BAB IV ANALISA DATA DAN HASIL ANALISA DATA
IV. B.1.c. Data Hasil Wawancara
1) Hubungan responden (Rima) dengan suami
Pada awal perkenalan Rima dengan suaminya, ia merasa kurang tertarik karena saat itu Rima masih duduk di bangku sekolah menengah umum dan ia belum mau berpacaran. Oleh karena itu, suami Rima yang bernama Abdurrahim (bukan nama sebenarnya) mencoba memaklumi dan bersedia menunggu hingga Rima lulus SMU. Ketika Rima sudah lulus SMU, Abdurrahim pun mengutarakan niatnya untuk memperistri Rima kepada ibundanya. Ibunda Abdurrahim kemudian mendatangi orang-tua Rima untuk melamar Rima. Namun Rima belum mau menikah karena merasa belum cukup mengenal calon suaminya. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk pacaran dulu agar dapat saling mengenal. Masa pacaran Rima dengan suaminya berlangsung sekitar 5 tahun (R2, W2/b.1085-1101/hal.70).
Setelah menjalani masa pacaran tersebut, mereka pun berniat untuk menikah. Kemudian pada tanggal 13 Juni 1997, Rima dan Abdurrahim resmi menjadi pasangan suami istri. Selanjutnya mereka pindah ke Riau karena suami Rima bekerja di kota tersebut. Kondisi rumah tangga Rima dengan suaminya berlangsung dengan harmonis namun tetap tidak luput dari masalah. Masalah
timbul karena Rima tidak menyukai perilaku suaminya yang gemar minum tuak (sejenis minuman keras), meskipun hal tersebut dilakukan Abdurrahim untuk menghargai teman-temannya. Tetapi mereka dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik sehingga mereka dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya. (R2, W2/b.1106-1120/hal.70-71).
Setelah setahun lebih mereka berumah tangga, akhirnya Rima mengandung anak mereka yang pertama. Lebih kurang 9 bulan kemudian, Rima melahirkan seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Ine (bukan nama sebenarnya). Kebahagiaan Rima dan Abdurrahim pun semakin lengkap dengan kehadiran buah hati mereka. Suami Rima merupakan individu yang ramah, supel dan humoris. Sikap suaminya tersebut membuat Rima bahagia dan semakin mencintainya. Rima sangat senang jika suaminya sudah pulang bekerja, ia berusaha melayani suaminya sebaik mungkin (R2, W2/b.1121-1122; b. 1131-1144/hal.71).
Suami Rima sering meninggalkan Rima dan anaknya untuk urusan pekerjaan. Namun hal tersebut tidak mengurangi kasih sayang diantara mereka (R2, W1/b.272-277/hal.53).
Karir suami Rima di kantornya semakin maju pesat. Hal tersebut tentu saja membuat kehidupan mereka sedikit demi sedikit menjadi lebih baik dan keuangan mereka mengalami peningkatan. Namun hal ini malah menimbulkan masalah. Rekan kerja Abdurrahim ternyata ada yang tidak menyukai kemajuannya di kantor. Persaingan bisnis membuat hubungan diantara mereka merenggang (R2, W3/b.1729-1735/hal.85).
Ketika suaminya sedang bertugas memperbaiki lampu di kantornya, tiba-tiba suaminya terjatuh dari tangga dan kakinya terluka. Luka tersebut membuat kaki Abdurrahim menjadi bengkak karena infeksi, akibatnya Abdurrahim pun sulit untuk berjalan. Ia kemudian dirawat di rumah sakit sekitar 1 minggu (R2, W3/b. 1746-1750/hal.85).
