• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PERKEBUNAN RAMUNIA

2.7 Sarana dan Prasarana

2.7.3 Sarana dan Prasarana Ibadah

Ibadah merupakan hubungan spiritual antara manusia dengan pencipta yang menurut pandangan setiap penganut suatu agama memiliki arti penting masing-masing. Bagi masyarakat desa, ibadah masih erat dengan nilai-nilai kultural dan spiritual tersebut sehingga terdapat fasilitas berupa prasarana ibadah yang untuk mendukung terbentuknya hubungan intim antara pencipta dan yang diciptakan.

Prasarana ibadah memiliki peranan yang sangat penting bagi setiap individu dalam menuangkan perasaan spiritualnya terhadap suatu kepercayaan yang dianut.

Prasarana ibadah berupa bangunan setiap agama, seperti Mesjid sebagai prasarana ibadah untuk masyarakat yang beragama Islam, selain Mesjid juga terdapat Mushola dan Gereja sebagai prasarana ibadah untuk masyarakat yang beragama Kristen. Untuk di Desa Perkebunan Ramunia, terdapat 2 (dua) Mesjid, 2 (dua) Mushola, dan 1 (satu) Gereja. Dari jumlah prasarana ini, menunjukkan

bahwa mayoritas masyarakat di desa Perkebunan Ramunia adalah beragama Islam.

Untuk di Dusun Anggrek Baru sendiri, keseluruhan masyarakat beragama Islam. Mesjid menunjukkan bahwa desa tersebut berpenghuni oleh masyarakat yang beragama Islam. Fungsinya tentu sebagai tempat ibadah, dan sebagai tempat pertemuan lain seperti kenduri Punggahan menjelang Ramadhan, memang tidak berbeda dengan dusun dan desa-desa tetangga lainnya.

2.7.4. Sarana dan Prasarana Administrasi

Keperluan administrasi menjadi bagian penting dan yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Keperluan administrasi biasanya mencakup pencatatan sipil seperti KTP (Kartu Penduduk), KK (Kartu Keluarga) dan lain sebagainya. Berbagai keperluan pencatatan sipil ini dilakukan di Kantor kepala desa sebagai prasarana administrasi pemerintahan desa yang melayani kebutuhan dan berbagai keperluan administrasi masyarakat. Kantor kepala desa sebagai sarana administrasi terdapat di dusun Anggrek Baru. Kantor ini memiliki sarana lain yang mendukung seperti peralatan perkantoran, selain itu terdapat juga ruang pertemuan desa yang digunakan untuk musyawarah desa dan berbagai kegiatan desa lainnya. Di kantor kepala desa, terdapat berbagai fasilitas yang mendukung seperti ruang baca dengan beragam buku, ruang kepala desa, komputer dan internet.

2.8. Pola Pemukiman

Pola pemukiman di desa Perkebunan Ramunia sama seperti halnya desa-desa pada umumnya dimana jarak antar rumah tidak terlalu dekat. Tidak terlalu

dekat dalam hal ini yaitu berjarak kira-kira 10-50 meter antar rumah. Hanya beberapa rumah saja yang jaraknya berdekatan. Jarak rumah yang berdekatan ini dapat dilihat di lokasi desa yang dilalui jalan utama atau jalan lintas. Sedangkan rumah yang berada di jalan-jalan desa saling berjauhan satu sama lain. Jarak yang berjauhan ini berdampingan dengan lahan sawah. Di desa ini, jarak antar dusun yang satu dengan dusun yang lainnya juga tidak berjauhan. Perumahan penduduk di desa ini berada di pinggir jalan, baik jalan utama atau jalan lintas maupun jalan desa.

Pemukiman masyarakat di dusun Anggrek sangat erat kaitannya dengan sejarah pendudukan lahan yang pernah dilakukan oleh masyarakat. Apabila dilihat dari pandangan mata saja, sama seperti desa-desa lain dan desa pada umumnya di Indonesia. tetapi jika menulusuri bagaimana sejarah desa tersebut tentu sangat berkaitan dengan perjuangan yang dilakukan pada masa lalu, yang meliputi proses pendudukan lahan itu sendiri sampai pembagian tanah kepada masing-masing keluarga yang memperjuangkan lahan. Bangunan rumah yang secara umum permanen mendominasi, dan hampir tidak ditemukan bagunan rumah yang semi permanen. Bagaimana sebuah dusun yang lahir dengan pemukiman yang mulai dibangun sejak hampir 20 tahun yang lalu berubah. Terdapat keterkaitan antara pemukiman dengan pendudukan dan pembagian lahan kepada masyarakat dusun Anggrek baru yang berhasil diduduki dan digarap oleh masyarakat.

