MAKNA HIDUP PADA WANITA
YANG BERPERAN SEBAGAI ORANG-TUA TUNGGAL
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
RENNY VIDYA WAHYULY
041301060
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Makna Hidup pada Wanita yang
Berperan sebagai Orangtua Tunggal” adalah hasil karya saya sendiri dan belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Mei 2008
ABSTRAK PENELITIAN
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Mei 2008
Renny Vidya Wahyuly: 041301060
Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal (xii + 219 halaman + 3 lampiran)
Daftar Bacaan: 44 (1987-2007)
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, khususnya karena kematian pasangan hidup, perasaan-perasaan duka cita yang mereka alami saat suaminya meninggal serta permasalahan hidup yang muncul ketika mereka telah menjadi orang-tua tunggal. Kehidupan sebagai orang-tua tunggal dipenuhi berbagai masalah sehingga menyebabkan penderitaan bagi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Dengan adanya makna hidup di dalam kehidupannya, hidup mereka akan lebih terarah, berkualitas, dan bahagia.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data tentang gambaran makna hidup dari ketiga responden penelitian agar dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: (1) Berjenis kelamin wanita; (2) Berusia 18-40 tahun; (3) Merupakan orang-tua tunggal karena kematian suami; (4) Telah melewati masa duka cita minimal 1 tahun; (5) Memiliki anak yang masih dibiayai sendiri. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam dengan pedoman umum dan observasi selama wawancara berlangsung.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga responden mengalami perasaan duka cita dengan intensitas yang berbeda-beda, responden juga mengalami permasalahan yang berbeda seputar kehidupannya, misalnya masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, masalah kesepian dan juga ketegangan sebagai orang-tua tunggal. Ketiga responden penelitian juga dapat melalui penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, mereka dapat menemukan makna hidupnya sehingga dapat bertahan dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillahirabbilalamin……. Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan saya waktu, melimpahkan rahmat dan
kesehatan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Saya menyadari bahwa saya tidak akan mampu menyelesaikan proposal
ini hanya dengan mengandalkan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu saya
ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
penyusunan skripsi ini. Terima kasih saya ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas
Psikologi USU
2. Ibu Dra. Irna Minauli, M.Si, psikolog, yang telah bersedia
membantu saya, meluangkan waktunya buat saya, memberikan
bimbingan, saran maupun kritik yang bersifat membangun demi
penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Irmawati, M.Si sebagai penguji skripsi dan tempat saya
bertanya mengenai penelitian kualitatif. Ibu Raras Sutatminingsih,
M.Si sebagai penguji skripsi. Ibu Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog
dan Kak Arliza Juairiani, M.Si, psikolog sebagai dosen penguji
sidang seminar, terima kasih atas saran dan kritiknya dalam
4. Ibu Wiwik Sulistyaningsih, M.Si selaku dosen pembimbing
akademis. Terima kasih bu atas pinjaman bukunya....
5. Staff dan pegawai Psikologi USU: Pak Iskandar, Pak Aswan, Pak
Anto, Kak Ari dan Kak Devi. Terima kasih atas segala bantuan dan
informasinya buat saya.
6. Kepada kedua orangtua saya yang sangat saya sayangi, Mama Sri
Iriyanti dan Papa Jhon Hariono, SH, terima kasih atas segala
dukungan baik moril maupun materi, atas segenap perhatian yang
kalian berikan serta doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan
kepada Allah demi kesuksesan ananda dalam menjalani kuliah ini
(Hope both of u have a good health from God). Buat ketiga adikku
yang cantik: Dian, Anggi dan Ayu (Makasih ya dek udah mau
dengar curhat kakak tentang kuliah ini, semoga bisa menjadi
pelajaran juga buat kalian nanti). Kebersamaan, kehangatan, canda
tawa serta kebahagiaan dalam keluarga ini semoga tetap terjalin
selamanya. Dukungan dari kalian akan tetap mendorongku untuk
menjadi yang terbaik bagi kalian semua.
7. Om Eko dan Tante Susi, terima kasih karena telah mengenalkan
responden kepada saya. Buat ketiga responden dalam penelitian
ini: Tante Asti, Tante Rima dan Kak Wina, terima kasih banyak
atas semua cerita dan pengalamannya, tanpa tante dan kakak,
8. Sahabat dan teman-temanku di Psikologi USU: Nesya (Makasih ya
selama ini udah mau bantuin Renny), Mbak Dewi, Yola, Achi,
Vidha, Hilma, Dini, Yuda, Izul, Nina, Sugi, Isrina, Bima ‘Sandra’,
Kakas, Rayez, Fani, teman-teman seperjuangan di Psikologi Klinis:
Sumitro, Meirose, Vitria, Dwita, Imme, Johan, Nurmayani
(Makasih buat diskusi-diskusinya) dan teman-teman angkatan 2004
lainnya. Friends, nothing 2 say dude…..Just a thanx 4 every
seconds u share with me. Just a simple wish for best friendship
4ever.
9. Buat sahabat-sahabat lama ku yang masih setia menemaniku:
Yono, Whyna, Rina, Ayu ( I luv u all guys!)
10. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih buat senior-senior di
Psikologi USU: Kak Nina (Kakak qu…makasih buat revisinya
ya!), kak Achi (Thanx buku-bukunya kak!), kak Zube, kak Herna
dan kak Fatimah (Thanx single parent-nya kak!). Semoga kebaikan
kalian dibalas oleh Allah SWT.
11. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirulkalam, segala sesuatu pasti tidak pernah luput dari kesalahan dan
kekurangan, dan selayaknya kehidupan dirancang untuk terus dapat memberikan
yang terbaik. Demikian pula halnya dengan skripsi ini, masih banyak terdapat
hati menerima kritik dan saran guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini memberikan banyak manfaat yang berarti bagi
setiap pembaca. Amin....