Seminggu kemudian, Abdurrahim diperbolehkan untuk pulang ke rumah oleh dokter karena luka di kakinya sudah mulai sembuh. Kepulangan Abdurrahim disambut gembira oleh Rima dan anaknya. Namun, nasib naas kembali menimpa keluarga Rima. Sehari setelah Abdurrahim pulang ke rumah, terjadi suatu peristiwa mengejutkan. Siang itu Abdurrahim minta dibangunkan oleh Rima karena ia ingin mengurus surat asuransi kesehatannya di rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, ia mampir sebentar ke sebuah warung untuk membeli makanan untuk istri dan anaknya. Setelah itu, Abdurrahim beranjak pulang ke rumah, ia menghidupkan sepeda motornya dan mulai turun ke jalan. Tiba-tiba dari arah kanan jalan, ada sesuatu yang menghantam sepeda motor Abdurrahim sehingga ia terjatuh dan terseret ke aspal jalan raya. Suasana di jalan raya saat itu cukup gelap dan sepi, jadi tidak ada seorang pun yang melihat kejadian tersebut. Kira-kira satu jam lamanya Abdurrahim terbaring di jalanan menanti pertolongan, akhirnya sebuah mobil berhenti dan melihat Abdurrahim. Ternyata pengemudi mobil tersebut mengenal Abdurrahim dan ia pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat (R2, W1/b.103-122/hal.49-50).
Di rumahnya, perasaan Rima sangat tidak enak dan pikirannya pun kacau. Ia merasa tidak tenang. Tiba-tiba malam itu tetangga Rima datang dan
memberitahukan bahwa suami Rima kembali masuk ke rumah sakit karena kecelakaan. Rima dan anaknya segera ke rumah sakit untuk melihat kondisi suaminya. Ketika mereka datang, Abdurrahim masih sadar dan bahkan masih dapat berbicara kepada perawat (R2, W1/b.122-134/hal.50); (R2, W1/b/151-157/hal.50).
Rima merasa miris melihat keadaan suaminya. Tubuh Abdurrahim bagian kanan dipenuhi luka-luka karena terseret aspal jalan raya, bahkan persendian bahu suaminya hampir lepas seperti tertebas kapak. Hal tersebut membuat Rima merasa ada yang tidak beres dengan kecelakaan yang menimpa suaminya. Ia menduga ada seseorang yang sengaja membuat suaminya celaka (R2, W1/b. 163-173; b. 182-190/hal.51).
Karena keadaan suaminya yang semakin parah, manajer perusahaan tempat suami Rima bekerja akhirnya mengusulkan agar Abdurrahim segera dibawa ke rumah sakit di Medan untuk mendapat perawatan yang lebih baik lagi. Namun sayang, belum setengah perjalanan ke Medan akhirnya Abdurrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia pergi meninggalkan Rima dan anaknya untuk selamanya. Rima tidak sempat melihat suaminya untuk terakhir kalinya karena Rima tidak diizinkan untuk berada satu ambulan dengan suaminya. Jenazah Rahim kemudian dibawa ke rumah orang-tuanya di Medan dan kemudian dikebumikan di pemakaman dekat rumah mereka (R2, W1/b. 227-234/hal.52).
Dibalik peristiwa kematian suaminya yang tragis, tersimpan cerita-cerita mistis yang didengar Rima dari kerabat-kerabatnya. Ada teman Rima yang mengatakan kalau kematian suaminya disebabkan guna-guna dari orang yang
tidak menyukai suaminya. Begitu juga dengan adik ipar Rima yang memiliki kemampuan gaib, ia bercerita pernah didatangi sejenis makhluk halus yang menandakan ada sanak keluarganya yang meninggal karena diguna-gunai oleh orang lain (R2, W3/b. 1754-1775/hal.85-86).
Selain itu, Rima juga sering mengalami peristiwa-peristiwa aneh sebelum suaminya meninggal, misalnya rumah mereka sering didatangi oleh seekor ular besar yang mereka juga tidak tahu darimana asalnya. Namun Rima dan suaminya tidak memiliki dugaan apapun tentang hal tersebut. Mereka menganggap peristiwa itu sebagai kebetulan saja (R2, W3/b.1779-1792/hal.86).
Tetapi setelah suaminya meninggal dengan cara yang tragis sperti itu, Rima mulai mempercayai kalau sebenarnya ada sesuatu yang janggal dengan penyebab meninggalnya suami Rima. Namun Rima tidak dapat berbuat apa-apa dan menuntut apa-apa dari orang tersebut karena ia tidak memiliki bukti yang kuat. Ia hanya pasrah saja kepada nasib dan takdir yang diberikan oleh Tuhan (R2, W3/b.1827-1836/hal.87).
