• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petani dan Lahan. Skripsi. Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi DISUSUN OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Petani dan Lahan. Skripsi. Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi DISUSUN OLEH:"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

Petani dan Lahan

(Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli

Serdang)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

DISUSUN OLEH:

Rianda Purba 110905041

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PETANI DAN LAHAN (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan

Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang).

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggakan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Oktober 2016

Rianda Purba

(3)

ABSTRAK

Rianda Purba, 110905041 (2016). Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 102 halaman, 4 tabel dan 7 gambar.

Penelitian ini mengkaji tentang Petani dan Lahan yang merupakan upaya- upaya masyarakat dalam memperjuangkan lahan dan mempengaruhi pandangan hidup serta nilai-nilai atau makna terhadap lahan.

Penelitian ini dilakukan di dusun Anggrek di Desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Desa ini merupakan Desa yang didominasi oleh masyarakat yang hidup dengan bertani.

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode etnografi dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa orang informan untuk menggali informasi dan ingatan informan serta melakukan observasi terhadap kehidupan petani di dusun Anggrek. Selain itu, Penelitian juga dilakukan di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Deli Serdang dengan menggali informasi dan mencari data pendukung mengenai lahan di dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah ingin memahami bagaimana perjuangan lahan dan apa pengaruhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Permasalahan kebutuhan hidup dan perubahan hak guna usaha perkebunan menjadi faktor membuat masyarakat berjuang untuk mendapatkan lahan pertanian. Perjuangan Masyarakat dibantu LSM BITRA dan Mahasiswa yang turut serta membela masyarakat sampai berhasil mendapatkan lahan yang sudah dua generasi tinggal di lahan tersebut. Perjuangan ini sebagai wujud persatuan masyarakat di sebuah dusun memberikan pengaruh terhadap tradisi petani, dan kehidupan sebuah dusun di dusun Anggrek desa Perkebunan Ramunia. Petani memiliki kepercayaan lokal terhadap lingkungannya yang mempengaruhi cara berpikir di kalangan anggotanya, kepercayaan lokal yang ada pada petani berbentuk penafsiran terhadap lingkungan dan mempunyai hubungan dengan tradisi besar petani yang semakin menguatkan kepercayaan tersebut. Ini menghasilkan sebuah ujaran oleh petani yang terwujud dalam kenduri yang memiliki nilai-nilai perjuangan lahan dan makna luas yang saling berhubungan satu sama lain.

Kata-kata Kunci: Petani, Perjuangan lahan,

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamua’laikum Wr Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Petani dan Lahan di Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga saya masih terus mendukung, menasehati, memotivasi saya untuk terus melakukan yang terbaik. Terimakasih saya ucapkan kepada Ayah saya Ilham Purba yang senantiasa memberi dukungan kepada saya tanpa mengenal lelah dan terus memberi semangat kepada saya. Kemudian saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu saya Nur’aini yang juga tak kenal lelah dan dalam situasi apapun tetap mendukung saya, selalu peduli dengan saya dan tetap memotivasi saya.

Selanjutnya saya berterimakasih kepada ke Empat Adik saya yang keren dan lucu, Toto Ananda Purba, Adek Amanda Purba, Nova Jelita Purba, dan Anggun Damaia Purba yang sangat peduli dengan saya dalam hal apapun.

Saya mengucapkan Terimakasih Kepada Ibu Dra. Sabariah Bangun, M.Soc, Sc, selaku dosen pembimbing saya yang telah banyak memberikan waktu, ilmu dan perhatian kepada saya mulai dari awal pemilihan judul hingga selesainnya skripsi ini. Bapak Dr. Murianto Amin selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(5)

Terimakasih saya ucapkan kepada Ketua Departemen Antropologi Bapak Dr. Fikarwin Zuska yang selalu memberikan arahan dan menjadi rekan diskusi yang mampu memberikan pencerahan.Bapak Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang merupakan dosen yang sangat peduli dengan mahasiswanya. Juga terimakasih kepada Dosen Penasehat Akademik Bapak Prof.

Hamdani Harahap M. Si. yang selalu memberikan saran dan masukkan selama perkuliahan kepada saya. Dosen-dosen Antropologi Sosial yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi bapak Lister Berutu M. A, Bapak Wan Zulkarnaen M. Si, Ibu Dra. Nita Savitri M.Hum, ibu Dra. Rita Tambunan, M.Si, Bapak Drs.

Zulkifli, M.Si, Ibu Dra. Mariana Makmur, M.A, Ibu Dra. Sri Alem Sembiring, M.A, Kak Noor Aida Hasibuan S. Sos, dan dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta kak Nurhayati sebagai Staf Administrasi yang juga telah berbaik hati mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih juga saya ucapkan kepada masyarakat dusun Anggrek Baru Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang yang mengizinkan saya untuk melakukan Penelitian di desa Perkebunan Ramunia. Tak terlupakan pula terima kasih saya ucapkan kepada keluarga Pak Tukiran yang memberikan tempat tinggal kepada saya selama melakukan penelitian. Kepada pak Sopat, ibu Ngatini, Pak Misran, Pak Mariadi, Prasojo dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih sudah mau berbagi cerita kepada saya.

Kerabat Antropologi angkatan 2011 yang sudah banyak memberikan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan. Terkhusus kepada Wisnu Triwibowo S.Sos, Candra Fernando Lumban Tobing S.Sos, Indra Surya Sianipar,

(6)

Maulana Shiddiq Gultom, Prasetyo Utomo, Sardo Naibaho S.Sos, Septian Yudiansyah Nasution S.Sos, Benry S. Ritonga, Doni Latuparisa S.Sos, Munandar Simanjuntak S.Sos, Muhammad Rifai S.Sos, Asrul Wijaya Saragih S.Sos, Edi Syafri Husein Ritonga, Suci Wulansari, Rama Shita Husna, Rini Rezeki Utami S.Sos, Sri Mauliani S.Sos, Richa S.Sos, Dea, Fanny Larasati S.Sos, Laila ulfa S.sos, Nopi Sinaga S.Sos, Medi Harianja S.sos, Deswita Sari, Nurhasanah Tumangger S.Sos, Citra Harefa S.Sos, Juliani Zalukhu S.Sos, Rudi Frans Sirait, Daniel Simanunsong S.Sos, Juandi Sijabat, dan Mbak Evi Riski S.Sos terima kasih telah banyak memberikan motivasi kepada saya. Terima kasih juga kepada senior Kak Desi, Bang Zulham S.Sos, Kak Etta S.Sos, Bang Samuel S.Sos, Bang Wahyu Andry S.Sos dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman HaRI (Hutan Rakyat Institute) yaitu Kak Wina Khairina M.Si, Bang Saurlin Siagian MA, Bang Fahcrizal Sinaga STP, Bang Erwin Sipahutar, Kak Yuni dan Fikri Siregar yang banyak memberikan masukan, saran, dan meminjamkan buku yang mendukung skripsi ini kepada penulis serta pengetahuan tentang konsep agraria, dan pengalaman-pengalaman praktis lainnya.

Terimakasih kepada Teman-teman KeMANGTEER (Kesemat Mangrove Volunteer) yang sudah memberikan dukungan untuk penulisan skripsi ini terutama Kak Nopi, Mawad, April, Shella Purba, Ningsih, dan kawan-kawan yang lainnya. Terimakasih kepada Kawan-kawan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bung Janter, Bung Amar, Bung Alim, Bung Julius, Bung Hendra, Bung Arni, dan lain-lain yang telah banyak memberikan ilmu kepada saya, yaitu ilmu organisasi

(7)

secara tidak langsung dan juga materi-materi perjuangan rakyat dalam diskusi- diskusi. Terimakasih juga kepada kawan-kawan Simpel Adventure, Bang Fadly, Bang Sughi, dan lain-lain yang telah memberikan dukunga dan motivasi kepada saya. Teman –teman IPDS (Ikatan Pemuda Dusun Sukajadi) di Kampung Hardi S.P, Sudar, Munar, Masdar, Bang Wiwid, Mang Suroso dan lain-lain, terimakasih juga saya ucapkan kepada Teman-teman Alumni SMANSA Dolok Masihul kelas IPS B yaitu Sabar, Sisca, S.Pd, Suri Rahayu S.Pd, Tiwi, Bibah, Feni S.Pdi, Heru, Nugrah dan lain-lain. Dan Saya mengucapkan Termakasih kepada Segala pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Medan, Oktober 2016 Penulis

Rianda Purba

(8)

RIWAYAT HIDUP

Rianda Purba lahir pada tangal 27 Nopember 1993 di Desa Bantan, Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Anak Pertama dari lima bersaudara ini lahir dari pasangan Bapak Ilham Purba dan Ibu Nuraini. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 104314 Desa Bantan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Dolok Masihul pada tahun 2008, menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Dolok Masihul pada tahun 2011, kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi jurusan Antropologi Sosial, FISIP USU. E-mail aktif riandapurba41@gmail.com

Selama kuliah, juga aktif di kegiatan organisasi dalam dan luar kampus yaitu bagian dari INSAN (Ikatan Dongan Sabutuha Antropologi), salah satu dari pendiri KeMANGTEER (Kesemat Mangrove Volunteer) regional Medan, sebuah organisasi berbentuk komunitas yang bergerak di bidang ekosistem mangrove pada April 2014 dan dipercaya menjadi wakil ketua dari 2014-sekarang. Selain itu, juga pernah aktif di FMN (Front Mahasiswa Nasional) sebagai staf Budaya dan Olahraga pada tahun 2014.

