• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian teori

6. Dasar Hukum Formil Yang Di Gunakan Hakim Peradilan Agama Dalam

Dasar hukum formil Peradilan Agama yang di gunakan dalam menangani Perbankan Syariah adalah yaitu UU dan PERMA (Peraturan Mahkama Agung) yang berkaitan langsung dengan pedoman beracaranya yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah

26

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut:25

1) Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;

2) Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan agama maupun hakim pada pengadilan tinggi agama, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;

3) Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc;

4) Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;

5) keamanan dan kesejahteraan hakim;

6) transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan

7) Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban biaya perkara;

8) Bantuan hukum; dan Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-25 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

27

Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat. Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional.26

Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

c. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membahas tentang, 27

1) Pedoman Mediasi Di Pengadilan meliputi : ruang lingkup, Jenis Perkara Wajib Menempuh Mediasi, Sifat Proses Mediasi, Kewajiban Menghadiri Mediasi, Iktikad Baik Menempuh Mediasi, Biaya Mediasi, Biaya

26Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

27Peraturan Mahkamah Agung RI pasal 1 ayat 1Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

28

Pemanggilan Para Pihak, Tempat Penyelenggaraan Mediasi, Tata Kelola Mediasi di Pengadilan,

2) Mediator meliputi: Sertifikasi Mediator dan Akreditasi Lembaga, Tahapan Tugas Mediator, Pedoman Perilaku Mediator, Tahapan

3) Pramediasi meliputi: Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara, Kewajiban Kuasa Hukum, Hak Para Pihak Memilih Mediator, Batas Waktu Pemilihan Mediator, Pemanggilan Para Pihak, Akibat Hukum Pihak Tidak Beriktikad Baik,

4) Tahapan Proses Mediasi meliputi Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi, Ruang Lingkup Materi Pertemuan Mediasi, Keterlibatan Ahli dan Tokoh Masyarakat, Mediasi Mencapai Kesepakatan, Kesepakatan Perdamaian Sebagian, Mediasi Tidak Berhasil atau Tidak dapat Dilaksanakan,

5) Perdamaian Sukarela meliputi: Perdamaian Sukarela pada Tahap Pemeriksaan Perkara, Perdamaian Sukarela pada Tingkat Upaya Hukum Banding, Kasasi, atau Peninjauan Kembali

6) Keterpisahan Mediasi Dari Litigasi, 7) Perdamaian Di Luar Pengadilan,

d. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.

Perkara Ekonomi Syariah adalah perkara di bidang ekonomi syariah meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka

29

syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, penggadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, termasuk wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat komersial, baik yang bersifat kontensius maupun volunteer.28 Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariahmeliputi tentang Ruang Lingkup, Tata Cara Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Sederhana, Putusan, Tata Cara Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Biasa, Tahapan Pemeriksaan Sengketa Ekonomi Syariah (Tata Cara Pemanggilan, Persidangan, Upaya damai), pembuktian, putusan, pelaksanaan putusan, ketentuan peralihan.

e. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2016 Tentang sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah

Perkara ekonomi syariah harus diadili oleh hakim ekonomi syariah yang bersertifikat dan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.29Sertifikasi hakim ekonomi syariah bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penanganan perkara-perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari upaya penegakkan hukum ekonomi syariah yang memenuhi rasa keadilan.30

f. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 Perubahan Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana Perubahan atas PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

28Peraturan Mahkamah Agung RI Pasal 1 ayat 4 Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.

29Peraturan Mahkamah Agung RI pasal 2 Nomor 5 Tahun 2016 Tentang sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah

30Ibid pasal 3

30

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2019 Tentang Perubahan Perma No.2 Tahun 2015 Tentang cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan waktu penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama.31

Adapun yang tidak termasuk dalam gugatan sederhana ini adalah : Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau sengketa hak atas tanah. Berikut adalah ketentuan bagi para pihak gugatan sederhana :

1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.

2) Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana. Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.

3) Dalam hal penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat, penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa,

31 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 Perubahan Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana Perubahan atas PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

31

kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.

4) Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

5) Penggugat dan tergugat dapat menggunakan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

32 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif melalui pendekatan hukum normatif yang merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti Peraturan Perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum dan dapat berupaa pendapat para sarjana.

Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan hukum normative yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka. Sehingga dalam penelitian ini peneliti berfokus mengenai penerapan norma-norma hukum. 32 Pada norma tersebut mengatur kompetensi hakim Peradilan agama dan hukum dipergunakan dalam menyelesaikan sengkata Perbankan Syariah yang ada pada Pengadilan Agama Kelas 1a Kota Makasaar.

B. Lokasi Dan Objek Penelitian

Lokasi Penelitian ini akan dilakukan pada Pengadilan Agama Kelas 1A kota Makassar yang beralamat Jalan Perintis Kemerdekaan No km, Daya, Kec Biringkanaya, Kota Makassar. Penulis memilih lokasi ini di karenakan Sengketa Perbankan Syariah hanya terdapat pada Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Makassar.

32www.gurupendidikan.co.id/metode-penelitian-hukum

33

C. Fokus Penelitiandan Deskriptif Fokus Penelitian 1. Fokus Penelitian

Dalam membantu dan mempermudah penyelesaian serta penganalisaan penelitian ini serta memfokuskan yang akan menjadi sumber acuan informasi dengan menspesifikasikan rumusan masalah yang telah di tetapkan yaitu:

a. Kompetensi Hakim Pengadilan Agama b. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah 2. Deskriptif Fokus Penelitian

Adapun yang menjadi deskriptif fokus penelitian adalah :

a. Kompetensi Hakim Peradilan Agama adalah kewenangan badan Peradilan Agama yang diberi mandat oleh Undang-Undang dalam menyelesaikan Perkara terkusus kepada para pencari keadilan yang beragama Islam, yakni perkara wasiat, isbath nikat, perceraian, hibah, ekonomi syariah dan lain sebagainya.

b. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah adalah cara yang dilakukan dalam memberikan solusi permasalahan yang terjadi pada lembaga keuangan baik melalui Peradilan maupun diluar Peradilan

D. Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan, yaitu : 1. Sumber Hukum Primer

Sumber hukum primer merupakan bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang akan diteliti. Sumber data dalam hal ini adalah UU yang

34

mengatur tentang kompetensi hakim Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah, Putusan Pengadilan Agama

2. Sumber Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan data yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum data primer. Sumber hukum sekunder dalam hal ini adalah sumber yang berupa data berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, seperti buku-buku, jurnal maupun media lainnya yang bersifat menunjang dalam penelitian ini.

3. Sumber Hukum Tersier

Sumber hukum tersier merupakan bahan-bahan data yang memberikan informasi tentang hukum primer dan sekunder. Dalam hal ini sumber hukum tersier, diperoleh dari sejumlah bahan serupa kamus, baik kamus hukum, kamus istilah-istilahPerbankan Syariah, kamus bahasa Arab-Inggris, Kamus besar bahasa Indonesia, Serta Al-Qur’an Terjemahan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penilitian ini menggunkan beberapa teknik pengumpulan data :

1. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dengan cara mengamati objek yang di teliti secara langsung

2. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang di tunjukkan untuk untuk memperoleh data sekunder, mengenai Kompetensi Hakim

35

Peradilan Agama dalam menyelesaikan Sengketa perbankan syariah (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Kota Makassar)

3. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data, dengan cara Tanya jawab secara langsung antaraa peneliti dengan responden guna memperoleh penelitian.

F. Instrumen Penelitian

Penelitian mengenai Kompetensi Hakim Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah (Studi Kasus pada Pengadilan Agama Kelas 1a Kota Makassar), memiliki instrument penelitian utama yaitu pedoman yaitu :

1. Panduan observasi, yaitu alat bantu berupa pedoman pengumpulan data yang di gunakan pada saat proses penelitian.

2. Pedoman wawancara, yaitu alat berupa catatan-catatan pertanyaan yang di gunakan dalam mengumpulkan data dengan menggunakan handphone sebagai alat perekam suara.