Peristiwa meninggalnya Abdurrahim membawa perasaan duka cita bagi seluruh keluarganya, khususnya Rima dan Ine. Sejak saat itu Rima menjadi orang-tua tunggal dan harus berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya dan anaknya.
2) Penghayatan responden (Rima) dalam menghadapi perasaan duka cita setelah kematian suami
Rima mengalami kesedihan yang sangat mendalam ketika suaminya meninggal. Rima juga shock berat hingga ia berulang kali tidak sadarkan diri
(pingsan). Selain itu, Rima juga diliputi kecemasan akan masa depan ia dan anaknya. Ia masih belum percaya terhadap kejadian yang dialaminya. Rasa marah dan tidak menerima kenyataan juga dialami oleh Rima yang tidak pernah menyangka akan menghadapi peristiwa seperti ini (R2, W1/b.302-306/hal.53-54); (R2, W1/b.327-336/hal.54).
Setelah jenazah suaminya dikebumikan, Rima masih merasa stres dan tidak bergairah dalam melakukan sesuatu. Rima juga mengurung diri di kamar. Kesedihan Rima mempengaruhi kondisi fisiknya. Rima sempat merasa sakit, lemah, tidak memiliki nafsu makan dan tidak bersemangat (R2, W1/b.343-348/hal.54); (R2, W1/b.522-539/hal.58).
Rima juga sempat menyesali nasib yang menimpa dirinya. Cita-cita yang selama ini diinginkannya yaitu memiliki keluarga yang utuh dan bahagia harus musnah karena suaminya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya (R2, W1/b.359-366/hal.55).
Karena kekalutannya dalam menghadapi peristiwa ini, kira-kira sebulan setelah suaminya meninggal, Rima pernah mengalami depersonalisasi, seperti tidak mengingat anak dan orang-tuanya. Ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan berjalan ditengah keramaian jalan raya (R2, W1/b.451-452; b.456-459/hal.57); (R2, W1/b.417-424/hal.56).
Kejadian tersebut membuat Rima tersadar. Ia pun mulai membenahi hidupnya. Rima mulai menyadari bahwa hal tersebut merupakan kehendak dari Tuhan. Ia hanya dapat berserah diri dan pasrah kepada nasibnya (R2, W1/b.336-342/hal.54).
Namun perasaan-perasaan emosional seperti sedih, depresi, dan kerinduan pada almarhum suami masih sering dirasakan Rima, khususnya jika ia sedang sendirian (R2, W2/b.1148-1155/hal.71); (R2, W3/b.1659-1664/hal.83).
Setelah 40 hari kematian suaminya, Rima pernah mengalami semacam kejadian aneh. Ia merasa arwah suaminya datang menemui dirinya. Rima merasa seperti ada yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya dan mengelus-elus rambutnya. Rima merasa hal tersebut dilakukan oleh arwah suaminya (R2, W3/b.1669-1686/hal.84).
Dua bulan setelah suaminya meninggal, Rima mulai menyesuaikan diri dengan hal tersebut. Ia mulai belajar untuk menerima kenyataan dan membentuk semangat baru. Namun Rima belum mau untuk menjalin hubungan dengan pria lagi karena ia masih trauma dengan kejadian yang menimpa almarhum suaminya (R2, W1/b.567; b. 574-578/hal.59); (R2, W1/b.1051-1058/hal.69)
3) Masalah-masalah yang dihadapi responden (Rima) a. Masalah ekonomi
Ketika Rima masih memiliki suami, ia tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak. Jadi kepergian suami Rima berdampak besar bagi perekonomian keluarga. Sebelum Rima mendapat pekerjaan tetap, ia berprofesi mengkreditkan barang-barang elektronik. Penghasilannya tersebut juga dibantu dengan uang asuransi dari kantor almarhum suaminya (R2, W1/b.634-642/hal.61); (R2, W1/b.503-508/hal.58).