Selain itu, banyak kegiatan pelatihan dan kegiatan lainnya yang telah diikuti, seperti:

- Peserta “Training of Fasilitator (ToF) Tingkat Dasar” Angkatan IV Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara, Pada Tanggal, 08 Desember 2013 di Hotel Cherry Green Jl. Sei Martebing No.

9 Medan.

(9)

- Notulis pada FGD (Fokus Group Discussion) “Konflik Agraria Pasca Reformasi di Sumut”, Medan, 2 Mei 2015.

- Terlibat dalam Penelitian Masyarakat Hukum Adat Sumatera sebagai Enumerator, Kerjasama KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan Laboraturium Antopologi USU, pada September-November 2014.

- Peserta a Public Lecture on “Barus History From XII Century : Major Findings of Indonesian-France Research Team” Delivered by Prof. Daniel Perret, Ph. D From EFEO France on 4th March 2014.

- Enumerator Survei Sosial dan Politik di Kabupaten Simalungun oleh Saiful Mujani Research and Consulting pada Mei dan Juni 2015.

- Enumerator Penerima Bantuan Sosial oleh Kementrian Sosial pada Oktober- Desember 2015 di Kota Tebing Tinggi.

- Peserta Pelatihan HAM (Hak Asasi Manusia) tingkat dasar yang diadakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UNIMED dan Hutan Rakyat Institute (HaRI) pada Mei 2016.

- Peserta Movie Making Training dan Screening Film The Right to Live, 16 Oktober 2016.

(10)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi ini adalah Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Sedang). Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas tentang Petani dan Lahan yang merupakan upaya- upaya masyarakat dalam memperjuangkan lahan dan hasil dari perjuangan tersebut.

Skripsi ini merupakan kajian yang didasarkan pada data lapangan yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap petani di Dusun Anggrek Baru. Penggalian informasi kepada informan juga menekankan pada aspek masa lalu sehingga wawancaranya juga dilakukan dengan menggali ingatan informan. Selain itu data lapangan juga diperoleh melalui data sekunder yang diperoleh dari pemerintahan Desa, BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan HaRI (Hutan Rakyat Institute).

Dalam tulisan ini, sesuai dengan standar penulisan ilmiah, penulis membuat daftar pustaka, tabel, gambar hasil penelitian, peta lokasi serta surat penelitian yang mendukung isi tulisan.

Dalam penulisan skripsi ini, saya yakin akan adanya kekurangan sehingga dengan sengan hati saya menerima masukan, kritik dan saran untuk membuat skripsi ini lebih baik lagi. Demikian pengantar dari saya, besar harapan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dalam bidang akademik maupun praktis.

Medan, September 2016

Rianda Purba

(11)

DARTAR ISI

Pernyataan Originalitas ... i

Abstrak ... ii

Ucapan Terimakasih ... iii

Riwayat Hidup ... vii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 7

1.3 Rumusan Masalah ... 15

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.5 Metode Penelitian ... 16

1.5.1 Data Primer ... 18

a. Observasi ... 18

b. Wawancara ... 19

1.5.2 Data Sekunder ... 20

1.5.3 Analisis Data ... 20

1.6 Pengalaman Penelitian ... 21

1.6.1 Awal Jumpa Dengan Informan ... 21

1.6.2 Ke Lapangan ... 22

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PERKEBUNAN RAMUNIA ... 28

2.1 Sekilas Tentang Desa Perkebunan Ramunia ... 28

2.2 Sejarah Desa Perkebunan Ramunia ... 30

2.3 Wilayah Desa ... 32

2.4 Areal Persawahan ... 33

2.5 Kelompok Tani ... 34

2.6 Penduduk ... 35

2.6.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat ... 35

2.6.2 Mata Pencaharian Penduduk ... 37

2.7 Sarana dan Prasarana ... 40

2.7.1 Sarana dan Prasarana Kesehatan ... 41

2.7.2 Sarana dan Prasarana Olahraga ... 41

2.7.3 Sarana dan Prasarana Ibadah ... 42

2.7. Sarana dan Prasarana Administrasi ... 43

2.8 Pola Pemukiman ... 43

BAB III PERJUANGAN LAHAN ... 45

3.1 Berjuang Menuju Keadilan ... 45

3.2 Kronologi Perubahan Kepemilikan Lahan ... 46

3.3 Perjuangan Lahan ... 52

(12)

3.3.1 Awal Perjuangan Masyarakat ... 53

3.3.2 Masuknya BITRA Sebagai Pendamping ... 54

3.3.3 Melalui Jalur Hukum... 60

3.3.4 Aksi Massa ... 61

3.4 Titik Terang Perjuangan Lahan ... 65

BAB IV DUSUN ANGGREK BARU SEBAGAI HASIL DAN PENGARUH DARI PERJUANGAN LAHAN ... 68

4.1 Dusun Yang Berpindah ... 68

4.2 Hasil Perjuangan dan Pengaruhnya Sekarang ... 71

4.2.1 Dusun Anggrek Baru... 74

4.2.2 Petani dan Pandangan Dunianya ... 76

4.2.3 Konflik Horizontal Masyarakat Dusun Anggrek Baru dengan Desa Tetangga ... 82

4.2.4 Dari Sebuah Ujaran Menjadi Tradisi yang Melekat ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

5.1 Kesimpulan ... 94

5.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 102

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Penduduk Tiap Dusun... 39

Tabel 2 : Tingkat Pendidikan Masyarakat... 40

Tabel 3 : Mata Pencaharian Masyarakat... 43

Tabel 4 : Sarana Dan Prasarana Pendidikan... 46

(14)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1: Kondisi Jalan dusun... 57

GAMBAR 2 : Kondisi jalan utama... 58

GAMBAR 3 : Lapangan di Dusun Anggrek... 58

GAMBAR 4 : Kantor Kepala Desa... 59

GAMBAR 5 : Sekolah Dasar di Dusun Anggrek... 59

GAMBAR 6 : Tanah Wakaf di Dusun Anggrek... 60

GAMBAR 7 : Peta Desa Perkebunan Ramunia... 98

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Permasalahan di Indonesia sangatlah kompleks, termasuk upaya menegakkan hak-hak masyarakat, salah satunya adalah permasalahan atas tanah.

Realitas kehidupan masyarakat juga menunjukkan bahwa petani di desa-desa Indonesia adalah golongan masyarakat yang selalu menjadi sasaran ketidakberdayaan. Sudah jelas bahwa manusia sangat membutuhkan tanah, termasuk petani dimana tanah merupakan sumber produksi. Tetapi, masyarakat petani di desa-desa selalu mengalami banyak ketimpangan, kesenjangan, dan berbagai diskriminasi atas pembangunan antara daerah dengan pusat.

Manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup, membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah. Bagi suatu negara agraria, tanah mempunyai fungsi yang amat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Fauzi, 1999; 8). Dalam hal ini tanah menjadi bagian dari hidup manusia. Tanah merupakan sistem produksi bagi petani untuk menopang kehidupan.

Berbicara mengenai hal di atas, sangat terkait dengan pengaruh kolonialisasi Belanda terhadap pertanian Indonesia dan kehidupan petani. Hal ini dapat dikatakan sebagai awal permasalahan petani. Ini merupakan salah satu akar perjuangan agraria yang dilakukan oleh masyarakat dan kemudian dikuatkan

(16)

lagi oleh UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Menurut undang-undang, negara berkuasa penuh berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA/1960 menyatakan:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak -hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menuruti cara -cara yang diatur oleh undang-undang”. Badan yang hanya boleh mencabut hak -hak atas tanah tersebut adalah negara. Hal ini juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang bukan saja mengatur orang, melainkan juga mengatur tanah di Indonesia.

