• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERJUANGAN LAHAN

3.3 Perjuangan Lahan

3.3.1 Awal Perjuangan Masyarakat

Perjuangan masyarakat bermula pada akhir tahun 1991, saat itu Pak Tukiran yang merupakan informan kunci penulis menyebutkan bahwa saat itu mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana cara berjuang mendapatkan lahan seluas 91 hektar yang tidak ditanami oleh organisasi ABRI. Dasar perjuangan bagi masyarakat adalah bahwa mereka lahir dan dibesarkan di desa tersebut, masyarakat yang berjuang ini merupakan generasi kedua, mereka lahir dan besar di Perkebunan Ramunia sedangkan orang tua mereka merupakan pendatang atau

12 Henry Saragih, Makalah Serikat Petani Indonesia “Urgensi Reforma Agraria Sebagai Model Penyelesaian Konflik dan Pemenuhan Hak Asasi Petani,” Disampaikan pada diskusi Publik Reforma Agraria, diselenggarakan oleh KontraS Sumut, KAHMI Kota Medan dan Departemen Perdata Fakultas Hukum USU, tanggal 12 Oktober 2016 di Peradilan Semu FH USU

buruh yang didatangkan oleh perkebunan Belanda. Masyarakat tidak bisa menduduki atau mengolah lahan, padahal terdapat lahan yang tidak diolah seluas 91 hektar, masyarakat selalu bertanya-tanya sebenarnya tanah itu adalah hak untuk masyarakat penunggu bekas buruh perkebunan Ramunia. Dalam hal ini masyarakat tidak memahami bagaimana sebenarnya realisasi dari UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960 yang mengatakan bahwa tanah bekas perkebunan Belanda menjadi milik masyarakat. Ini menegaskan bahwa semangat sebuah perjuangan dan ingatan yang tajam untuk mengingat masa lalu.

Selain itu dalam UUPA pasal 34 ayat , menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan hapusnya HGU (Hak Guna Usaha) adalah ditelantarkan. Ini menguatkan masyarakat menduduki lahan 91 hektar yang tidak diusahai oleh perkebunan Puskopad.

3.3.2. Masuknya BITRA dan Mahasiswa Sebagai Pendamping

Berawal dari keikutsertaan Pak Tukiran dengan sebuah salah satu partai politik, Pak Tukiran memiliki relasi dengan orang-orang penting di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah seorang politisi partai tersebut mengatakan kepada Pak Tukiran bahwa lahan seluas 91 hektar bisa diperjuangkan asalkan masyarakat mau memperjuangkannya. Pak Tukiran tertarik apa yang dikatakan oleh seorang teman politisinya, tapi dia tidak memahami bagaimana cara berjuang mendapatkan lahan sehingga meminta bantuan kepada temannya tersebut. Kemudian dihubungkanlah masyarakat dengan BITRA.

BITRA13 (Bina Keterampilan Pedesaan) Indonesia atau yang sering disebut BITRA adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelahiran BITRA Indonesia dimotori oleh 5 orang anak muda (saat itu) yang terdiri dari Soekirman, Wahyudhi, Sabirin, Swaldi dan Listiani, didasari oleh keberpihakan kepada masyarakat miskin, lemah, kurang mampu dan kurang beruntung.

Berangkat dari prinsip dasar itu, sejak tahun 1986, BITRA Indonesia mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan pengembangan sumber daya manusia pedesaan di Sumatera Utara. Sejak 1986 BITRA Indonesia mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan pengembangan sumberdaya manusia di pedesaan untuk wilayah Sumatera Utara dengan cara melakukan penguatan melalui kelompok-kelompok masyarakat.

Salah satu aktivitas yang dilakukan BITRA14 adalah mendampingi petani dalam pembelaan kasus-kasus atas tanah rakyat di empat kabupaten antara lain Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Padang Lawas (Palas) Deli Serdang, Langkat & Aceh Timur. Program advokasi BITRA Indonesia berbentuk kegiatan yang bersifat litigasi dan non litigasi yang dilakukan melalui Pendidikan Rakyat, Kampanye Kasus-kasus Tanah Rakyat, Kampanye Isu Agraria, Membangun Jaringan dan Studi Banding. Selain itu, memperkuat kapasistas kelembagaan rakyat, seperti penguatan dan pengembangan organisasi rakyat, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi, merupakan pengembangan yang dilakukan di belakang hari pada program advokasi ini. Advokasi kebijakan juga dilakukan dalam bentuk mendorong pemerintahan lokal (kabupaten dan propinsi) membuat

13 http://bitra.or.id/2012/tentang-kami/ diakses pada Rabu, 20 Januari 2016, Pukul 11.25 WIB.

