• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DUSUN ANGGREK BARU SEBAGAI HASIL DAN PENGARUH

4.2 Hasil Perjuangan dan Pengaruhnya Sekarang

4.2.4 Dari Sebuah Ujaran Menjadi Tradisi yang Melekat

Sebuah wilayah, tidak terlepas dari apa yang diyakini, apa yang dipercaya oleh suatu masyarakat setempat terhadap lingkungan wilayah tersebut. Hal yang bersifat pewarisan kepercayaan dari generasi sebelumnya sampai generasi sekarang secara lisan dan selalu melekat pada masyarakat yang mendiami suatu wilayah. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, terhadap apa yang diyakini. Ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah cara bagi masyarakat menafsirkan lingkungan tempat tinggalnya.

Bagaimana kemudian masyarakat melakukan berbagai tindakan-tindakan, kebiasaan yang dilakukan terus menerus sampai menjadi sebuah tradisi yang berkaitan dengan apa yang telah dilaukan, sedang dilakukan, dan apa yang akan dilakukan serta keinginan atau ujaran untuk yang akan datang. Ini dilakukan terhadap apa yang ditafsirkan oleh masyarakat tersebut.

Terkait dengan sejarah Desa Perkebunan Ramunia, masyarakat percaya bahwa Desa mereka dijaga oleh seorang Mbah Jenggot. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Tukiran,

“Wilayah kampung kita ini dari dulu kata orang-orang tua kami dijaga sama Mbah Jenggot, orang sini semua tau kalo kampung ini dijaga Mbah Jenggot, dulu banyak kalo melakukan penyelesaian dan meminta petunjuk kepada Mbah Jenggot.”

Mbah Jenggot diyakini oleh masyarakat sebagai juru selamat kampung, sehingga dulu sering masyarakat melaksanakan berbagai ritual untuk penyelesaian sesuatu atau meminta petunjuk. Untuk sekarang justru berbeda dengan dahulu, keadaan masyarakat sudah berubah. Tetapi masyarakat masih meyakini Mbah Jenggot sebagai penjaga kampung.

Suatu hal yang dipercaya oleh masyarakat berdampak pada apa yang dilakukan oleh masyarakat. Dapat dilihat dari sebuah upacara kenduri tepung tawar yang dilaksanakan masyarakat petani dusun Anggrek Baru. Kenduri ini berhubungan dengan sejarah perjuangan lahan yang telah dilakukan oleh masyarakat. Perjuangan masa lalu yang memiliki harapan akan sesuatu dengan usaha yang tidak cepat bahkan bertahun-tahun. Harapan masyarakat disertai dengan apa yang dilakukan setelah berhasil yang merupakan sebuah ujaran dari masyarakat saat itu, Pak Tukiran mengatakan

“Kenduri tepung tawar ini kita lakukan karena ujaran-ujaran masyarakat kita dulu saat berjuang, ya ujarannya ya kita kalo menang kita akan buat kenduri tepung tawar setiap tahunnya”

Ujaran ini merupakan sebuah janji dari masyarakat, ujaran ini menjadi motivasi bagi masyarakat yang saat itu berjuang dan salah satu harapan untuk berhasil. Setelah keberhasilan diperoleh oleh masyarakat, masyarakat tidak melupakan ujaran ini sehingga masyarakat melaksanakannya setiap tahun. Dalam kenduri tepung tawar yang dilakukan oleh masyarakat, masyarakat melaksanakannya di Mesjid pada hari Jum’at setelah sholat Jum’at. Kenduri ini dilakukan dengan memotong kambing, kemudian kambing tersebut diolah oleh pihak perempuan sejak pagi dan setelah Sholat Jumat, kenduri ini dilaksanakan

dengan berupa doa-doa, kemudian makan bersama. Sedangkan setelah selesai makan bersama, kepala kambing yang disembelih pada pagi hari di pendam di dekat persimpangan jalan yang tidak jauh dari Mesjid. Untuk biaya dari kenduri ini diperoleh dari uang yang dikutip untuk setiap rumah tangga di dusun Anggrek baru.