Setelah 3 tahun menjadi janda akhirnya Rima mendapat pekerjaan tetap sebagai kasir di sebuah apotek. Kini Rima memiliki penghasilan tetap, namun masih saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan anaknya. Rima mengambil uang tabungan peninggalan suaminya untuk mencukupi biaya hidupnya (R2, W1/b.511-519/hal,58); (R2, W1/b.642-653/hal.61).
Meskipun Rima hidup pas-pasan, ia tidak pernah menyusahkan keluarganya. Rima berusaha untuk mandiri, bahkan jika ia memiliki rezeki lebih, ia memberikannya pada orang-tuanya. Keuangan Rima terkadang dibantu juga oleh adik Rima yang berada di Riau yang hidup berkecukupan (R2, W1/b. 653-661/hal.61).
b. Masalah keluarga
Ketika Rima masih tinggal serumah dengan orang-tua dan adiknya, Rima sering mengalami masalah keluarga dikarenakan ia merasa tersinggung dengan ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh keluarganya itu. Rima menuturkan kalau perasaannya menjadi sangat sensitif. Hal tersebut sering membuat Rima merasa sedih (R2, W3/b.1209-1219/hal.73-74); (R2, W3/b. 1243-1245; b. 1247-1249/hal.74).
Bahkan Rima pernah berniat pergi dari rumah orang-tuanya karena tidak tahan atas masalah tersebut. Namun Rima menyadari kalau sikapnya itu salah dan ia kembali lagi ke rumah orang-tuanya (R2, W3/b. 1260-1281/hal.74-75).
Masalah tersebut tidak membuat hubungan Rima dengan keluarganya renggang. Hubungan mereka baik-baik saja sampai sekarang. Begitu juga
hubungan Rima dengan keluarga almarhum suaminya. Rima tetap menjalin silaturahmi dengan mereka (R2, W2/b. 665-671/hal.61).
c. Masalah tempat tinggal
Sekarang Rima menempati sebuah rumah di salah satu perumahan di kota Medan. Rumah tersebut milik orang-tua Rima. Rima hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, Ine. Kedua orang-tua Rima tinggal dengan adiknya.
Kadang rima merasa tidak enak pada orang-tuanya karena ia tinggal menumpang di rumah tersebut. Untuk mengatasi perasaan tidak enak tersebut terkadang Rima memberi uang kepada orang-tuanya, walaupun jumlahnya tidak banyak tetapi orang-tua Rima merasa sangat senang dan bersyukur (R2, W2/b. 960-981/hal.67-68).
d. Masalah sosial
Rima merasa sedih jika ia harus bergabung dengan orang lain yang memiliki pasangan pada suatu pesta. Ia lebih memilih untuk tidak menghadiri pesta undangan perkawinan. Rima lebih merasa nyaman jika ia pergi melayat ke tempat orang meninggal.Rima merasa bisa menghibur orang yang berduka cita karena ia telah mengalami perasaan tersebut (R2, W3/b.1320-1328/hal.76); (R2, W3/b. 1332-1348/hal.76).
Mengenai status janda yang sering dianggap negatif oleh sebagian masyarakat, Rima tidak terlalu memikirkan pendapat tersebut. Rima termasuk orang yang jarang bergaul di lingkungan sekitarnya (R2, W2/b. 689-692; b. 695-704/hal.62).
Hubungan Rima dengan teman-temannya dan teman kantor suaminya dulu juga biasa-biasa saja. Rima memang tidak mau memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan orang lain (R2, W2/b. 708-717/hal.62).
Rima pernah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan dengan teman kantor suaminya yang ternyata menaruh hati pada Rima. Teman suami Rima tersebut bersikap kurang sopan terhadap Rima dan Rima pun menasihatinya agar jangan mengganggu dirinya lagi (R2, W2/b.722-728/hal.63); (R2, W2/b.735-757/hal.63).