14 http://bitra.or.id/2012/advokasi/ diakses pada Rabu, 20 Januari 2016, Pukul 11.34 WIB

aturan (Perda) yang berpihak pada rakyat. Perda-perda yang didorong diawali dengan riset ini adalah Perda-perda yang bersifat terkait dengan dunia pertanian, agraria dan pemberdayaan masyarakat pedesaan.

”Dulu waktu datang BITRA ke sini, Bapak nggak yakin apa bisa.... ya karna mereka itu masih muda-muda, masih lajang, ada yang masih kuliah lagi, ya sebaya-baya kau lah Yan... terus banyak juga mahasiswa yang datang ke kita untuk membantu, mereka nginap dan tinggal sama kita..!”

Pelaksana program di BITRA sendiri masih tergolong usia muda, mereka turut membantu perjuangan masyarakat. Sebelum masuknya BITRA dan para mahasiswa, masyarakat sudah pernah berjuang dengan sendirinya. Perjuangan dilakukan oleh 125 kepala keluarga meliputi lebih kurang 500 orang masyarakat, terdiri dari 300 laki-laki, dan 200 perempuan. Kemudian pada tahun 1992, masyarakat mendirikan BPMR (Badan Perjuangan Masyarakat Ramunia) yang merupakan sebuah organaisasi rakyat dan sebagai wadah bagi perjuangan yang dilakukan.

Dalam Mustain (2007) dijelaskan mengenai proses memobilisasi suatu gerakan perlawanan dipengaruhi oleh seorang aktor yang berpeluang mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal. Dalam hal ini jelas Pak Tukiran merupakan orang yang memobilisasi masyarakat dusun Anggrek untuk berjuang mendapatkan lahan.

Masuknya BITRA semakin membuat perjuangan masyarakat semakin kuat.

Pendampingan yang dilakukan BITRA menguatkan masyarakat secara organisasi.

Organisasi ini menjadi sangat baik yaitu meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, tim lapangan, tim keamanan, tim logistik, tim gerakan massa, kurir,

tim dokumentasi, tim data dan peta. Dalam melakukan perjuangan, masyarakat juga mengumpulkan uang iuran sebesar Rp 2000,- perbulannya. Ini semua dikelola oleh BPMR (Badan Perjuangan Masyarakat Ramunia).

Perjuangan masyarakat ini dilakukan dengan cara menduduki lahan yang sedang diperjuangkan. Tapi beberapa kali mereka melakukan hal ini, tetap saja gagal, lahan yang mereka tanami selalu dihabisi oleh pihak perkebunan. Pak Tukiran dapat dikatakan sebagai pemimpin. Dalam hal ini pemimpin masyarakat dalam melakukan perjuangan tanah, Pak Tukiran sebagai sosok pemberani yang diikuti oleh masyarakat. masyarakat menunjuk Pak Tukiran sebagai pemimpin mereka karena keberaniannya untuk berjuang dan memahami segala hal tentang hak-hak masyarakat penunggu. Seperti apa yang dikatakan Pak Misran,

“Dulu Pak Tukiranlah pemimpin kami ini, ooo kalo dulu dia paling berani ni, makanya ya kami jadikan pemimpin kami, ya kami pun jadinya semangat untuk berjuang, apalagi semenjak dateng BITRA sama mahasiswa ke sini!.”

Peran seseorang sangat berpengaruh dalam memotivasi orang-orang di sekitarnya. Beberapa kali sebelum masuknya BITRA dan mahasiswa mendampingi perjuangan masyarakat, perjuangan selalu berujung kegagalan. Ini justru tidak menurunkan semangat seorang Pak Tukiran yang masih terus berusaha sehingga ini berdampak pada semangat masyarakat lainnya. Usaha Pak Tukiran membuahkan hasil yaitu dengan masuknya BITRA dan mahasiswa membantu perjuangan masyarakat. Awal kedatangan BITRA dan mahasiswa ke Perkebunan Ramunia membuat Pak Tukiran sempat tidak yakin karena yang datang adalah pemuda-pemuda yang usianya 20-30 tahun, tetapi ini tidak membuat Pak Tukiran menjadi pesimis, malah semakin membuatnya semangat.

