• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pe n e r im a a n Pa j a k D a la m N e ge r i

Penerimaan pajak dalam negeri merupakan sumber utama penerimaan perpajakan. Dalam

tiga tahun terakhir,realisasi penerimaan pajak

dalam negeri menunjukkan peningkatan rata-rata 23,7 persen, yaitu dari Rp268,2 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp410,2 triliun dalam APBN-P 2006. Begitu pula rasionya terhadap PDB, dalam kurun waktu yang sama juga mengalami peningkatan dari 11,6 persen pada tahun 2004 menjadi 13,1 persen pada APBN-P 2006. Dengan perkembangan tersebut, kontribusi penerimaan pajak dalam negeri mengalami peningkatan, dari sekitar 95,5 persen terhadap total penerimaan perpajakan pada tahun 2004, menjadi sekitar 96,5 persen pada tahun 2006. Penerimaan pajak dalam negeri tersebut terdiri dari penerimaan PPh, PPN dan PPnBM, PBB dan BPHTB, cukai, dan pajak lainnya.

Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh), merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan pajak

dalam negeri. Dalam kurun waktu tiga tahun

-1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 % t h d P D B 2004 2) 2005 3) 2006 Tahun Anggaran Grafik III.2

PERKEMBANGAN PENERIMAAN BEBERAPA JENIS PAJAK, 2004-2006

terakhir, perkembangan penerimaan PPh ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp134,9 triliun atau 5,9 persen terhadap PDB pada tahun 2004 menjadi masing-masing Rp175,4 triliun atau 6,4 persen terhadap PDB pada tahun 2005, dan Rp213,7 triliun atau 6,8 persen terhadap PDB dalam APBN-P 2006. Sebagian besar dari penerimaan PPh tahun 2006 tersebut, yaitu sekitar 81,9 persen bersumber dari PPh nonmigas, sedangkan sisanya sekitar 18,1 persen berasal dari PPh migas.

Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan PPh

nonmigas, meningkat rata-rata 25,0 persen per tahun, yaitu dari Rp112,0 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp175,0 triliun dalam APBN-P 2006. Sejalan dengan itu, rasio penerimaan PPh nonmigas terhadap PDB juga mengalami peningkatan, dari 4,9 persen pada tahun 2004 menjadi 5,6 persen dalam APBN-P 2006. Peningkatan penerimaan PPh nonmigas tersebut, selain berkaitan dengan meningkatnya

pertumbuhan ekonomi selama tahun 2004-2006, juga dipengaruhi oleh berbagai upaya perbaikan administrasi perpajakan yang dilakukan antara lain

melalui: (i) program ekstensifikasi bagi wajib pajak

(WP) orang pribadi maupun badan yang telah

memenuhi syarat sebagai WP; (ii) program

intensifikasi pemungutan pajak melalui penegakan hukum secara tegas dan konsisten, disertai dengan upaya mengintensifkan pencairan

tunggakan; serta (iii) peningkatan kualitas

pelayanan kepada WP dalam rangka mendorong

kepatuhan sukarela (voluntary compliances)

melalui perluasan penerapan sistem

e-registration, e-filling, dan e-payment. Selain itu, perkembangan kinerja penerimaan PPh dalam kurun waktu tersebut juga sangat dipengaruhi oleh upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakannya, diantaranya dengan kampanye sadar dan peduli pajak, baik melalui media cetak maupun

Realisasi % thd PDB Realisasi % thd PDB APBN-P % thd PDB a. Pajak Dalam Negeri 268,2 11,6 331,6 12,1 410,2 13,2