Medan, Mei 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR BAGAN... xi
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1
I.B. Perumusan Masalah ... 15
I.C. Tujuan Penelitian ... 15
I.D. Manfaat Penelitian... 15
I.D.1. Manfaat teoritis... 15
I.D.2. Manfaat praktis ... 16
I.E. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup II.A.1. Definisi Makna Hidup... 19
II.A.2. Karakteristik Makna Hidup... 21
II.A.3. Penghayatan Hidup... 22
II.A.3.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna... 23
II.A.4. Sumber-sumber Makna Hidup... 25
II.A.5. Komponen-komponen Perubahan Penghayatan Makna Hidup... 26
II.A.6. Metode Menemukan Makna Hidup... 28
II.B. Penderitaan dan Pandangan Logoterapi mengenai penderitaan... 33
II.C. Orangtua Tunggal II.C.1. DefinisiOrangtua Tunggal... 38
II.C.2. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Orangtua Tunggal 38
II.C.3. Masalah yang Dihadapi oleh Orangtua Tunggal... 41
II.C.4. Masalah yang Dihadapi oleh Wanita yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal... 44
II.D. Duka Cita II.D.1. Definisi Duka Cita... 48
II.D.2. Representasi dari Duka Cita... 49
II.D.3. Manifestasi Psikologis dari Duka Cita... 50
II.D.4. Duka cita pada Wanita karena Kematian Suami... 51
II.E. Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal... 53
II.F. Paradigma Penelitian... 57
III.B. Responden Penelitian... 60
III.B.1. Karakteristik Responden... 60
III.B.2. Jumlah Responden... 60
III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden... 61
III.B.4. Lokasi Penelitian... 61
III.C. Metode Pengambilan Data... 61
III.C.1. Wawancara... 62
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 63
III.D.1.Pedoman Wawancara... 63
III.D.2. Alat Perekam... 64
III.D.3. Lembar Observasi dan Catatan subyek... 64
III.E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian... 65
III.F. Prosedur Penelitian... 65
III.F.1. Tahapan Persiapan Penelitian... 65
III.F.2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian... 68
III.F.3. Tahapan Pencatatan Data... 70
III.F.4. Prosedur Analisis Data... 70
BAB IV ANALISA DATA DAN HASIL ANALISA DATA IV.A. Responden I... 72
IV.A.1. Analisa Data... 72
IV.A.1.a. Deskripsi Identitas diri Responden I... 72
IV.A.1.b. Hasil Observasi... 74
IB.A.1.c. Data Hasil Wawancara... 78
IV.A.2. Analisis Intrapersonal pada Responden I... 93
IV.B. Responden II... 101
IV.B.1. Analisa Data... 101
IV.B.1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden II... 101
Latar Belakang Responden II... 101
IV.B.1.b. Hasil Observasi... 102
IV.B.1.c. Data Hasil Wawancara... 107
IV.B.2. Analisis Intrapersonal pada Responden II... 125
IV.C. Responden III... 132
IV.C.1. Analisa Data... 132
IV.C.1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden III... 132
Latar Belakang Responden III... 132
IV.C.1.b. Hasil Observasi... 133
IV.C.1.c. Data Hasil Wawancara... 137
IV.C.2. Analisis Intrapersonal pada Responden III... 153
IV.D. Analisis Interpersonal antar Responden... 159
IV.E. Hasil Analisa Data antar Responden... 173
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V.A. Kesimpulan... 199
V.C. Saran-saran... 213
V.C.1. Saran Praktis... 213
V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 214
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Skema Penemuan Makna Hidup pada Responden I... 100
Bagan 1. Skema Penemuan Makna Hidup pada Responden II... 131
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gambaran Umum Responden I... 72
Tabel 2. Waktu Wawancara Responden I... 78
Tabel 3. Penghayatan Responden I dalam melewati perasaan duka cita... 94
Tabel 4. Permasalahan hidup yang dialami oleh Responden I... 94
Tabel 5. Gambaran Makna Hidup pada Responden I... 96
Tabel 6. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup pada Responden I. 99 Tabel 7. Gambaran Umum Responden II... 101
Tabel 8. Waktu Wawancara Responden II... 107
Tabel 9. Penghayatan Responden II dalam melewati perasaan duka cita... 125
Tabel 10. Permasalahan hidup yang dialami oleh Responden II... 126
Tabel 11. Gambaran Makna Hidup pada Responden II... 127
Tabel 12. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup pada Responden II... 130
Tabel 13. Gambaran Umum Responden III... 132
Tabel 14. Waktu Wawancara Responden III... 137
Tabel 15. Penghayatan Responden III dalam melewati perasaan duka cita... 153
Tabel 16. Permasalahan hidup yang dialami oleh Responden III... 154
Tabel 17. Gambaran Makna Hidup pada Responden III... 155
Tabel 18. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup pada Responden III... 157
Tabel. 20. Masalah-masalah yang dihadapi Responden selama menjadi
orangtua tunggal... 161
Tabel 21. Gambaran Makna Hidup pada responden... 164
Tabel 22. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup responden... 171
Tabel 23. Perbandingan proses keberhasilan penemuan makna hidup
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Pedoman Wawancara
Lampiran B. Pedoman Observasi
Lampiran C. Lembar Persetujuan Wawancara
ABSTRAK PENELITIAN
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Mei 2008
Renny Vidya Wahyuly: 041301060
Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal (xii + 219 halaman + 3 lampiran)
Daftar Bacaan: 44 (1987-2007)
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, khususnya karena kematian pasangan hidup, perasaan-perasaan duka cita yang mereka alami saat suaminya meninggal serta permasalahan hidup yang muncul ketika mereka telah menjadi orang-tua tunggal. Kehidupan sebagai orang-tua tunggal dipenuhi berbagai masalah sehingga menyebabkan penderitaan bagi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Dengan adanya makna hidup di dalam kehidupannya, hidup mereka akan lebih terarah, berkualitas, dan bahagia.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data tentang gambaran makna hidup dari ketiga responden penelitian agar dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: (1) Berjenis kelamin wanita; (2) Berusia 18-40 tahun; (3) Merupakan orang-tua tunggal karena kematian suami; (4) Telah melewati masa duka cita minimal 1 tahun; (5) Memiliki anak yang masih dibiayai sendiri. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam dengan pedoman umum dan observasi selama wawancara berlangsung.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga responden mengalami perasaan duka cita dengan intensitas yang berbeda-beda, responden juga mengalami permasalahan yang berbeda seputar kehidupannya, misalnya masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, masalah kesepian dan juga ketegangan sebagai orang-tua tunggal. Ketiga responden penelitian juga dapat melalui penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, mereka dapat menemukan makna hidupnya sehingga dapat bertahan dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan.
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan
perkawinan, darah atau adopsi (Burgess & Locke, dalam Khairuddin, 1997).
Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah,
ibu dan anak (Khairuddin, 1997). Keluarga sebagai sistem sosial terkecil
mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan
berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat
bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari
sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi
(Gunarsa & Gunarsa, 1993).
Majelis umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengemukakan bahwa
keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan
fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan
sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Sunarti, 2004).
Glasser dan Navarre (1999) menyatakan bahwa sebagai orang-tua, ada
berbagai tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan keluarga. Dukungan keuangan, pengasuhan anak, dan mengurus
tua. Tugas-tugas tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara kedua
orang-tua, yaitu ayah dan ibu.
Menurut Menaghan, Sieber & Thoits (dalam Evenson & Simon, 2005),
pada dasarnya, pengalaman menjadi orang-tua menyediakan kepuasan pribadi
bagi individu yang mengalaminya, seperti halnya tujuan dan makna hidup, dimana
terdapat dukungan kesejahteraan emosional. Menjadi orang-tua membutuhkan
aturan baru dan tanggung jawab yang besar sebagai ayah maupun ibu (Hill dan
Aldous, dalam Craig, 1996).
