• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Wahyu

Dalam dokumen PANDANGAN THEODOR NOLDEKE TENTANG AL-QUR`AN (Halaman 49-55)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI AL-QUR`AN

A. Definisi Al-Qur`an dan Wahyu

2) Definisi Wahyu

• Kemuʽjizatan Al-Qur`an dari Segi Kejiwaan

Dari segi kejiwaan adalah pengaruh yang besar yang ditimbulkan dalam hati pengikut-pengikutnya maupun musuh-musuhnya, sehingga dengan pengaruh tersebut, orang-orang musyrik sendiri keluar pada tengah malam untuk mendengarkan bacaan al-Qur`an dari orang-orang Islam, sehingga mereka saling memberi peringatan agar tidak mendengarkan al-Qur’an, serta menegaskan bahkan suara lantunan ketika Nabi Muhammad SAW membacanya, agar orang-orang tidak membacanya.10

( َنوُبِلْغَ ت ْمُكَّلَعَل ِهيِف اْوَغْلاَو ِنآْرُقْلا اَذَِلَ اوُعَمْسَت َلَ اوُرَفَك َنيِذَّلا َلاَقَو

٦

٢

)

Terjemah Kemenag 2002:

Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur'an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Q.S. Fuṣṣilat [41]: 26)

2) Definisi Wahyu

a) Makna Kata Wahyu

• Secara Bahasa (etimologi)

Menurut bahasa kata “waḥyu”

(يْحَو)

merupakan bentuk maṣdar/

infinitive yang berasal dari akar kata waw, ḥa’, dan ya’ dari kata

( ,يَِيَ ,َيَحَو

ايْحَو)

yang berarti suara, kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan, risalah.11 Selain itu kata “waḥyu” berasal dari ism maṣdar dari fi’il waḥā berasal dari kata “waḥā-yūḥā-waḥyū” yang secara bahasa berarti sesuatu yang “tersembunyi” dan “cepat”. Maksudnya pemberitahuan kepada seseorang secara tersembunyi dan cepat dan bersifat khusus dan tersembunyi.12

10 Muhammad Yasir dan Ade Jamaruddin, Studi al-Qur`an (Riau: CV. Asa Riau, 2016), h. 23-33.

11 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap (Yogyakarta, Pustaka Progresif, 1984), h. 1545.

Wahyu berasal dari bahasa Arab, yaitu waḥy yang berarti suara, cepat, dan tersembunyi. Jika disebutkan waḥaytu ilaihi dan awḥaiyu, artinya saya berbicara kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain. Para penyusun kamus Bahasa Arab bahwa arti “waḥy” ini berkisar sekitar:

Ishārah al-sarīʻah” (isyarat yang cepat), Kitābah” (tulisan), “Maktūb” (tertulis), “Risālah” (pesan), “Ilhām” (ilham), “Iʻlam al-Khafi” (pemberitahuan yang bersifat tertutup dan tidak diketahui pihak

lain), dan “al-Kalām al-Khafi al-Sarī ” (pembicaraan yang bersifat tertutup dan tidak diketahui pihak lain dan cepat).13

Secara Istilah (terminologi)

Syeikh Mannāʻ Khalil al-Qaṭṭān dalam bukunya Mabāhiṡ Fī ‘Ulūm

al-Qurʻān menyebutkan bahwa pengertian wahyu secara terminologi

meliputi:

1) Ilham yang menjadi fitrah manusia, seperti wahyu terhadap ibu Musa dalam Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 7.

2) Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah dalam Q.S. al-Naḥl [16]: 68.

3) Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Nabi Zakaria a.s. yang diceritakan al-Qur`an dalam Q.S. Maryam [19]: 11.

4) Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia dalam Q.S. al-Anʻām [06]: 121.

5) Yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan dalam Q.S. al-Anfāl [08]: 12.14

Nashr Hamid Abu Zaid (w. 2010 M) dalam Kitab Mafhūm al-Naṣṣ menjelaskan bahwa wahyu adalah proses komunikasi yang mengandung

13 Saʻd al-Dīn al-Taftāzānī, Sharḥ al-Aqāʻid al-Nasafiyyah (Karachi: Maktabah Khair Khathīr, t.t.), h. 8-23.

31

unsur-unsur pengirim dan penerima yang keduanya terkait dalam satu taraf eksistensi dengan media yang bisa dipahami oleh kedua belah pihak. Dan pembicaan mengenai wahyu dalam al-Qur`an membawa kita pada bidang yang agak rumit, dimana proses komunikasi/wahyu antara dua belah pihak tidak berlangsung dalam tingkat eksistensi yang sesuai. Meskipun demikian, konsep seperti ini-konsep komunikasi antara tingkat-tingkat eksistensi yang berbedamasih merupakan konsep yang lumrah dalam peradaban Arab sebelum Islam.15