i. Pajak penghasilan 134,9 5,9 175,4 6,4 213,7 6,8

1. Migas 22,9 1,0 35,0 1,3 38,7 1,2

2. Non Migas 112,0 4,9 140,4 5,1 175,0 5,6

ii. Pajak pertambahan nilai 87,6 3,8 101,3 3,7 132,9 4,3

iii. Pajak bumi dan bangunan 11,8 0,5 16,2 0,6 18,2 0,6

iv. BPHTB 2,9 0,1 3,4 0,1 4,4 0,1

v. Cukai 29,2 1,3 33,3 1,2 38,5 1,2

vi. Pajak lainnya 1,8 0,1 2,1 0,1 2,6 0,1

b. Pajak Perdagangan Internasional 12,7 0,6 15,2 0,6 14,8 0,5

i. Bea masuk 12,4 0,5 14,9 0,5 13,6 0,4

ii. Pajak/pungutan ekspor 0,3 0,0 0,3 0,0 1,2 0,0

280,9 12,2 346,8 12,7 425,1 13,6

1) Perbedaan satu angka di belakang koma terhadap angka penjumlahan adalah karena pembulatan 2) Realisasi 2004 Revisi 2

3) Realisasi 2005 Revisi 1

Sumber: Departemen Keuangan RI

Tabel III.2

2004 2)

Uraian

2006 (dalam triliun rupiah)

PERKEMBANGAN PENERIMAAN PERPAJAKAN, 2004-2006 1)

2005 3)

elektronik. Di sisi lain, kebijakan PPh nonmigas yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir lebih diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal, seperti: (i) memberikan

perlakuan deductible expenses atas sumbangan

terhadap bencana alam, dan (ii) meningkatkan

besaran pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebanyak dua kali, yaitu dari Rp2,88 juta menjadi Rp12 juta, dan meningkat lagi menjadi Rp13,2 juta untuk setiap wajib pajak orang pribadi.

Sejalan dengan peningkatan penerimaan PPh nonmigas, dalam kurun waktu yang sama,

penerimaan PPh migas juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu mencapai rata-rata 29,8 persen per tahun, dari Rp22,9 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp38,7 triliun dalam APBN-P 2006. Demikian pula, rasio penerimaan PPh migas terhadap PDB juga mengalami peningkatan, dari 1,0 persen pada tahun 2004 menjadi 1,2 persen dalam APBN-P 2006. Perkembangan penerimaan PPh migas tersebut selain dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dari Rp8.939/US$ tahun 2004 menjadi Rp9.300/US$

tahun 2006, juga berkaitan dengan naiknya

harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari rata-rata 37,2 US$/barel tahun 2004 menjadi rata-rata 64 dolar AS per barel dalam RAPBN-P 2006.

PPN dan PPnBM

Dalam periode yang sama, penerimaan PPN

dan PPnBM meningkat rata-rata 23,2 persen per tahun,yaitu dari Rp87,6 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp132,9 triliun pada APBN-P tahun 2006. Sejalan dengan itu, rasio penerimaan PPN dan PPnBM terhadap PDB juga mengalami peningkatan, dari 3,8 persen pada tahun 2004 menjadi 4,3 persen pada APBN-P 2006. Peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM dalam periode tersebut, selain dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi ekonomi yang merupakan objek PPN dan PPnBM sebagai akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi, juga berkaitan dengan berbagai langkah administratif dan kebijakan PPN dan PPnBM yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Langkah-langkah

penyempurnaan sistem dan administrasi PPN dan PPnBM yang telah dilakukan antara lain meliputi:

(i) perluasan pengusaha kena pajak

(ekstensifikasi), dan (ii) intensifikasi pada subyek

dan obyek pengenaan PPN, yang dilakukan diantaranya melalui pemungutan PPN terhadap pengusaha kena pajak (PKP) yang menjalankan kegiatan usaha pada sektor-sektor usaha yang mempunyai pertumbuhan tinggi, serta penagihan dan pencairan PPN secara aktif terhadap PKP yang diduga mempunyai potensi menunggak. Selain itu, pada periode yang sama juga telah dilakukan langkah-langkah penyempurnaan terhadap sistem teknologi informasi, manajemen pemeriksaan, dan pengembangan program

aplikasi on-line. Sementara itu,

langkah-langkah kebijakan di bidang PPN dan PPnBM dalam kurun waktu yang sama lebih banyak ditujukan untuk memberikan stimulus fiskal, yang diwujudkan antara lain melalui: (i)

pemberian fasilitas pembebasan PPN dan PPnBM atas impor sementara barang kena pajak (BKP) sesuai dengan pemberian fasilitas bea

masuk; (ii) penghapusan PPnBM atas 28 jenis

barang yang terkena PPnBM, diantaranya susu, keju, minuman yang tidak mengandung alkohol,

dan yoghurt; (iii) pemberian fasilitas PPN

dibebaskan atas BKP tertentu yang bersifat strategis yang diperlukan untuk penanganan

bencana alam nasional; serta (iv) pemberian

fasilitas PPN atas BKP tertentu untuk keperluan transportasi penerbangan internasional dan fasilitas tak dipungut PPN atas jasa angkutan umum di darat dan di air.