3. Dokumentasi, yaitu alat yang digunakan untuk membuktikan hasil penelitian yang akurat dengan menggunakan camera.

G. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang di gunakan adalah teknik analisis Kualitatif. Dimana penelitian kualitatif merupakan penelitian yang di

36

gunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang ilmiah, yakni sesuatu yang apa adanya, tidak memanipulasi data dan kondisinya.33

Analisis data terditi dari 3 (tiga) alur kegiatan yaitu:34 1. Reduksi data

Reduksi data merupakan kegiatan memilih, menyerhanakan, dan memusatkan perhatian dari data mentah yang telah di peroleh.Data yang di peroleh kemudian di catat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan mencari tema dan pola yang di anggap relavan dan penting yang berkaitan dengan Kompetensi Hakim Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah

2. Penyajian data

Penyajian data dalam penelitian ini akan di lakukan dalam bentuk uraian singkat kasus atau perkara dan sejenisnya yang berguna untuk memudahkan peneliti dalam merencanakan kegiatan selanjutnya.

3. Verifikasi/Penarikan kesimpulan

Verifikasi yaitu penjelasan tentang makna data dalam suatu konfigurasi yang secara jelas menunjukkan alur kausal, sehingga dapat diajukan proposisi yang terkait dengannya.35 Dalam hal ini peneliti nantinya akan menyusun data yang sudah dipolakan, difokuskan dan di susun secara sistematik dalam bentuk naratif maka melalui melalui metode induksi data

33 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,2011), hlm 1

34 Rahman,Maman,Metode Penelitian Pendidikan Moral, dalam pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Campuran, Tindakan, dan Pengembangan.(Semarang: Unnes Press,2011),hlm.173

35 Muhammad Ali, Strategi Penelitian Pendidikan,(Cet.II,Bandung:Angkasa,1993),hlm 167

37

tersebut peneliti dapat menyimpulkan, sehingga makna dapat di temukan dalam bentuk tafsiran argumentasi.

Dengan demikian, analisis data yang akan peneliti lakukan adalah berawal dari observasi, kemudian interview secara mendalam. Kemudian mereduksi data, dalam hal ini peneliti akan memilih dan memilah data yang di anggap relavan dan penting. Setelah itu, peneliti akan menyajikan hasil penelitian dengan temuan-temuan baru yang akan kemungkinan akan di temukan oleh peneliti lalu membandingkan dengan penelitian yang serupa. Sehingga nantinya, peneliti dapat membuat kesimpulan dan implikasi atau saran di akhir penelitian.

38 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Sejarah Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Makassar36 a. SK Pembentukan Pengadilan Agama

1) PP 45 Tahun 1957 Tentang Pengadilan Agama 2) UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama b. Sebelum PP No 45 Tahun 1957

Sejarah keberadaan Pengadilan Agama Makassar tidak diawali dengan Peraturan Pemerintah (PP. No. 45 Tahun 1957), akan tetapi sejak zaman dahulu, sejak zaman kerajaan atau sejak zaman Penjajahan Belanda, namun pada waktu itu bukanlah seperti sekarang ini adanya. Dahulu Kewenangan Seorang Raja untuk mengankat seorang pengadil disebut sebagai Hakim, akan tetapi setelah masuknya Syariah islam, Maka Raja kembali mengangkat seorang Qadhi.

Kewenangan Hakim diminimalisir dan diserahkan kepada Qadhi atau hal-hal yang menyangkut perkara Syariah agama Islam. Wewenang Qadhi ketika itu termasuk Cakkara atau Pembagian harta gono-gini karena cakkara berkaitan dengan perkara nikah.

Pada zaman penjajahan Belanda, sudah terbagi yuridiksi Qadhi, yakni Makassar, Gowa dan lain-lain. Qadhi Pertama di Makassar adalah Maknun Dg. Manranoka, bertempat tinggal dikampung laras, Qadhi lain yang dikenal ialah K.H. Abd. Haq dan Ince Moh. Sholeh, dan Ince Moh.

