• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERJUANGAN LAHAN

3.2 Kronologi Perubahan Kepemilikan Lahan

Cerita dari Pak Tukiran mengawali kisah perjuangan warga masyarakat penunggu perkebunan Ramunia.

“Dulu Belanda itu meninggalkan perkebunan sekitar tahun 1952 atau 1953 gitulah, pada saat itu orang-orang tua kita

merupakan buruh perkebunan, ya kerja sama Belanda, tapi kebutuhan orang-orang tua kita dipenuhi sama Belanda itu, mulai dari beras, pakaian, rumah, dan kebutuhan lain. Waktu Belanda pigi dari sini, orang itu menawarkan kepada kita untuk kembali pulang ke Jawa tapi hanya sebagian saja yang pulang, orang tua kita banyak juga yang gak mau pulang, namanya uda berpuluh-puluh tahun di sini sejak tahun 1917 didatangkan dari Jawa.”

Keterikatan terhadap sebuah wilayah yang sudah menjadi tempat tinggalnya, walaupun bukan kampung halamannya. Masyarakat belum mengetahui bagaimana nasibnya ke depan, apakah mereka masih menjadi buruh di perkebunan tersebut, atau apakah mereka mendapatkan lahan. Hal ini dikarenakan tidak ada jaminan dari pihak Belanda bahwa tanah perkebunan dapat diolah oleh masyarakat. Tentu ini menjadi dilema di kalangan masyarakat sendiri.

Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk bertahan di perkebunan tersebut, tidak bertahan dalam hal ini yaitu hubungan mereka dengan pemilik perkebunan atau tuan tanah yang pergi meninggalkan mereka sehingga berdampak pada pekerjaan dan kebutuhan sehari-hari.

Pandangan yang dipahami oleh Pak Tukiran berbeda dengan kondisi keluarnya perusahaan Belanda yang keluar dari Indonesia secara umum dan secara khusus di Sumatera Timur. Semua Perkebunan milik pengusaha dari Belanda dinasionalisasikan sesuai UU No. 86 Tahun 1958 yang langsung ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Desember 1958. Catatan-catatan penjelasan Mengungkapkan tujuan Undang-undang yakni, untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia, memperkuat kemampuan nasional, dan menghapus diskriminasi ekonomi dan penaklukan ekonomi kolonial (Pelzer, 1985; 215). Sejak ini, Perusahaan Belanda resmi keluar dari Indonesia dimana

kemudian beralih kepada pengusaha-pengusaha peribumi. Dalam hal ini, sangat jelas perbedaan pemahaman dari seorang informan, Pak Tukiran memahami Belanda keluar dari perkebunan pada tahun 1952. Menurut informasi dari Pak Tukiran, pada tahun 1952 Belanda sudah tidak lagi mengolah perkebunan sehingga masyarakat buruh di perkebunan Ramunia bercocok tanam di Perkebunan. Sementara itu, pada masa ini Perusahaan Belanda masih mengupayakan perkebunan tersebut kepada pemerintah.

Secara umum, perkebunan yang ditinggalkan oleh Belanda banyak memunculkan masalah-masalah baru, terutama masalah kepemilikan lahan, apakah sebagian diberikan kepada masyarakat penunggu yang merupakan bekas buruh perkebunan tersebut. Hal ini memicu timbulnya konflik lahan di Indonesia, terutama di Sumatera Timur. Masyarakat memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di lingkungan yang telah lama mereka diami dengan arah kehidupan yang akan berubah dan belum jelas. Apabila masyarakat pulang ke Pulau Jawa, maka mereka tinggal di kampung halamannya yang asli dan bahkan menurut informan bahwa apabila mereka kembali ke Jawa pada masa itu, mereka tidak tahu harus ke mana dan tinggal di mana. Ini sama-sama menimbulkan suasana yang berbeda dan tidak mengetahui bagaimana nasib mereka ke depannya. Hidup menjadi perjuangan baru yang harus benar-benar diperjuangkan, menghidupi anak cucu yang membutuhkan asupan gizi untuk bertahan. Pak Tukiran berkata,