Terdapat banyak tugas dan peran yang harus dilaksanakan sebagai
orang-tua, dan hal tersebut membutuhkan kerjasama masing-masing pasangan. Suami
atau istri dalam rumah tangga yang normal merupakan partner yang sanggup
memberikan rasa aman dan nyaman. Selain itu dengan adanya pasangan
seseorang dapat berbagi tugas dalam menjawab berbagai kebutuhan hidup, dalam
mengatasi berbagai masalah dan tanggung jawab, namun ada kalanya nasib
berkata lain, tidak setiap orang dapat terus menerus hidup dengan pasangannya,
tidak selamanya tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara
kedua orang-tua harus dijalankan bersama-sama. Adakalanya tugas tersebut hanya
dijalankan oleh satu orang-tua saja dimana seorang suami atau istri harus berperan
ganda(”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007)
Sebagian dari orang-tua harus mengalami menjadi orang-tua tunggal oleh
berbagai sebab, ada yang karena pasangan meninggal dunia, bercerai, atau karena
kehamilan di luar nikah (”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007). Laswell
kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur
berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Papalia (1998) menyatakan bahwa selain perceraian, kehilangan
pasangan hidup dapat menyebabkan seseorang menjadi orang-tua tunggal.
Lopata (dalam Belsky, 1997) menyebutkan bahwa peristiwa kematian
pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan
emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat
menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan setelah ditinggalkan
pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak hanya
kehilangan dukungan emosional, persahabatan, dan teman, namun harus
menemukan cara untuk memenuhi semua tugas-tugas dan tanggung jawab dalam
keluarga. Menemukan pengganti untuk mengisi peran yang kosong, atau mencoba
untuk melakukannya seorang diri, sendiri dan tanpa dukungan (Sanders, 1992).
Berdasarkan Holmes-Rahe Social Readjusment Rating Scale (dalam
Lemme, 1995), yaitu skala yang mengukur tentang peristiwa hidup yang
menimbulkan tingkat stres paling tinggi, diperoleh hasil bahwa kematian
pasangan hidup merupakan peristiwa yang sangat menimbulkan stres, dan
menempati urutan tertinggi. Senada dengan yang dikatakan oleh Brubaker (dalam
Lemme, 1995) menyatakan hal ini terjadi karena penyesuaian masa menjanda atau
menduda yang terjadi secara tiba-tiba. Banyak pasangan yang tidak siap akan
perubahan kehidupan setelah kematian pasangan hidup mereka, apalagi kematian
tersebut terjadi secara mendadak. Hal ini dikuatkan oleh Rahe dan Holmas (dalam
merupakan peristiwa yang lebih dapat menimbulkan stres daripada kehilangan
pasangan karena perceraian. Menurut Mitchell (dalam Kasschau, 1993) hal ini
dikarenakan individu yang mengalami perceraian masih memiliki kesempatan
untuk memperbaiki hubungan yang telah putus dengan pasangannya dan masih
dapat mengharapkan bantuan dari pasangannya terutama dalam masalah yang
berkaitan dengan keperluan sekolah anak, pertunangan atau pernikahan anak dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak.
Brubaker (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa terdapat dua
tantangan utama yang dialami oleh janda atau duda, yaitu mengatasi perasaan
duka cita setelah ditinggalkan orang yang dicintai dan membangun kehidupan
baru sebagai orang-tua tunggal. Bankoff (dalam Lemme, 1995) menjelaskan tiga
tahapan dalam mengatasi tantangan ini. Tahap pertama disebut dengan crisis loss
phase, tahap kedua yang dialami adalah transition phase, dan tahap ketiga dari
proses kehilangan pasangan adalah reorganization phase.
Tahap pertama disebut dengan crisis loss phase, yaitu periode dimana
masih terjadi kekacauan dan disorganisasi selama beberapa hari, beberapa
minggu, dan terkadang sampai beberapa bulan. Kemarahan, ketidakpercayaan,
dan kebingungan mengenai apa yang akan terjadi di masa depan menjadi
karakteristik dari tahap ini. Simptom-simptom depresi, misalnya apatis dan
penarikan diri biasanya dihubungkan dengan penghayatan akan kehilangan orang
yang dicintai (Lopata, dalam Lemme, 1995). Janda atau duda mulai menghadapi
tugas-tugas rumah tangga, perasaan kesepian dan kehilangan sebagai akibat dari
kematian pasangan mereka (Lemme, 1995).
Tahap kedua yang dialami adalah transition phase, terjadi jika rasa
kehilangan pada individu tersebut mulai berkurang, dan adanya kemungkinan
akan kehidupan baru yang akan muncul. Di tahap ini juga dimulai pengembangan
identitas baru sebagai orang-tua tunggal dan mulai dibangun kembali sistem sosial
(Bankoff, dalam Lemme, 1995).
Tahap ketiga dari proses kehilangan pasangan adalah reorganization
phase, dimana individu mulai menetapkan kehidupan baru (misalnya menikah
kembali) dan mulai bersikap normal serta menyesuaikan diri terhadap rasa
kehilangan pasangan (Bankoff, dalam Lemme, 1995).
Menurut Lemme (1995), terdapat perbedaan antara wanita dan pria dalam
menyikapi perasaan kehilangan atas pasangan hidup mereka. Umumnya wanita
akan merasa lebih sulit untuk menerima perasaan kehilangan tersebut. Wanita
lebih sulit untuk menerima kenyataan bahwa pasangan hidupnya telah tiada
daripada pria. Wanita juga lebih memilih untuk tidak menikah kembali daripada
pria setelah peristiwa tersebut. Hal ini menyebabkan wanita yang ditinggal mati
suaminya lebih merasakan kesepian daripada pria yang ditinggal mati istrinya
(Lemme, 1995). Hal ini sesuai dengankomunikasi personal yang peneliti lakukan
dengan seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian
suaminya (A, berusia 28 tahun dengan 1 orang anak) seperti terdapat dalam
kutipan wawancara berikut ini:
Sempat ada perasaan gini, kenapa Allah gak adil kali dengan ku? Kayaknya baru sebentar kali tante hidup dengan suami, tapi kok cepat kali dipanggilNya? Pokoknya kayak gak percaya gitu la tante. Tante kadang ngerasa gak ada temen ngomong, buat tempat curhat gitu. Kalau ngerasa stres dengan kerja, dengan yang lain-lain, gak ada orang yang bisa diajak cerita. Jadi gak ada tempat sharing gitu la..”