36https://pa-makassar.go.id/tentang-pengadian/profile-pengadilan/sejarah-pengadilan

39

Sholeh adalah Qadhi terakhir, jabatan Ince Moh. Sholeh disebut Acting Qadhi. Qadhi dahulu berwenang dan berhak mengangkat sendiri para pembantu-pembantunya guna menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi dan tugasnya, dan pada zaman pemerintahan Belanda saat itu dipimpin oleh Hamente.

Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah Makassar terbentuk pada tahun 1960, yang meliputi wilayah Maros, Takalar dan Gowa, karena pada waktu itu belum ada dan belum dibentuk di ketiga daerah tersebut, jadi masih disatukan dengan wilayah Makassar.

Sebelum terbentuknya Mahkamah Syariah yang kemudian berkembang menjadi Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah, maka dahulu yang mengerjakan kewenangan Pengadilan Agama adalah Qadhi yang pada saat itu berkantor dirumah tinggalnya sendiri. Pada masa itu ada dua kerajaan yang berkuasa di Makassar yaitu kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo dan dahulu Qadhi diberi gelar Daengta Syeh kemudian gelar itu berganti menjadi Daengta Kalia.

c. Sesudah PP No 45 Tahun 1957

Setelah keluarnya PP. No. 45 Tahun 1957, maka pada tahun 1960 terbentuklah Pengadilan Agama Makassar yang waktu itu disebut

“Pengadilan Mahkamah Syariah” adapun wilayah Yurisdiksinya dan keadaan gedungnya seperti diuraikan pada penjelasan berikut:

Wilayah Yurisdiksi Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Kota Makassar mempunyai batas-batas seperti berikut:

40

1) Sebelah Barat berbatasan dengan selat Makassar;

2) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros;

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone;

4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa 2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Makassar37

a. Visi

Terwujudnya Pengadilan Agama Makassar yang bersih, berwibawah, dan professional dalam penegakan hukum dan keadilan menuju supermasi”

b. Misi

Berdasarkan Visi Pengadilan Agama Makassar kedepan, maka ditetapkan beberpa misi Pengadilan Agama Makassar visi tersebut.

Misi Pengadilan Agama tersebut adalah :

1) Mewujudkan Pengadilan Agama yang transparan dalam proses peradilan.

2) Meningkatkan efektivitas pembinaan dan pengawasan.

3) Mewujudkan tertib administrasi dan manajemen peradilan.

4) Meningkatkan sarana dan prasarana hukum.

37https://pa-makassar.go.id/tentang-pengadian/visi-dan-misi

41

3. Struktur Pengadilan Agama Kelas 1a Kota Makassar

Berikut adalah bagan struktur organisasi Pengadilan Agama Makassar Kelas IA Kota Makassar, antara lain: 38

(sumber dari wbsite resmi PA Kelas 1A Kota Makassar)

4. Putusan Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama Kelas 1a Kota Makassar NO.863/PDT.G/2020/PA.MKS

Pada Putusan No.863/Pdt.G/2020/PA.MKS ditemukan sebuah persoalan ekonomi syariah antara Penggugat (Debitur) melawan PT. Bank Permata, Tbk. Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kota Makassar dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kantor Wilayah Makassar. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. Lebih jelasnya ditambilkan amar putusan Putusan No.863/Pdt.G/2020/PA.MKS berikut:

MENGADILI Dalam Eksepsi

Menolak eksepsi Tergugat;

Dalam Provosisi

Menolak gugatan provesi Penggugat;

38https://pa-makassar.go.id/tentang-pengadian/profile-pengadilan/struktur-organisasi

42 Dalam Pokok Perkara

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2) Menyatakan Akad atau Perjanjian Pemberian Fasilitas Musyawarakah Mutanaqisah (Ketentuan Khusus), No. KK/86102-171109/N/MOR tertanggal 05 Januari 2018 adalah sah dan memiliki kekuatan hukum;

3) Menyatakan Penggugat telah melakukan prestasi sejumlah Rp.

78.156.751,05 (tujuh puluh delapan juta seratus lima puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh satu rupiah);

4) Menyatakan pula sisa utang pokok Penggugat sejumlah Rp.

