rangka

penyusunan RAD-GRK pula, telah disusun Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK (RAD-GRK) yang akan membantu sinergi antara program tingkat nasional dan daerah untuk mempercepat pencapaian target penurunan emisi. Diharapkan RAD-GRK dapat diselesaikan pada akhir bulan September 2012. Di samping itu, dalam mengembangkan mekanisme pengelolaan pendanaan untuk penanganan perubahan iklim telah dibentuk

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), yang merupakan alternatif mekanisme pendanaan perubahan iklim yang disesuaikan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Pada tahun 2010

melalui ICCTF telah didanai tiga kegiatan percontohan (pilot

project), yaitu: (1) pengembangan manajemen lahan gambut berkelanjutan, (2) konservasi energi pada industri baja dan pulp kertas, dan (3) peningkatan kesadaran publik, pelatihan dan pendidikan. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dilakukan melalui upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang telah rusak yang berhasil menurunkan luas lahan kritis seluas 2,9 juta ha (angka tahun 2006 seluas 30,1 juta ha, dan tahun 2011 seluas 27,2 juta ha). Upaya ini dilakukan antara lain melalui: (a) rehabilitasi kawasan hutan konservasi/lindung dan lahan kritis (termasuk didalamnya penanaman hasil Kebun Bibit Rakyat Tahun 2010) seluas 513.147 ha, (b) pembangunan hutan kemasyarakatan dan hutan desa seluas 508.170,9 ha, dan (c) fasilitasi kemitraan hutan rakyat seluas 50.651,89 ha sebagai upaya rehabilitasi di luar kawasan hutan.

Langkah-langkah kebijakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan dilakukan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan. Selanjutnya, hasil-hasil pelaksanaannya antara lain adalah: (1) upaya pencegahan atau pengurangan terjadinya pencemaran, di antaranya telah dilaksanakan melalui (a) Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), yang berhasil mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan beban pencemarannya. Secara umum tingkat pencemaran atau beban pencemaran air yang

telah berhasil diturunkan yaitu lebih dari 11 ton BOD5 (jumlah

oksigen terlarut yang dikonsumsi untuk memproses kandungan bahan organik di air melalui proses biologi dalam lima hari) perhari,

dan 132 juta ton CO2eq, juga penurunan potensi pencemaran limbah

Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) dengan pengelolaan 94,5 juta ton limbah B3 pertahun; (b) Program Langit Biru, yaitu program yang bertujuan untuk mengurangi pencemaran udara dengan

menggunakan berbagai alternatif energi, penggunaan moda

transportasi yang ramah lingkungan, pelaksanaan mekanisme pemantauan, termasuk melakukan evaluasi secara berkala; (c) penataan kembali/pengaturan pemberian izin pembuangan air limbah ke laut, (d) peningkatan pengelolaan lingkungan usaha skala kecil; dan (e) penyusunan kajian terhadap beban pencemaran air limbah domestik di DAS Ciliwung dan DAS Bengawan Solo. (2) Untuk pengendalian kerusakan lingkungan telah dilaksanakan melalui: (a) pengelolaan keanekaragaman hayati. Hasil yang telah dicapai adalah: (i) pengembangan 20 Balai Kliring Keanekaragaman Hayati; (ii) pembangunan 17 database Profil Keanekaragaman Hayati propinsi dan kabupaten; (iii) pembangunan 8 Taman Keanekaragaman Hayati di wilayah propinsi; dan (iv) Naskah Akademis RUU Pengelolaan Sumber daya Genetik. (b) percepatan dan penghentian kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan dalam upaya pengendalian kerusakan ekosistem DAS; (c) pelaksanaan Gerakan Penyelamatan Ekosistem Danau Rawapening, yang merupakan tindak lanjut

Konferensi Nasional Danau Indonesia I yang menghasilkan

Kesepakatan Bali tahun 2009 tentang Pengelolaan Danau

Berkelanjutan; (d) peningkatan tutupan vegetasi melalui Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) pada tahun 2011 telah diberikan penghargaan Trophy Raksaniyata kepada lima kabupaten dan Piagam Raksaniyata kepada empat kabupaten; dan (e) pengelolaan ekosistem gambut dan pengendalian kerusakan lingkungan pesisir dan laut. (3) Dalam rangka pengendalian kebakaran hutan,

penurunan jumlahhotspotdi Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan

Pulau Sulawesi terus digiatkan. Sampai dengan tanggal 31 Desember

2011 jumlah hotspot adalah sebanyak 28.474 titik atau menurun

sebesar 51,65 persen dari rerata hotspot tahun 2005-2009 (58.890

titik). Pada tahun 2012, jumlah hotspot ditekan sebesar 48,80 persen.

Seiring dengan penurunan jumlah hotspot, luas kawasan hutan yang

terbakar berhasil ditekan pada tahun 2011 adalah sebesar 42,22 persen (7.090,38 ha) dari rerata luas kebakaran hutan tahun 2005- 2009 (12.272,67 ha). Upaya-upaya pengendalian kebakaran hutan ini diharapkan dapat menekan laju kerusakan hutan. (4) Sampai dengan tahun 2011 capaian luas konservasi kawasan laut Indonesia yang dikelola sebesar 2,54 juta hektar (dari total seluas 15.4 juta hektar). Pengelolaan kawasan konservasi secara efektif terus

dilakukan dalam mendukung pengelolaan perikanan yang

berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya rehabilitasi mangrove telah dilakukan di beberapa lokasi dengan luas rehabilitasi mencapai 90 Ha. Kelembagaan pengelolaan mangrove di tingkat pusat telah diperkuat dengan adanya Kelompok Kerja Mangrove Nasional. Sementara itu, penyusunan dokumen hirarki perencanaan

pesisir dan lautan terpadu melalui Marine and Coastal Resources

Management Project (MCRMP) telah menghasilkan: (a) Rencana Aksi di 15 provinsi dan 41 kabupaten/kota, (b) Rencana Pengelolaan di 15 provinsi dan 41 kabupaten/kota, (c) Rencana kerja, pengaturan

TABEL 2.9.1

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BEBERAPA INDIKATOR

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 143-148)