(Komunikasi Personal, 4 November 2007)
Pria memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan duka cita
daripada wanita, walaupun begitu pria lebih cepat menerima kenyataan tentang
kematian pasangannya (Troll, Miller & Atchley dalam Nock, 1987). Selain itu,
pria juga memiliki kecenderungan yang besar untuk menikah kembali. Hal ini
terjadi karena duda menghadapi kesulitan dengan kesepian dan urusan-urusan
rumah tangga (Connidis, dalam Aiken, 1994). Hal ini disebabkan kurangnya
pengalaman dari duda tersebut dan sedikitnya teman sesama duda untuk berbagi
cerita dan masalah. Mereka menyadari bahwa sahabat, seks, dukungan fisik dan
emosional yang biasanya ada pada istri sangat mereka butuhkan (Treas &
Vantlilst, dalam Aiken, 1994).
Bruce (1995) mengungkapkan bahwa kematian pasangan hidup
menyebabkan seseorang menjadi orang-tua tunggal, dan ini banyak dialami oleh
wanita. Alasan mengapa lebih banyak wanita yang menjadi orang-tua tunggal
menurut Bruce adalah karena wanita memiliki harapan hidup yang lebih panjang
dan yang kedua adalah pada saat pernikahan, hampir pada semua pasangan, usia
suami lebih tua daripada istri. Sejalan dengan hal tersebut, Aiken (1994)
menyebutkan mengenai alasan mengapa terdapat perbedaan yang cukup besar
mengenai persentase janda dan duda yaitu disebabkan wanita memiliki harapan
daripada duda juga disebabkan oleh duda yang cenderung untuk menikah lagi
setelah kematian istrinya.
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000, terlihat lebih banyak
janda dibandingkan duda, yaitu sekitar 8.670.870 janda dan 1.763.613 duda.
Survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN)
tahun 2004 di Indonesia diperoleh hasil sekitar 40 juta keluarga yang berkepala
rumah tangga dengan status janda. Berdasarkan hasil survei tersebut juga
diketahui bahwa 13,4 % janda di Indonesia masih hidup di bawah garis
kemiskinan (Saras, 2005). Sementara itu, data dari Dinas Kependudukan Kota
Medan tahun 2005 disebutkan bahwa jumlah janda lebih besar dibandingkan
jumlah duda, dimana janda cerai sebanyak 1,48 %, dan janda karena kematian
suami sebanyak 6,17 %. Jumlah duda cerai sebanyak 0,56 % dan duda karena
kematian istri sebanyak 1,01 %. Berdasarkan data tersebut di atas apabila
dikumulatifkan maka persentase janda lebih besar, yaitu 7,65 % daripada
persentase duda yang hanya mencapai persentase 1,57 %. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa peran sebagai orang-tua tunggal ini tampaknya
lebih banyak dipegang oleh wanita.
Menurut Perlmutter & Hall (1995), orang-tua tunggal adalah orang-tua
yang tanpa pasangan secara kontinu membesarkan anaknya oleh diri mereka
sendiri. Kemudian Sager, Walker, Brown, Crohn dan Rodstein (dalam Duvall &
Miller, 1995) mengartikan orang-tua tunggal sebagai orang-tua yang secara
sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab
Haber dan Ruyon (1994) menyatakan bahwa banyak hal yang berubah dan
butuh penyesuaian diri bagi seorang wanita yang ditinggalkan suami karena
kematian. Salah satunya adalah menjadi orang-tua tunggal. Hal tersebut
menjadikan hidup seorang wanita tidak hanya berperan sebagai ibu, namun juga
berperan sebagai ayah. Keadaan yang demikian menjadikan hidup sebagai
orang-tua tunggal bukanlah perkara yang mudah. Wanita yang juga berperan sebagai
kepala rumah tangga lebih sering mengalami stres secara psikologis sebagai hasil
dari perjuangannya untuk mempertahankan hidup. Mereka merasakan penderitaan
seperti depresi atau kecemasan, karena mengharuskan kemampuan mereka untuk
menjadi orang-tua yang mendukung dan penuh perhatian terhadap anaknya
(Craig, 1996). Hal tersebut sesuai dengan pengalaman seorang wanita yang
berperan sebagai orang-tua tunggal seperti terdapat dalam kutipan wawancara
berikut:
”Waktu tante ditinggal suami tante, terpikir juga, aduh....gimana ini ngadepin ke depannya? Takut gak bisa gitu. Tapi ya harus dijalani kan. Kadang ya stres juga lah. Mikirin kerjaan, mikiran keluarga, mikirin anak... ya capek la pokoknya.”
(Komunikasi Personal, 4 November 2007)
Perubahan hidup yang tiba-tiba mengharuskan seseorang melakukan
penyesuaian diri dengan keadaan hidupnya. Perasaan duka cita yang dialami
wanita yang kehilangan pasangan karena kematian berlangsung selama 1 atau 2
tahun setelah kematian pasangan (Kail dan Cavanaugh, 2000). Sejalan dengan
pendapat tersebut, Hoyer dan Roodin (2003) mengatakan bahwa individu yang
kehilangan seseorang yang dicintai karena kematian akan mengalami perasaan
duka cita yang dialami wanita karena kehilangan pasangan hidupnya selama 1
atau 2 tahun tersebut juga harus disertakan dengan adanya penyesuaian diri
terhadap perubahan hidupnya. Lebih lanjut lagi, Heinemann (dalam Nock, 1987)
menambahkan bahwa kebanyakan individu yang kehilangan pasangannya karena
kematian membutuhkan waktu paling tidak 1 sampai 3 tahun untuk menyesuaikan
diri dengan peristiwa tersebut. Pendapat tersebut sesuai dengan pengalaman
seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti dalam kutipan
wawancara berikut ini:
”Tante udah hampir 5 tahun ya pisah dengan suami, ya...kadang-kadang masih teringat juga. Pasti la ya...kangen gitu...Apalagi kalau ngeliat anak tante ini, nanti dia nyanyi-nyanyi, karaoke gitu...terus tante teringat...Iih...kalau ada papanya, pasti dia senang kali....ya nangis juga, sampe anak tante kadang nanya mama kenapa....Gak apa-apa sayang....mama teringat papa aja...gitu.”
(Komunikasi Personal, 4 November 2007)
Saarna (2002) mengungkapkan bahwa menjadi janda bagi wanita
merupakan perubahan yang signifikan dalam kehidupan wanita, keadaan tersebut
membawa tantangan dan tanggung jawab yang cukup besar. Menurut Paulin dan
Lee (2002), hal ini disebabkan karena wanita yang juga berperan sebagai
orang-tua tunggal bagi anak-anaknya dihadapkan pada tugas-tugas orang-orang-tua yang
mestinya dapat dilakukan dengan pasangan hidup atau suami, misalnya mengasuh
anak, membantu anak dalam pekerjaan rumahnya, mengurus rumah tangga,
mencukupi kebutuhan anak, dan sebagainya. Tugas-tugas tersebut dilakukan
dengan sumber daya yang terbatas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stroebe &
Stroebe (dalam Cavanaugh, 2006) menyebutkan bahwa ketika individu
merasakan simptom-simptom depresi, kehilangan status, kesulitan ekonomi dan
rendahnya dukungan sosial.