b) Lafadz-Lafadz yang Terkait dengan Wahyu

• Al-Inzāl dan Al-Tanzīl

Kedua kata inzāl dan tanzīl diambil dari akar kata yaitu

لزن

hanya saja kata inzāl ditambah dengan hamzah, sedangkan kata tanzīl ditambahkan dengan tasydid kerana menambah huruf pada ‘ain fi’il-nya yaitu huruf ز (ża). Keduanya mengandung arti muta’addi yang berarti menurunkan. Inzāl dan Tanzīl adalah bentuk maṣdar dari kata anzāla, dengan arti turun. Bentuk

ism maṣdar ada tiga timbangan yaitu nuzūl, nazlāh, dan tanzīl kesemuanya

terulang 24 kali dalam al-Qur`an.16

Muhammad Syahrur (w. 2019 M) seorang penulis kontenporer tentang al-Qur`an juga mengatakan:

لقن ةيلمع ليزنتلا

يعولا جراخ يعوضوم

ناسنلَا

و

لازنلَا

ةدالما لقن ةيلمع

يعولا جراخ ةلوقنلما

ناسنلَا

ةيناسنلاا ةفرعلما لامَ تلخد يا كردلما ليا كردلما يرغ نم

“Al-Tanzīl adalah proses pemindahan satu kejadian yang diluar batas pengetahuan manusia. Sedangkan Inzāl adalah proses pemindahan materi

15 Naṣr Hāmīd Abū Zaid, Mafhūm al-Naṣṣ {Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur`ān} (Bairut: al-Markaz al-Ṣaqafī, 2000), h. 36.

16 Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur`ān (Kairo: Dar al-Hadits, 1986), h. 694-698 dan Mu’jam al-Fadz al-Qur`ān al-Karim, Jilid III (al-Idarah al-‘Ammah li Mu’jamat wal Ihya’), h. 1088-1092.

yang dipindahkan di luar batas kemampuan (pengindraan) manusia dari suatu yang tidak diketahui menjadi sesuatu yang bisa diketahui”.

Jadi al-Qur`an sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad masih berupa Kalamullah yang tidak bisa diketahui, lalu Kalamullah itu di-inzāl-kan (diturundi-inzāl-kan) ke langit dunia dalam bentuk yang sudah diketahui oleh manusia, lalu di-tanzīl-kan (diturunkan secara bertahap) kepada Nabi Muhammad kurang lebih 23 tahun.17

• Al-Ilhām

Menurut bahasa, kata ilhām dari fiʻil ṣulaṣi mujarrad

(مهلي ,مله)

yang artinya menelan, melahap sesuatu.18 Ketika berubah menjadi fi’il ṣulaṣi

mazid rubaʻi menjadi

( امالهإ ,مهلي ,ملها)

, kata ilham bermakna menelan dalam arti menghujamkan ke dalam jiwa.

Sedangkan ilhām menurut istilah adalah wahyu atau pertolongan dari Allah untuk melakukan suatu perbuatan19 petunjuk Tuhan yang timbul dari hati dan pikiran (angan-angan) yang timbul dari hati, bisikan hati; sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta (berupa syair, lagu, dll).20

Terkadang menyamakan pengertian ilhām dengan wahyu, secara hakikat antara wahyu dengan ilhām berbeda. Wahyu ialah pemberitahuan yang bersifat ghaib, rahasia dan sangat cepat yang khusus diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya. Sedangkan ilhām ialah pemberitahuan sesuatu pada jiwa seseorang yang mendorongnya untuk mengerjakan sesuatu, bahkan juga oleh hewan dan tumbuh-tumbuhan sekalipun.21

17 Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur`ān (Damaskus: al-Ahali, 1992), h. 149.

18 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010), h. 404.

19 Yunuf Syukri Farhat, Muʻjam at-Thullab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), h. 540.

20 Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Bahasa Republik Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 205), h. 423.

33

• Al-Kasyaf

Kasyf atau kasyaf adalah terbukalah atau hilangnya selubung yang

menutupi sesuatu yang ghaib atau tersembunyi bagi seseorang. Kejadian ini hanya diketahui oleh sebagian waliyullah dan Rasul-Nya. Kebanyakan kata

kasyaf di dalam al-Qur`an berkenaan dengan arti menghilangkan atau

menlenyapkan mudharat, penyakit, kesedihan, malapetaka, bencana, azab oleh Allah atas hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, bukan oleh berhala atau sembahan-sembahan manusia yang disekutukan oleh Allah SWT.22

Terdapat perbedaan yang signifikan antara wahyu dengan kasyf.

Setidaknya, ada tida hal yang menunjukkanakan perbedaan di antara berikut • Wahyu yang diturunkan kepada para Nabi, sedangkan kasyf dimiliki

oleh orang yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah billāh.