Rima memang sering mengalami godaan-godaan seperti itu dari teman kantor almarhum suaminya. Bahkan ketika 5 bulan setelah kematian suaminya, duda-duda yang berada di sekitar perumahan PTP tempat Rima tinggal dulu mencoba untuk mendekati Rima. Namun pada saat itu Rima belum memiliki keinginan untuk menikah lagi (R2, W2/b.722-787/hal.64).
e. Masalah praktis
Untuk masalah-masalah praktis, Rima menangani masalah tersebut dengan tangannya sendiri. Rima mencoba untuk mandiri, dan terkadang anak perempuan Rima akan membantunya jika ia tidak sempat mengurus rumah tangganya (R2, W3/b.1299-1309/hal.75-76).
f. Masalah seksual
Selama 3 tahun Rima menjadi janda, ia seperti lupa akan dorongan seksual. Setelah 3 tahun Rima baru merasakan hasrat untuk berhubungan seks lagi. Rima menyadari hal tersebut ketika ada seorang temannya yang bertanya tentang pengalaman malam pertama, karena temannya itu akan menikah. Rima
lalu teringat akan kenangan-kenangan indah bersama almarhum suaminya (R2, W3/b.1401-1422/hal.78); (R2, W3/b. 1377-1382/hal.77).
Setelah waktu 3 tahun itu Rima kembali merasakan hasrat seksual seperti dahulu. Ia juga merasa tubuhnya seperti kembali menjadi gadis lagi karena mudah terangsang jika disentuh. Keinginan ini begitu kuat dialami Rima setelah ia bersih dari masa menstruasi (R2, W3/b. 1370-1373/hal.77); (R2, W3/b. 1421-1431/hal.78); (R2, W3/b.1391-1392/hal.78).
Untuk melampiaskan hasrat seksnya terkadang Rima melakukan masturbasi. Namun terkadang Rima menahan keinginan tersebut dengan cara banyak melakukan ibadah seperti mengaji (R2, W3/b.1382-1385; b.1388-1390/hal.77).
g. Masalah kesepian
Rima juga merasakan kerinduan pada suaminya ketika ia merasa kesepian. Namun Rima jarang mengalami masalah kesepian karena ia memiliki jiwa yang kuat dalam menghadapi setiap masalah yang menimpa dirinya (R2, W2/b. 1071-1076/hal.70); (R2, W3/b. 1464-1476/hal.79).
Jika Rima sedang merasa kesepian dan rindu pada suaminya, Rima akan membaca yassin untuk suaminya untuk menghilangkan rasa rindu dan sepi tersebut (R2, W2/b. 1076-1081/hal.70).
h. Ketegangan sebagai orang-tua tunggal
Rima juga merasakan sulitnya menjadi orang-tua tunggal karena harus berperan ganda. Ia mencari nafkah, mengurus anak dan juga mengurus pekerjaan
rumah tangga. Terkadang Rima merasa stres dalam menghadapi hal ini namun ia mengatasinya dengan beristighfar kepada Allah (R2, W2/b.932-951/hal.67).
4) Penghayatan responden (Rima) dalam menghadapi penderitaannya sebagai orang-tua tunggal
Kematian suami Rima yang tragis karena kecelakaan lalu lintas membuat Rima merasa shock dan tidak berdaya. Ia tidak pernah menyangka akan berpisah dengan suaminya secepat ini. Segala harapan dan cita-cita yang dulu diinginkannya kini harus musnah karena kepergian suaminya yang begitu mendadak. Rima merasa tidak adil karena Tuhan telah memperlakukannya seperti ini dan mengapa harus ia yang menjalani cobaan seberat ini (R2,W1/b.359-366/hal.55).
Peristiwa tersebut mau tak mau mengharuskan Rima menerima kenyataan sebagai orang-tua tunggal. Rima kadang menganggap kehidupannya sekarang kurang menyenangkan jika dibandingkan dengan kehidupannya dulu ketika masih memiliki suami (R2, W3/b.1608-1616/hal.82); (R2, W2/b.662-664/hal.68).
Kehidupan Rima sejak menjadi orang-tua tunggal diliputi berbagai masalah, seperti masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, dan senagainya. Namun Rima tetap menjalani kehidupannya tersebut dengan sikap sabar. Rima bersedia menjalani hidup ini karena menurutnya inilah jalan hidup dari Tuhan. Rima mengembalikan semua masalahnya kepada Tuhan karena ia yakin Tuhan akan membantunya mengatasi semua masalah hidup (R2, W3/b.1621-1627/hal.83).