Pak Tukiran sangat senang karena mereka didukung oleh pemuda-pemuda berpendidikan yang peduli akan kondisi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Pak Tukiran,

“Ya BITRA dan mahasiswa selalu itu ngajak kami diskusi, ya kami bingung, apa itu diskusi, kami mana tau istilah itu?.”

Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat dusun Anggrek Baru ini mencerminkan kondisi keterpaksaan yang menyebabkan perlawananan itu dibangkitkan. Perlawanan yang dilakukan selalu memperoleh hasil yang tidak pasti dan bahkan selalu gagal. Masyarakat berusaha bercocok tanam di lahan yang diperjuangkan dan selalu berhujung pengrusakan tanaman yang dilakukan oleh pihak Puskopad. Perlawanan yang dilakukan tidak langsung memperoleh hasil, tapi bisa dikatakan sebagai proses dari perjuangan dan tetap terus berupaya.

Pelaku-pelaku utama perjuangan baik dari masyarakat atau pendampingnya yang dalam hal ini BITRA bergerak di bawah perlindungan dan larut dalam penduduk sipil untuk bersembunyi.

Salah satu strategi dalam memperjuangkan lahan yaitu dengan Reclaiming (Upaya mengklaim) dengan menduduki tanah yang diperjuangkan. Masyarakat membangun gubuk-gubuk di tanah yang direklaiming, menanami dengan tanaman pangan seperti jagung, pisang dan lain sebagainya. Dalam melakukan pendampingan, pihak BITRA dan mahasiswa menginap dan tinggal bersama masyarakat. Mereka juga ikut dalam aktivitas keseharian masyarakat seperti bercocok tanam di lahan yang diperjuangkan.

BITRA dan Mahasiswa yang mendukung dan memperkuat perjuangan lahan masyarakat membuat pihak Puskopad mencari mereka serta berupaya membatasi

orang-orang yang membantu perjuangan masyarakat dusun Anggrek. Ini membuat Puskopad melakukan penjagaan di sekeliling lahan yang diperjuangkan masyarakat. Pihak aparat negara dalam hal ini ABRI langsung berada dan berjaga-jaga di lahan yang sedang diperjuangkan masyarakat waktu itu. Kegagahan aparat dengan pakaian dan senjata tidak menciutkan nyali masyarakat untuk tetap berjuang, masyarakat beserta pendukungnya tetap bersatu, berdiskusi dan membangun rencana-rencana dan strategi dalam berjuang sambil menduduki lahan perjuangan. Bukan aparat negara saja yang bisa berjaga-jaga, masyarakat juga melakukan penjagaan yang ketat di setiap sudut lahan yang di perjuangkan, dan menjaga tempat yang menjadi area musyawarah masyarakat. Biasanya pihak-pihak yang berpengaruh dalam perjuangan tersebut sering bersembunyi dari pihak-pihak aparat negara yang berjaga. Mereka selalu jadi sasaran untuk ditangkap, termasuk pihak BITRA dan mahasiswa, tetapi penangkapan justru tidak pernah terjadi.

Pihak BITRA dan Mahasiswa tidak juga menyerah begitu saja. Mereka membuat strategi untuk masuk ke perkampungan dengan menyamar sebagai tukang pisang.

Beberapa orang dari BITRA sampai membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) sebagai masyarakat Desa Perkebunan Ramunia. Ini membuat masyarakat semakin percaya diri untuk berjuang mendapatkan lahan tanpa perduli dengan sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.

Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguh-sungguh”

dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Perlawanan “insidental” ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d)

dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan: (a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi bersama.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa perjuangan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan secara sungguh-sungguh. Masyarakat mempunyai organisasi yang menjadi ruang bagi terwujudnya persatuan untuk mencapai tujuan bersama. Walaupun terdapat hal yang berbeda dalam organisasi BPMR (Badan Perjuangan Masyarakat Ramunia) yaitu seolah-olah organisasi ini tidak memiliki struktur. Ini menjadi strategi untuk mencegah pihak Puskopad yang selalu mencari tau pemimpin organisasi tersebut sehingga dalam berjuang, masyarakat mengatasnamakan dirinya sebagai BPMR. Perjuangan tersebut dilakukan masyarakat tanpa pamrih karena bagi masyarakat ini adalah perjuangan bersama dan cita-cita bersama.