Sebelum lahirnya UUPA tepatnya sekitar tahun 1947, Indonesia terutama di Sumatera Timur mengalami masalah agraria setelah perang selesai dimana Jepang keluar dari Indonesia dan kemudian Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Pemerintahan yang baru tersebut diperkeruh dengan kekacauan agraria. Saat para pengusaha perkebunan Belanda kembali ke pemerintah Indonesia, mereka hampir tidak dapat mengenali tanahnya karena telah ditanami tanaman pangan oleh Jepang saat menjajah Indonesia selama 3,5 tahun. Perkebunan tersebut diubah menjadi penghasil tanaman pangan dan sebagian dari tanah perkebunan tersebut menjadi pemukiman. Setelah perang, tanah tersebut diolah dan digunakan oleh bekas buruh yang terdiri dari orang Jawa dan Cina yang datang sebelum perang serta bermacam-macam kelompok imigran dari Tapanuli Utara dan bagian Sumatera lainnya di luar sektor perkebunan (Pelzer, 1991; 2-28).

Penelitian ini merupakan kajian tentang Perjuangan lahan oleh petani di desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang.

(17)

Desa Perkebunan Ramunia merupakan desa yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Masyarakat di desa ini merupakan mantan buruh yang didatangkan dari Jawa. Buruh tersebut merupakan orang-orang tua masyarakat di Perkebunan Ramunia dan keturunannya yang juga menjadi buruh. Walaupun buruh, mereka dapat menanami berbagai macam tanaman di lahan perkebunan tersebut. Masyarakat memanfaatkan tanah yang tidak dipakai atau tanah yang masih bermanfaat selain untuk perkebunan. Selain buruh, masyarakat juga sebagai petani. Setelah kemerdekaan, Perkebunan Ramunia beberapa kali berganti pemilik dan tanaman perkebunan yang berbeda-beda, mulai dari kelapa, tembakau, hingga kelapa sawit.

Masyarakat di desa Perkebunan Ramunia merupakan generasi atau keturunan pertama, ke dua dan ke tiga dari kuli kontrak Jawa yang datang ke Sumatera sebelum kemerdekaan. Generasi pertama masyarakat desa Perkebunan Ramunia merupakan mantan buruh di perkebunan. Pekerja-pekerja generasi pertama dimasa tua nya telah melakukan aktivitas pertanian di Lahan Perkebunan. Kondisi perkebunan yang dipengaruhi kondisi Politik pada masa setelah kemerdekaan semakin menjadikan masyarakat semakin membutuhkan lahan untuk bercocok tanam. Sebagaimana Stoler (1995) menuliskan bahwa kebanyakan perkampungan Jawa di pinggiran perkebunan berasal dari lahan garapan hasil serobotan. Hal ini ini berarti bahwa kebanyakan dari mereka mereproduksi diri dengan perjuangan ekonomi dan kadang-kadang perjuangan politis. Pengembagan Kapitalisme tidak hanya tergantung pada persediaan dan penguasaan atas tanah dan tenaga buruh tetapi harus ada jaminan agar buruh

(18)

hanya menggunakan sejumput tanah perkebunan untuk memperoleh kehidupan dari sumber lain.

Berdasarkan informasi dari masyarakat, tahun 1958 Belanda meninggalkan Perkebunan Ramunia. Pengusaha Belanda yang menguasai lahan perkebunan juga memulangkan buruh-buruhnya ke pulau Jawa, tetapi hanya sebagian saja.

Sedangkan sebagian lagi tidak mau kembali ke Pulau Jawa dengan alasan mereka sudah lama tinggal menetap di perkebunan tersebut. Setelah Belanda pergi pada tahun 1958 tersebut, maka perkebunan dikuasai oleh seorang pengusaha Cina selama beberapa tahun saja, buruh perkebunan untuk mengolahnya pun tetap yang lama. Kemudian pada tahun 1963 masuk lah PT Karya Bumi yang merupakan perusahaan swasta yang mengolah lahan perkebunan, dan pada tahun yang sama berubah namanya menjadi PT Gelorata. Saat PT Gelorata yang mengolah lahan tersebut, buruh perkebunan diberikan akses tehadap lahan, buruh diberikan jatah seluas 15 rante perkeluarga untuk bercocok tanam di bawah pohon kelapa tersebut sehingga lahan ditanami dengan padi darat dan beberapa tanaman sayur-sayuran serta tanaman palawija. Hal ini didasari oleh lahan yang menganggur di bawah pohon kelapa. Selain itu, Hal ini dilakukan oleh perusahaan karena perusahaan tidak mampu memenuhi kebutuhan akan logistik atau beras dan lain sebagainya kepada buruh. Sebelum saat memberi lahan tersebut, buruh tidak diberikan akses terhadap lahan. Tugasnya hanya bekerja sebagai buruh perkebunan. Hal ini memang sebanding dengan semua kebutuhan yang diberikan oleh Belanda terhadap buruh mulai dari kebutuhan, sandang, pangan dan papannya terpenuhi. Berbeda dengan PT Gelorata, kebutuhan yang

(19)

diberikan berbeda membuat pihak perusahaan memberikan lahan untuk digarap buruh dan bekas buruh yang tidak lagi bekerja sebagai buruh.

Pada tahun 1983, Perkebunan Ramunia dikelola oleh Puskopad (Pusat Koperasi Primer Angkatan Darat) Kodam 1 Bukit Barisan. Pergantian pengelolaan perkebunan membuat Buruh yang sebelumnya bercocok tanam di lahan perkebunan menjadi dilarang. Pelarangan ini dikarenakan perubahan usaha perkebunan kelapa nyiur menjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap lahan yang menyebabkan berkurangnya salah satu sumber penghasilan. Lahan garap yang diberikan PT Gelorata seluas 15 rante tidak dapat ditanami akibat larangan dan perubahan komoditas perkebunan tersebut. Pada 1991, masyarakat penunggu (istilah yang disebut masyarakat desa Perkebunan Ramunia) mulai berjuang untuk memperoleh hak atas lahan.

Menurut Iswan Kaputra, desa Perkebunan Ramunia tepatnya di Dusun Anggrek, masyarakat di desa ini telah mendapatkan lahan yang selama ini mereka perjuangkan, tetapi lahan yang telah ditanami masyarakat ini belum diakui secara sah oleh negara. Masyarakat menduduki lahan atas dasar tanah orang tua mereka. Kemudian setelah mendapatkan lahan tersebut, masyarakat membuat kesepakatan sendiri dengan tanda tangan Kepala Desa. Hal ini dapat dikatakan bahwa hanya pengakuan saja, sehingga sampai sekarang masyarakat tidak memiliki kendala dengan lahan yang sudah ditanami padi ini1.

Hal yang melatarbelakangi mengapa kasus di desa Perkebunan Ramunia perlu diteliti yaitu karena untuk melihat bentuk-bentuk perjuangan yang telah

1 Dalam FGD Peta Konflik Agraria Dalam Pemenuhan Hak Ekosob Pasca Reformasi Di Sumatera Utara, Sabtu, 2 Mei 2015, Jangga House Medan.

(20)

dilakukan oleh masyarakat demi memperoleh lahan. Berlatarbelakang dari sejarah lahan perkebunan dan perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat, tentu ini lebih menarik dikaji pada saat ini mengenai hubungan masyarakat dengan lahan di Dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia. Bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam benak masyarakat yang mempunyai latar belakang sebagai buruh perkebunan terhadap lahan. Lebih menarik lagi bahwa sekarang mereka telah menjadi petani. Dari penjelasan ini, Masyarakat di Desa Perkebunan Ramunia dapat dikatakan sebagai golongan masyarakat yang marjinal atau terpinggirkan sehingga lahan menjadi bagian penting. Menurut peneliti, ini merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji secara antropologi yang menghasilkan sebuah etnografi tentang petani dan lahan di Dusun Anggrek desa Perkebunan Ramunia. Bagaimana perjuangan terhadap lahan itu dilakukan dan apa pengaruhnya sekarang.

Pergantian pengelola perkebunan telah merubah kehidupan budaya buruh yang mempunyai akses terhadap lahan perkebunan sehingga masyarakat berupaya menuntut kembali hak atau akses terhadap lahan tersebut. Abdullah (2006; 143) menegaskan perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara meluas. Perubahan dalam komunitas harus dilihat dalam konteks perubahan global yang terjadi dan memiliki pengaruh dalam penataan sosial hingga ke tingkat yang paling kecil.

(21)

1.2. Tinjauan Pustaka

Lahan merupakan tanah dengan segala ciri, kemampuan maupun sifatnya beserta segala sesuatu yang terdapat diatasnya termasuk di dalamnya kegiatan manusia dalam memanfaatkan lahan. Lahan memiliki banyak fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya.