5) Gambaran makna hidup pada responden (Rima) sebagai orang-tua tunggal
Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa suami Rima membuat Rima mengalami shock dan merasakan kesedihan yang mendalam. Ia diliputi kecemasan akan masa depannya dan anaknya. Ia juga merasa marah kepada Tuhan karena telah mengambil suaminya dari sisinya (R2, W1/b.302-306/hal.53-54); (R2, w1/b.327-336/hal.54).
Begitu juga ketika jenazah suaminya telah dikebumikan, Rima merasa stres, tidak bersemangat dan hanya mengurung diri di kamar. Kesedihan Rima sampai mempengaruhi kesehatannya. Kondisi fisiknya melemah, ia juga kehilangan selera makan dan merasa tidak bergairah (R2, W1/b.343-348/hal.54); (R2, W1/b.526-529/hal.58).
Sebenarnya Rima merasakan kejanggalan dalam peristiwa kecelakaan yang dialami suaminya. Rima merasa ada seseorang yang menyebabkan suaminya celaka. Dugaan itu diperkuat dengan adanya kejadian-kejadian aneh yang terjadi sebelum suaminya meninggal, misalnya ditemukannya ular besar di dalam rumah Rima yang umumnya merupakan pertanda buruk. Selain itu, kerabat Rima juga mengutarakan hal yang sama pada Rima kalau kematian suaminya akibat diguna-gunai oleh orang lain dan mereka telah mengetahui pelakunya, yaitu teman kantor suami Rima yang tidak menyukai kemajuan karir almarhum (R2, W3/b.1779-1783; 1787-1792/hal.86); (R2, W3/b.1698-1702/hal.84); (R2, W3/b.1813-1823/hal.87).
Namun Rima tidak dapat berbuat apa-apa karena ia tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Rima hanya bisa bersabar dan menyerahkan masalah ini kepada Tuhan (R2, W3/b.1827-1836/hal.57).
Untuk mengatasi perasaan dukanya, ayah Rima berusaha menghiburnya dengan cara memutar lagu-lagu kesukaan Rima. Hal ini dilakukan ayah Rima agar Rima tidak merasa kesepian. Perlahan-lahan Rima mulai dapat menerima kenyataan. Walaupun begitu didalam hatinya sebenarnya ia merasa tidak sanggup menahan cobaan ini. Rima merasakan kekecewaan yang mendalam karena cita-cita yang dahulu diinginkannya bersama suaminya yaitu memiliki keluarga yang utuh dan bahagia tidak dapat terwujud (R2, W1/b.348-351; b.355-366/hal.54-55).
Namun Rima berusaha untuk tetap kuat dan tegar demi anaknya dan kedua orang-tuanya (R2, W1/b.367-375/hal.55).
Untuk menghilangkan stres dan kejenuhannya, Rima mengikuti kursus komputer. Alasan lain Rima mengikuti kursus ini adalah untuk bekal Rima dalam mencari pekerjaan. Rima berusaha untuk tetap ceria ketika bersama dengan teman-teman kursusnya walaupun saat itu ia masih dalam kedukaan (R2, W1/b.379-381; b.385-391; b.392-394 /hal.55).
Suatu ketika saat Rima pulang dari tempat kursusnya, terjadi suatu peristiwa mengejutkan. Saat itu Rima yang masih diliputi perasaan duka cita karena kematian suaminya merasakan depersonalisasi. Ia seperti lupa, tidak ingat pada anak dan orang-tuanya, yang diinginkannya saat itu hanya bersama almarhum suaminya dan ia ingin menyusul almarhum suaminya tersebut. Kemudian Rima berjalan di tengah keramaian jalan raya dan ia diserempet oleh
sebuah sepeda motor. Untungnya Rima masih selamat, ia hanya menderita luka lecet pada kaki dan tangannya. Lalu ia pulang ke rumah dengan diantar oleh temannya yang melihat kejadian tersebut. Sesampainya di rumah, Rima menceritakan kejadian tersebut pada orang-tuanya. Tak disangka, Ine yang saat itu masih berusia 4 tahun mendengar cerita Rima. Ine pun menangis dan berteriak histeris melihat ibunya pulang ke rumah dalam keadaan luka-luka. Ine takut kehilangan Rima karena sekarang ia hanya memiliki Rima sebagai orang-tuanya (R2, W1/b.417-424/hal.56); (R2, W1/b.451-460; b.461-463; b. 465-469; /hal.57).
Akhirnya Rima menyadari kalau perbuatannya salah. Rima sadar kalau anaknya masih sangat membutuhkan kehadirannya sebagai orang-tua. Rima menangis dan meminta maaf pada anaknya karena ia merasa sangat bersalah (R2, W1/b.469-480/hal.57).
Rima pun mulai berubah dan membenahi hidup barunya sebagai orang-tua tunggal. Rima seperti mendapat semangat baru. Adapun hal yang membuatnya berubah selain anaknya adalah tayangan di televisi. Rima menyukai sebuah miniseri Korea yang ditayangkan oleh sebuah stasiun TV swasta. Menurutnya miniseri tersebut dapat membuat hidupnya lebih bersemangat (salah satu aktris di miniseri tersebut suka mengatakan kata ‘semangat’). Rima juga menyibukkan diri dengan mencari penghasilan tambahan (R2, W1/b.453-458; b.496-505/hal.57-58).
Rima terus menjalani hidupnya dengan semangat demi anak dan orang-tuanya. Selain mengikuti kursus, Rima juga mencoba mencari pekerjaan dengan mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Setelah Rima menyelesaikan kursus komputernya, ia mencoba melamar ke PTP tempat suaminya dulu bekerja.
Namun sayang, lamarannya ditolak, begitu juga dengan perusahaan lain. Hal itu membuat Rima merasa sangat putus asa, ia merasa sia-sia telah mengikuti kursus komputer karena tetap tidak mendapat pekerjaan. Rima kembali merasakan hidupnya tak bermakna (R2, W1/b.406-417/hal.56).
Akhirnya setelah 3 tahun menunggu, Rima mendapat pekerjaan tetap sebagai kasir di sebuah apotek dekat rumahnya. Rima merasa sangat senang walaupun penghasilannya tidak seberapa, yang penting ia dapat membiayai kebutuhan hidup untuk dirinya dan anaknya (R2, W1/b.511-519/hal.58).
Semangat hidup kembali dimiliki oleh Rima. Rima berusaha bekerja dengan baik bahkan hingga malam hari. Hal ini dilakukannya semata-mata untuk anaknya. Rima memang bertekad untuk membesarkan anaknya sendiri. Ia ingin melihat anaknya bahagia dan berhasil dengan kemampuannya, walaupun ia hanya seorang janda namun tetap mampu memberikan kehidupan yang layak bagi anak semata wayangnya (R2, W2/b.1166-1174/hal.72).
Hidup Rima sebagai orang-tua tunggal tidak lepas dari masalah. Rima mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan statusnya tersebut. Masalah ekonomi adalah masalah yang paling berat dirasakan oleh Rima selama menjadi orang-tua tunggal. Begitu juga dengan godaan-godaan dari pria yang ingin mendekatinya. Rima dapat menyikapi masalah ini dengan baik. Setiap ia memiliki masalah, ia selalu berdoa agar diberikan kekuatan untuk mengatasinya. Dan nyatanya ia mampu menghadapi semua masalahnya (R2, W3/b.1497-1501/hal.80).
Rima sering beribadah untuk menentramkan hatinya dari masalah-masalahnya. Selain melakukan ibadah wajib, ia juga melakukan ibadah sunnah seperti sholat Dhuha dan sholat Tahajud. Menurut Rima dengan beribadah akan membuatnya lupa pada masalahnya dan menenangkan hatinya (R2, W3/b.1620-1627; b.1635-1637/hal.82-83).
Selain beribadah, hal lain yang membuat Rima merasa kuat adalah dukungan dari keluarganya, khususnya orang-tua. Keluarga Rima memberikan semangat bagi Rima dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, orang-tuanya juga