546.231.396,60 (lima ratus empat puluh enam juta dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus Sembilan puluh enam rupiah);

5) Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Syahidal tantang Putusan No.863/Pdt.G/2020/PA.MKS

“kami para hakim berfikir melihat solusi ini yang bisa menyelesaikan masalah ini tanpa ada kepastian hukum. Jika permohonan ini di ikuti maka sdah sangat memberikan ketidak adilan kepada piham Perbankan, sementara nyata-nyata uang itu usdah di ambil dan dinikmati oleh nasabah dengan ratusan juta.

Jadi, karena prakterk Perbankan juga ada kiat-kiat yang sangat berbahaya yang perluh kita redam makanya kita ambil jalan tengah mengenai hutang pokok dan tidak ada lagi keuntungan sesudah itu dalam artian memberikan kepastian hukum agar jumlah hutang nasabah tidak di tambah oleh pihak Bank dengan adanya Kepastian Hukum tersebut”

Dari Putusan No.863/Pdt.G/2020/PA.MKS terdaftar di Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Makassar, perkara Ekonomi Syariah antara Penggugat (Debitur) melawan PT. Bank Permata, Tbk, mengambil langkah untuk memberikan kepastian hukum agar supaya bank tidak lagi memberikan beban hutang kepada nasabah yang bisa saja kemudian hari akan terjadi permasalahan. Dengan adanya kepastian hukum tersebut dapat meringankan pihak nasabah meskipun terbukti nasabah/ penggugat tersebut telah terbukti

43

melakukan wanprestasi karena kealalaian nasabah/penggugat dalam dalam menyelesaikan hutang pada pihak perbankan Syariah dibuktikan dengan pemeriksaan bukti otentik serta saksi ahli dari Perbankan Syariah/Tergugat.

B. Kompetensi Hakim Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah

1. Kewenangan Peradilan Agama

Dasar hukum kewenangan Peradilan Agama yaitu UU no 7 tahun 1989 yang telah mengalami perubahan tiga kali, perubahan pertama yaitu UUno 3 tahun 2006 kemudian perubahan kedua UU no 50 tahun 2009. Yang jelas mulai dari UU no 7 tahun 1989 sudah jelas bahwa, perkara-perkara apa saja yang dapat di periksa oleh Pengadilan Agama, mulai dari masalah perkawinan, isbath nikah, perwalian anak, kewarisan dan lain sebagainya.

Dalam UU ini, yang masih bersifat sengketa tidak di jelaskan secara khusus bagaimana volunternya dan juga belum mengatur tentang Ekonomi Syariah.

Sebagaimana hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Kelas A1 Kota Makassar, bapak Drs. Syahidal yang mengatakan:

“Dengan lahirnya UU no 3 tahun 2006, di situlah mulai ada perubahan kewenangan untuk Pengadilan Agama termasuk penetapan ahli waris tanpa sengketa (volunteer), kalau kita ingin melihat masa klasik (dulu) sebelum adanya UU no 7 tahun 1989, penetapan ahli waris biasanya ada yang hartanya di tetapkan, tetapi karena ada banyak masalah yang timbul meskipun sudah jelas ada penetapan dari Pengadilan, oleh karena itu Pengadilan mengembalikan prinsip hukum tentang sejauh mana kewenangan peradilan agama, bukan saja Pengadilan Agama tapi seluruh peradilan, di mana permohonan yang bersifat volunteer atau yang tidak ada lawan, Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa

“Dengan lahirnya UU no 3 tahun 2006, di situlah mulai ada perubahan kewenangan untuk Pengadilan Agama termasuk penetapan ahli waris tanpa sengketa (volunteer), kalau kita ingin melihat masa klasik (dulu) sebelum adanya UU no 7 tahun 1989, penetapan ahli waris biasanya ada yang hartanya di tetapkan, tetapi karena ada banyak masalah yang timbul meskipun sudah jelas ada penetapan dari Pengadilan, oleh karena itu Pengadilan mengembalikan prinsip hukum tentang sejauh mana kewenangan peradilan agama, bukan saja Pengadilan Agama tapi seluruh peradilan, di mana permohonan yang bersifat volunteer atau yang tidak ada lawan, Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa