• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun manfaat dari penelitian ini : 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman objektifdan komperehensif bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di Pengailan Agama di masa mendatang.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Lembaga, penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

b. Bagi penulis, sebagai sarana penerapan ilmu pengetahuan dan tambahan wawasan mengenai ilmu Hukum pada Peradilan Agama terkhusus tentang kompetensi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

c. Bagi Pembaca, di harapkan mampu memberikan acuan bagi pembaca dan menjadi bahan referensi penelitian serupa dimasa mendatang.

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian teori

1. Kompetensi

Kompetensi menurut KBBI berarti Kekuasaan (Kewenangan) dalam mengambil sebuah tindakan untuk memutuskan suatu hal. Kompetensi menurut Undang-Undang Kekuasaan kehakiman Pasal 25 ayat (3), “Peradilan Agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kompetensi ini berarti mengimplemetasikan tugasnya, dimana Peradilan Agama adalah suatu Lembaga Peradilan yang berhak untuk melaksanakam kekasaan kehakiman berfungsi untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara khusus dibawah kewenangannya serta yang telah di atur oleh Undang-Undang. Peradilan Agama ini merupakan salah satu badan Peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung.

Kompetensi peradilan tentunya mengikat dua hal yaitu absolut dan relative.

Kewenangan absolut yang juga disebut kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut suatu pengadilan; kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.4

Kompetensi Absolut pada Lembaga Peradilan memiliki perbedaan sesuai dengan peraturan UU. Kompetensi Peradilan Agama, diatur dalam Pasal 2

4R. Soeroso, Prakrtik Hukum Acara Perdata: Tata cara dan proses Persidangan: (Jakarta:

Sinar Grafika,1994) hlm.6

7

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dibangun atas asas Personalitas Keislaman, sebagaimana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.5

2. Hakim

Menurut Bambang Wulyono, Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada yang tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan.6 Adapun Pengangkatan Hakim tidak terlepas dari zaman Nabi Muhammad SAW.

a. Contoh Kasus dan Penyelesaia pada masa Rasulullah SAW

Ulama yang meriwayatkan banyak hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW, berikut beberapa contoh kasus Hukum yang Pernah terjadi pada Masa Rasulullah SAW:7

5 Pasal 2 dan 49 UU Nomor 3 Tahun 2006

6 Bambang Wulyono, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika Edisi 1, Jakarta 1992. Halaman. 11

7 M.Adi Santoso, Skripsi “Kompetensi Hakim Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah (Studi Kasus pada Pengadilan Agama Tnajung Karang)” (Lampung :IAIN Raden Intan, 2016) Hlm. 19-20

8

1) Rasulullah SAW memutuskan perselisihan antara Abu Bakar dan Rabiah al Salami tentang tanah yang didalmnya terdapat pohon kurma yang miring.

Adapun batangnya di tanah Rabiah, sedangkan rantingnya di tanah Abu Bakar, dan masing-masing mengakui bahwa pohon tersebut miliknya. Lalu keduanya pergi ke Rasulullah SAW, maka beliau memutuskan bahwa ranting menjadi milik orang yang memiliki batang pohon.

2) Khasa’ binti Khadam Al Anshariyah dinikahkan oleh bapaknya sedangkan dia janda dan tidak menyetujuinya, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW, maka beliau membatalkan pernikahan tersebut, lalu berkata kepada Rasulullah SAW : “saya tidak menolak sesuatu apa pun yang diperbuat ayahku, tapi saya ingin mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa mereka memiliki keputusan terhadap diri mereka”.

3) Seorang wanita ditalak suaminya, dan suaminya ingin mengambil anak darinya. Lalu ia datang kepada Nabi Muhammad SAW, maka beliau berkata kepadanya: “engkau lebih berhak dengannya, selama engkau tidak menikah”

Ketegasan dalam QS. An-Nisā‟: 65

اَلَف اَكِّ ب َر َو اَل اَن ْوُنِّم ْؤُي اَح اىّٰت اَك ْوُمِّ كَحُي اَمْيِّف اَرَجَش اْمُهَنْيَب ا مُث اَل اا ْوُد ِّجَي يِّف اْمِّهِّسُفْنَا اًج َرَح ا مِّ م اَتْيَضَق اا ْوُمِّ لَسُي َو اًمْيِّلْسَت

Terjemahnya : "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa:65)8

8Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya(Bandung : Syaamil Quran, 2012).