Kehilangan pasangan hidup secara signifikan dapat mengakibatkan
perubahan dalam kesejahteraan seseorang (Saarna, 2002). Perubahan tersebut
meliputi perubahan psikologis, ekonomi, fisik dan kesejahteraan sosial. Lebih
lanjut, Hetherington (1999) menjelaskan bahwa masalah utama wanita yang
berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suami berkaitan dengan
adanya perubahan tekanan yang dialaminya, antara lain masalah praktis dalam
kehidupan, seperti ekonomi, masalah pekerjaan dan masalah mengurus rumah
tangga.
Wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal dihadapkan pada
masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang sangat beragam. Hurlock (1991)
menyebutkan beberapa permasalahan umum yang dihadapi wanita yang berperan
sebagai orang-tua tunggal karena kematian suami adalah masalah ekonomi,
keluarga, tempat tinggal, sosial, praktis dan seksual. Masalah ekonomi adalah
masalah utama yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal
(Egelman, 2004). Pendapat tersebut didukung oleh Troll (dalam Lemme, 1995)
yang menyatakan bahwa banyak wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal
mengalami kemiskinan, hal tersebut dapat terjadi karena hilangnya pendapatan
dari suami yang dulu mendukung perekonomian keluarga. Hal ini sesuai dengan
pengalaman seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti
terdapat dalam kutipan wawancara berikut ini:
punya bapak, ya juga harus bantu. Kadang orang-tua butuh gini...gini...Itu rasanya kepala tante mau pecah, dada rasanya berat...kali. Ya Allah...aku pengen kali membahagiakan orang-tua, tapi apa daya lah. Cuma segini la tante bisa bantu dia. Kadang tante pikir, kalau aja sempat, abis pulang kerja tante pengen nyari tambahan lagi, kerja paruh waktu gitu lah. Tapi gimana la, pulang kerja aja udah malam jam 8. terkadang kondisi fisik kita gak sesuai dengan keinginan kita. Kita pingin nyari duit tambahan lagi, tapi badan udah gak bisa...udah capek...kali...”
(Komunikasi Personal, 4 November 2007)
Cavanaugh dan Fredda (2006) menyebutkan bahwa kehilangan pasangan
hidup karena kematian akan membawa individu kepada perasaan kehilangan atau
duka cita yang sangat mendalam, terlebih lagi jika hubungan itu telah lama dibina
dan sangat dekat. Sejalan dengan pendapat tersebut, kualitas hubungan dengan
suami juga berpengaruh terhadap perasaan duka cita. Hubungan istri yang
memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan suaminya serta ketergantungan istri
dengan suaminya akan menyulitkan istri untuk menyesuaikan diri dengan
perasaan kehilangan suaminya (Rando, 1997).
Fulton (dalam Cavanaugh dan Fredda, 2006) menyatakan bahwa
memahami perasaan duka cita pada seseorang karena kematian pasangan sangat
penting karena perasaan duka cita itu dapat mengubah makna hidup seseorang.
Proses duka cita karena kematian seseorang merupakan waktu untuk mencari
makna dalam kematian tersebut dan juga dalam kehidupan (Saito, dalam
Cavanaugh dan Fredda, 2006). Sejalan dengan hal tersebut, Lieberman & Peskin
(dalam Hoyer & Roodin, 2003) menjelaskan bahwa salah satu aspek terpenting
dalam perasaan duka cita karena kematian seseorang yang disayangi adalah
mendorong seseorang untuk mencoba membuat penghayatan akan dunianya dan
perubahan yang positif dalam kehidupan seseorang, dan perasaan duka cita
merupakan penggerak bagi pertumbuhan individu dalam mencari makna pribadi
tentang rasa kehilangan tersebut (Edmons & Hooker, dalam Hoyer & Roodin,
2003).
Makna hidup merupakan hal-hal yang dipandang penting, dirasakan
berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan
hidup bagi seseorang (Bastaman, 2007). Frankl (1988) menyatakan bahwa makna
hidup bersifat unik, spesifik, personal dan konkrit, sehingga masing-masing orang
mempunyai makna hidup yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara
pribadi satu dengan yang lainnya.
Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengatakan bahwa individu dapat
memperoleh makna hidupnya melalui tiga sumber, yaitu nilai-nilai kreatif
(creative values), nilai-nilai pengalaman (experiental values), dan nilai-nilai
bersikap (attitudinal values).
Berdasarkan teori dan prinsip logoterapi, Viktor Frankl (dalam Bastaman,
1996) menggambarkan tentang penghayatan hidup seseorang yang tidak
bermakna yaitu antara lain merasa hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup,
merasa hidup tidak berarti, serba bosan dan apatis. Kadang-kadang tidak
terungkap secara nyata, namun terselubung dibalik berbagai upaya kompensasi
dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa, bersenang-senang mencari
kenikmatan seksual, bekerja, dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Dengan kata lain, perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya menutupi
Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan
kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan
mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996).
Crumbaugh (dalam Bastaman, 1996) mengemukakan beberapa perilaku dalam
penghayatan hidup bermakna antara lain: menjalani kehidupan dengan semangat,
mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan sendiri yang telah
dicapai, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa
sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah
dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan
kehidupan serta mampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain.
Ada beberapa komponen yang dapat menentukan berhasilnya perubahan
dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna (Bastaman, 1996), yaitu
kelompok komponen personal (terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan
sikap), kelompok komponen sosial (berupa dukungan sosial) dan kelompok
komponen nilai (terdiri dari makna hidup, komitmen diri dan kegiatan-kegiatan
terarah).
Bastaman (1996) menyatakan bahwa perubahan hidup dari tidak bermakna
menjadi bermakna harus melalui proses. Proses tersebut meliputi tahap derita
(peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna), tahap penerimaan diri (pemahaman
diri, pengubahan sikap), tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan
penentuan tujuan hidup), tahap realisasi makna (komitmen diri, kegiatan terarah
dan pemenuhan makna hidup) serta tahap kehidupan bermakna (penghayatan
Proses menemukan makna hidup dapat dilakukan dengan berbagai
metode. Bastaman (1996) menyebutkan metode-metode tersebut adalah metode
pemahaman diri, metode bertindak positif, metode pengakraban hubungan,
metode pendalaman tri-nilai dan metode ibadah.
Seorang istri yang ditinggalkan suaminya karena kematian, mau tak mau
harus menjalani peran ganda sebagai orang-tua tunggal. Peran sebagai orang-tua
tunggal dalam rumah tangga tentu saja tidak mudah, karena dibutuhkan
perjuangan berat untuk membesarkan dan mengurus anak, termasuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga (”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007). Namun,
kematian pasangan tidak selalu melemahkan, pasangan yang masih bertahan dapat
menemukan makna dalam kehilangan tersebut dan menyadari adanya makna
dalam kehidupannya (Hoyer & Roodin, 2003).