BAB III

PERJUANGAN LAHAN

3.1. Sejarah Lahan di Perkebunan Ramunia

Secara khusus, Perkebunan Ramunia (Ramoenia Cultuur) berdiri pada tahun 1896 di wilayah Kesultanan Serdang. Sebelum tahun 1870-an, tanah di Perkebunan Ramunia merupakan lahan dari kesultanan Serdang. Belanda yang melihat potensi tanah yang subur, sedangkan lahan masih banyak yang tidak dikelola oleh kesultanan dan masyarakat, maka sejak 1870 pengusaha-pengusaha datang untuk menyewa perkebunan melalui kontrak kepada pihak kesultanan yang ada di Sumatera Timur. Pada masa ini mulai memasuki era yang disebutkan oleh Wiradi (2002; 169) bahwa hal ini merupakan tonggak penting sejarah agraria di Indonesia. Sejak tahun-tahun ini, mulailah masuk modal swasta Eropa mencengkram bumi Indonesia. Masa ini antara tahun 1870-1900 yang disebut jaman liberal9.

Menjelang tahun 1900, Pelzer (1985; 90-126) menuliskan bahwa terdapat permasalahan yang sedang berkembang yaitu aspek hukum konsesi. Konsesi yang diatur antara para penguasa onderneming (penguasa perkebunan) dan para pangeran dari kerajaan-kerajaan yang diperintah secara tidak langsung di

9 Pengelolaan administrasi secara modern oleh perkebunan-perkebunan besar diharapkan dapat ditiru oleh petani dalam mengelola usaha taninya, Gelderen dalam Wiradi

mengomentari bahwa perkembangan perusahaan asing telah menjadikan rakyat pribumi suatu bangsa buruh, dan dengan demikian Hindia Belanda (yaitu Indonesia) menjadi buruh diantara bangsa-bangsa. Gunawan Wiradi, et al, Reformasi Pertanian, Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama dan budaya. (Bandung: Mandar Maju, 2002), 169.

Sumatera Timur. Permasalahan ini selalu menghindari penyelesaian yang memenangkan pengalihan semua konsesi menjadi sewa menyewa jangka panjang yang banyak mempunyai keuntungan hukum bagi para penguasa perkebunan. Hal ini berakibat pada penduduk pribumi yang menjadi korban dari suatu komplek persekutuan golongan golongan yang berkepentingan termasuk raja. Selama perang dan setelah kemerdekaan, terdapat tipe-tipe penduduk setempat dan imigran baru berasal dari Tanah Karo dan Tapanuli yang datang ke Sumatera Timur. Dalam hal ini, buruh perkebunan memperoleh hak sementara untuk mengolah lahan. Sementara itu imigran dari Tanah Karo dan Tapanuli juga melakukan pengolahan terhadap lahan. Sementara penduduk setempat juga mengolah lahan perkebunan yang dekat dengan desa.

Masyarakat Sumatera Timur dan buruh yang didatangkan dari Jawa merupakan bagian dari integral dari tatanan sosial Sumatera Timur. Hal ini menunjukkan bahwa Sumatera Timur merupakan area dimana daerah yang masyarakatnya beragam yaitu Melayu, Karo, dan sebagian kecil Simalungun.

Terdapat juga masyarakat Jawa yang tinggal di pondok-pondok dan hidup menetap di Sumatera Timur. Maka itu jika melihat kondisi sekarang, tidak sulit untuk menemukan orang Jawa atau bahkan perkampungan yang dihuni oleh orang Jawa di wilayah Sumatera Timur yang masuk dalam Provinsi Sumatera Utara.

3.2. Kronologi Perubahan Kepemilikan Lahan

Cerita dari Pak Tukiran mengawali kisah perjuangan warga masyarakat penunggu perkebunan Ramunia.

“Dulu Belanda itu meninggalkan perkebunan sekitar tahun 1952 atau 1953 gitulah, pada saat itu orang-orang tua kita

merupakan buruh perkebunan, ya kerja sama Belanda, tapi kebutuhan orang-orang tua kita dipenuhi sama Belanda itu, mulai dari beras, pakaian, rumah, dan kebutuhan lain. Waktu Belanda pigi dari sini, orang itu menawarkan kepada kita untuk kembali pulang ke Jawa tapi hanya sebagian saja yang pulang, orang tua kita banyak juga yang gak mau pulang, namanya uda berpuluh-puluh tahun di sini sejak tahun 1917 didatangkan dari Jawa.”