Upacara kenduri tepung tawar ini dilaksanakan setiap tahunnya menjelang turun bibit, biasanya dilakukan pada bulan 4 (empat) atau 5 (lima). Dari dulu upacara ini memang dilaksanakan menjelang turun bibit. Penentuan waktu ini juga memiliki hubungan, karena selain ujaran ini bermakna syukuran dari perjuangan lahan yang telah dilakukan pada waktu dahulu, kenduri ini juga mempunyai makna bahwa tanah yang telah menjadi milik masyarakat ditanami padi, sehingga terdapat harapan agar lahan yang ditanami padi tersebut berkah dan menghasilkan panen yang memuaskan bagi petani.

Selain itu, kenduri ini juga berhubungan dengan apa yang diyakini oleh masyarakat terhadap Mbah Jenggot. Kenduri ini merupakan salah satu ritual meminta berkah pada yang Mahakuasa dan keyakinan lokal masyarakat petani. Ini berkaitan dengan mayoritas masyarakat yang suku Jawa dimana setiap wilayah desa itu mempunyai masing-masing penjaga. Setiap desa di sekitar daerah Pantai labu ini memiliki penjaga yang berbeda-beda. Kenduri ini dapat dikatakan sebagai akulturasi ritual agama Islam dengan budaya masyarakat Jawa. Sampai sekarang, ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat dusun Anggrek dan tidak pernah sekalipun ritual ini ditiadakan atau tidak dilaksanakan dalam satu tahun.

Petani-petani mengatakan bahwa ritual kenduri tepung tawar yang dilaksanakan memberikan pengaruh yang baik terhadap tanaman padi mereka.

petani dapat menikmati panen yang maksimal dan bahkan tidak pernah terjadi gagal panen di dusun tersebut sejak lahan tersebut dikelola pada awal 1995.

Sebuah ujaran yang menjadi sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan, masyarakat percaya apabila tidak melaksanakan ritual kenduri tepung tawar ini, maka tanaman padi tidak akan maksimal serta terdapat permasalahan lain yang akan menghampiri petani di dusun Anggrek Baru. Upacara Kenduri ini memiliki arti tersendiri lagi mengenai penyesuaian terhadap pola tanam ataupun penanaman padi yang serentak. Hal ini justru sangat mempengaruhi karena tidak ada yang petani yang berani menabur bibit sebelum dilakukannya kenduri ini. bagi petani, ini adalah hal yang sudah biasa dilaksanakan dan sejauh sejak adanya upacara kenduri ini, belum pernah ada petani yang melanggar hal tersebut. Ini bukan sebuah peraturan, tetapi hanya sebuah kenduri tapi mempunyai nilai-nilai, perilaku dan perwujudan sehingga memiliki makna yang luas dan saling berhubungan satu sama lain dan bagaimana kenduri tersebut menjadi suatu pedoman dalam yang mengungkap sejarah, mempererat hubungan, dan tentunya untuk membentuk pola pikir masyarakat bahwa dalam beraktivitas dalam pertanian harus dilakukan secara kompak dan bersama-sama. Hal ini sudah melekat pada petani-petani di dusun Anggrek sehingga menjadi tradisi yang akan masih dan akan terus dilaksanakan sampai kapanpun.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Perjuangan Lahan merupakan sesuatu yang menjadi sejarah penting bagi masyarakat petani di dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia. Perjuangan bukan dipandang sebagai sebuah tuntutan masyarakat tanpa alasan jelas, tetapi karena alasan penting yang menyangkut kehidupan masyarakat yang susah.

Permasalahan kebutuhan hidup menjadi salah satu faktor penting yang membuat masyarakat berjuang demi lahan pertanian yang tidak seberapa jika dibandingkan luasnya perkebunan Ramunia sejak jaman Penjajahan Belanda. Dapat dilihat bahwa perjuangan lahan merupakan salah satu cara memperoleh identitas.