3.3.3. Berjuang Melalui Jalur Hukum

Perjuangan ini dilakukan secara terus menerus demi terwujudnya cita-cita masyarakat dusun Anggrek Baru atau masyarakat penunggu. Perjuangan masyarakat melalui hukum di dampingi oleh pengacara-pengacara atau tim kuasa hukum LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan yang dihubungkan oleh BITRA

untuk membela masyarakat. Perjuangan ini biasa dilakukan dengan membuat surat yang ditujukan kepada pengadilan, badan pertanahan, dan kepada anggota DPRD dengan perihal meminta penyelesaian. Adapun dana untuk membayar pengacara-pengacara yang mendampingi masyarakat berasal dari dana kolektif atau dana kutipan kepada masyarakat yang sedang berjuang. Sungguh heran apabila mendengar masyarakat yang tidak memiliki kerja yang tetap, dan melakukan perjuangan tanah memiliki uang. Tapi masyarakat rela berkorban demi apa yang menjadi impiannya yaitu memperoleh lahan. Pada saat berjuang, masyarakat sambil bekerja tidak tetap menjadi buruh tani, apabila terdapat dana untuk keperluan perjuangan, masyarakat rela menyisihkan uangnya untuk hal-hal seperti ini. Bahkan sampai meminjam uang kepada kerabat dan teman. Ini juga dilakukan oleh Pak Tukiran dan beberapa orang informan. Berjuang melalui jalur hukum ini tidak membuahkan hasil bagi masyarakat, tapi justru tidak menciutkan semangat untuk tetap berjuang.

3.2.4. Aksi Demonstrasi

Berbeda apabila perjuangan ini dilakukan pada era sekarang yang serba terbuka dan setiap orang bebas berbicara politik. Perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi di era orde baru yang dikenal dengan rezim yang otoriter, masyarakat tidak berhak bersuara, apalagi sampai mengkritik pemerintah.

Ditambah lagi perjuangan yang dilakukan masyarakat dusun Anggrek Baru adalah melawan pemerintah dan aparat negara yang langsung turut serta dalam kepemilikan lahan perkebunan Ramunia.

Masuknya BITRA dan mahasiswa ke Dusun Anggrek membuat perubahan.

Dalam pembicaraan itu terdengar suara tertawa dari Pak Misran yang sedang ngobrol santai bersama,

“Hahahahaha, lucu lah kalo inget itu, sering kali orang itu ngajak diskusi, rupanya itu diskusi ya ngumpul dan ada yang dibahas, ya kayak musyawarah gitu, baru tau lah kita.

Masyarakat penunggu selalu diajak berdiskusi, diskusi biasa dilakukan malam hari, kalo diskusi ya kita membahas apa saja yang mau kita perjuangkan, misalnya kalo kita mau aksi, terus menduduki lahan yang kita perjuangkan, pokoknya banyak lah yang selalu kita diskusikan!.”

Diskusi dilakukan untuk membicarakan strategi-strategi yang akan dilakukan saat menjelang turun ke jalan. Turun ke jalan dalam hal ini yaitu melakukan aksi demonstrasi ke kantor pemerintahan. Masyarakat Desa Perkebunan Ramunia merupakan orang-orang yang pertama melakukan aksi demonstrasi di Sumatera Utara saat zaman orde baru, padahal zaman orde baru sangat anti dengan aksi-aksi demonstrasi. Pada masa orde baru, masyarakat tidak berani melakukan aksi demonstrasi.

“Dulu tahun 1994, kita lah yang pertama kali melakukan aksi demontrasi, itu kita lakukan pertama di depan kantor DPRD Kabupaten Deli Serdang, pas kita aksi waktu itu, banyak kali orang berhenti nengokin kita.”

Pak Tukiran juga mengatakan bahwa mereka awalnya takut melakukannya, tapi ketakutannya hilang karena apa yang dituntut adalah hak-hak masyarakat. Selain itu, ketakutan tersebut menjadi hilang karena persatuan masyarakat yang kuat serta dalam melakukan aksi-aksi demonstrasi, BITRA dan mahasiswa selalu mendampingi masyarakat.

Aksi Massa atau Demonstrasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dihadapan pengambil kebijakan. Demonstrasi melibatkan BITRA dan mahasiswa, selain menduduki lahan yang diperjuangkan, demo merupakan cara agar tuntutan masyarakat dapat didengar oleh pengambil kebijakan. Walaupun saat itu merupakan zaman Orde Baru, dimana masyarakat ataupun siapapun dilarang membahas hal-hal yang berbau politik, apalagi sampai melakukan aksi demonstrasi. Tetapi masyarakat dusun Anggrek Baru, BITRA, dan mahasiswa tidak menghiraukan hal tersebut demi berjuang untuk menuntut hak-hak masyarakat.

Berbagai aksi demonstrasi dilakukan di Kantor DPRD Deli Serdang, Kantor Bupati Deli Serdang, Kantor DPRD Sumatera Utara, dan Kantor Gubernur Sumatera Utara. Aksi demonstrasi dilakukan sampai berhari-hari bahkan sampai satu minggu. Aksi melibatkan anak-anak dan perempuan, sedangkan remaja dan pemuda tinggal di tanah perjuangan. Demonstrasi yang dilakukan selama berhari-hari membutuhkan logistik makanan untuk yang turun melakukan aksi demonstrasi. Kebutuhan logistik biasanya disiapkan oleh kaum perempuan yang tinggal di desa, mereka khusus ditugaskan untuk menyiapkan makanan. Makanan biasanya datang di siang hari dan menjelang malam. Sementara untuk sarapan, demonstran yang menginap memasak sendiri di tempat melakukan demo menggunakan peralatan-peralatan yang sudah dibawa sejak awal melakukan aksi.

Cara membawa makanan ini juga merupakan salah satu strategi-strategi yang dilakukan, mengapa hal ini strategi, seorang informan yaitu Pak Sopat berkata dengan wajah yang semangat,

“Itu kalo ingat pas demo berhari-hari, ngerilah, tapi ada makannya lahap kali dan anak-anak kecil yang kami bawa demo banyak yang nanges karena rebutan ini. Kami lihat orang-orang yang lewat dan, bahkan orang kantor tempat kami demo ngeliatin kami semua makan sampek mereka pun iba melihat kami makan nasi jagung sampek rebutan, karna kelaparan dan kecapekan, mungkin mereka beranggapan nasi jagung aja sampek rebutan, dan ada juga yang sampek nangis lihat kami makan. Jadi kami pun banyak dapat bantuan makanan dari orang yang lewat, dari orang kantor itu dan yang lainnya berupa beras, ikan, minuman, dan lain-lain lah.”

Makan nasi jagung, rebutan makanan, dan anak-anak yang menangis merupakan salah satu strategi aksi yang sengaja dirancang dalam manajemen aksi.

Ini dilakukan untuk menarik perhatian orang-orang terutama para pejabat dan wakil rakyat agar melihat, menerima aspirasi, dan ikut merasakan penderitaan demonstran. Sementara itu, makanan yang disiapkan dari desa tetap diantarkan juga di siang menjelang sore sekaligus makanan untuk malam. Makanan yang diantar ini merupakan makanan dengan sayur dan lauk yang lengkap. Sementara pihak yang demonstran menginap di kantor teras tempat melakukan aksi demo, kemudian pada pagi hari masyarakat melanjutkan aksi demo kembali. Untuk sarapan pagi, masyarakat kembali memasak makanan, tetapi dalam hal ini makanan yang dimasak adalah jagung, ubi kayu, dan pisang dari hasil tanaman di tanah perjuangan dan makanan ini hanya direbus. Hal ini dilakukan untuk hal yang sama seperti makan beras jagung. Inilah yang membuat Pak Sopat dan Pak Tukiran mengatakan bahwa perjuangan waktu demo ini sedih dan terdapat hal-hal

lucu yang membuat mereka meratapi kekelaman perjuangan masa lalu dalam pembicaraan penuh semangat dan tawa.

3.2.5. Penjagaan Lahan

Pihak-pihak remaja dan pemuda bertugas menjaga keamanan lahan yang diperjuangkan, hal ini dilakukan untuk menghindari pengrusakan tanaman-tanaman masyarakat di tanah yang diperjuangkan dari pihak yang menjadi lawan masyarakat. Pemuda-pemuda ini melakukan penjagaan tanpa henti sehingga membuat tugas dan jadwal siang dan malam. Dalam hal ini, pemuda selalu siap menghadang pihak-pihak yang datang ke lahan terutama dari pihak ABRI.

peran remaja dan pemuda desa sangat penting di saat masyarakat melakukan aksi demonstrasi ke Lubuk Pakam atau Medan,. Pemuda-pemuda di kampung tidak ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Mereka hanya bertugas menjaga tanaman-tanaman di lahan yang diperjuangkan. Apabila mereka ikut, maka masyarakat meyakini tanaman akan dirusak oleh Puskopad. dalam hal ini, kebersamaan menjadi satu hal yang paling penting bagi mereka untuk tetap melindungi lahan yang diperjuangkan.