• Cara memperoleh kasyf harus melalui latihan (riyāḍah), berfikir dalam waktu yang lama, walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang diperoleh dengan menggunakan hidayah dan taufik, sedangkan wahyu diperoleh karena beliau adalah utusan Allah untuk manusia.

• Derajat kasyf lebih rendah daripada wahyu. Kasyf hanya sampai pada tingkatan temuan belum mencapai tingkatan temuan belum mencapai tingkatan yakin atau berada di bawah tingkatan yakin. Sedangkan wahyu sudah mencapai tingkatan yakin. 23

c) Macam-Macam Wahyu

Secara ijtihādiy, para ulama membagi wahyu meliputi dua.

• Wahyu jalī atau Wahyu mastūr, yaitu wahyu yang tertulis di Lawḥ

al-Mahfūẓ. Wahyu ini di khususkan kepada Jibril untuk disampaikan

22 Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan al-Qur`an II (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 68-72.

23 Abdul Jawad Khalaf, Madkhal ilā al-Tafsīr wa ʻUlūm al-Qur`ān (Kairo: Dār al-Bayān al-ʻAraby), h. 31.

kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 13 tahun lamanya. Wahyu yang seperti ini pula yang didapatkan oleh para Nabi sebelum beliau.

• Wahyu khafī atau Sunnah Nabawiyyah, yaitu wahyu Allah secara arti namun lafadznya dari Rasulullah.24

Jika diteliti lebih lanjut, terdapat beberapa kesamaan antara wahyu

jalī dan wahyu khafī. Pertama, kedua-duanya berasal dari Allah. Kedua,

kedua-duanya diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad SAW. Ketiga, mengandung perintah syariat, (wajib, haram, mubah, makruh, dan, sunah).

Adapun karakter khusus yang dimiliki wahyu jalī, yaitu keseluruhannya berdasarkan riwayat yang mutawatir dan qatʻī ṡubūt, juga terjaga dan tertulis di dalam mushaf. Selain itu, beliau diturunkan melalui perantara Jibril, bukan dengan ilham, beliau diturunkan melalui perantara Jibril, bukan dengan ilham, dan bukan juga melalui mimpi. Sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Q.S. al-Syuʻarā’ [26]: 193. Adapun wahyu

khafī, tidak semuanya berdasarkan riwayat yang mutawatir dan juga tidak

semuanya tertulis qatʻī ṡubūt karena banyaknya riwayat dan perbedaan padanya, juga tidak semuanya tertulis dalam satu buku. Wahyu jenis ini bisa didapatkan oleh Nabi berdasarkan ilham, mimpi, begitu pula melalui wasilah Malaikat Jibril.25

d) Bukti Para Penulis Wahyu yang Dibawa oleh Nabi Muhammad SAW

Dalam buku Sejarah Lengkap al-Qur`an karya M. Hadi Ma`rifat bahwa dengan alasan ini, Rasulullah SAW merasa perlu memerintahkan

24 Abdul Jawad Khalaf, Madkhal ilā al-Tafsīr wa ʻUlūm al-Qur`ān, h. 34. 25 Kholid Muslih, dkk, Worldview Islam (Pembahasan tentang Konsep-Konsep Penting dalam Islam), Cet-II (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018), h. 93-94.

35

para penulis untuk mencatat segala macam urusan, termasuk wahyu. Di Mekkah atau di Madinah, beliau memilih orang-orang yang pandai membaca dan menulis untuk mencatat. Penulis wahyu yang paling inti adalah Ali bin Abi Thalib, dkk. Di kalangan Quraish (muhajirin), Ubay bin Kaʻab, Zaid bin Tsabit, dkk. Di kalangan Madinah (anshar). Dari kalangan wanita adalah Syifa’ binti Abdullah. Atas perintah Nabi, Syifa’ mengajari Hafshah bin Umar bin Khaththab r.a ilmu tulis dan setelah itu Hafshah masuk dalam golongan para penulis wahyu.

Cara-cara mereka penulisan wahyu pada masa awal Islam dengan mencatatnya dalam bentuk tulisan, diantaranya yakni:

➢ ʻUsub, jamak dari kata ʻasib yang berarti pelepah kurma. Menulis wahyu di kayu dan bagian yang telah dicabut daun-daunnya.

➢ Likhaf, jamaknya lakhfah yang berarti batu-batu yang tipis dan berwarna putih.

➢ Riqa’, jamaknya ruʻqah, artinya lembaran-lembaran kulit atau daun atau kertas.

➢ Udum, jamak dari adim, artinya kulit yang siap ditulis.26

Dalam dokumen PANDANGAN THEODOR NOLDEKE TENTANG AL-QUR`AN (Halaman 49-55)