PBB dan BPHTB

PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat yang seluruh hasil penerimaannya (kecuali upah

pungut) dibagihasilkan ke daerah. Dalam tiga

tahun terakhir, penerimaan PBB mengalami peningkatan rata-rata 24,2 persen per tahun,

yaitu dari Rp11,8 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp16,2 triliun pada tahun 2005, dan Rp18,2 triliun pada APBN-P 2006. Demikian pula, rasio penerimaan PBB terhadap PDB dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan, dari 0,5 persen pada tahun 2004 menjadi 0,6 persen pada APBN-P 2006. Perkembangan penerimaan PBB

dalam periode tersebut, terutama dipengaruhi oleh peningkatan penerimaan PBB sektor pertambangan sebagai dampak dari peningkatan harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional dan depresiasi nilai tukar rupiah. Selain itu, pada kurun waktu yang sama juga terus dilakukan upaya-upaya penggalian penerimaan PBB dari sektor perkotaan dan perdesaan, baik melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi, maupun program

canvasing secara berkesinambungan dan

sistematis yang didukung oleh bank data dan data

smart mapping PBB.

Dalam periode yang sama, penerimaan BPHTB mengalami peningkatan rata-rata 22,8 persen per tahun, yaitu dari Rp2,9 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp3,4 triliun dalam tahun 2005, dan Rp4,4 triliun pada APBN-P 2006, sedangkan rasionya terhadap PDB relatif stabil, yaitu sekitar 0,1 persen. Perkembangan penerimaan BPHTB dalam periode tersebut disamping dipengaruhi oleh perkembangan kondisi perekonomian yang sangat berpengaruh positif terhadap perkembangan sektor kontruksi dan transaksi jual beli tanah dan bangunan, juga berkaitan dengan berbagai langkah kebijakan peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pemungutan BPHTB.

Cukai dan Pajak Lainnya

Penerimaan cukai hingga saat ini masih merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting dalam struktur penerimaan negara,

setelah PPh, PPN dan PPnBM. Dalam tiga

tahun terakhir ini, penerimaan cukai mengalami peningkatan rata-rata 14,9 persen per tahun, yaitu dari Rp29,2 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB dalam tahun 2004 menjadi Rp33,3 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB dalam tahun 2005, dan Rp38,5 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB dalam APBN-P 2006. Selain dipengaruhi oleh perkembangan indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan penerimaan cukai juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi barang kena cukai, serta tarif dan harga jual eceran (HJE)

produk hasil tembakau. Dalam dua tahun

terakhir (2005-2006), pemerintah telah melakukan dua kali penyesuaian terhadap HJE rokok, dengan kenaikan masing-masing sebesar 15 persen pada 1 Juli 2005 sesuai Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 43/PMK.04/2005 dan sebesar 10 persen pada 1 April 2006 sesuai PMK Nomor 16/PMK.04/ 2006. Kenaikan HJE tersebut telah berdampak pada peningkatan penerimaan cukai dalam tahun-tahun tersebut.

Faktor lain yang juga mempengaruhi kinerja penerimaan cukai adalah upaya peningkatan efektivitas pemungutan cukai, yang telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2002 melalui berbagai langkah administratif, antara lain

berupa: (i) peningkatan operasi intelijen dalam

rangka pengawasan atas peredaran produksi barang kena cukai dan kepatuhan pabrikasi dalam

membayar cukai; (ii) peningkatan operasi pasar

dalam rangka pengawasan atas peredaran rokok polos, rokok yang dilekati pita cukai palsu, dan rokok yang dilekati dengan pita cukai yang bukan

haknya; (iii) peningkatan audit di bidang cukai;

(iv) personalisasi pita cukai; serta

(v) penyempurnaan dan pembaruan disain dan

security pita cukai.

Selanjutnya, dalam kurun waktu yang sama,

penerimaan pajak lainnya mengalami peningkatan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun, yaitu dari Rp1,8 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp2,6 triliun pada APBN-P 2006.Mengingat komponen utama penerimaan pajak lainnya ini berasal dari bea materai, maka peningkatan penerimaan pajak lainnya terutama dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang mendorong meningkatnya jumlah transaksi yang membutuhkan bea materai. Disamping itu, peningkatan penerimaan pajak lainnya ini juga berkaitan dengan langkah-langkah administratif yang dilakukan secara berkelanjutan antara lain

berupa: (i) pengawasan terhadap penggunaan

bea materai, mesin teraan materai, dan teraan

tanda lunas bea materai; (ii) peningkatan

pengawasan terhadap beredarnya materai palsu; dan (iii) kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengawasan terhadap pemberantasan materai palsu.

Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional

Penerimaan pajak perdagangan internasional, terdiri dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.

Dalam tiga tahun terakhir ini, penerimaan pajak perdagangan internasional mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 7,9 persen per tahun. Apabila pada tahun 2004 realisasi penerimaan pajak perdagangan internasional mencapai Rp12,7 triliun, maka pada tahun 2005 realisasi penerimaan pajak perdagangan internasional meningkat menjadi Rp15,2 triliun. Namun, dalam APBN-P 2006 penerimaan pajak perdagangan internasional dianggarkan sebesar Rp14,8 triliun atau mengalami penurunan 4,0 persen jika dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2005. Demikian pula, rasio penerimaan pajak perdagangan internasional terhadap PDB juga mengalami penurunan, yaitu dari 0,6 persen dalam tahun 2004 dan 2005 menjadi sebesar 0,5 persen dalam APBN-P 2006. Penerimaan pajak perdagangan internasional pada tahun 2006, sekitar 91,9 persen bersumber dari penerimaan bea masuk, sedangkan sisanya sebesar 8,1 persen berasal dari pajak/pungutan ekspor.

Dalam tiga tahun terakhir ini, penerimaan bea masuk mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,5 persen per tahun. Apabila pada tahun 2004, penerimaan bea masuk mencapai Rp12,4 triliun atau 0,5 persen terhadap PDB, maka jumlah tersebut meningkat menjadi Rp14,9 triliun atau 0,5 persen terhadap PDB pada tahun 2005. Namun, dalam APBN-P 2006 sasaran penerimaan bea masuk turun menjadi Rp13,6 triliun atau 0,4 persen terhadap PDB. Turunnya penerimaan bea masuk tersebut berkaitan dengan kesepakatan perjanjian

perdagangan antarkawasan seperti: (i) ASEAN

free trade area (AFTA); (ii) free trade area

(FTA) ASEAN-China; (iii) EPA

Indonesia-Jepang; (iv) FTA Indonesia-Korea Selatan; dan

(v) FTA ASEAN-India. Faktor lain yang

berpotensi menurunkan penerimaan bea masuk

adalah pemberlakuan kebijakan harmonisasi

tarif terhadap produk impor dari hulu ke hilir, yang cenderung menurunkan tingkat tarif

bea masuk secara berkala mulai tahun 2005 sampai dengan 2010.

Dalam rangka mengantisipasi penurunan

penerimaan bea masuk tersebut, pemerintah

telah melakukan langkah-langkah perbaikan di bidang administrasi kepabeanan melalui reformasi administrasi kepabeanan yang mencakup 4 (empat) prakarsa pokok.

Pertama, pemberlakuan fasilitasi perdagangan, yang dimaksudkan untuk menciptakan iklim perdagangan yang kondusif melalui pencegahan

terjadinya illegal trading. Prakarsa tersebut

diupayakan melalui langkah-langkah strategis yang meliputi pemberlakuan jalur prioritas, pengembangan sistem otomatisasi kepabeanan, dan penyempurnaan sistem pembayaran

elektronik. Kedua, pemberian industrial

assistance, antara lain melalui pembentukan kawasan berikat dan pemberian kemudahan

impor untuk tujuan ekspor. Ketiga, optimalisasi

penerimaan bea masuk, antara lain dengan meningkatkan peran analis intelijen,

mengembangkan database nilai pabean dan

komoditi, meningkatkan efektivitas verifikasi dan audit, dan mengefektifkan penagihan tunggakan.

Keempat, peningkatan pengawasan kepabeanan, melalui ketentuan registrasi importir,

pengembangan database intelijen, revitalisasi

sarana operasi (kapal patroli, X-ray, anjing

pelacak, dan detektor), dan peningkatan operasi pemberantasan penyelundupan.

Sementara itu, penerimaan pajak/pungutan

ekspor dalam kurun waktu yang sama mengalami peningkatan rata-rata sekitar 104,4 persen per tahun. Apabila pada tahun 2004 dan 2005 realisasi penerimaan pajak/ pungutan ekspor baru mencapai sekitar Rp0,3 triliun, maka dalam APBN-P tahun 2006 sasaran penerimaan pajak/pungutan ekspor dianggarkan sebesar Rp1,2 triliun. Meningkatnya penerimaan pajak/pungutan ekspor dalam APBN-P 2006 tersebut, terutama disebabkan oleh adanya penambahan objek pajak baru, yaitu pengenaan pungutan ekspor atas produk pertambangan batu bara sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.04/02/2005 tanggal 11 Oktober 2005 tentang Pajak Ekspor Komoditas Batu Bara.

Pe ne r im a a n N e ga r a Buk a n

Pa j a k ( PN BP)

Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memiliki peranan yang cukup penting dalam menopang kebutuhan pendanaan anggaran dalam APBN, walaupun sangat rentan terhadap perkembangan

berbagai faktor eksternal. Dalam tiga tahun

terakhir, peranan PNBP terhadap total pendapatan negara mengalami fluktuasi mengikuti perkembangan harga minyak bumi di pasar internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Apabila dalam tahun 2004, PNBP dapat memberikan kontribusi sebesar 31,1 persen terhadap total pendapatan negara, maka pada tahun 2005 kontribusi PNBP dalam APBN turun menjadi sekitar 29,7 persen terhadap total pendapatan negara. Namun, dalam tahun 2006 kontribusi PNBP dalam APBN-P diperkirakan naik kembali hingga mencapai 56,5 persen terhadap total pendapatan negara.

Meskipun kontribusi PNBP terhadap total pendapatan negara dalam tiga tahun terakhir mengalami fluktuasi, akan tetapi secara nominal realisasi PNBP terus mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun-tahun sebelumnya. Jika dalam tahun-tahun 2004 realisasi PNBP mencapai Rp126,7 triliun atau 5,5 persen terhadap PDB, maka dalam tahun 2005 realisasi PNBP mengalami peningkatan 15,9 persen menjadi sebesar Rp146,9 triliun atau 5,4

persen terhadap PDB. Sementara itu, dalam

APBN-P 2006, sasaran PNBP diperkirakan mencapai Rp229,8 triliun atau meningkat sebesar 56,5 persen dibandingkan dengan realisasi PNBP tahun 2005. Dengan demikian, dalam tiga tahun terakhir, secara keseluruhan, PNBP mengalami peningkatan rata-rata 34,7 persen per tahun.

Peningkatan PNBP juga dipengaruhi oleh perubahan berbagai indikator ekonomi makro, terutama nilai tukar dan harga minyak mentah di

pasar internasional. Hal ini terutama karena sebagaimana telah diuraikan sebelumnya struktur PNBP masih didominasi oleh penerimaan sumber daya alam (SDA), khususnya yang berasal dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, dan tingkat lifting minyak.

