• Tidak ada hasil yang ditemukan

Defenisi Perilaku Penyalahgunaan Narkoba

Dalam dokumen RELIGIUSITAS PECANDU NARKOBA (Halaman 179-189)

PENYALAHGUNAAN NARKOBA

B. Defenisi Perilaku Penyalahgunaan Narkoba

Gordon (2000) mendefenisikan penyalahgunaan narkoba telah dilontarkan oleh yang mengartikan penyalahgunaan narkoba ialah tindakan individu yang secara langsung mengkonsumsi narkoba jika menghadapi berbagai masalah yang sulit terselesaikan.

172

Durand & Barlow (2006) mengatakan penyalahgunaan substance ialah seberapa jauh substance itu menganggu kehidupan seseorang, apabila substance itu mengakibatkan pendidikan, pekerjaan atau hubungan dengan orang lain terdisrupsi dan membuat terperosok pada situasi yang berbahaya secara fisiologis (seperti selama mengemudi), dan jika mengalami masalah-masalah yang terkait dengan hukum karenanya, maka individu tersebut menyelahgunakan substance. Secara sederhana dikatakan penyelahgunaan substance adalah pola penggunaan substance psikoaktif yang mengakibatkan distres yang signifikan dalam peran sosial maupun okupasional dan dalam situasi-situasi yang berbahaya.

Widjono et al (dalam Kuntari, 2011) menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan pemakaian obat secara berkesinambungan, atau sesekali saja tetapi berlebihan dan tidak menurut petunjuk dokter. Pendapat itu sesuai dengan defenisi dari Departemen Sosial (2007) yang menyebutkan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan bahan yang dilakukan oleh individu bukan tujuan pengobatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa narkoba merupakan bahan yang sangat bermanfaat untuk pengobatan, akan tetapi jika disalahgunakan akan menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit baik kepada penyalahguna maupun orang lain di sekitarnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2002).

Argumen dari Departemen Kesehatan itu sesuai dengan Undamg-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang psikotropika pada pasal 7 menyebutkan bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” (Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009).

173

Merujuk Undang-undang tersebut dapat dimaknai bahwa semua bentuk dan jenis perilaku individu yang menggunakan bahan atau obat yang bukan untuk kepentingan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah merupakan defenisi perilaku penyalahgunaan narkoba.

Zat atau bahan yang terkandung pada narkoba tersebut banyak sekali disalahgunakan sehingga menimbulkan ketagihan ‘addiction’ sampai pada tahap memprihatinkan yaitu ketergantungan ‘dependence’ bagi penyalahguna atau bagi pecandu narkotika. Durand &

Barlow (2007) mengatakan kecanduan atau ketergantungan substance adalah pola penggunaan substansi psikoaktif yang mengakibatkan distres yang signifikan dalam peran sosial, pekerjaan dan dalam situasi-situasi yang berbahaya.

Yunita (2010) melontarkan bahwa perilaku penyalahgunaan narkoba merupakan tindakan penggunaan zat, narkotika dan obat-obatan adiktif lainnya tanpa tujuan pengobatan yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia yang mengkonsumsinya. Argumen yang sama juga dikatakan oleh Throop dan Castellucci (2005) bahwa penyalahgunaan narkoba adalah suatu tindakan penggunaan narkoba diluar pengobatan yang sangat membahayakan kondisi fisik, emosional dan mental pemakainya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa perilaku penyalahgunaan narkoba adalah perilaku individu yang mengkonsumsi narkoba tanpa hak atau melawan hukum atau menggunakan narkoba diluar dari tujuan pengobatan yang sangat membahayakan kondisi fisik dan kondisi psikologis remaja.

174 4.2 Psikofarmakologi Narkoba

Narkoba mempunyai berbagai warna, bentuk, jenis, serta pengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik dan kesehatan psikologis, disamping sifat narkoba memiliki banyak persamaan, salah satunya ialah sifat ketergantungan atau kecanduan (Adisti 2007).

Maramis (1994) mengatakan bahwa mempelajari efek dari obat narkoba dan turunannya disebut dengan psikofarmakologi, lebih lanjut beliau mendefenisikan bahwa psikofarmakologi adalah mempelajari efek obat pada perilaku manusia dan efek ini terjadi melalui perubahan aktivitas neural (syaraf), atau mempelajari obat-obat khusus yang dinamakan psikotropika yaitu obat yang efeknya pada otak dan memiliki dampak terapeutik langsung pada proses mental manusia.