Keterikatan terhadap sebuah wilayah yang sudah menjadi tempat tinggalnya, walaupun bukan kampung halamannya. Masyarakat belum mengetahui bagaimana nasibnya ke depan, apakah mereka masih menjadi buruh di perkebunan tersebut, atau apakah mereka mendapatkan lahan. Hal ini dikarenakan tidak ada jaminan dari pihak Belanda bahwa tanah perkebunan dapat diolah oleh masyarakat. Tentu ini menjadi dilema di kalangan masyarakat sendiri.

Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk bertahan di perkebunan tersebut, tidak bertahan dalam hal ini yaitu hubungan mereka dengan pemilik perkebunan atau tuan tanah yang pergi meninggalkan mereka sehingga berdampak pada pekerjaan dan kebutuhan sehari-hari.

Pandangan yang dipahami oleh Pak Tukiran berbeda dengan kondisi keluarnya perusahaan Belanda yang keluar dari Indonesia secara umum dan secara khusus di Sumatera Timur. Semua Perkebunan milik pengusaha dari Belanda dinasionalisasikan sesuai UU No. 86 Tahun 1958 yang langsung ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Desember 1958. Catatan-catatan penjelasan Mengungkapkan tujuan Undang-undang yakni, untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia, memperkuat kemampuan nasional, dan menghapus diskriminasi ekonomi dan penaklukan ekonomi kolonial (Pelzer, 1985; 215). Sejak ini, Perusahaan Belanda resmi keluar dari Indonesia dimana

kemudian beralih kepada pengusaha-pengusaha peribumi. Dalam hal ini, sangat jelas perbedaan pemahaman dari seorang informan, Pak Tukiran memahami Belanda keluar dari perkebunan pada tahun 1952. Menurut informasi dari Pak Tukiran, pada tahun 1952 Belanda sudah tidak lagi mengolah perkebunan sehingga masyarakat buruh di perkebunan Ramunia bercocok tanam di Perkebunan. Sementara itu, pada masa ini Perusahaan Belanda masih mengupayakan perkebunan tersebut kepada pemerintah.

Secara umum, perkebunan yang ditinggalkan oleh Belanda banyak memunculkan masalah-masalah baru, terutama masalah kepemilikan lahan, apakah sebagian diberikan kepada masyarakat penunggu yang merupakan bekas buruh perkebunan tersebut. Hal ini memicu timbulnya konflik lahan di Indonesia, terutama di Sumatera Timur. Masyarakat memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di lingkungan yang telah lama mereka diami dengan arah kehidupan yang akan berubah dan belum jelas. Apabila masyarakat pulang ke Pulau Jawa, maka mereka tinggal di kampung halamannya yang asli dan bahkan menurut informan bahwa apabila mereka kembali ke Jawa pada masa itu, mereka tidak tahu harus ke mana dan tinggal di mana. Ini sama-sama menimbulkan suasana yang berbeda dan tidak mengetahui bagaimana nasib mereka ke depannya. Hidup menjadi perjuangan baru yang harus benar-benar diperjuangkan, menghidupi anak cucu yang membutuhkan asupan gizi untuk bertahan. Pak Tukiran berkata,

”Selesai Belanda pigi dari sini, kira-kira tahun 1959 itu ada pengusaha orang Tionghoa, kalo ga salah namanya Huat Tseng, itulah dia yang mengolah perkebunan kelapa ini, dia mempekerjakan orang-orang tua kami dan kami yang sudah bisa kerja, tapi kalo Wawak dulu Yan masih sekolah SR (Sekolah Rakyat), tapi ini Cuma 2 tahun aja, baru setelah itu

masuklah PT Karya Bumi.” Itu pun sekitar tahun 60-an gitulah, namanya uda ganti jadi PT Gelorata. Barulah sejak PT ini yang mengolah perkebunan, yang tinggal di pondok dapat jatah tanah 15 rante per kepala keluarga.”