Perjuangan wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, dimana ia
berusaha bertahan dalam hidupnya yang bermasalah, merupakan salah satu bentuk
eksistensi dari manusia. Menurut ajaran logoterapi, kehidupan ini mempunyai
makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaan
sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini
(Muhid, 2002)
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa
wanita lebih banyak yang bertahan menjadi orang-tua tunggal walaupun
kehidupan menjadi orang-tua tunggal terkadang penuh derita dan permasalahan
sehingga peneliti ingin melihat bagaimanakah makna hidup pada wanita yang
I.B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan
pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat
dirumuskan masalah utama dari penelitian ini, yaitu:
a. Bagaimanakah penghayatan wanita dalam menghadapi perasaan duka cita
setelah kematian suaminya?
b. Bagaimanakah permasalahan hidup yang dialami wanita yang berperan
sebagai orang-tua tunggal?
c. Bagaimanakah penghayatan wanita tersebut dalam menghadapi penderitaan
sebagai orang-tua tunggal?
d. Bagaimanakah gambaran makna hidup pada wanita yang berperan sebagai
orang-tua tunggal?
I.C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap makna hidup
pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.
I.D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis
dan praktis.
I.D.1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian Psikologi
berperan sebagai orang-tua tunggal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian
lebih lanjut.
I.D.2. Secara Praktis
Bagi Wanita Yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para wanita yang
berperan sebagai orang-tua tunggal untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapinya secara tepat, membantu para wanita tersebut memperoleh makna dari
pengalaman-pengalaman hidupnya sejak menjadi orang-tua tunggal serta
membantu mereka dalam mengatasi perasaan duka cita karena kematian pasangan
hidupnya.
Bagi Klinisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi bagi
para klinisi khususnya dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan
makna hidup dan perasaan duka cita karena kematian pasangan hidup pada
wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut:
BAB I adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta
BAB II memuat landasan teori yang terdiri dari teori-teori yang
menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang makna hidup,
termasuk tentang definisi makna hidup, karakteristik makna hidup,
sumber-sumber makna hidup, penghayatan hidup,
komponen-komponen perubahan penghayatan makna hidup, dan metode
menemukan makna hidup. Teori tentang orang-tua tunggal,
termasuk definisi orang-tua tunggal, perbedaan keluarga utuh dan
keluarga orang-tua tunggal, masalah yang dihadapi oleh orang-tua
tunggal, dan masalah yang dihadapi wanita yang berperan sebagai
orang-tua tunggal. Teori tentang duka cita, termasuk definisi duka
cita, representasi duka cita, manifestasi psikologis dari duka cita,
dan duka cita pada wanita karena kematian suami serta mengenai
dinamika penelitian, yaitu makna hidup pada wanita yang berperan
sebagai orang-tua tunggal.
BAB III membicarakan tentang metode penelitian kualitatif yang digunakan
dalam penelitian ini, termasuk subjek dan lokasi penelitian, selain
itu juga memuat teknik pengambilan responden dalam penelitian
serta metode pengambilan data yang digunakan.
BAB IV mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan
tentang data pribadi responden, analisa data dan interpretasi per
responden yang meliputi latar belakang meninggalnya suami,
penghayatan responden terhadap perasaan duka cita atas
penghayatan responden atas penderitaannya sebagai orang-tua
tunggal dan mengenai gambaran makna hidup pada responden
sebagai orang-tua tunggal.
BAB V berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada
wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Kesimpulan
berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi
berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan
teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta
saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan
masalah-masalah peneliitian, dan saran-saran metodologis untuk
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Makna Hidup
II.A.1. Definisi Makna Hidup
Teori mengenai makna hidup dikemukakan oleh Frankl. Teori ini
kemudian dikembangkan dalam suatu istilah yang dikenal dengan logoterapi.
Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu:
a. Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam
penderitaan dan kepedihan sekalipun.
b. Setiap manusia memiliki kebebasan-yang hampir tak terbatas-untuk
menemukan sendiri makna hidupnya.
c. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap
penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang
menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya
telah dilakukan secara optimal tetap tidak berhasil.
Bastaman (2007) juga mengungkapkan bahwa pada hakikatnya asas-asas
ini merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar
kehidupan senantiasa berarti bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan agama.
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menjelaskan tentang tiga asumsi dasar
a. Kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will).
Kebebasan ini sifatnya bukan tak-terbatas karena manusia adalah makhluk
serba terbatas, baik dalam aspek ragawi (tenaga, daya tahan, stamina, usia),
aspek kejiwaan (kemampuan, keterampilan, kemauan, ketekunan, bakat,
sifat, tanggung jawab pribadi), aspek sosial budaya (dukungan lingkungan,
kesempatan, tanggung jawab sosial, ketaatan pada norma), dan aspek
kerohanian (iman, ketaatan beribadah, cinta kasih). Kebebasan ini untuk
menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Kebebasan ini harus
disertai dengan rasa tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi
kesewenangan.
b. Kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning).
Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan
hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh
semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya.
Bila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga,
dan berarti (meaningfull). Sebaliknya, bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless).
c. Tentang makna hidup (the meaning of life).
Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga
dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan
hidupnya. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan
menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan
Menurut Abidin (2002), dorongan terkuat bukanlah dorongan untuk
mendapatkan kepuasan, seperti yang dinyatakan oleh Freud, atau kekuasaan,
seperti pendapat Adler, namun kebutuhan akan makna. Tujuan atau tugas
tertentulah yang membuat seseorang bertahan hidup. Motivasi utama dari manusia
adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang
dilakukan merupakan fenomena kompleks, yang membutuhkan penggalian, dan
untuk memahaminya kita harus mengalaminya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup
merupakan suatu hal yang dianggap penting, berharga dan bernilai bagi seseorang
dan dapat menjadi tujuan hidup dari orang tersebut. Apabila seseorang telah
berhasil menemukan makna hidupnya, maka kehidupannya akan dirasakan lebih
berarti.
II.A.2. Karakteristik Makna Hidup
Makna hidup, sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman,
2007) memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi dan temporer, artinya apa yang
dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain.
Selain itu, makna hidup juga bersifat berubah-ubah dari waktu ke waktu.
b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar
dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak
perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak-filosofis,
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka karakteristik dari makna hidup
adalah unik, pribadi, temporer, spesifik dan nyata.
II.A.3. Penghayatan Hidup
II.A.3.a. Penghayatan Hidup Bermakna
Menurut Bastaman (2007), penghayatan hidup bermakna dapat berupa:
1) Menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah, serta
jauh dari perasaan hampa.
2) Mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun
tujuan jangka panjang, sehingga kegiatan-kegiatan menjadi terarah.