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan (major kinds of land use) sendiri adalah Penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi2. Pertanian merupakan salah satu penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk aktivitas bertani.

Berbicara petani dan lahan, maka sangat terkait dengan desa. Desa sebagai sebuah kesatuan budaya dimana sekelompok masyarakat hidup mengembangkan kebudayaannya dan tidak terlepas dari dunia luar. Kata Desa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu desi, dusun yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Purnomo, 2004; 28-29). Desa memiliki budaya yang khas dengan basis ekonominya yaitu pertanian.

Petani “peasant” tidak diarahkan ke komoditas perkebunan, namun tetap diletakkan sebagai petani penanam pangan. Petani hanya berhak menjadi buruh bagi perkebunan dan bila mereka mandiri berhak atas tanaman pangan untuk

2 http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196006151988031- JUPRI/LAHAN.pdf. Diakses pada Kamis, 2 Juni 2016, Pukul 08.16 WIB.

(22)

mendukung industri perkebunan3. Redfield juga melukiskan bagaimana seorang petani mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang dirinya sendiri sudah lama terikat (oleh ikatan-ikatan tradisi dan perasaan) kepada tanah. Tanah dan dirinya adalah bagian dari satu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama.

Budaya Petani

Kebudayaan dalam hal ini menentukan sekelompok orang dengan keunikannya dalam suatu skop pandangan dunia mengacu pada kandungan kognitif, suatu kerangka (dari) asumsi-asumsi kognitif serta tempat yang segala perilaku sehari-hari diarahkan dan yang didapat adalah suatu sistem kepercayaan dan pengetahuan. Geertz juga menambahkan tentang aspek evaluatif dimana pengetahuan dan kepercayaan tertranformasikan menjadi nilai-nilai.

Mentranformasikan menjadi nilai-nilai ini berarti bahwa sistem nilai budaya menetapkan etos kepada pendukung suatu kebudayaan menyangkut nilai-nilai yang bersifat moral maupun yang bersifat estetik. Selanjutnya kedua aspek tersebut (aspek kognitif dan evaluatif) dapat dikomunikasikan melalui sistem simbol4.

Petani di Dusun Aggrek Desa Perkebunan Ramunia berjuang mendapatkan lahannya dengan berbagai cara, perjuangan tersebut menciptakan suatu tatanan

3 Mangku Purnomo, Pembaruan Desa, Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa.

(Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2004), 42.

4 Sistem simbol ini adalah sebuah “tempat” yang makna bisa diteruskan secara historis dan mampu ditampilkan atau diekspresikan lewat simbol-simbol yang dengan itu manusia

berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap tentang kehidupan dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam pengalaman.

Imam Styobudi, Menari Di Antara Sawah Dan Kota, Ambiguitas Diri, Petani-Petani terakhir di Yogyakarta. (Magelang: Indonesiantera, 2001), 12-13.

(23)

dalam sebuah dusun. Terbentuknya suatu komunitas ialah tempat kehidupan, akan tetapi kesatuan wilayah saja belum cukup untuk mengidentifikasikan kelompok masyarakat sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anggotanya harus memiliki rasa cinta akan wilayahnya, punya kepribadian kelompok, saling mengenal dan bergaul, dapat saling menghayati sebagian besar dari lapangan kehidupan mereka secara utuh (Soemardjan, 1998; 227) .

Petani sebagai masyarakat yang memiliki pandangan terhadap dunianya sendiri tidak pernah lepas dari kekangan-kekangan sistem yang lebih besar dari mereka. Pada beberapa hal petani dilihat oleh banyak ahli memiliki pola hubungan yang unik dengan alam dan profesinya. Yang menarik dari hal tersebut adalah sisi religiusitas petani dan pandangan terhadap makna kehidupan. Meski terkesan banyak berbau tahyul dan irasional, akan tetapi kerap kali pilihan mereka terhadap usaha tani sangat rasional. Di sinilah pertemuan antara mentalitas dan pandangan hidup juga cita-cita menjadi suatu irisan walaupun antar satu tempat dengan tempat yang lain berbeda-beda. Sistem nilai budaya dari suatu masyarakat petani di beberapa daerah di Indonesia tidak sama, tentu ada variasi-variasi di masing-masing daerah seperti Aceh, Tapanuli, Minangkabau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Makasar, Nusa Tenggara, dan Papua. Bahkan mungkin corak yang berbeda akan ditemukan antar desa di Jawa ataupun tempat lain. Meski demikian, dapat dirangkai suatu perkiraan berdasarkan kesan mengenai sistem nilai budaya petani Jawa dan di Indonesia (Purnomo, 2004; 10-11).

(24)

Menurut Shahin (dalam Scott)5, ciri-ciri masyarakat petani (peasant) adalah:

1. Satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda.

2. Petani hidup dari usaha tani, dengan mengolah tanah (lahan).

3. Pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas.

4. Petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah

“orang kecil” terhadap masyarakat di atas desa.

Apa yang dikatakan Shahin tentang petani menjelaskan bahwa petani mempunyai ciri yang berbeda dengan masyarakat lain di luar dirinya sendiri.

Petani mengolah lahan untuk kehidupannya, dan bukan hanya kehidupannya tapi juga kehidupan masyarakat pada umumnya karena sebagai penghasil bahan makanan walaupun dalam keadaannya yang jauh berbeda. Petani merupakan masyarakat dengan stratifikasi yang rendah dalam masyarakat. Spengler (dalam Scott, 1993) menyatakan bahwa petani adalah manusia abadi, tidak tergantung pada kebudayaan yang menyembunyikan dirinya dalam kota. Ia mendahuluinya, ia hidup lebih lama darinya. Ia adalah sumber asal darah yang selalu mengalir yang menciptakan sejarah dunia dalam kota-kota. Walaupun demikian yang dikatakan Spengler, tetap saja petani merupakan kelompok masyarakat dengan budaya yang berbeda dengan kelompok kota.

Menurut Redfield (1982; 56-71) kebudayaan masyarakat petani adalah otonom, yaitu aspek atau dimensi peradaban yang satu bagian. Sebagaimana

5 James C. Scott, Perlawanan Kaum Tani. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), viii

(25)

masyarakat petani adalah masyarakat terbelah, demikian juga kebudayaan petani merupakan kebudayaan terbelah. Maksudnya adalah bahwa kebudayaan petani mempunyai dua hal, yaitu tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan pengetahuan yang diperoleh masyarakat petani dari pengalaman-pengalaman petani, tradisi ini berasal dari (pemikir) yang tidak refektif, dan tradisi kecil ini berlangsung di dalam hidup itu sendiri dan mereka yang tidak terpelajar di dalam komunitas desanya. Sedangkan tradisi besar merupakan pengetahuan petani yang diperoleh dari pendidikan atau pengetahuan orang lain yang ditransfer ke petani, tradisi besar ini lahir berasal dari beberapa (pemikir) reflektif, dan diolah di sekolah-sekolah atau kuil-kuil. Apabila mempelajari petani dan kebudayaannya, konteksnya diperluas mencakup unsur-unsur tradisi besar yang berinteraksi atau dulunya berinteraksi dengan sesuatu yang lokal dan langsung. Dalam hal ini, akan nampak komunikasi antara tradisi kecil dan tradisi besar dan perubahan- perubahannya.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan areal tanah amat luas nan subur. Dalam hukum adat, hubungan tanah dengan masyarakat di sekitarnya kerap disebut “magis religius” dalam arti terdapat hubungan batin yang amat mendalam antara tanah dan masyarakat di sekitarnya. Kendati hubungan tanah dengan masyarakat tidak terpisahkan, nyatanya nasib para petani di muka Bumi Pertiwi ini belum seindah ungkapan verbal tersebut6. Kondisi yang terjadi saat ini adalah Kondisi kepemilikan aset lahan yang sangat besar oleh pihak-pihak tertentu termasuk perusahaan. Tanah sendiri merupakan hak asasi bagi seluruh

6 Tanah dan Petani, http://www.kpa.or.id/news/blog/tanah-dan-petani/. Diakses pada Kamis, 02 Juni 2016 Pukul 09.00 WIB.

(26)

rakyat Indonesia. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisi petani yang tidak mendapatkan hak tersebut dikarenakan konsentrasi aset dengan bentuk penguasaan tanah yang sangat masif oleh sebagian kecil orang dan mengakibatkan banyaknya tanah yang terlantar. Faktanya tidak semua hak guna atas tanah mampu dikelola dengan baik oleh suatu perusahaan. Ini termasuk salah satu hal yang mendasari perjuangan lahan oleh kaum tani di Indonesia.