Buruh-buruh perkebunan Ramunia dapat mengolah lahan di bawah perkebunan kelapa. Berbagai tanaman seperti padi darat, sayuran dan lainnya ditanam. Dalam hal ini, buruh mempunyai pendapatan sampingan yang dapat menambah perekonomian. Perubahan status dalam masyarakat berlaku, yaitu dari yang berprofesi sebagai buruh menjadi petani. Bagi mereka sebagai petani akan mengolah lahan dan menikmati hasilnya dengan sendiri merupakan hal yang mempunyai kenikmatan tersendiri. Walaupun latar belakang masyarakat bukan dari keluarga petani, tetapi masyarakat dusun Anggrek di sini merupakan petani yang masih bekerja di tempat lain, karena jika mengharapkan dari hasil pertanian, kebutuhan masih tidak cukup. Hal ini membuat masyarakat masih tetap bekerja di perkebunan kelapa. Kebijakan yang dibuat oleh perusahaan perkebunan tersebut mempunyai latar belakang kenapa hal ini dilakukan.

Terkait dengan hal di atas, perkebunan yang semula merupakan bekas hak konsesi NV Sinembah Mattscapaaj diberikan oleh Menteri Pertanian dan Agraria berdasarkan surat keputusan Nomor SK.II/26/Ka/63 pada tanggal 30 September 1963 kepada PT. Karya Bumi dengan HGU (Hak Guna Usaha) seluas 738 hektar selama 25 tahun. Dalam hal ini PT Karya Bumi merupakan milik pengusaha suku Tinghoa yang hanya sebentar mengelola perkebunan tersebut. Kemudian sesuai

dengan akte perubahan Nomor 30 tanggal 11 Oktober 1963, PT Karya Bumi berubah namanya menjadi PT Gelorata10.

“ya PT, Gelorata itu ngasi tanah ke kami, dijatah 15 rante per kepala keluarga.” Tentu saja ini menumbuhkan pertanyaan mengapa atau kenapa. “PT Gelorata ini tidak seperti waktu Belanda dulu, kalo Belanda dulu selalu ngasi kebutuhan kami semua, sedangkan PT Gelorata ini tidak, ya ini lah termasuk yang dikasi orang itu, kami boleh ngerjain tanah yang uda dijatah.”

Masyarakat penunggu yang diistilahkan oleh masyarakat dusun Anggrek Baru pada waktu itu mendapat jatah perkebunan tanpa harus membayar sewa, berbeda dengan masyarakat dari beberapa desa lain yang harus menyewa lahan untuk bisa bercocok tanam di wilayah perkebunan. Sekitar 20 tahun masyarakat mengelola lahan perkebunan, perkebunan tersebut diselingi oleh berbagai tanaman masyarakat. Ini tidak berlaku secara terus menerus, tetapi terdapat suatu kondisi yang berbeda terjadi dimana masyarakat sudah tidak dapat lagi bercocok tanam di perkebunan Ramunia bersamaan dengan perubahan status perkebunan tersebut.

Pada tahun 1984, aset tanah Perkebunan Ramunia dikuasai oleh Puskopad A Dam I/BB berdasarkan Surat Perintah Panglima Kodam II/BB Letjen (Purn) Harsudiyono Hartas tanggal 11 September 1984 No. Sprin/830/IX/1984 11. Masuknya Puskopad ke Perkebunan Ramunia membuat perumahan, tanah yang ditempati dan dikelola masyarakat digusur secara paksa. Terdapat 4 pemukiman buruh perkebunan yaitu Pondok Tengah, Pondok Kresek, Pondok Lembu, dan Pondok Pasar 12. Kemudian ke empat Pondok ini direlokasi oleh Puskopad DAM I BB. Pemukiman masyarakat sebelumnya tersebar di seluruh Wilayah

10 Data BPN Deli Serdang, Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor: 3/HGU/BPN/93 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama Puskopad A DAM I/Bukit Barisan.

11 ibid

Perkebunan seluas 738 hektar. Tapi penggusuran tersebut membuat pemukiman 125 kepala keluarga yang tersebar di 768 hektar itu direlokasi ke lahan yang luasnya hanya 5 hektar. Rumah penduduk yang terbuat dari kayu diangkat bersama-sama oleh masyarakat ke tempat relokasi. Pemindahan ini dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini terjadi karena alat berat telah siap untuk merobohkan rumah sehingga masyarakat tidak berani melawan dan terpaksa harus menerima penggusuran tersebut.

Pergantian kepemilikan lahan ini memicu penggantian perkebunan tersebut.

Penggantian ini membuat perkebunan yang sebelumnya ditanami kelapa dan diselingi tanaman masyarakat berubah menjadi lahan kelapa sawit. Hal ini membuat masyarakat tidak dapat bercocok tanam lagi di lahan tersebut sehingga mereka kembali bekerja menjadi buruh di perkebunan. Sebagian dari masyarakat bekerja di tempat lain sebagai pekerja bangunan, tambak dan lain sebagainya.