Hlm 88

9

Penyelesaian Sengketa Pada Masa Rasulullah Saw, senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam dalam firmannya:

ِ نَأ َو مُكْحٱ مُهَنْيَب ِ اَم ب َِلَزنَأ َُِللّٱ َِل َو ِْع بَتَت ِْمُهَء ا َوْهَأ ِْمُه ْرَذْحٱ َو ِنَأ َِكوُن تْفَي ِ نَع ِ ضْعَب

ِ اَم َِلَزنَأ َُِللّٱ َِكْيَل إ ِ ۖ ن إَف ِْوَل َوَت ِ ا ِ ْمَلْعٱَف اَمَنَأ ُِدي رُي َُِللّٱ نَأ مُهَبي صُي ِ ضْعَب ب ِْم ه بوُنُذ ِ ۖ

َِن إ َو اًري ثَك َِن م ِ ساَنلٱ َِنوُق سََٰفَل

Terjemahnya :"Dan hendaklah kamu memutus perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telh diturunkn Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yng telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagaimana dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."

(QS. Al-Maidah: 49)9

Ada empat perangkat hukum yang di jadikan panduan bagi qadhi dalam memberikan hak kepada yang berhak menerimanya:10

1) Pengakuan (ikrar) yaitu pengakuan seorang terdakwa terhadap semua dakwaan terhadapnya dengan jujur.

2) Bukti yaitu kesaksian para saksi sebagaimana di sebutkan dalam sebuah kaidah majalah alhakam aldhiyah yang bersumber dari sebuah hadis nabi Muhammad saw.paling sedikit saksi adalah 2 (dua) orang maka jika tidak ada 2 orang saksi cukup dengan satu saksi dengan sumpah.dalam al-quran Allah Swt telah menjelaskan berkaitan dengan saksi yaitu dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan.

9Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Syaamil Quran, 2012).

Hlm 116

10Alaidin Koto, et.al., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.39-45

10

3) Sumpah, suatu pernyataan yang khidmat, di ucapkan waktu memberi keterangan atau janji atas nama Allah Swt

4) Penolakan yaitu terdakwa menolak untuk bersumpah sehingga ia tidak mengucapkan sumpahnya. Imam malik berpendapat tentang penolakan tertuduh untuk bersumpah, maka sumpah harus di kembalika kepada orang yang menuduh, apabila ia bersedia bersumpah. Maka hakim memutuskan perkaranya. Rasulullah SAW pernah mengembalikan sumpah tertuduh kepada yang menuduh.

Kemudian Rasulullah juga mewanti-wanti tugas seorang hakim jangan sampai melakukan hal-hal yang dapat membuat keputusan yang salah karena sedang tidak stabil atau emosi dan faktor lainya seperti menerima suap dan lain-lain.11

Adapun Hadis tentang larangan memutus perkara saat sedang marah:12

اْنَع ادْبَع اِّنَمْح رلا اَنْب يِّبَأ اَة َرْكَب اَلاَق: اَبَتَك وُبَأ اَة َرْكَب ىَلِّإ اِّهِّنْبا اَناَك َو اَناَتْس ِّجِّسِّب اْنَأِّب اَل اَي ِّضْقَت اَنْيَب اِّنْيَنْثا اَتْنَأ َو ،ُناَبْضَغ يِّ نِّإَف اُتْعِّمَس ا يِّب نلا ى لَص اُ اللّ اِّهْيَلَع اَم لَس َو اُلوُقَي:

اَل ا نَي ِّضْقَي ا مَكَح اَنْيَب اِّنْيَنْثا اَوُه َو اُناَبْضَغ

Terjemahnya :

Dari ‘Abd. al-Rahman ibn Abi Bakrah, ia berkata, Ayahku telah menulis dan aku pula menuliskan untuk ayahku kepada ‘Ubaidillah ibn Abi Bakrah, seorang hakim di Sijista, bahwa jangan memutuskan hukum di antara dua orang, sedang engkau dalam keadaan marah.