Gerakan Petani

Secara umum, banyak teori tentang perlawanan petani atau gerakan petani berkutat pada pertanyaan yang berkutat pada pertanyaan kelompok petani mana yang paling revolisioner atau yang paling potensial untuk terlibat dalam gerakan- gerakan revolusioner. Terdapat tiga perspektif yakni, perspektif moral ekonomi, pilihan rasional, dan konflik kelas. Ketiga perspektif ini berangkat dari pengertian yang berbeda mengenai petani dan kehidupan kaum tani di tengah corak produksi yang berbeda-beda (Kurzt, 2000 dalam Bachriadi 2012).

Dalam pandangan teori moral ekonomi petani, petani dilihat sebagai komunitas yang homogen yang terikat dalam suatu struktur sosial dan kebiasaan lokal yang menyediakan mekanisme budaya bagi terjaminnya subsistensi mereka. Sementara dalam perspektif pilihan rasional, petani dilihat sebagai aktor yang rasional dan mampu membuat keputusan yang sudah tidak lagi tinggal di desa-desa yang terisolasi, terkait ini banyak Antropolog mengatakan bahwa petani tidak lagi hidup dalam ikatan komunitas yang kuat. Sedangkan perspektif konflik kelas dalam tradisi Marxis melihat petani dalam susunan kelas-kelas sosial di Pedesaan. Petani-petani kecil yang menjadi pemilik lahan kecil, petani

(27)

penggarap yang tidak memiliki tanah maupun buruh tani, termasuk buruh-buruh perkebunan yang terikat dan tereksploitasi dalam corak-corak produksi tertentu di pedesaan merupakan kelompok petani yang berpotensi untuk melakukan revolusi. Buruh tani dan petani penggarap yang tidak memiliki tanah merupakan kaum proletar yang paling sejati untuk menggerakkan revolusi (Bachriadi, 2012;

4-6).

McAdam dkk (2001) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa gerakan sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan perubahan transisional menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya yang ada sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian. Hal ini juga memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Wolf (1983; 190-192) menuliskan bahwa Gerakan protes petani seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih bersifat hirarkis dengan harapan-harapan penataan kembali masyarakat secara radikal, dapat memobilisasi petani untuk beberapa waktu.

Gerakan petani menjadi pondasi utama bagi terwujudnya harapan petani itu sendiri. Gerakan petani muncul akibat petani yang berada pada kondisi rawan krisis subsistensi, antara batas-batas kemampuan memenuhi kebutuhan kekurangan dasar dengan kekurangan pangan, kelaparan, bahkan kematian dan memenuhi kebutuhan surplus sosial. Umumnya pemberontakan petani dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu menimpa banyak petani, dengan cara

(28)

serupa, terjadi secara tiba-tiba dan mengancam pengaturan-pengaturan subsistensi. Scoot juga menambahkan bahwa perjuangan petani dalam mempertahankan hak-haknya mempunyai landasan dan tradisi yang dalam arti harfiah melibatkan kepentingan-kepentingan paling vital dari partisipan- partisipannya (Scoot, 1983).

Kasus konflik agraria

Sumatera Utara memiliki ratusan konflik agraria sejak munculnya Consessi (konsesi) terhadap tanah di Sumatera Timur (sekarang termasuk dalam wilayah administrasi provinsi Sumatera Utara) pada tahun 1865. Konsesi ini diberikan oleh raja-raja di Sumatera Timur kepada Onderneming (perkebunan yang diusahakan secara besar-besaran dengan alat canggih; perkebunan budi daya) dari Belanda, Belgia, Jerman, Inggris dan Swiss dan negara-negara penjajah lainnya (Pelzer, 1985). Komunitas Rakyat Penunggu di Sumatera Utara merupakan komunitas masyarakat Melayu yang menjadi salah satu korban dari konsesi ini. Sampai saat ini, kalangan rakyat Penunggu masih berjuang untuk dan atas nama masyarakat adat. Rakyat Penunggu berjuang mendapatkan hak ulayatnya yang sekarang berada di dalam HGU (Hak Guna Usaha) PTPN II.

Walaupun berjuang atas tanah adat, atau tanah ulayat, Rakyat Penunggu mempunyai organisasi bernama BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) dengan kepengurusan sebagaimana sebuah organisasi modern yang dijadikan sebagai wadah untuk berjuang dan berdiri sejak tahun 1953. Komunitas ini terdiri dari 67 Kampung yang berada dalam kawasan administrasi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat. Saat ini, beberapa

(29)

kampung seperti Tanjung Gusta, Kelambir, Secanggang dan lain sebagainya telah menduduki lahan dan mendirikan rumah, serta bercocok tanam di lahan yang diduduki dengan pengelolaan secara komunal walaupun belum ada pengakuan dari pemerintah. Rakyat penunggu terus berupaya meminta pengakuan terhadap identitas mereka sebagai masyarakat adat Melayu dan wilayah adatnya.

Selanjutnya kasus konflik agraria petani di Desa Pergulaan, Serdang Bedagai dengan PT London Sumatera yang diteliti secara antropologis oleh Wina Khairina (2012),

“Konflik agraria antar petani Pergulaan VS Lonsum adalah konflik atas tanah sebagai sumber daya yang semakin terbatas dan menentukan. Bagi petani Pergulaan, tanah adalah hak milik, harga diri yang harus dipertahankan, dan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi dan keturunannya. Tujuan awal Perlawanan petani Pergulaan adalah untuk mempertahankan subsistensinya. Perampasan tanah yang dilakukan Lonsum disebabkan oleh perluasan perkebunan.”

Kasus Pergulaan sama dengan kasus Rakyat Penunggu yang disebabkan oleh masuknya investasi besar ke Sumatera Utara. Kasus Perkebunan Ramunia mempunyai latar belakang besar yang sama dengan dua kasus di atas dengan perubahan masyarakat dan proses perjuangannya sendiri.

1.3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Perjuangan Lahan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Perkebunan Ramunia?

2. Apa pengaruh dari lahan tersebut terhadap masyarakat?

(30)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan di Desa Ramunia ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yaitu memahami cara masyarakat memperoleh lahan pertanian dan untuk mengetahui pengaruh sestelah masyarakat mendapatkan lahan. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan baik dalam konteks ilmu antropologi dan kebijakan agraria. Indonesia yang merupakan negara dengan sebagian besar masyarakatnya berpenghasilan dari sektor tani. Kiranya penelitian etnografi ini dapat bermanfaat untuk pihak pemerintah atau pengambil kebijakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan kaum tani. Hal tersebut dapat menjadi dasar terbentuknya perhatian secara khusus terhadap permasalahan lahan bagi petani yang diwarisi oleh para orang tua terdahulu di mana dalam hal ini perjuangan dilakukan untuk mengembalikan lahan garapan yang pada pernah diberikan oleh PT Gelorata saat mengelola perkebunan. Tentu hal ini dapat bermanfaat bagi petani secara umum di Indonesia dan secara khusus petani yang mengalami perebutan lahan dengan pihak-pihak yang bukan petani seperti perkebunan dan lain sebagainya.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang menghasilkan sebuah etnografi.

Sementara itu, etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan grafein yang berarti menulis, lukisan, gambaran. Oleh karena itu, etnografi juga bisa dipahami

(31)

sebagai deskripsi tentang suatu suku bangsa menyangkut struktur, adat istiadat, dan kebudayaannya7.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang tidak menggunakan analisis berupa angka atau statistik, tapi menghasilkan data mendalam serta holistik (menyeluruh). Pendekatan kualitatif ini penulis pilih karena sesuai dengan apa yang diteliti yaitu perjuangan masyarakat mendapatkan lahan dan pengaruh dari lahan yang sudah didapatkan. Penelitian ini banyak menggali sejarah perjuangan lahan yang dilakukan masyarakat. Oleh karena itu, penggalian informasi mengenai sejarah perjuangan agraria tersebut dan dampak atau pengaruhnya pada hubungan-hubungan dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat sampai sekarang dapat digali dengan metode ini. Maka, untuk memahami budaya suatu kelompok masyarakat diperlukan suatu corak penelitian yang bersifat holistik (Bungin,2011; 43-45)

Pendekatan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan emik. Data dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, ucapan, isyarat serta tingkah laku orang- orang yang menjadi subjek penelitian serta mencuplik dari sejumlah peristiwa keseharian para informan. Apa yang menjadi perhatian adalah menyangkut cara orang-orang memahami situasi tempat mereka berada, untuk dapat dimengerti bagaimana orang melihat, melukiskan dan menerangkan tata dunia yang mereka tempati (Bogdan dan Taylor, 1992;39-40).