Semenjak ini terjadi, banyak juga masyarakat yang merantau ke daerah lain.

Keadaan masyarakat menjadi semakin susah terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pengalihan lahan yang menjadi milik Puskopad dan dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Lahan perkebunan mulai ditanami kelapa sawit dimulai pada tahun 1984 oleh organisasi ABRI tersebut. Lahan yang dipakai untuk kelapa sawit seluas 200 hektar, kemudian pada tahun 1985 tanaman kelapa sawit semakin luas ditanami di bekas lahan perkebunan kelapa tersebut. Pada tahun ini, seluas 300 hektar sawit di tanam lagi sehingga luas tanaman kelapa sawit ini menjadi 569,32 hektar.

Kemudian pada tahun 1986, 12 hektar lahan menjadi milik beberapa pensiunan

ABRI, lahan ini di luar lahan yang ditanami kelapa sawit, selanjutnya sampai tahun 1989 sekitar 19 hektar lahan bertambah. Lahan ini diperuntukkan untuk perumahan pensiunan ABRI. Di antara lahan perkebunan tersebut, terdapat sekitar 161,2 hektar yang tidak ditanami kelapa sawit dan tidak diolah. Lahan ini dibiarkan begitu saja, tetapi walaupun lahan tersebut kosong masyarakat tidak dapat mengolah lahan tersebut. Lahan di luar HGU (Hak Guna Usaha) tersebut yang luasnya 161,2 hektar tidak termasuk dalam HGU Puskopad. Tanah ini berada di luar di Blok 18, 25, 26, dan 27. Lahan ini dikelola oleh pensiunan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa lahan tersebut tidak diolah atau ditanami kelapa sawit, apakah lahan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat penunggu atau lahan tersebut dibiarkan begitu saja menjadi semak belukar. Sementara itu masyarakat Desa lain yaitu desa Ramunia 1 berhasil merebut tanah tersebut seluas 70,2 hektar dari pensiunan TNI tersebut dan selanjutnya kepala daerah Tingkat 2 Deli Serdang mengakui pengambilan lahan oleh warga Ramunia 1 tersebut pada tahun 1990. Kemudian hal ini merupakan salah satu yang mendasari kenapa masyarakat memperjuangkan lahan tersebut sejak akhir tahun 1991 sampai 1994.

3.3. Perjuangan Lahan

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang Dasar membuktikan bahwa kekayaan negara termasuk dalam hal ini lahan merupakan hak bagi masyarakat.

Kemudian pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dipertegas lagi oleh

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang-Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Undang-Undang ini bertujuan untuk menghilangkan dualisme di antara hukum-hukum tanah. UUPA berpedoman pada hukum-hukum adat sebagai sumber hukum-hukum rakyat. Tujuannya bagus, tetapi praktis tinggal nama, terutama setelah G-30-S PKI. Saragih menegaskan bahwa Mandat dari UU No. 5 Tahun 1960 sangat tegas ingin mendobrak ketidakadilan struktural untuk mempersiapkan prakondisi sosial demi membagun kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur12.

Masyarakat di Desa Perkebunan Ramunia merupakan masyarakat buruh yang semakin tidak jelas kehidupannya. Tidak jelas dalam hal ini yaitu mengenai status masyarakat sebagai masyarakat penunggu, tidak memiliki apa-apa dan hanya tinggal di barak-barak peninggalan Belanda yang merupakan tuan tanah pada masa penjajahan dulu.

3.3.1. Awal Perjuangan Masyarakat

Perjuangan masyarakat bermula pada akhir tahun 1991, saat itu Pak Tukiran yang merupakan informan kunci penulis menyebutkan bahwa saat itu mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana cara berjuang mendapatkan lahan seluas 91 hektar yang tidak ditanami oleh organisasi ABRI. Dasar perjuangan bagi masyarakat adalah bahwa mereka lahir dan dibesarkan di desa tersebut, masyarakat yang berjuang ini merupakan generasi kedua, mereka lahir dan besar di Perkebunan Ramunia sedangkan orang tua mereka merupakan pendatang atau