3.2.6. Titik Terang Perjuangan Lahan

Berbagai aksi telah dilakukan berulang-ulang dengan didampingi mahasiswa dan BITRA sampai akhir tahun 1994 dimana dilakukan aksi besar-besaran di Kabupaten, Provinsi, dan di Pusat atau di Jakarta secara serentak. Aksi ini menjadi suatu hal penting bagi Masyarakat, beberapa utusan yang turun ke Jakarta bersama BITRA hadir ke Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Guna menyampaikan aspirasinya, Pak Sopat dan Buk Ngatini merupakan

salah satu orang yang hadir ke Jakarta. Buk Ngatini sempat berbicara dengan Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tersebut. Buk Ngatini berkata

“Aku dulu ya jumpa langsung sama Dirjen Kemendagri, dia sampe nanyain aku bahwa jujur gak yang kubilang soal perjuangan kami.

Dirjen Kemendagri itu pun salut dengerin aku dan dia ngomong samaku bahwa baru kali ini kedatangan tamu dari desa, dia pun sangat ramah kemudian nyuruh kami ngerjain lahan yang kami perjuangkan yang kemudian ngasi surat ke kami. Maka abes tu lah kami balek ke Desa dan lalu ngerjain lahan terus pun dapat lagi surat pengakuan dari Kepala Desa dan Camat. Makanya abes itu ga ada lagi larangan kepada kami nanam dan menduduki lahan ini.”

Kedatangan masyarakat ke Kementrian Dalam Negeri tersebut mendapat tanggapan yang baik. Pada tanggal 7 Maret 1955 Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat dengan Nomor : 593/747/PUOD yang berisi meminta agar Gubernur Sumatera Utara segera menyelesaikan persoalan sengketa tanah antara masyarakat dengan Puskopad di Blok 18, 25, 26, dan 27 seluas lebih kurang 91 hektar. Ini membuat perjuangan masyarakat memperoleh hasil, masyarakat tidak pernah mendapat gangguan lagi dari pihak Puskopad lagi dalam arti sengketa antara masyarakat dusun Anggrek dengan Puskopad telah selesai. Tapi dengan adanya keputusan tersebut, timbul masalah baru terkait dengan lahan 91 hektar tersebut. Masalah itu hadir ketika pihak pensiunan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang juga merupakan bagian dari Puskopad berupaya merebut lahan yang telah diperjuangkan oleh masyarakat Dusun Anggrek. Salah satu informan yaitu Pak Misran mengatakan bahwa mereka sempat berkonflik karena hal ini, pihak pensiunan tersebut meminta tanah yang berada di Blok 18 seluas 36 hektar.

Ini membuat permasalahan baru bagi masyarakat dimana harus bertikai dengan

pensiunan TNI yang telah menjadi bagian dari warga desa Perkebunan Ramunia tersebut. Pihak pensiunan TNI tersebut menduduki lahan seluas 36 (tiga puluh enam) hektar tersebut dan karena masyarakat dusun Anggrek tidak mau bertikai dengan sesama masyarakat, maka akhirnya tanah seluas 36 (tiga puluh enam) hektar tersebut dibiarkan menjadi milik pensiunan TNI yang telah menjadi warga Desa Perkebunan Ramunia. Masyarakat Dusun Anggrek merelakan tanah tersebut sehingga lahan yang mereka peroleh hanya 55 (lima puluh lima) hektar.

pensiunan TNI yang telah menjadi bagian dari warga desa Perkebunan Ramunia tersebut. Pihak pensiunan TNI tersebut menduduki lahan seluas 36 (tiga puluh enam) hektar tersebut dan karena masyarakat dusun Anggrek tidak mau bertikai dengan sesama masyarakat, maka akhirnya tanah seluas 36 (tiga puluh enam) hektar tersebut dibiarkan menjadi milik pensiunan TNI yang telah menjadi warga Desa Perkebunan Ramunia. Masyarakat Dusun Anggrek merelakan tanah tersebut sehingga lahan yang mereka peroleh hanya 55 (lima puluh lima) hektar.