3) Merasakan sendiri kemajuan yang telah dicapai.
4) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari
batasan-batasan lingkungan dan tetap dapat menentukan sendiri apa yang
paling baik dilakukan.
5) Menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu
sendiri, betapapun buruknya keadaan.
6) Menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau penderitaan dengan
sikap tabah dan sadar ada makna serta hikmah dibalik penderitaannya.
7) Benar-benar menghargai hidup dan kehidupan. Tidak pernah berpikir untuk
bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan yang ada.
Jadi, penghayatan hidup bermakna tercermin dalam perilaku-perilaku
sebagai berikut: menjalani hidup dengan semangat, memiliki tujuan hidup yang
lingkungan, menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan
apapun, bersikap sabar dan tabah dalam menghadapi suatu peristiwa bahkan
penderitaan sekalipun, dan benar-benar menghargai kehidupannya.
II.A.3.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna
Bastaman (2007) mengemukakan bahwa dalam kehidupan seseorang
mungkin saja hasrat untuk hidup secara bermakna ini tidak terpenuhi.
Penyebabnya antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu
sendiri dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup yang
potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan. Selain itu mungkin karena
pengetahuan yang kurang mengenai prinsip dan teknik dalam menemukan makna
hidup itu sendiri.
Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya
menimbulkan penghayatan makna hidup tanpa makna (meaningless), hampa,
gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan,
dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan
minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa.
Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak
terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan
kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang
mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will
Penghayatan hidup tanpa makna ini jika tidak diatasi dapat berkembang
menjadi karakter pribadi neurosis noogenik, karakter totaliter dan karakter
konformis.
1) Neurosis Noogenik, merupakan suatu gangguan perasaan yang cukup
menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan ini
biasanya tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa dan penuh
keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini
tidak ada artinya sama sekali. Motto hidup dari pribadi ini adalah ”Aku
salah dan Kamu pun tidak benar. Aku serba salah.”
2) Karakter Totaliter, adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk
memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak
bersedia menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik
dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras
dan emosional. Motto hidup dari ribadi totaliter ini adalah ”Aku benar dan
Kamu salah. Semau aku.”
3) Karakter Konformis adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat
untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan
lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan
kepentingan dirinya sendiri. Motto hidup karakter konformis adalah ”Aku
salah dan Kamu benar. Aku ikut kamu saja.”
Jadi, jika seseorang tidak berhasil menemukan makna hidupnya, maka ia
akan mengalami penghayatan hidup tanpa makna. Individu tersebut akan merasa
hidup. Sikap ini biasanya berkembang menjadi karakter-karekter khusus, yaitu:
neurosis noogenik (sering mengeluh bosan, hampa dan penuh keputusasaan,
kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya
sama sekali); karakter totaliter (cenderung untuk memaksakan tujuan,
kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari
orang lain); dan karakter konformis (cenderung untuk selalu berusaha mengikuti
dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula
untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri).
II.A.4. Sumber-sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang
dapat menjadi sumber makna hidup dalam diri manusia, yaitu:
a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values), yaitu berkarya serta melakukan tugas
hidup sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan
kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara
bermakna. Pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan
kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup; makna
hidup tidak terletak pada pekerjaan, tapi lebih tergantung pada pribadi yang
bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta
cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya.
b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values), yaitu keyakinan dan
penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan,
dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Cinta kasih dapat menjadikan
pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya, dengan
mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh
pengalaman hidup yang membahagiakan.
c. Nilai-nilai bersikap (Attitude Values), yaitu sikap tabah terhadap realitas
yang dihadapi. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah hal-hal
tragis yang tak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan kita dari
semula yang diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang
mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sumber-sumber makna hidup ada tiga,
yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), yaitu berkarya dengan melakukan suatu
pekerjaan dengan bertanggung jawab; nilai-nilai penghayatan (experiental
values), yaitu keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai yang diakui dalam
masyarakat; dan nilai-nilai bersikap (attitude values), yaitu menyikapi suatu
peristiwa dengan sabar dan tabah.
II.A.5. Komponen-komponen Perubahan Penghayatan Makna Hidup
Bastaman (1996) mengemukakan beberapa komponen yang menentukan
berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna,
yaitu:
a. Pemahaman Diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas
buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan
b. Makna Hidup (the meaning of life), yakni nilai-nilai penting dan sangat
berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan
hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.
c. Pengubahan sikap (changing attitude) dari yang semula tidak tepat menjadi
lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang tak
terelakkan.
d. Keterlibatan diri (self commitment) terhadap makna hidup yang ditemukan
dan tujuan hidup yang ditetapkan.
e. Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan
secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi
(bakat, kemampuan, ketrampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi
antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.
f. Dukungan sosial (social support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah
orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu memberi
bantuan saat-saat diperlukan.
Keenam unsur tersebut merupakan proses integral dan dalam konteks
mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, antara satu
dengan yang lain tak dapat dipisahkan.
Selanjutnya Bastaman (1996) juga mengkategorikan komponen-komponen
tersebut menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok komponen personal (Pemahaman diri, pengubahan sikap)
b. Kelompok komponen sosial (Dukungan sosial)
Seperti halnya komponen-komponen penemuan makna hidup, tahap-tahap
di atas pun dapat dikategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan
urutannya (Bastaman, 1996), yaitu:
a. Tahap Derita (Peristiwa tragis, Penghayatan tanpa makna)
b. Tahap Penerimaan diri (Pemahaman Diri, Pengubahan sikap)
c. Tahap Penemuan makna hidup (Penemuan makna dan penentuan tujuan
hidup)
d. Tahap Realisasi makna (Keikatan diri, Kegiatan terarah dan Pemenuhan
makna hidup)
e. Tahap Kehidupan bermakna (Penghayatan bermakna, Kebahagiaan)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat enam komponen perubahan
penghayatan makna hidup, yaitu: pemahaman diri (self insight), makna hidup (the
meaning of life), pengubahan sikap (changing attitude), keikatan diri (self
commitment), kegiatan terarah (directed activities), dan dukungan sosial (social
support).
II.A.6. Metode Menemukan Makna Hidup
Bastaman (1996) mengungkapkan ada 5 metode yang dapat digunakan
untuk menemukan makna hidup, yaitu:
a. Pemahaman Pribadi
Metode ini pada dasarnya membantu memperluas dan mendalami
beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupan seseorang. Hasil memanfaatkan
1). Mengenali keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan pribadi
(penampilan, sifat, bakat, pemikiran) dan kondisi lingkungannya (keluarga,
tetangga, teman sekerja);
2). Menyadari keinginan masa kecil, masa muda, dan
keinginan-keinginan sekarang, serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang
mendasari keinginan itu;
3). Merumuskan secara lebih jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk
masa mendatang, dan menyusun rencana yang realistis untuk mencapainya.