Sesungguhnya aku (Abu Bakar) telah mendengar Rasulullah saw.

bersabda, ‚Janganlah seseorang menghakimi dua orang yang berperkara sedang ia dalam keadaan marah‛ (HR Al-Bukhari 6625)

11Farid Abdul Khliq, FIkih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005) hlm. 115-116

12https://risalahmuslim.id/larangan-memutuskan-perkara-saat-marah/

11 b. Kode etik Hakim

Seorang Hakim haruslah memiliki budi pekerti yang baik dalam menjalankan tugas, sikap tersebut tertuang dalam kode etik yang harus selalu dipegang oleh para hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim di tuntut untuk menaati kode etik dan perilakunya senantiasa berpegang pada Pasal 5 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 dan berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI serta Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 atau 02/SKB/P.KY/IV/2009. Kode etik dan pedoman perilaku hakim di implementasikan dalam sepuluh aturan sebagai berikut:13

1) Berperilaku adil 2) Berperilaku jujur,

3) Berperilaku arif dan bijaksana, 4) Bersikap mandiri

5) Berintegritas tinggi, 6) Bertanggung jawab

7) Menjunjung tinggi harga diri 8) Berdisiplin tinggi.

9) Berperilaku rendah hati 10) Bersikap profesional

13Keputusan Bersama ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 atau 02/SKB/P.KY/IV/2009 tantang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

12

c. Tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili sebuah perkara pada Pengadilan agama

Adapun tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara di bagi menjadi tiga tahap antara lain:14

1) Konstatiring, yaitu dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Konstatiring ialah meliputi:

a) Memeriksa identitas para pihak

b) Memeriksa kuasa hukum para pihak (jika ada) c) Mendamaikan pihak-pihak

d) Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara

e) Memeriksa seluruh fakta atau peristiwa yang dikemukakapara pihak

f) Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta atau peristiwa

g) Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian

h) Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan

i) Mendengar pendapat atau kesimpulan masing-masing pihak j) Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku

14 Mukti Arto, Praktek Perkara pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 36-37

13

2) Kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan yang meliputi :

a) Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara b) Merumuskan pokok perkara

c) Mempertimbangkan beban pembuktian

d) Mempertimbangkan peristiwa atau fakta sebagai peristiwa atau fakta hukum

e) Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan yuridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian

f) Mempertimbangkan jawaban, keberatan, dan sangkalan-sangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian g) Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa atau

fakta-fakta yang terbukti dengan petitum

h) Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tak tertulis dengan menyebutkan sumber-sumbernya

i) Mempertimbangkan biaya perkara.

3) Konstituiring, yang dituangkan dalam amar putusan (dictum) a) Menetapkan hukumnya dalam amar putusan

b) Mengadili seluruh petitum

c) Mengadili tidak lebih dari petitum kecuali undang-undang menentukan lain

d) Menetapkan biaya perkara.

14

d. Pengangkatan Hakim Pada Peradilan Agama

Dalam pasal 13 (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 menyatakan Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:15

1) warga negara Indonesia;

2) Beragama Islam;

3) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

4) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945

5) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam “Gerakan G.3O.S/PKI” atau organisasi terlarang lainnya.

6) Pegawai Negeri

7) Sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

8) Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) 9) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

3. Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam Pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara

15Undang-Undang Republik Indonesia pasal 13 (1) Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

15

tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No.

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama adalah perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syari'ah. Jadi, untuk perkara ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan absolut dari pengadilan agama.16

a. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia .

Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut.

adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan sering kali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi Pengadilan Agama melemah. Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.17

Kerajaan Islam yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik,

16 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4cd4042b91308/peradilan-agama/

17Muchtar Zarkasyi, Sejarah Peradilan Agama di Indonesia,(Jakarta:Prenada Group:2019) Hlm 21

16

Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara.18

Munculnya banyak kelompok Islam yang terjadi di masyarakat sehingga Lembaga Peradilan semakin dibutuhkan. Dalam hal ini apabila terjadi sengketa dalam masyarakat maka hal itu pula yang mendasari Lembaga peradilan dibangun atau dibentuk, dimana pembentukan ini harus di landasi dengan Hukum Islam. Namun apabila dalam suatu masyarakat tidak terdapat Lembaga Peradilan maka, di berikan penanganan dengan cara memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bersengketa untuk dapat melakukan tahkim terhadap orang-orang yang memiliki wewenang atas hal tersebut namun hal ini dapat di laksanakan apabila kelak putusan yang di keluarkan tentunya disepakati terlebih dahulu untuk diterimah serta berjanji unntuk mematuhinya.

Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia bermula dari tahkim, sejak Islam berada di Indonesia, kala itu masyarakat sama sekali belum mengenal agama Islam, sehingga apabila terjadi sengketa di antara mereka maka ia bertahkim terhadap seseorang yang di anggap memahami solusi permasalahan tersebut (ulama).

Seiring perkembangan agama Islam yang saat itu mulai dikenal oleh masyarakat, mereka mulai mengenal bagaimana cara untuk menghandle

18ibid

17

kehidupan yang akan mereka jalani, mereka sudah mengenal peradilan, pada masa itu dilaksanakan oleh para Penghulu yang merupakan pengurus masjid di suatu wilayah. Persidangan pada masa itu, posisinya berada pada serambi masjid oleh karena tata letak atau posisi persidangannya berada pada serambi masjid, maka mereka memberi nama Pengadilan Serambi yang bahkan waktu itu terjadi di seluruh wilaya Nusantara yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.

Pasang surut yang dialami oleh Pengadilan Agama tidak mampu di pisahkan dari sejarahnya. Lembaga ini berfungsi untuk memeriksa dan memtuskan perkara. Dalam masa pemerintahanVOC, Lembaga Peradilan Agama berencana akan di tiadakan lalu membentuk lemabaga Peradilan yang independen yang sumber hukumnya dari negara Belanda, akan tetapi tidak berjalan sesuai dengan rencana tersebut, pada saat itu masyarakat Islam sudah mampu memahami bahwa untuk aturan tersebut harus benar-benar bersumber dari hukum Islam. Pemerintahan VOC tidak berhenti sampai disitu mereka juga ingin agar wewenang pengadilan agama dalam mengadili di minimalisir (dikurangi).

Pada tahun 1830, Peradilan Agama berada di bawah pengawasan landraad (Pengadilan Negeri), mereka memiliki kekuasaan bahwa hanya mereka yang dapat memegang kendali terhadap putusan-putusan pada Pengadilan Agama.

Pada pemerintahnya juga Pengadilan Agama tidak diberi kewenangan dalam menyita uang atau barang yang menjadi objek sengketa tersebut. Tidak adanya

18

kewenangan yang di miliki Pengadilan Agama sampai di Undangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agama yang disebut dengan preisterraacf tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya, dan hukum Islam sebagai pegangannya.

Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia. Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah yang besifat nasional.

Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan

19

Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.

Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah.

Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.19

Keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai tampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut: .20

1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa"

2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara

3) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.

19https:// Peradilan_agama_di_Indonesia

20http://badilag.net/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag

20

Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama.Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya

b. Tugas Pokok dan Fungsi Peradilan Agama

Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara.

21

Tugas-tugas pokok Peradilan Agama ialah :21

1) Memberikan keterangan, pertimbangan serta nasehat tentang Hukum Islam.

2) Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.

3) Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.

4) Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beraga Islam.

Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Fungsi Peradilan Agama yaitu :22

1) Melakukan pembinaan terhadap pejabat struktural dan fungsional dan pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum

2) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya (pasal 53 ayat (1) dan (2), UU No.3 Tahun 2006)

3) Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman

21http://pa-muaratebo.go.id/index.php/tentang-pa/tugas-pokok-dan-fungsi-peradilan-agama

22Ibid

22 4. Perbankan Syariah23

a. Pengertian Perbankan Syariah

Sesuai UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif). Selain itu, kepatuhan pada prinsip syariah dipandang sebagai sisi kekuatan bank syariah. Dengan konsisten pada norma dasar dan prinsip syariah maka kemaslhahatan berupa kestabilan sistem, keadilan dalam berkontrak dan terwujudnya tata kelola yang baik dapat berwujud. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki peran penting adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.

Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada MUI yang fungsinya dijalankan oleh organ khususnya yaitu DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa kesesuaian syariah suatu produk bank. Kemudian Peraturan Bank Indonesia menegaskan bahwa seluruh

23 https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/UU-Regulasi-PBS.aspx

23

produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat setelah

produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat setelah