Identitas itu berarti sebuah ketetapan yang dicapai dalam proses-proses yang tidak berlangsung secara cepat. Proses-proses tersebut membentuk suatu persatuan yang utuh yang terdapat dalam benak masing-masing masyarakat. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai cita-cita dari masyarakat sendiri yang menginginkan sebuah wilayah dimana mereka dapat hidup layaknya masyarakat lain. Proses ini juga tidak berlangsung secara cepat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menjadi identitas itu sendiri yaitu petani. Latar belakang yang sebenarnya bukan petani melainkan sebagai masyarakat pekerja di sebuah perkebunan tidak membuat masyarakat tetap ingin menjadi pekerja atau buruh. Bukan tanpa alasan mengapa masyarakat melakukan hal ini, justru alasan-alasan dari masyarakat semakin menguatkan dan menyatukan masyarakat. Alasan-alasan ini juga

didasarkan pada status pekerja atau buruh yang semakin tidak jelas, bahwa perkebunan selalu berganti kepemilikan atau pihak yang mengelola perkebunan berganti-ganti sehingga membuat keadaan semakin susah bagi masyarakat dan tidak bisa lagi mengharapkan dari apa yang dihasilkan dari bekerja di perkebunan.

Perjuangan yang dilakukan merupakan proses dan hasilnya merupakan cita-cita, ini dapat ditunjukkan melalui kebersamaan dan persatuan kuat untuk mengubah tatanan kebudayaan masyarakat, terutama kebudayaaan petani.

Perjuangan ini menciptakan nilai-nilai persatuan atau kebersamaan yang kuat diantara anggota masyarakat. Tentunya ini tampak dari sebuah dusun Anggrek Baru yang pindah wilayah akibat adanya ganti rugi Bandara Kualanamu.

Masyarakat mendapat ganti rugi berupa uang yang dapat digunakan untuk membeli lapak dan rumah di tempat lain, tetapi secara kompak setelah ganti rugi diperoleh masyarakat bergotong royong merobohkan rumah, kemudian mengambil bahan-bahan yang bisa digunakan untuk membuat rumah di tanah yang diperjuangkan. Pembentukan sebuah dusun yang baru dilakukan dengan bersama-sama di tanah yang sebelumnya pernah diperjuangkan. Terbentuknya dusun pertanian yang baru membuat budaya petani semakin kuat dibentuk oleh masyarakat dengan dasar sejarah dan nilai perjuangan yang melekat pada diri masing-masing petani.

Terkait budaya petani, menunjukkan tradisi besar petani dan tradisi kecil petani. Tradisi besar petani dapat dilihat bagaimana petani mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang bukan dari kalangan petani, petani yang

sedang berjuang dibina atau diajarkan dan semakin dikuatkan masing-masing individu untuk tetap berjuang mendapatkan haknya. BITRA dan Mahasiswa merupakan bagian dari tradisi besar petani. Sedangkan petani juga memiliki kepercayaan lokal terhadap lingkungannya yang mempengaruhi cara berpikir di kalangan anggotanya, kepercayaan lokal yang ada pada petani berbentuk penafsiran terhadap lingkungan dan mempunyai hubungan dengan tradisi besar petani yang semakin menguatkan kepercayaan tersebut. Ini menghasilkan sebuah ujaran dari petani yang di dalamnya terkandung makna perjuangan dan harapan-harapan. Dari sebuah ujaran yang menjadi sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan, masyarakat percaya apabila tidak melaksanakan ritual kenduri tepung tawar ini, maka tanaman padi tidak akan maksimal serta terdapat permasalahan lain yang akan menghampiri petani di dusun Anggrek Baru. Kenduri tersebut memiliki nilai-nilai, perilaku dan perwujudan sehingga memiliki makna yang luas dan saling berhubungan satu sama lain dan bagaimana kenduri tersebut menjadi suatu pedoman dalam yang mengungkap sejarah, mempererat hubungan, dan tentunya untuk membentuk pola pikir masyarakat bahwa dalam beraktivitas dalam pertanian harus dilakukan secara kompak dan bersama-sama.

5. 2. Saran

Petani adalah orang yang menghasilkan sumber pangan bagi dirinya dan semua orang. Juga sebagai penyedia sumber energi bagi manusia. Di Indonesia, tanah, air dan sumber lainnya yang kaya, serta merupakan negara agraria. Petani justru semakin termarjinalkan atau terpingggirkan oleh belenggu kekuasaan yang sepertinya tidak memihak kepada petani. Sebenarnya ke mana arah pembangunan negara ini, apakah petani hanya jadi penonton pemodal kaya yang makin kaya, atau bekerja pada pemodal tersebut dengan tanah yang semakin tidak tersedia, menyempit, dan tidak disediakan untuk berkarya sehingga terpaksa harus hidup dan bekerja pada pemodal kaya demi kebutuhan hidup yang keras ini. Bahkan petani tidak mau anaknya kelak menjadi petani, anggapan yang semakin umum bahwa petani susah, dan selalu tertindas. Tetapi bagaimana petani memahami ini semua, petani hanya diam tanpa kata, tidak berdaya karena tidak ada yang memberdayakan, sementara petugas-petugas dari kantor selalu punya kepentingan lain di balik tugasnya, seperti promosi atau jualan dan terus saja seperti ini.

Petani itu bisa kalau bersatu, satu kalimat sederhana dikatakan oleh seorang informan yang pernah berjuang membela hak-hak dirinya dan masyarakat lain.

Maka dalam hal ini petani diharapkan kuat, bersatu, seperti di dusun Anggrek Baru. Tetapi alangkah baiknya apabila petani-petani di dusun Anggrek Baru di dukung oleh pemerintah dalam hal pembuatan sertifikat lahan, kemudian meningkatkan peran kerja kelompok tani dalam hal-hal lainnya yang tidak hanya menyangkut tentang pupuk, dan lain-lain, tetapi bagaimana petani bisa menjadi lebih mandiri secara ekonomi dengan mendukung terbentuknya koperasi dalam

bidang pertanian, juga mendukung kegiatan berupa tradisi-tradisi yang dilakukan petani. Selain itu, harapan yang dari petani sendiri dan para pembela kaum tani kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah agar tersedianya lahan denga manajemen pengalokasian lahan yang baik dan adil kepada masyarakat. Percuma saja negara ini adalah negara agraris, tetapi mengimpor beras, bagaimana untuk ke depannya, akankah terus seperti ini dimana mental masyarakat dibentuk menjadi kerja atau pekerja, bahkan sampai petani pun harus begitu sehingga kaum petani dan budaya petani itu semakin lama akan semakin tidak ada di negara agraris ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj. Nurhadi.

Yogyakarta : Kreasi Wacana

Bachriadi, Dianto. 2012. Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal.

Perjuangan Hak Atas Tanah Di Indonesia. Bandung: Agrarian Resource Center (ARC)

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif, Edisi ke Dua. Jakarta:

Kencana

Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar

Jenks, Chris. 2013. Culture Studi Kebudayaan. Terj. Erika Styawati.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yoyakarta: Bayu Indra Grafika

Mustain. 2007. Petani VS Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani 1863-1947. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa, Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama

Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaannya, terj.

Daniel Dhakidae. Jakarta: CV Rajawali

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES

Soemardjan, Selo. 1998. Migrasi, Kolonialisasi, Perubahan Sosial. Jakarta:

Pustaka Grafika

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Terj. Misbah. Yogyakarta:

Tiara Wacana

Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979. Jakarta: Karsa

Styobudi, Imam. 2001. Menari Di Antara Sawah Dan Kota, Ambiguitas Diri, Petani-Petani terakhir di Yogyakarta. Magelang:

Indonesiantera

Taylor, Steven J, dkk. 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualiitatif:

Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial.

Surabaya: Usaha Nasional

Wiradi, Gunawan, et al.2002. Reformasi Pertanian, Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik,

Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama dan budaya. Bandung: Mandar Maju

Wolf, Eric. 1983. Petani Tinjauan Antropologis,terj. YIIS. Jakarta: CV.

Rajawali

Sumber Lain

Khairina, Wina. 2013. Konflik Agraria Petani Desa Pergulaan VS PT London Sumatera Indonesia Tbk. Medan, Tesis Magister Antropologi Sosial, Unimed (tidak diterbitkan)

Suparlan, Parsudi. 1981. Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama sebagai sasaran penelitian Antropologi. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (Indonesia Journal Of Cultural Study), Juni, Jilid X nomor 1, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Internet

http://bitra.or.id/2012/advokasi/ diakses pada Rabu, 20 Januari 2016, Pukul 11.34 WIB

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/1960061519 88031JUPRI/LAHAN.pdf. Diakses pada Kamis, 2 Juni 2016, Pukul 08.16 WIB.

Tanah dan Petani, http://www.kpa.or.id/news/blog/tanah-dan-petani/.

Diakses pada Kamis, 02 Juni 2016 Pukul 09.00 WIB.

LAMPIRAN

GAMBAR 7 : Peta Desa Perkebunan Ramunia