7 Tujuan etnografi adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (native’s point of view), sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Peneliti bertugas membuat pelukisan mendalam yang menggambarkan kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan yang dianggap sebagai kewajaran mengenai kehidupan. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj, Nurhadi.

(Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2006)

(32)

Untuk menghasilkan data tersebut, terdapat teknik pengumpulan data yang bersifat saling melengkapi satu sama lain.

1.5.1. Data Primer

Teknik pengumpulan data primer ini merupakan sumber data utama melalui prosedur dan teknik pengambilan data. Data yang diperoleh berasal dari lokasi penelitian secara langsung, dimana peneliti mendapatkan data itu dari observasi dan wawancara. Proses ini tentu dilakukan dengan pengamatan dan Interaksi dengan masyarakat.

a. Observasi

Observasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang peneliti di lokasi penelitian untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Kegiatan tersebut adalah melakukan pengamatan terhadap masalah yang diteliti sehingga peneliti dapat memahami fakta masalah secara objektif maupun subjektif. Observasi dilakukan peneliti dengan tinggal bersama masyarakat di lokasi penelitian. Untuk melakukan hal ini, peneliti akan melakukan usaha untuk menjadi dekat dengan masyarakat yang akan diteliti dan membangun rapport8.

Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi kondisi masyarakat melihat, mendengar, serta terlibat langsug dalam aktivitas keseharian masyarakat di dusun Anggrek baru desa Perkebunan Ramunia. Peneliti melihat bagaimana lahan hasil perjuangan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk memaksimalkan observasi, peneliti tinggal bersama informan di lapangan.

8 Rapport adalah hubungan antara peneliti dan informan yang sudah begitu dekat seolah tidak ada jarak antara keduanya

(33)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk menggali informasi mengenai masalah penelitian dari masyarakat yang dipilih sebagai informan. Sebelum melakukan wawancara, peneliti akan menetapkan informan yang akan diteliti. Dalam hal ini peneliti mengacu pada pedoman metode etnografi James Spradley. Spradley (2006) menyarankan lima syarat untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non-analitis.

Dalam melakukan wawancara, peneliti akan menggunakan alat bantu yang mendukung proses berlangsungnya wawancara. Alat bantu tersebut adalah alat rekam dan kamera. Alat ini bukan hanya berguna dalam proses wawancara saja, tapi berguna dalam obsevasi yang dilakukan sebagai alat dokumentasi dalam bentuk suara, gambar, dan audiovisual. Alat-alat ini merupakan alat pendukung bagi peneliti untuk mendapat data di lapangan. Dalam mengumpulkan data, wawancara ini merupakan proses penggalian informasi dari orang-orang yang akan dijadikan peneliti sebagai informan. Di sini, peneliti akan mewawancarai beberapa tokoh masyarakat yang melakukan mengembalikan lahan pertanian.

Beberapa tokoh masyarakat tersebut yaitu Pak Tukiran sebagai informan kunci, dan beberapa orang lain seperti Ibu Ngatini, Pak Sopat, dan Pak Mesran menjadi informan pendukung. Hal yang mendasari kenapa Pak Tukiran menjadi informan kunci adalah karena Pak Tukiran merupakan tokoh yang menggerakkan atau mengajak masyarakat satu kampungnya untuk berjuang mendapatkan lahan.

Pada saat sebelum penelitian dilakukan, peneliti beberapa kali datang

(34)

mengunjungi desa tersebut, peneliti melakukan wawancara singkat sambil bercerita santai dengan calon informan. Dari beberapa orang (3 orang) yang diwawancarai, mereka mengatakan Pak Tukiran lah orang yang paling tahu dan paham terhadap kondisi masyarakat kita dari dulu sampai sekarang.

1.5.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang digunakan peneliti untuk mendukung data lapangan. Data sekunder ini diperoleh dari studi pustaka. Studi pustaka diperoleh dari jurnal, buku, dan surat-surat. Selanjutnya data sekunder juga diperoleh dari dokumen-dokumen yang menunjang atau berhubungan dengan penelitian yang dilakukan dan fokus penelitian. Selain itu, media online juga menjadi rujukan untuk mendukung data lapangan.

1.5.3. Analisis Data

Analisis data yang pada penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2007;

284). Dilakukannya teknik ini adalah setelah data-data terkumpul semua, kemudian dilakukan pengolahan data yang disesuaikan dengan kebutuhan analisis yang akan dilakukan (Muhdjir, 1989; 56). Analisis tersebut merupakan telaah terhadap seluruh data dari berbagai sumber. Proses ini diawali dengan membaca seluruh data, kemudian dipelajari, ditelaah dan selanjutnya mereduksi dengan membuat abtraksi serta menyusunnya dalam bentuk satuan. Wujud

(35)

satuan-satuan tersebut ditentukan dalam catatan pengamatan, catatan wawancara, catatan lapangan, dokumen, laporan, atau sumber lainnya. Setelah mensintesiskan satuan-satuan tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan kategorisasi dengan menkontrukksi data yang beralasan. Karena kategori tidak lain adalah satu tumpukan dari seperangkat tumpukan yang disusun atas dasar pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2007; 251-252).

1.6. Pengalaman Penelitian

1.6.1. Awal jumpa dengan informan

Magang di Hutan Rakyat Institut memperoleh manfaat yang tidak didapatkan di tempat lain. Pengalaman itu adalah melakukan penelitian lapangan bersama dengan peneliti Hutan Rakyat Institut. Penelitian yang dilakukan pada waktu itu yaitu penelitian tentang pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dari konflik agraria. Di lokasi penelitian, kami mendatangi kepala desa setempat untuk meminta izin melakukan penelitian. Kira-kira satu jam berada di kantor kepala desa tersebut, datang seorang tua paruh baya memakai topi lusuh menghampiri kami, penulis tidak mengetahui siapa orang tua tersebut. Setelah berbincang, baru lah penulis mengetahui bahwa orang tua tersebut adalah Pak Tukiran, salah seorang tokoh masyarakat dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia. Satu kalimat masih penulis ingat, diucapkan oleh pak Tukiran,

“kalo masyarakat bersatu, pasti kita bisa memperjuangkan hak-hak kita dan pasti menang!”

Ucapan penuh semangat dari seorang petani, penampilannya sederhana, tapi pemikirannya sangat luar biasa. Penulis melihat antusias pak Tukiran sangat luar biasa dalam bercerita. Kira-kira satu setengah jam kami duduk dan berbicang-

(36)

bincang dengan kepala desa di kantornya untuk meminta izin dan membicarakan maksud dari kedatangan kami ke desa tersebut, kami beranjak menuju rumah Pak Tukiran. Jarak rumah Pak Tukiran tidak jauh dari kantor kepala desa, kira-kira 500 meter. Sampai di rumah sederhana Pak Tukiran, kami disuguhi minuman teh manis saat melakukan wawancara. Penulis bertugas memfoto proses wawancara dan ikut memperhatikan wawancara. Ini merupakan pengalaman ke dua kali setelah praktek kerja lapangan 1 di Sumbul dimana saat itu penulis melakukan penelitian tentang petani kopi di Sumbul, Kabupaten Dairi. Kira-kira satu jam kami di rumah Pak Tukiran, salah seorang dari kami yaitu aktivis agraria tadi yang telah kenal dekat dengan warga dusun Anggrek Desa Ramunia Tersebut mengajak kami ke rumah salah seorang informan selanjutnya yaitu seorang penjual jamu bernama Buk Ngatini, rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumah Pak Tukiran. Sesampai di rumah penjual jamu tersebut, kembali kami disuguhi teh manis panas. Buk Ngatini juga merupakan salah seorang yang turut memperjuangkan lahan di dusun Anggrek Baru.

1.6.2. Ke Lapangan

Kamis, 30 Januari 2015. Tepat pukul 08.00 WIB. Penulis tiba di kantor kepala desa Perkebunan Ramunia. Berhubung karena kantor kepala desa masih belum buka, maka penulis langsung berinisiatif menanyakan alamat rumah Bapak Kepala Desa kepada masyarakat. Sampai di rumah Kepala Desa, ternyata Bapak sedang tidak di rumah, dia berada di samping rumahnya, tepatnya di gudang penjualan butut miliknya.

Salam ramah dari bapak Kepala Desa, dia langsung bertanya,

(37)

“ ada keperluan apa...?”

Penulis langsung menjelaskan tujuan untuk melakukan penelitian di dusun Angrek Baru Desa Perkebunan Ramunia. Bapak Kepala Desa meminta surat dari kampus. Karna belum ada, maka Penulismenjawab bahwa surat akan menyusul . kemudia Bapak kepala desa langsung menerima dan menyuruh datang ke kantor Desa.