”Selesai Belanda pigi dari sini, kira-kira tahun 1959 itu ada pengusaha orang Tionghoa, kalo ga salah namanya Huat Tseng, itulah dia yang mengolah perkebunan kelapa ini, dia mempekerjakan orang-orang tua kami dan kami yang sudah bisa kerja, tapi kalo Wawak dulu Yan masih sekolah SR (Sekolah Rakyat), tapi ini Cuma 2 tahun aja, baru setelah itu

masuklah PT Karya Bumi.” Itu pun sekitar tahun 60-an gitulah, namanya uda ganti jadi PT Gelorata. Barulah sejak PT ini yang mengolah perkebunan, yang tinggal di pondok dapat jatah tanah 15 rante per kepala keluarga.”

Buruh-buruh perkebunan Ramunia dapat mengolah lahan di bawah perkebunan kelapa. Berbagai tanaman seperti padi darat, sayuran dan lainnya ditanam. Dalam hal ini, buruh mempunyai pendapatan sampingan yang dapat menambah perekonomian. Perubahan status dalam masyarakat berlaku, yaitu dari yang berprofesi sebagai buruh menjadi petani. Bagi mereka sebagai petani akan mengolah lahan dan menikmati hasilnya dengan sendiri merupakan hal yang mempunyai kenikmatan tersendiri. Walaupun latar belakang masyarakat bukan dari keluarga petani, tetapi masyarakat dusun Anggrek di sini merupakan petani yang masih bekerja di tempat lain, karena jika mengharapkan dari hasil pertanian, kebutuhan masih tidak cukup. Hal ini membuat masyarakat masih tetap bekerja di perkebunan kelapa. Kebijakan yang dibuat oleh perusahaan perkebunan tersebut mempunyai latar belakang kenapa hal ini dilakukan.

Terkait dengan hal di atas, perkebunan yang semula merupakan bekas hak konsesi NV Sinembah Mattscapaaj diberikan oleh Menteri Pertanian dan Agraria berdasarkan surat keputusan Nomor SK.II/26/Ka/63 pada tanggal 30 September 1963 kepada PT. Karya Bumi dengan HGU (Hak Guna Usaha) seluas 738 hektar selama 25 tahun. Dalam hal ini PT Karya Bumi merupakan milik pengusaha suku Tinghoa yang hanya sebentar mengelola perkebunan tersebut. Kemudian sesuai

dengan akte perubahan Nomor 30 tanggal 11 Oktober 1963, PT Karya Bumi berubah namanya menjadi PT Gelorata10.

“ya PT, Gelorata itu ngasi tanah ke kami, dijatah 15 rante per kepala keluarga.” Tentu saja ini menumbuhkan pertanyaan mengapa atau kenapa. “PT Gelorata ini tidak seperti waktu Belanda dulu, kalo Belanda dulu selalu ngasi kebutuhan kami semua, sedangkan PT Gelorata ini tidak, ya ini lah termasuk yang dikasi orang itu, kami boleh ngerjain tanah yang uda dijatah.”

Masyarakat penunggu yang diistilahkan oleh masyarakat dusun Anggrek Baru pada waktu itu mendapat jatah perkebunan tanpa harus membayar sewa, berbeda dengan masyarakat dari beberapa desa lain yang harus menyewa lahan untuk bisa bercocok tanam di wilayah perkebunan. Sekitar 20 tahun masyarakat mengelola lahan perkebunan, perkebunan tersebut diselingi oleh berbagai tanaman masyarakat. Ini tidak berlaku secara terus menerus, tetapi terdapat suatu kondisi yang berbeda terjadi dimana masyarakat sudah tidak dapat lagi bercocok tanam di perkebunan Ramunia bersamaan dengan perubahan status perkebunan tersebut.