Disamping itu, peningkatan PNBP tersebut tidak terlepas dari langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah guna memobilisasi PNBP. Secara garis besar, langkah-langkah kebijakan di bidang PNBP yang telah diambil oleh pemerintah dalam tiga tahun terakhir antara lain meliputi: (i) optimalisasi, efisiensi dan efektivitas PNBP yang bersumber dari SDA; (ii) intensifikasi

upaya pencegahan illegal mining, illegal

logging dan illegal fishing; (iii) peningkatan kesehatan dan kinerja BUMN yang disertai

dengan langkah-langkah penerapan good

corporate governance; serta (iv) peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaan pungutan PNBP di berbagai kementerian/lembaga. Perkembangan penerimaan negara bukan pajak dalam tahun 2004 – 2006 dapat dilihat pada Tabel III.3 dan Grafik III.3.

Pe n e r im a a n Su m be r D a y a Ala m ( SD A)

Penerimaan sumber daya alam (SDA) terdiri dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan SDA pertambangan umum, penerimaan SDA kehutanan, dan penerimaan

SDA perikanan. Dalam tiga tahun terakhir,

penerimaan SDA menunjukkan tendensi terus meningkat, sedangkan kontribusinya terhadap total PNBP rata-rata mencapai 73,2 persen per tahun. Apabila pada tahun 2004, realisasi penerimaan SDA mencapai Rp91,4 triliun (4,0 persen terhadap PDB), maka dalam tahun 2005 realisasi penerimaan SDA mencapai Rp110,6 triliun (4,1 persen terhadap PDB) atau

mengalami peningkatan 21,1 persen. Sementara itu, pada APBN-P tahun 2006, sasaran penerimaan SDA dianggarkan sebesar Rp165,7 triliun (5,3 persen terhadap PDB) atau naik sebesar 49,8 persen dari realisasi penerimaan SDA tahun sebelumnya.

Dari jumlah penerimaan SDA tersebut, kontribusi terbesar berasal dari penerimaan SDA migas

yang rata-rata mencapai sekitar 69,5 persen terhadap total PNBP, atau sekitar 96,4 persen

terhadap penerimaan SDA. Dalam tiga tahun

terakhir, realisasi penerimaan SDA migas mengalami kenaikan rata-rata 36,9 persen, yaitu dari Rp85,3 triliun (3,7 persen terhadap PDB) pada tahun 2004 menjadi Rp159,8 triliun (5,1 persen terhadap PDB) pada APBN-P tahun 2006. Perkembangan penerimaan SDA migas dalam kurun waktu tersebut selain berkaitan dengan faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi, juga dipengaruhi oleh langkah-langkah kebijakan pemerintah di bidang migas. Faktor-faktor ekonomi yang secara signifikan mempengaruhi penerimaan SDA migas, antara lain meliputi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah di

pasar internasional, serta produksi/lifting migas.

Sementara itu, faktor-faktor nonekonomi yang secara psikologis berpengaruh terhadap permintaan dan pasokan minyak, pada umumnya berupa gangguan keamanan di beberapa daerah konflik di dalam negeri maupun di luar negeri, Realisasi % thd PDB Realisasi % thd PDB APBN-P % thd PDB

I. Penerimaan Negara Bukan Pajak 126,7 5,5 146,9 5,4 229,8 7,4

A. Penerimaan Sumber Daya Alam 91,4 4,0 110,6 4,1 165,7 5,3

1. Pendapatan SDA Migas 85,3 3,7 103,7 3,8 159,8 5,1

a. Minyak bumi 63,1 2,7 72,8 2,7 123,0 3,9

b. Gas Alam 22,2 1,0 30,9 1,1 36,8 1,2

2. Pendapatan SDA Non-Migas 6,1 0,3 6,9 0,3 5,9 0,2

a. SDA Pertambangan umum 1,7 0,1 3,4 0,1 3,5 0,1

b. SDA Kehutanan 4,1 0,2 3,2 0,1 2,0 0,1

c. SDA Perikanan 0,3 0,0 0,3 0,0 0,4 0,0

B. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN 9,8 0,4 12,8 0,5 22,3 0,7

C. PNBP Lainnya 25,5 1,1 23,5 0,9 41,8 1,3 II. Hibah 0,3 0,0 1,3 0,0 4,2 0,1 127,0 5,5 148,2 5,4 234,1 7,5 2) Realisasi 2004 Revisi 2 3) Realisasi 2005 Revisi 1

Sumber: Departemen Keuangan RI

2006

(dalam triliun rupiah)

PERKEMBANGAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DAN HIBAH, 2004-2006

2005

Jumlah

1) Perbedaan satu angka di belakang koma terhadap angka penjumlahan adalah karena pembulatan

Tabel III.3 2004 Uraian 1) 2) 3) -1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 % t hd P D B 2004 2005 2006 Tahun Anggaran Grafik III.3 PERKEMBANGAN PNBP, 2004-2006

seperti memanasnya situasi politik di beberapa negara kawasan Timur Tengah. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan melemah, yaitu dari rata-rata sebesar Rp8.939 per US$ pada tahun 2004, menjadi rata-rata sebesar Rp9.300 per US$ dalam APBN-P tahun 2006. Sementara itu, perkembangan harga rata-rata minyak mentah Indonesia di pasar internasional (ICP), dalam tiga tahun terakhir justru menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, yaitu dari rata-rata sebesar US$37,2per barel pada tahun 2004, menjadi rata-rata US$62,0 per barel dalam APBN-P tahun 2006. Peningkatan harga minyak mentah ini, antara lain dipicu oleh adanya perubahan geopolitik internasional khususnya di Timur Tengah, antara lain berupa serangan Israel terhadap Lebanon, yang menyebabkan terganggunya kondisi pasokan minyak mentah di pasar internasional. Kondisi tersebut terus berlanjut seiring dengan bertambahnya konsumsi minyak, sehingga mengakibatkan harga rata-rata minyak mentah di pasar internasional mengalami kenaikan yang signifikan. Di sisi lain, realisasi produksi/lifting minyak mentah Indonesia dalam periode yang sama justru cenderung mengalami penurunan. Apabila dalam tahun 2004 realisasi produksi/lifting minyak mentah mencapai 1,040 juta barel per hari, maka dalam tahun 2005 realisasi lifting minyak turun sebesar 0,041 juta barel per hari menjadi 0,999 juta barel rata-rata per hari. Demikian pula, dalam APBN-P tahun 2006 lifting minyak diperkirakan sama dengan realisasinya dalam tahun 2005 sekitar 1 juta barel rata-rata per hari. Penurunan lifting minyak tersebut, dikarenakan adanya pengembangan lapangan baru di daerah frontier daring deep water memerlukan waktu yang lebih lama untuk cost recovery, sehingga sumur-sumur baru tersebut belum efektif berproduksi. Selain itu juga disebabkan oleh sulitnya menambah produksi dari

sumur-sumur yang sudah mature yang telah

mengalami natural declining.

Selanjutnya, dalam kurun waktu yang sama realisasi penerimaan SDA pertambangan umum cenderung berfluktuatif, yaitu dari sebesar Rp1,7 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2004 menjadi sebesar Rp3,4 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, yang berarti naik sekitar Rp1,7 triliun atau 99,9 persen. Peningkatan realisasi penerimaan SDA pertambangan umum yang cukup signifikan ini terutama berkaitan dengan berbagai upaya intensifikasi yang dilakukan di bidang pertambangan umum. Sedangkan dalam APBN-P tahun 2006, sasaran penerimaan SDA pertambangan umum dianggarkan sebesar Rp3,5 triliun (0,1 persen terhadap PDB), yang berarti mengalami kenaikan Rp0,1 triliun atau 3.1persen dari realisasi tahun sebelumnya. Penerimaan SDA pertambangan umum tersebut bersumber dari iuran tetap (landrent), serta iuran eksploitasi (royalty) dan dana hasil produksi batu bara. Besaran penerimaan iuran tetap ditentukan berdasarkan luas area penambangan dan tarif per hektar per tahun yang diberlakukan pada kontrak karya (KK), kuasa pertambangan (KP), dan perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan perkembangan penerimaan royalty antara lain dipengaruhi oleh volume produksi, persentase tarif royalty dan harga jual hasil tambang, serta nilai tukar rupiah