Di Kantor, Penulis bertemu seorang sekretaris desa yang kemudian mengantarkan penulis ke rumah Pak Tukiran. Sampai di rumahnya, Pak Tukiran tidak berada di rumah, melainkan mengutip kacang di ladangnya yang tidak jauh dari rumahnya. Penulis dan Pak Sekdes langsung saja ke ladang kacang untuk berjumpa dengan Pak Tukiran. Kemudian kami diajak ngobrol ke rumahnya, Penulis berbicara maksud dan tujuan kepada Pak Tukiran, kemudian Pak Tukiran mau menerima Penulis untuk tinggal di rumahnya.

Sejak penulis mengunjungi tempat penelitian sebelum hari penelitian dimulai, Penulis masih merasa apakah informan yang akan menjadi subjek dalam penelitian menerima dengan senang hati. Penulis masih beranggapan kalau mereka tertutup, tapi itu semua berbeda ketika sudah berada di rumah seorang informan. Di Sore hari yang indah itu, pemuda-pemuda desa asik bermain bola kaki, sebagian bermain sepak takraw, orang berjualan, dan masyarakat yang menonton sepak bola dan sepak takraw. Jalan yang berabu di Desa Perkebunan Ramunia tidak mengganggu kedamaian menuju senja tersebut. Sore itu, Sambil melihat langit indah, padi yang mulai mengeluarkan bulirnya, ayam, entok, angsa

(38)

yang sedang mencari-cari makanan, Pak Tukiran duduk diam dengan damai di Beranda dapur rumah yang batunya tidak di plaster.

Kedatangaan Penulis mungkin mengganggu posisi nyamannya. Wajah senyum langsung tertuju kepada penulis. Kemudian tanpa butuh waktu yang lama, dari wajah senyumnya Pak Tukiran menyapa dengan ramah,

“eh Yan,... jadi kan nginap di rumah”

Kemudian sambil membuka helm dan mencagak kereta, Penulis langsung menjawab iya. Kemudian Penulis langsung beranjak mengucapkan salam dan menyalami Pak Tukiran dan berkata

“sendiri aja Wak...?”

Pak Tukiran langsung menjawab,

“iya Yan, anak Wawak lagi pigi tadi, ya paleng bentar lagi pulang, ada undangan tempat saudara menantu Wawak...”, Penulis kembali berbicara,

“enak ya Wak di sini, tenang, enak lah, langitnya pun cantik,”

Dengan cepat Pak Tukiran langsung menjawab,

”iya, enak Yan, ya Wawak sambil lihatin pesawat lewat Yan, pendek kali kan, terus cepet kali pesawatnya turun naek, belum sampai 5 menit uda ada yang naek dan turun, biasanya pagi dan sore gini banyaknya, hah kayak itu lah (sambil menunjuk pesawat yang sedang turun), baru tadi aja ada yang naek... ya Wawak kadang ngitungin ini Yan, ngelepas suntuk, ya memang bising Yan.”

Secara langsung Penulis langsung menjawab

”ya dulu waktu bandaranya masih Polonia Wak, dari kos ku ya kayak gini juga Wak, pas sama persis, sekarang jumpa lagi kondisi kayak gini..”

(39)

Terdengar suara tawa dari seorang Pak Tukiran. Penulis ikut dalam ketenangan sore itu bersama Pak Tukiran di beranda bambu depan pintu dapur rumahnya sampai menjelang magrib.

Penulis dipersilahkan masuk ke rumah untuk meletakkan tas, kemudian duduk di ruang tamu. Ketika Penulis duduk, datang seorang pria berumur kira- kira 28 tahun menghampiri Penulis dan menyalami sambil menyapa, “Bang”. Dia adalah menantu Pak Tukiran yang tinggal bersama Pak Tukiran. Abang ini sudah memiliki anak satu, sebentar lagi anaknya akan dua. Istrinya merupakan anak terakhir Pak Tukiran yang sedang hamil, perutnya sudah sangat besar. Penulis dan abang anak satu tersebut ngobrol santai sambl berkenalan, bercerita pekerjaannya sebagai penada susu kedalai ke Kota Medan dan kadang-kadang ngobrol kami disertai dengan canda.

Malam menunjukkan pukul 19.00 WIB, kami berdua yang duduk di ruang tamu dipanggil oleh Pak Tukiran dan teman ngobrol di ruang tamu. Kami kemudian makan malam bersama.

“Makan aja Yan, gausah malu-malu, tapi ya sayur dan lauknya kayak gini lah, namanya di kampung.”

Langsung Penulis menjawab

“Ya ga pa pa Wak, Saya ya orang kampung juga, kalo di rumah ya tiap hari sayur dan lauknya kayak gini juga Wak,”

Saat itu, Penulis makan dengan lahap dan disuruh tambuh (tambah), tapi sekali saja Penulis uda kenyang. Pada saat makan, Pak Tukiran menyempatkan sambil mengajak bercerita tentang pengalamannya saat melakukan perjuangan lahan, sehingga cerita tersebut pun kami lanjutkan ketika sudah selesai makan. Di

(40)

malam sunyi tenang menambah suasana cerita kami, kebetulan obrolan kami ini termasuk hal-hal yang ingin Penulis gali. Sehingga tanpa Penulis yang membuka obrolan tersebut, Bapak enam anak ini sudah memulainya membuat Penulis mendengarnya dengan baik sambil merekam pembicaraannya. Penulis pun sangat antusias mendengarnya sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Obrolan kami terus mengalir begitu saja, Penulis selalu melihat semangat yang ditunjukkan Pak Tukiran ketika cerita dan menjawab pertanyaan- pertanyaan.

Beberapa hari Penulis berada di rumah Pak Tukiran, pagi selalu diisi dengan obrolan ringan dengan dua gelas teh, rokok dan gorengan selalu siap untuk disantap. Pak Tukiran tidak ke ladang, belakangan ia sangat sering di rumah. Pak Tukiran tidak ke ladang karena harga kacang panjang sangat murah, padahal kacang panjang tersebut sudah pada masa panen. Sehingga tanaman kacang seluas 3 rante tersebut dibiarkan menunggu harga naik kembali.

Sementara anak dan menantunya sering mengutip kacang tersebut untuk menjadi sayuran di rumah dan dibagikan ke tetangga. Usianya yang sudah 60-an tahun membuatnya jarang mengolah lahan. Hanya sesekali saja dan kebanyakan waktunya dihabiskan di rumah, duduk di teras atau beranda dapur sambil melihat-lihat pesawat yang lewat.

Satu minggu di lapangan selalu bersama Pak Tukiran, termasuk mewawancarai informan lain. Pak Tukiran sering memanggil informan yang lain ketika mereka sedang lewat rumah Pak Tukiran. Sungguh menjadi hal yang luar biasa karena bisa mewawancarai 3 orang sekaligus. Ini berlangsung terus sampai

(41)

tiga hari. Terkadang beberapa orang lain ketika pulang dari sawah mampir ke tempat Pak Tukiran.

Buk Ngatini merupakan satu-satunya informan perempuan. Penulis selalu mengunjungi rumahnya di sore hari. Aktivitasnya di pagi hari adalah berjualan jamu keliling dengan mengayuh sepeda mini yang sudah kelihatan kusam. Di siang harinya, Buk Ngatini juga menyempatkan pergi ke sawah sehingga hanya pada sore menuju senja Penulis dapat mewawancarainya.

Sekitar satu bulan lebih Penulis mengerjakan penulisan awal yaitu mendengarkan dan mencatat hasil rekaman wawancara. Selama tidak di lapangan, Penulis bimbingan dengan dosen pembimbing Buk Sabariah untuk diskusi mengenai penulisan. Dan setelah itu Penulis kembali ke lapangan pada bulan Maret, seminggu sekali Penulis selalu menyempatkan mampir sambil pulang ke kampung. Penulis selalu mampir ke lapangan, mengunjungi kantor kepala desa Perkebunan Ramunia, warung-warung di dusun Anggrek, dan ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang untuk mencari data sekunder dan mewawancarai pihak BPN tentang tanah di dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia.

(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA PERKEBUNAN RAMUNIA

2.1. Sekilas Tentang Desa Perkebunan Ramunia

Desa perkebunan Ramunia merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara.

Kecamatan Pantai Labu adalah sebuah kecamatan yang berada di pesisir timur Kabupaten Deli Serdang sehingga kecamatan ini mempunyai wilayah laut dan sebagian masyarakat di kecamatan Pantai Labu hidup dari hasil laut. Walaupun Desa Perkebunan Ramunia berada di Kecamatan Pantai Labu, desa ini tidak langsung berbatasan dengan laut. Desa ini merupakan desa pembuka Kecamatan Pantai Labu dan berada di pinggir jalur lalu lintas yang menghubungkan Lubuk Pakam ke Pantai Labu.

Akses menuju desa ini adalah melalui Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. Tepat di simpang Timbangan Lubuk Pakam, langsung ke arah kiri apabila berangkat dari Kota Medan. Jarak Medan-Lubuk Pakam adalah sekitar 30 Km, sedangkan jarak Lubuk Pakam-Pantai Labu sekitar 15 Km. Dari Medan, butuh perjalanan lebih kurang 30-40 menit untuk sampai ke Lubuk Pakam dan sekitar 20 menit untuk sampai Desa Perkebunan Ramunia. Awal masuk dari simpang timbangan, maka akan menjumpai sebuah galon minyak, galon tersebut berada di persimpangan jalan, dari persimpangan tersebut untuk menuju lokasi desa harus berbelok ke arah kanan. Selanjutnya hanya tinggal mengikuti jalan besar saja. Terdapat persimpangan lagi tepat di kecamatan beringin, dari sini maka

(43)

jalan yang digunakan adalah ke arah kanan. Mulai dari tempat inilah jalan yang dilalui berdampingan dengan areal persawahan. Sebelumnya tidak ada ditemukan areal ini saat dari Pakam sampai Kecamatan Beringin. Awal masuk kecamatan Pantai Labu ditandai dengan tanaman padi yang indah untuk dipandang mata.

Desa ini merupakan desa yang tidak sulit dijangkau dengan transportasi umum. Hal ini dikarenakan desa ini berada di jalur lintas Lubuk Pakam-Pantai Labu dan terdapat angkutan umum jurusan Medan Pantai Labu melewati desa ini.

lebih tepatnya lagi, angkutan umum ini bergerak dari Tanjung Anom melewati pasar Melati, simpang Pos, Amplas, Lubuk Pakam, dan Pantai Labu. Sedangkan jika bergerak dari Simpang Pos Padang Bulan, maka hanya tinggal menunggu angkot berwarna kuning benomor 03.

Desa ini memiliki jumlah penduduk sebesar 2108 jiwa, dimana laki-laki 1063 jiwa dan perempuan 1045 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut terdapat penduduk yang beragama Islam sebesar 90 % dan Kristen sebesar 10 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas pada masyarakat di desa Perkebunan Ramunia. Selain itu, suku Jawa merupakan mayoritas yaitu sekitar 85 % diantara suku-suku lain seperti Batak Toba 10%, dan Karo 5 %. Dari segi pekerjaan , Petani dan Buruh Tani merupakan pekerjaan yang sangat dominan di desa ini yaitu mencapai 75 %, kemudian terdapat masyarakat yang bekerja sebagai Nelayan sebesar 15 % dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 10 %.

Desa ini dinamakan Desa perkebunan Ramunia karena desa ini merupakan desa peninggalan zaman Belanda. Dulunya, sebagian besar dari wilayah desa ini

(44)

adalah desa perkebunan yang dibangun oleh Belanda. Perkebunan Ramunia merupakan perkebunan yang didirikan sejak Zaman penjajahan Belanda.

Perkebunan ini berdiri sekitar tahun 1890-an. Belanda mengambil tenaga kerja atau buruh dari Pulau Jawa, maka didirikanlah pondok-pondok untuk tempat tinggal pekerja dari Pulau Jawa tersebut. Pekerja dari Jawa atau sering disebut dengan buruh kontrak tinggal menetap di pondok-pondok tersebut.

2.2. Sejarah Desa Perkebunan Ramunia

Desa Perkebunan Ramunia merupakan Desa bekas tanah perkebunan Belanda. Lahan di Desa ini merupakan lahan perkebunan peninggalan Belanda yang bernama perkebunan Senembah Maatschappij. Pada sekitar tahun 1880-an, dibuka perkebunan di Sumatera Timur yang salah satunya adalah perkebunan Ramunia. Selama masa menguasai perkebunan, Perusahaan mendirikan perumahan buruh kontrak yang dibawa dari Pulau Jawa untuk bekerja di perkebunan.

Desa Perkebunan Ramunia adalah nama suatu wilayah di kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Menurut beberapa tokoh masyarakat desa perkebunan Ramunia dikenal karena keberadaan sebuah perkebunan kelapa dengan sungai-sungai kecil di bawahnya. Pada musim hujan, tanah di wilayah perkebunan ini dapat dengan cepat meresapkan air hujan yang menggenangi wilayah tersebut. Menurut informasi masyarakat, wilayah perkebunan ini dijaga oleh Mbah Jenggot yang dkeramatkan. Oleh sebagian orang, kepercayaan terhadap Mbah Jenggot ini digunakan untuk keperluan ritual tertentu misalnya meminta petunjuk tentang siapa yang bakal menjadi Kepala Desa, untuk

(45)

pengobatan ataupun nomor undian berhadiah. Wilayah tersebut lambat laun menjadi sebuah desa yang pada saat sekarang ini bernama desa perkebunan Ramunia. Desa ini mulai terbentuk pada tahun 1940 melalui program pemerintah yang pada saat itu berjumlah 100 kepala keluarga dan dipimpin oleh seorang kepala kampong yang bernama Maertodinomo pada tahun 1955. Sejak tahun 1955, pengelolaan desa diserahkan kepada pemerintah daerah provinsi Sumatera Utara dan selanjutnya dilakukan pemilihan kepala desa yang pertama. Kepala Desa terpilih adalah bapak Marto Dinomo.

Lahan yang digunakan untuk lokasi desa Perkebunan Ramunia berasal dari penyerahan Belanda pada masa pemerintahan Kepala Desa pertama. Menurut warga, dulunya perkebunan Ramunia tidak disebut sebagai desa pada Zaman Penjajahan saat Ketika perusahaan Senembah Maschapajj menguasai perkebunan.

Dulunya tempat tinggal masyarakat hanya disebut kampong dimana terdapat pondok-pondok yang ditempati buruh.

Kegiatan desa Perkebunan Ramunia banyak digunakan untuk menata kelembagaan kelompok-kelompok masyarakat walaupun masih bersifat sederhana., mulai dari pembagian regu yang nantinya berkembang menjadi dusun dan penataan kelompok-kelompok pertanian yang ada. Pada saat itu, kegiatan kelompok banyak bekerja pada sektor (pertanian, perkebunan), dan masyarakat sebagai kuli di perkebunan kelapa. Kemudian lama-kelamaan semakin banyaknya pendatang dari desa lain yang membawa ternaknya ke perkebunan Ramunia.

Gambar

Foto 1: Kondisi Jalan di dusun Anggrek Baru  Sumber: Dokumen Pribadi
Foto 2: Jalan Utama yang menghubungkan Pantai Labu- Pakam  Sumber Dokumen Pribadi
Foto 4: Kantor Kepala Desa  Sumber Dokumen Pribadi
Foto 6: Tanah Wakaf di Dusun Anggrek  Sumber Dokumen Pribadi
+2

Referensi

Dokumen terkait

J: Kalau untuk orang tua sih mereka ngebebasin ya, ibaratnya aku mau gini aku mau gini, aku bisa memilih ya, asalkan terbaik buat aku tapi kalau menyimpang sedikit aja, orang tua

Paska perceraian orang tua subyek mengalami hambatan dalam berbagai segi perkembangan diantaranya, kesehatan yang menurun dan penyakit yang sering kambuh,

Pentingnya penyerapan tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi menjadi dasar dilakukannya penelitian ini, maka didasarkan pada uraian latar belakang masalah,

Torganda yang merupakan pendamping KPKS Bukit Harapan dalam mengelola lahan tersebut yang pada saat ini sebagian besar sudan menjadi perkebunan kelapa sawit

Faktor keluarga yaitu cara orang tua mendidik, relasi antara keluarga, suasana rumah keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang

Tabel 4.2.4.1 Frekuensi Pernyataan Responden Terhadap Tangibles Tabel 4.2.4.2 Frekuensi Pernyataan Responden Terhadap Reliability Tabel 4.2.4.3 Frekuensi Pernyataan Responden

Perbedaan dalam penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dari segi responden, penelitian ini menggunakan responden para Dosen akuntansi pada perguruan tinggi negeri dan

Pembangunan adalah usaha perubahan menuju kepada keadaan yang lebih baik. Khusus di bidang pembangunan desa perubahan tersebut yang terutama adalah perubahan