Sundberg et al., (2007) mengatakan bahwa psikofarmakologi mengacu pada studi tentang obat-obatan yang mengubah aktivitas-aktivitas yang dikontrol oleh sistem saraf. Obat-obat neurofarmakologis diresepkan secara luas dan golongan agen-agen terapeutik penting dipergunakan untuk menangani berbagai patologi mulai dari depresi sampai penyakit Parkinson yang menjadi pusat perhatian ialah psychotropic pharmaceutical yakni obat-obat yang digunakan oleh para dokter dan orang-orang dengan kewenangan legal lainnya karena berbagai dampak seperti dapat mengubah pikiran atau mengubah suasana perasaan.

Kecepatan perkembangan obat-obat psikotropika baru, yang dimulai pada paruh kedua abad ke-20 tampak masih terus berlanjut dan bahkan semakin meningkat saat memasuki abad 21.

Selanjutnya mereka menambahkan bahwa seperti pada sistem lainnya, sistem saraf manusia memerlukan mekanisme untuk berkomunikasi. Neurotransmisi yang merupakan suatu proses elektrokimiawi, adalah salah satu

175

mekanisme yang digunakan sistem saraf untuk berkomunikasi. Neuron-neuron saling menghantarkan sinyal-sinyal melalui molekul-molekul, dikenal sebagai neurotransmitter yang merupakan bagian integral dari sistem saraf, hasilnya adalah aktivitas neural yang mengalami peningkatan atau penurunan. Banyak gangguan neuropsikologis yang terkait dengan perubahan aktivitas atau level neurotransmitter yang abnormal. Intervensi medis dimaksudkan untuk menangani gejala-gejala dan berusaha mengubah level neurotransmitter dalam sistem saraf. Agar proses komunikasi terjadi, dua neuron atau lebih harus berinteraksi yang terjadi di seluruh daerah persilangan yang disebut sinapsis. Reseptor adalah bagian neuron dimana neurotransmitter-neurotransmitter terikat sampai menghasilkan sebuah efek. Bahan-bahan kimia selain neurotransmitter juga dapat terikat ke reseptor untuk menghasilkan atau menghambat aktivitas. Pengikatan obat-obatan ke reseptor menjadi konsep fundamental psikofarmakologi.

Obat-obat yang terikat direseptor, membentuk suatu kompleks yang pada gilirannya menghasilkan perubahan pada transmisi sinapsis. Menurut Sundberg et al., (2007) menjelaskan bahwa terdapat empat cara transmisi sinapsis dapat diubah ke obat-obatan yakni:

 Obat-obatan dapat memblokir atau mempercepat sintesis sebuah neorotransmitter.

 Obat-obatan atau substance dapat memblokir atau mempercepat reuptake sebuah neurotransmitter.

Reuptake adalah proses dimana neuron presinapsis mengambil kembali sebagian neurotransmitter yang sebelumnya telah dilepaskan.

 Obat-obatan hanyalah mempertinggi pelepasan messenger kimiawi yang diinginkan.

176

 Obat-obatan dapat memblokir atau mempercepat penguraian enzimatik dari berbagai neurotransmitter.

Keempat mekanisme tersebut masing-masing memungkinkan obat-obat resep untuk mengimitasi atau menghambat respons neorutransmitter normal. Ketika suatu obat meniru tindakan sebuah transmitter neurologis, maka obat itu bersifat agonis. Demikian pula sebaliknya jika suatu obat memblokir tindakan sebuah transmitter maka obat tersebit bersifat antagonis.

Sundberg et al., (2007) secara detail menjelaskan bahwa terdapat berbagai jenis tipe-tipe neurontransmitter-neurotransmitter yang mempunyai arti terpenting secara psikofarmakologis yaitu norepinefrin, dopamin, serotonin, asetilkolin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA).

Kebanyakan neurotransmitter kecuali GABA ditemukan pada daerah-daerah focal otak yang disebut nuklei. Nuklei otak pada dasarnya ialah daerah-daerah terorganisasi dari jaringan saraf yang menyatu untuk mengontrol fungsi-fungsi tertentu di sistem saraf. Nuklei neurotransmitter memiliki lokasi-lokasi yang bervariasi di sistem saraf. Norepinefrin (derivatifnya yakni epinefrin) adalah neurotransmitter yang paling sering terbentuk dalam formasi retikuler batang otak.

Dopamin terutama ditemukan dalam substania nigra dari basal ganglia. Produksi serotonin terutama ditemukan dalam batang otak dan produksi astelkolin pada umumnya tarkait dengan basal forebrain. GABA memiliki lokasi yang tersebar dalam sistem saraf.

Klasifikasi dan pengelompokan obat psikotropika menurut Maramis (1994) dibagi menjadi empat golongan, yaitu:

 Obat penenang (tranzquilizer), kelompok obat ini memiliki efek anti cemas, anti tegang, dan anti agitasi.

177

 Obat melumpuhkan syaraf (neuroleptic), dahulu diistilahkan dengan nama major tranzquilizers.

Disamping memiliki efek anti cemas, anti tegang, dan anti agitasi, juga mempunyai efek yang lebih extreme yaitu anti schizophrenia dan anti psikosa.

 Obat anti depresan, terdiri dari dua kelompok, a) kelompok timoleptika yang dapat menurunkan depresi akan tetapi dapat menimbulkan anti cemas, anti teganh dan anti agitasi, b) kelompok thimeretika, yang dapat mengurang depresi dan mengaktivasi dan menghilangkan hambatan.

 Psikomimetika (meniru psikosis), efek yang dapat ditimbulkan adalah gejala psikotik yang reversible. Contoh obat jenis ini adalah LSD dan mescali.

Passer dan Smith (2007) menyatakan bahwa dampak narkoba dapat dilihat berdasarkan reaksi kimia, pengaturan pada kondisi fisik dan sosial, harapan, genetik dan kepribadian. Kamisah Yusof et al., (2011) juga bahwa menegaskan dampak negatif yang ditimbulkan oleh narkoba sangat tergantung pada dosis dan tapak administrasi.

Mempergunakan banyak jenis narkoba secara bersamaan dapat meningkatkan percepatan proses kerja narkoba atau dapat menghalangi proses kerja narkoba tersebut.

Seterusnya mereka menguraikan bahwa terdapat berbagai macam cara untuk mengklasifikasikan narkoba seperti dipetakan menurut struktur kimia, strategi tindakan, dan menurut sistem kerja narkoba. Salah satu cara penggolongan narkoba berdasarkan kelas dan sub kelasnya ditunjukkan tabel 4.1.

Tabel 4.1 Kelas dan jenis-jenis narkoba

178

Kelas Subkelas Contoh

Narkoba Analgesik/ penahan

sakit Narkotika Morfin

Bukan narkotika Aspirin Antiinfektif/anti

saraf pusat Antiresah Antidepresi

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal 5 disebutkan bahwa:

“pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika”.

Aturan tersebut diuraikan pada bagian penjelasan bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor

179

Narkotika” hanya untuk industri farmasi (Undang-Undang RI Nomor. 35 tahun 2009).

Penggolongan narkoba secara detail dijelaskan termuat dalam Undang-Undang RI Nomor. 35 Tahun 2009, pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa: “Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:

a) Narkotika Golongan I; b) Narkotika Golongan II; dan c) Narkotika Golongan III. Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pada bagian penjelasan di Pasal 6, disebutkan bahwa

‘ayat (1) Huruf a) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Huruf b) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Huruf c) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Penjelasan pada ayat (3) Yang dimaksud dengan ”perubahan penggolongan Narkotika” adalah penyesuaian penggolongan Narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan

180

kepentingan nasional (Undang-Undang RI Nomor. 35 tahun 2009; Wahyuni 2014).

Passer & Smith, (2007) menggolongkan kelas, jenis, dosis dan dampak yang ditimbulkan narkoba dan efeknya secara sederhana sesuai dengan karakteristik narkoba, yang ditunjukkan melalui tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2 Kelas dan Efek Narkoba

‘Kelas

Narkoba ‘Efek Khusus ‘Dosis Risiko Tinggi / Kronis

181 psikologis.

Hallucinogens LSD, Mescaline,

Phencyclidine

Halusinasi, gangguan persepsi dan penglihatan, mual, kehilangan interaksi

dengan realiti.

Reaksi psikotik (delusi, paranoid),

panik, bahkan kematian

Marijuana Euphoria ringan, relaksasi, peningkatan pengalaman

sensorik, peningkatan nafsu

makan, gangguan memori dan reaksi

waktu.

Kelelahan, kecemasan, disorientasi, kerusakan

sensorik, memungkinkan reaksi psikotik,

Penggolongan yang sama pula, telah diklasifikasikan oleh Goldman, (1992) secara detail lengkap dengan dosis batas toleransi kandungan obat mengenai obat-obat jenis antipsikotik, anti cemas dan antidepresan ditampilkan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Daftar obat, dosis antipsikotik, anti cemas dan antidepresan

Nama Obat Ekuivalen

Chlorpromazine Penggunaan (mg) ANTIPSIKOTIK/

NEUROLEPTIK

Dalam dokumen RELIGIUSITAS PECANDU NARKOBA (Halaman 179-189)