Pada tahun 1984, aset tanah Perkebunan Ramunia dikuasai oleh Puskopad A Dam I/BB berdasarkan Surat Perintah Panglima Kodam II/BB Letjen (Purn) Harsudiyono Hartas tanggal 11 September 1984 No. Sprin/830/IX/1984 11. Masuknya Puskopad ke Perkebunan Ramunia membuat perumahan, tanah yang ditempati dan dikelola masyarakat digusur secara paksa. Terdapat 4 pemukiman buruh perkebunan yaitu Pondok Tengah, Pondok Kresek, Pondok Lembu, dan Pondok Pasar 12. Kemudian ke empat Pondok ini direlokasi oleh Puskopad DAM I BB. Pemukiman masyarakat sebelumnya tersebar di seluruh Wilayah

10 Data BPN Deli Serdang, Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor: 3/HGU/BPN/93 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama Puskopad A DAM I/Bukit Barisan.

11 ibid

Perkebunan seluas 738 hektar. Tapi penggusuran tersebut membuat pemukiman 125 kepala keluarga yang tersebar di 768 hektar itu direlokasi ke lahan yang luasnya hanya 5 hektar. Rumah penduduk yang terbuat dari kayu diangkat bersama-sama oleh masyarakat ke tempat relokasi. Pemindahan ini dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini terjadi karena alat berat telah siap untuk merobohkan rumah sehingga masyarakat tidak berani melawan dan terpaksa harus menerima penggusuran tersebut.

Pergantian kepemilikan lahan ini memicu penggantian perkebunan tersebut.

Penggantian ini membuat perkebunan yang sebelumnya ditanami kelapa dan diselingi tanaman masyarakat berubah menjadi lahan kelapa sawit. Hal ini membuat masyarakat tidak dapat bercocok tanam lagi di lahan tersebut sehingga mereka kembali bekerja menjadi buruh di perkebunan. Sebagian dari masyarakat bekerja di tempat lain sebagai pekerja bangunan, tambak dan lain sebagainya.

Semenjak ini terjadi, banyak juga masyarakat yang merantau ke daerah lain.

Keadaan masyarakat menjadi semakin susah terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pengalihan lahan yang menjadi milik Puskopad dan dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Lahan perkebunan mulai ditanami kelapa sawit dimulai pada tahun 1984 oleh organisasi ABRI tersebut. Lahan yang dipakai untuk kelapa sawit seluas 200 hektar, kemudian pada tahun 1985 tanaman kelapa sawit semakin luas ditanami di bekas lahan perkebunan kelapa tersebut. Pada tahun ini, seluas 300 hektar sawit di tanam lagi sehingga luas tanaman kelapa sawit ini menjadi 569,32 hektar.

Kemudian pada tahun 1986, 12 hektar lahan menjadi milik beberapa pensiunan

ABRI, lahan ini di luar lahan yang ditanami kelapa sawit, selanjutnya sampai tahun 1989 sekitar 19 hektar lahan bertambah. Lahan ini diperuntukkan untuk perumahan pensiunan ABRI. Di antara lahan perkebunan tersebut, terdapat sekitar 161,2 hektar yang tidak ditanami kelapa sawit dan tidak diolah. Lahan ini dibiarkan begitu saja, tetapi walaupun lahan tersebut kosong masyarakat tidak dapat mengolah lahan tersebut. Lahan di luar HGU (Hak Guna Usaha) tersebut yang luasnya 161,2 hektar tidak termasuk dalam HGU Puskopad. Tanah ini berada di luar di Blok 18, 25, 26, dan 27. Lahan ini dikelola oleh pensiunan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa lahan tersebut tidak diolah atau ditanami kelapa sawit, apakah lahan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat penunggu atau lahan tersebut dibiarkan begitu saja menjadi semak belukar. Sementara itu masyarakat Desa lain yaitu desa Ramunia 1 berhasil merebut tanah tersebut seluas 70,2 hektar dari pensiunan TNI tersebut dan selanjutnya kepala daerah Tingkat 2 Deli Serdang mengakui pengambilan lahan oleh warga Ramunia 1 tersebut pada tahun 1990. Kemudian hal ini merupakan salah satu yang mendasari kenapa masyarakat memperjuangkan lahan tersebut sejak akhir tahun 1991 sampai 1994.