12 Henry Saragih, Makalah Serikat Petani Indonesia “Urgensi Reforma Agraria Sebagai Model Penyelesaian Konflik dan Pemenuhan Hak Asasi Petani,” Disampaikan pada diskusi Publik Reforma Agraria, diselenggarakan oleh KontraS Sumut, KAHMI Kota Medan dan Departemen Perdata Fakultas Hukum USU, tanggal 12 Oktober 2016 di Peradilan Semu FH USU

buruh yang didatangkan oleh perkebunan Belanda. Masyarakat tidak bisa menduduki atau mengolah lahan, padahal terdapat lahan yang tidak diolah seluas 91 hektar, masyarakat selalu bertanya-tanya sebenarnya tanah itu adalah hak untuk masyarakat penunggu bekas buruh perkebunan Ramunia. Dalam hal ini masyarakat tidak memahami bagaimana sebenarnya realisasi dari UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960 yang mengatakan bahwa tanah bekas perkebunan Belanda menjadi milik masyarakat. Ini menegaskan bahwa semangat sebuah perjuangan dan ingatan yang tajam untuk mengingat masa lalu.

Selain itu dalam UUPA pasal 34 ayat , menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan hapusnya HGU (Hak Guna Usaha) adalah ditelantarkan. Ini menguatkan masyarakat menduduki lahan 91 hektar yang tidak diusahai oleh perkebunan Puskopad.

3.3.2. Masuknya BITRA dan Mahasiswa Sebagai Pendamping

Berawal dari keikutsertaan Pak Tukiran dengan sebuah salah satu partai politik, Pak Tukiran memiliki relasi dengan orang-orang penting di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah seorang politisi partai tersebut mengatakan kepada Pak Tukiran bahwa lahan seluas 91 hektar bisa diperjuangkan asalkan masyarakat mau memperjuangkannya. Pak Tukiran tertarik apa yang dikatakan oleh seorang teman politisinya, tapi dia tidak memahami bagaimana cara berjuang mendapatkan lahan sehingga meminta bantuan kepada temannya tersebut. Kemudian dihubungkanlah masyarakat dengan BITRA.

BITRA13 (Bina Keterampilan Pedesaan) Indonesia atau yang sering disebut BITRA adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelahiran BITRA Indonesia dimotori oleh 5 orang anak muda (saat itu) yang terdiri dari Soekirman, Wahyudhi, Sabirin, Swaldi dan Listiani, didasari oleh keberpihakan kepada masyarakat miskin, lemah, kurang mampu dan kurang beruntung.

Berangkat dari prinsip dasar itu, sejak tahun 1986, BITRA Indonesia mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan pengembangan sumber daya manusia pedesaan di Sumatera Utara. Sejak 1986 BITRA Indonesia mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan pengembangan sumberdaya manusia di pedesaan untuk wilayah Sumatera Utara dengan cara melakukan penguatan melalui kelompok-kelompok masyarakat.

Salah satu aktivitas yang dilakukan BITRA14 adalah mendampingi petani dalam pembelaan kasus-kasus atas tanah rakyat di empat kabupaten antara lain Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Padang Lawas (Palas) Deli Serdang, Langkat & Aceh Timur. Program advokasi BITRA Indonesia berbentuk kegiatan yang bersifat litigasi dan non litigasi yang dilakukan melalui Pendidikan Rakyat, Kampanye Kasus-kasus Tanah Rakyat, Kampanye Isu Agraria, Membangun Jaringan dan Studi Banding. Selain itu, memperkuat kapasistas kelembagaan rakyat, seperti penguatan dan pengembangan organisasi rakyat, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi, merupakan pengembangan yang dilakukan di belakang hari pada program advokasi ini. Advokasi kebijakan juga dilakukan dalam bentuk mendorong pemerintahan lokal (kabupaten dan propinsi) membuat

13 http://bitra.or.id/2012/tentang-kami/ diakses pada Rabu, 20 Januari 2016, Pukul 11.25 WIB.

14 http://bitra.or.id/2012/advokasi/ diakses pada Rabu, 20 Januari 2016, Pukul 11.34 WIB

aturan (Perda) yang berpihak pada rakyat. Perda-perda yang didorong diawali dengan riset ini adalah Perda-perda yang bersifat terkait dengan dunia pertanian, agraria dan pemberdayaan masyarakat pedesaan.

”Dulu waktu datang BITRA ke sini, Bapak nggak yakin apa bisa.... ya karna mereka itu masih muda-muda, masih lajang, ada yang masih kuliah lagi, ya sebaya-baya kau lah Yan... terus

”Dulu waktu datang BITRA ke sini, Bapak nggak yakin apa bisa.... ya karna mereka itu masih muda-muda, masih lajang, ada yang masih kuliah lagi, ya sebaya-baya kau lah Yan... terus