Mengenali dan memahami sendiri hal-hal di atas sangat bermanfaat untuk
mengembangkan segi-segi positif dan mengurangi segi-segi negatif
masing-masing pribadi, baik yang potensial maupun yang sudah aktual.
b. Bertindak Positif
Metode ini diawali dengan cara menanamkan ’berpikir positif’ di dalam
pikiran, kemudian dilakukan ‘bertindak positif’. Kalau pada berpikir positif di
dalam pikiran ditanamkan hal-hal yang serba baik dan bermanfaat dengan harapan
akan terungkap dalam perilaku nyata, maka metode bertindak positif benar-benar
mencoba menerapkan hal-hal yang baik itu dalam perilaku dan tindakan
sehari-hari.
c. Pengakraban Hubungan
Hubungan sesama manusia adalah sangat azasi dan karenanya merupakan
salah satu sumber makna bagi manusia sendiri. Inilah pandangan yang melandasi
metode pengakraban hubungan. Hubungan akrab yang dimaksud adalah hubungan
sebagai hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya dan memahami. Selain
itu, hubungan juga dirasakan sangat berarti bagi masing-masing pihak.
Metode ini menganjurkan agar seseorang membina hubungan yang akrab
dengan orang tertentu (misalnya: anggota keluarga, teman, rekan sekerja). Hal ini
disebabkan karena dalam hubungan pribadi yang akrab seseorang benar-benar
merasa diperlukan dan memerlukan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain
tanpa mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini seseorang merasa dirinya berharga
dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Hal yang terpenting
dalam metode ini adalah perasaan kedekatan yang senantiasa harus dipelihara dan
ditingkatkan.
d. Pendalaman Tri-nilai
Yang dimaksud dengan ’Pendalaman Tri-nilai’ adalah usaha-usaha untuk
memahami benar-benar nilai-nilai berkarya (creative values), nilai-nilai
penghayatan (experiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) yang
dapat menjadi sumber makna hidup bagi seseorang.
1). Pendalaman Nilai-nilai Kreatif. Nilai ini intinya adalah memberikan sesuatu
yang berharga dan berguna pada kehidupan. Pendalaman nilai-nilai kreatif
membantu orang untuk lebih mencintai dan menekuni pekerjaan yang
dihadapi atau sekurang-kurangnya melakukannya dengan penuh
kesungguhan.
2). Pendalaman Nilai-nilai Penghayatan. Metode ini mengambil sesuatu yang
penghayatan berarti mencoba memahami, meyakini dan menghayati
berbagai nilai yang ada dalam kehidupan.
3). Pendalaman Nilai-nilai Bersikap. Metode ini memberi kesempatan kepada
seseorang untuk mengambil sikap yang tepat terhadap kondisi dan
peristiwa-peristiwa tragis yang telah terjadi dan tidak dapat dihindari lagi.
Dengan mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman tragis itu
akan berkurang, bahkan mungkin peristiwa itu dapat memberikan pelajaran
berharga dan menimbulkan makna tertentu, yang dalam bahasa sehari-hari
disebut hikmah.
e. Ibadah
Menurut pengertian umum ibadah adalah segala kegiatan melaksanakan
apa yang diperintahkan Tuhan, dan mencegah diri dari hal-hal yang dilarang-Nya
menurut ketentuan agama. Dalam pengertian yang lebih khusus, ibadah adalah
ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan
dalam agama. Ibadah yang dilakukan secara khidmat sering menimbulkan
perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta tak jarang menimbulkan
perasaan-perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan
penting.
Menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama memberikan corak
penghayatan bahagia dan bermakna bagi si pelaku. Doa merupakan salah satu
bentuk ibadah dan sarana penghubung psikis dan spiritual antara manusia dengan
Sang Pencipta. Ibadah dan doa dapat memberikan makna tertentu pada seseorang
Sehubungan dengan metode ibadah ini, maka berdoa bagi kebaikan orang lain
(termasuk orang yang tidak disukai) termasuk ibadah yang dapat memberikan
makna khusus bagi orang yang berdoa.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima
metode untuk menemukan makna hidup, yaitu: pemahaman pribadi, yang
bertujuan untuk mengenali dan memahami diri sendiri, termasuk kekurangan dan
kelebihan diri sendiri; bertindak positif, yang diawali dengan berpikir positif dan
kemudian melakukan perilaku yang positif; pengakraban hubungan, yaitu
membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu; pendalaman tri-nilai, yaitu
usaha-usaha untuk memahami sumber makna hidup bagi seseorang; dan metode
ibadah, yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan senantiasa berdoa
kepada-Nya.
II.B. Penderitaan dan Pandangan Logoterapi Mengenai Penderitaan
Menurut Bastaman (1996) penderitaan tampaknya merupakan bagian
integral dari kehidupan manusia, karena eksistensi manusia senantiasa berkisar
antara senang dan susah, tawa dan air mata, derita dan bahagia. Dengan demikian
lepas dari berat-ringannya penderitaan, setiap orang dalam hidupnya pasti pernah
mengalaminya, dan siapa pun yang merasa belum pernah mengalami penderitaan
pasti pada suatu saat akan mengalaminya juga.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Bastaman, 1996) menggambarkan
penderitaan sebagai ”proses, perbuatan, cara menderita, dan penanggungan” yang
kesengsaraan dan kesusahan. Atas dasar uraian tersebut, maka penderitaan dapat
dirumuskan sebagai perasaan tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang
ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang.
Rumusan ini mengandung beberapa unsur, yaitu:
1. Perasaan yang tidak menyenangkan. Unsur emosi ini tak terpisahkan dari
penderitaan, dan dihayati secara unik oleh masing-masing penderita dengan
intensitas yang berbeda-beda, mulai dari sekedar perasaan tak nyaman yang
temporer sampai dengan kesedihan mendalam yang berlangsung lama.
2. Reaksi-reaksi atas penderitaan yang dialami. Seperti halnya dengan perasaan
yang tak menyenangkan, reaksi seseorang atas penderitaan sifatnya individual
dan unik, serta terungkap dalam berbagai perilaku yang terletak diantara polar
”berontak” dan ”menerima”. Travelbee (dalam Bastaman 1996) menyebut
tipe-tipe reaksi ini sebagai ”The why me reaction” dan “The acceptance
reaction”, atau bahkan “The why not me reaction”. Yang pertama adalah
corak reaksi yang paling sering terjadi pada orang-orang yang sedang
mengalami penderitaan. Mereka seakan-akan mempertanyakan mengapa nasib
buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan terjadi pada orang lain.
Reaksi tidak menerima ini biasanya terungkap dalam bentuk-bentuk marah,
mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan mencari-cari
kesalahan pada orang lain. Selanjutnya, yang kedua adalah reaksi menerima
dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang dialami. Sedangkan yang
ketiga adalah reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami