• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam jangka panjang, perubahan UU perpajakan tersebut diharapkan dapat menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan kompetitif, serta dapat lebih meningkatkan

kepatuhan pajak dan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di Indonesia. Dengan

demikian, pada gilirannya akan dapat memberikan dampak pada meningkatnya penerimaan

perpajakan, dan mendorong berkembangnya perekonomian dalam jangka panjang.

Dari rencana penerimaan perpajakan

tersebut, sasaran penerimaan pajak penghasilan (PPh) dalam APBN tahun 2007 direncanakan mencapai Rp261,7 triliun atau 7,4 persen terhadap PDB. Jumlah ini sebagian besar (84,3 persen) berasal dari penerimaan PPh nonmigas, sedangkan sisanya (15,7 persen) berasal dari PPh migas.

Dalam APBN tahun 2007, penerimaan PPh

nonmigas direncanakan mencapai Rp220,5 triliun, atau 6,2 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti lebih tinggi sebesar Rp45,4 triliun (26,0 persen) dari sasaran penerimaan PPh nonmigas yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp175,0 triliun (5,6 persen terhadap PDB). Peningkatan rencana penerimaan PPh nonmigas tahun 2007 tersebut, selain dipengaruhi oleh perkembangan kondisi ekonomi makro, juga berkaitan dengan langkah-langkah perbaikan di bidang administrasi perpajakan yang telah dan direncanakan untuk dilaksanakan dalam tahun 2007. Langkah-langkah penyempurnaan administrasi perpajakan tersebut meliputi antara

lain: (i) program ekstensifikasi wajib pajak orang

pribadi dan badan; (ii) program intensifikasi

pemungutan pajak yang dilaksanakan melalui penegakan hukum secara tegas, tanpa pandang bulu dan konsisten, yang disertai dengan upaya

mengintensifkan pencairan tunggakan pajak; (iii)

peningkatan kualitas pelayanan kepada wajib pajak dalam rangka mendorong kepatuhan

sukarela (voluntary compliances) yang

dilaksanakan melalui perluasan penerapan sistem pendaftaran, pembayaran dan penyimpanan data

secara elektronik (registration, filing,

e-payment) dan pembentukan pengembangan pusat

pemrosesan data (data processing center);

serta (iv) modernisasi kantor-kantor di lingkungan

Direktorat Jenderal Pajak.

Di samping langkah-langkah perbaikan administrasi perpajakan seperti diuraikan di atas, dalam rangka memperbaiki sistem perpajakan

yang ada, Pemerintah beberapa waktu yang

lalu juga telah mengajukan rancangan amandemen atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, yang diharapkan dapat diselesaikan pembahasan dan pengesahannya dalam tahun 2006 ini juga, sehingga dapat diberlakukan pada tahun 2007. Pokok-pokok substansi perubahan undang-undang pajak penghasilan tersebut antara lain

mencakup hal-hal sebagai berikut: (i) peningkatan

pelayanan kepada wajib pajak, diantaranya dengan memperkenankan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) secara elektronik;

(ii) pemberian kemudahan perpajakan kepada

wajib pajak (WP), diantaranya dengan menaikkan besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP), memperkenankan WP orang pribadi untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, serta menyederhanakan lapisan tarif PPh orang pribadi dari semula lima lapisan menjadi empat lapisan, dengan memperkenalkan

tarif tunggal untuk PPh badan; serta (iii)

perluasan basis pajak, diantaranya melalui pengenaan tarif yang lebih tinggi bagi WP tidak NPWP dibandingkan dengan WP yang ber-NPWP. Dalam jangka pendek, pelaksanaan amandemen Undang-undang PPh tersebut akan memperlambat laju peningkatan penerimaan PPh

nonmigas, namun dalam jangka panjang diharapkan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional dan penerimaan perpajakan.

Sementara itu, penerimaan PPh migas dalam

APBN tahun 2007 direncanakan sebesar Rp41,2 triliun, atau 1,2 persen terhadap PDB. Jumlah ini berarti mengalami peningkatan sebesar Rp2,6 triliun (6,6 persen) dari sasaran penerimaan PPh migas yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp38,7 triliun (1,2 persen terhadap PDB). Lebih tingginya rencana penerimaan PPh migas tahun 2007 tersebut, terutama berkaitan dengan lebih tingginya asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang digunakan sebagai dasar perhitungan APBN tahun 2007, yaitu sebesar U$65,0 per barel bila dibandingkan asumsi ICP APBN-P tahun 2006 sebesar U$62,0 per barel .

Selanjutnya, sasaran penerimaan PPN dan

PPnBM dalam APBN tahun 2007 direncanakan sebesar Rp161,0 triliun atau 4,6 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp28,2 triliun (21,2 persen) dari sasaran penerimaan PPN dan PPnBM yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp132,9 triliun (4,3 persen terhadap PDB). Lebih tingginya rencana penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2007 tersebut, selain didasarkan pada perkiraan lebih baiknya kondisi perekonomian Indonesia dalam tahun 2007 dibandingkan dengan kondisi perekonomian nasional dalam tahun berjalan, juga memperhitungkan berbagai langkah penyempurnaan administrasi dan kebijakan perpajakan yang telah dan direncanakan akan diambil pemerintah dalam tahun 2007.

Langkah-langkah penyempurnaan administrasi perpajakan, khususnya dibidang PPN dan PPnBM yang telah dan direncanakan akan terus dilaksanakan pemerintah dalam tahun 2007 antara

lain meliputi: (i) optimalisasi penerimaan, melalui

upaya intensifikasi pemungutan dan ekstensifikasi

basis pajak; (ii) penyederhanaan SPT masa;

(iii) penyempurnaan manajemen pemeriksaan

pajak, penyidikan dan penagihan; (iv) peningkatan

efektivitas dan efisiensi organisasi; serta

(v) penyempurnaan sistem teknologi informasi.

Sementara itu, dalam rangka menyempurnakan peraturan-peraturan di bidang PPN dan PPnBM,

Pemerintah saat ini juga sudah mengajukan rancangan amandemen terhadap Undang-undang tentang PPN dan PPnBM, yang diharapkan dapat dilaksanakan pada tahun 2007. Pokok-pokok substansi dari perubahan atas Undang-undang PPN dan PPnBM tersebut antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:

(i) penyerahan barang kena pajak (BKP) oleh

pengusaha kena pajak (PKP) dalam rangka

penggabungan (merger) tidak dikenakan PPN;

(ii) pengenaan tarif nol persen atas ekspor jasa

kena pajak (JKP) atau BKP tidak berwujud;

(iii) penetapan barang hasil pertanian yang langsung diambil dari sumbernya sebagai barang

bukan kena pajak; (iv) pembebasan PPN dan

PPnBM bagi perwakilan negara asing;

(v) pembebasan PPN listrik dan air, serta fasilitas

bagi kegiatan penanggulangan bencana;

(vi) penggunaan deemed pajak masukan untuk

menghitung besarnya pajak masukan yang dapat

dikreditkan; dan (vii) peningkatan tarif tertinggi

PPnBM dari 75 persen menjadi 200 persen.

Selanjutnya, penerimaan pajak bumi dan

bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dalam APBN tahun 2007 direncanakan sebesar Rp26,7 triliun (0,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini bersumber dari penerimaan PBB sebesar Rp21,3 triliun (0,6 persen terhadap PDB) dan penerimaan BPHTB sebesar Rp5,4 triliun (0,2 persen terhadap PDB). Apabila dibandingkan dengan sasaran penerimaan PBB dan BPHTB yang ditetapkan dalam RAPBN-P tahun 2006 sebesar Rp22,5 triliun atau 0,7 persen terhadap PDB, maka jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp4,1 triliun atau 18,3 persen.

Dalam APBN tahun 2007, penerimaan PBB

direncanakan sebesar Rp21,3 triliun (0,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp3,1 triliun (17,1 persen) dari sasaran penerimaan PBB yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp18,2 triliun (0,6 persen terhadap PDB). Peningkatan rencana penerimaan PBB dalam

tahun 2007 tersebut terutama berkaitan dengan lebih baiknya kondisi perekonomian nasional dalam tahun 2007 jika dibandingkan dengan kondisi perekonomian dalam tahun berjalan (tahun 2006), sebagaimana terlihat dari lebih tingginya asumsi perkiraan pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2007, dan lebih tingginya penerimaan PBB sektor pertambangan. Selain itu, rencana penerimaan PBB tahun 2007 juga dipengaruhi oleh langkah-langkah penyempurnaan terhadap sistem dan berbagai kebijakan pembaharuan administrasi PBB yang secara terus menerus

dilakukan, seperti: (i) program canvasing secara

berkesinambungan dan sistematis yang didukung

oleh bank data dan data smart mapping PBB;

(ii) peningkatan efektivitas dan efisiensi

pemungutan PBB; (iii) peningkatan kualitas

pelayanan kepada WP melalui peningkatan

kinerja pelayanan satu tempat; serta (iv)

perluasan kerjasama pembayaran PBB melalui

ATM, internet banking dengan bank pemerintah

dan bank swasta nasional.

Di sisi lain, penerimaan BPHTB dalam tahun

2007 direncanakan sebesar Rp5,4 triliun atau 0,2 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp1,0 triliun (22,9 persen) dari sasaran penerimaan BPHTB yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp4,4 triliun (0,1 persen terhadap PDB). Peningkatan rencana penerimaan BPHTB tahun 2007 tersebut terutama berkaitan dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional tahun depan yang diperkirakan akan memberikan dampak positif pada sektor konstruksi dan transaksi jual beli tanah dan bangunan. Selain itu, rencana penerimaan BPHTB tahun 2007 tersebut juga dipengaruhi oleh langkah-langkah peningkatan efektivitas dan efisiensi pemungutan BPHTB, yang dilakukan terutama melalui perbaikan koordinasi antarinstansi yang menangani penerimaan BPHTB, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), PPAT/Notaris, dan pemerintahan kabupaten/kota.

Dalam APBN tahun 2007, penerimaan cukai

direncanakan sebesar Rp42,0 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp3,5 triliun (9,1

persen) dari sasaran penerimaan cukai yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp38,5 triliun (1,2 persen terhadap PDB). Rencana penerimaan cukai tahun 2007 tersebut dipengaruhi antara lain oleh berbagai langkah kebijakan dan perbaikan administrasi di bidang penerimaan cukai, yang meliputi antara lain:

(i) penyempurnaan design dan security pita

cukai; (ii) personalisasi pita cukai; (iii) patroli dan

operasi; serta (iv) audit. Di samping itu, untuk

mengoptimalkan pencapaian sasaran penerimaan

cukai tahun 2007 tersebut, Pemerintah juga

telah melakukan pembahasan bersama dengan DPR-RI mengenai Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang diharapkan sudah dapat diselesaikan pengesahannya dalam tahun 2006, sehingga bisa diterapkan dalam tahun 2007. Pokok-pokok substansi perubahan Undang-undang tentang Cukai tersebut antara lain

meliputi: (i) perluasan objek cukai; (ii) kenaikan

tarif maksimal cukai; (iii) pemberatan sanksi

pelanggaran di bidang cukai; serta

(iv) peningkatan pengawasan mulai dari proses

produksi sampai distribusi.

Sementara itu, sasaran penerimaan pajak

lainnya yang sebagian besar berasal dari bea materai, dalam APBN tahun 2007 direncanakan sebesar Rp3,2 triliun atau 0,1 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp0,6 triliun (21,9 persen) dari sasaran penerimaan pajak lainnya yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp2,6 triliun (0,1 persen terhadap PDB). Kenaikan penerimaan pajak lainnya tersebut terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya transaksi ekonomi yang menggunakan bea materai sejalan dengan perkiraan membaiknya laju pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2007.

Di lain pihak, sasaran penerimaan pajak

perdagangan internasional dalam APBN tahun 2007, direncanakan sebesar Rp14,9 triliun (0,4 persen terhadap PDB), yang berarti 0,3 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan sasaran penerimaan pajak perdagangan internasional yang dianggarkan dalam

RAPBN-P tahun 2006. Sebagian besar (96,6 persen) dari rencana penerimaan pajak perdagangan internasional tahun 2007 tersebut berasal dari penerimaan bea masuk, sedangkan sisanya sebesar 3,4 persen berasal dari pungutan ekspor.

Pada APBN tahun 2007, sasaran penerimaan

bea masuk direncanakan sebesar Rp14,4 triliun atau 0,4 persen terhadap PDB. Jumlah ini berarti meningkat sebesar Rp0,8 triliun atau 6,1 persen bila dibandingkan dengan sasaran penerimaan bea masuk yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp13,6 triliun (0,4 persen terhadap PDB). Rencana penerimaan bea masuk tahun 2007 tersebut terutama dipengaruhi oleh perkiraan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (dari Rp9.300 per US$ dalam APBN-P tahun 2006 menjadi Rp9.300 per US$ dalam APBN tahun 2007), kebijakan harmonisasi tarif, nilai impor kena bea masuk, kebijakan perdagangan (tata niaga), serta langkah-langkah perbaikan administrasi di bidang

kepabeanan (Lihat Box IV.3: Kerjasama

Perdagangan Internasional dan Harmonisasi Tarif). Untuk mengoptimalkan pencapaian rencana penerimaan bea masuk tahun 2007 tersebut, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah penyempurnaan di bidang administrasi

kepabeanan (melalui reformasi administrasi

kepabeanan) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003. Langkah-langkah administrasi

kepabeanan tersebut mencakup: (i) fasilitasi

perdagangan, yang meliputi jalur prioritas, pengembangan sistem otomasi kepabeanan, dan

sistem pembayaran elektronik; (ii) industrial

assistance, yang meliputi pengembangan kawasan berikat, pemberian kemudahan impor untuk tujuan ekspor, serta penyediaan fasilitas pembebasan/keringanan bea masuk terhadap barang modal dan bahan baku untuk penanaman

modal; (iii) optimalisasi penerimaan bea masuk

yang dilakukan melalui upaya peningkatan peran

analis intelijen, pengembangan data base nilai

pabean dan komoditi, peningkatan efektivitas verifikasi dan audit, dan pengefektifan penagihan

tunggakan; serta (iv) peningkatan kegiatan

pengawasan kepabeanan. Disamping itu,

Pemerintah dalam tahun 2007 mendatang juga akan melaksanakan perubahan terhadap Undang-undang Kepabeanan, yang

pokok-pokok substansinya mencakup antara lain:

(i) perluasan pengertian penyelundupan;

(ii) pemberatan sanksi; (iii) pembinaan pegawai;

(iv) perluasan fungsi kawasan berikat; serta

(v) penambahan jumlah barang yang mendapat

pembebasan dan keringanan (dukungan terhadap investasi).

Sementara itu, penerimaan pungutan ekspor

dalam APBN tahun 2007 direncanakan sebesar Rp0,5 triliun. Jumlah ini berarti sasaran penerimaan pungutan ekspor yang dianggarkan dalam APBN-P tahun 2006 sebesar Rp1,2 triliun. Rencana penerimaan pungutan ekspor tersebut terutama dipengaruhi oleh perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan komoditi yang kena pungutan ekspor.

Pe ne r im a a n N e ga r a Buk a n

Pa j a k ( PN BP)

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP), merupakan seluruh penerimaan pemerintah pusat yang berasal dari luar perpajakan. Sumber PNBP ini berasal dari penerimaan sumber daya alam (SDA), bagian pemerintah atas laba BUMN (dividen), dan

PNBP lainnya. Perkembangan PNBP ini

sangat dipengaruhi oleh perubahan berbagai indikator ekonomi makro, terutama perkembangan harga minyak mentah di pasar

internasional, tingkat lifting minyak yang

dihasilkan, serta nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini terutama karena hingga saat ini struktur PNBP masih sangat didominasi oleh penerimaan SDA, khususnya yang berasal dari minyak bumi dan gas alam. Selain itu, perkembangan PNBP juga berkaitan erat dengan berbagai langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam: (i) penyesuaian besaran tarif PNBP yang berlaku di masing-masing kementerian/lembaga; (ii) peningkatan kinerja dari masing-masing kementerian/lembaga dalam menghasilkan PNBP; (iii) penerapan ataupun pencabutan regulasi tertentu yang terkait dengan