BAB IV AL-QUR`AN MENURUT THEODOR NOLDEKE
A. Struktur Dasar Konstruksi Al-Qur`an
2) Pandangan Ulama terhadap Proses Pewahyuan Al-Qur`an
Menurut Ulama terdapat beberapa tahap tentang proses penurunan al-Qur’an. Ada dua tahapan proses penurunan tersebut, yakni:
Pertama: Wahyu diturunkan dari Lawḥ al-Maḥfuẓ14 menuju Bait
al-ʽIzzah (langit dunia) secara sekaligus (tanpa perantara) ketika penurunan
terjadi. Penurunan Qur`an tersebut awalnya berasal dari Lawḥ
al-Maḥfūẓ menuju Bait al-ʽIzzah dalam jangka waktu satu malam yaitu malam Lailah al-Qadr15 sekaligus di bulan Ramaḍan16.
Para Ulama Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana al-Qur`an diturunkan dari Lawḥ al-Maḥfūẓ atas tiga pendapat, yakni:
Pendapat pertama mengatakan bahwa paling ṣaḥīḥ dan masyhūr. Al-Qur`an diturunkan ke langit dunia pada malam Lailah al-Qadr secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur dalam 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Ini berdasarkan pendapat tentang masa tinggal Rasulullah SAW di Makkah setelah bi’ṡah (diutus menjadi Nabi SAW).
Pendapat kedua mengatakan bahwa al-Qur`an diturunkan ke langit dunia selama 20 kali Lailah al-Qadr atau 23 kali, yang setiap malam Allah menentukan apa yang akan diturunkan-Nya dalam sepanjang satu tahun. Setelah itu Allah menurunkannya secara bertahap secara keseluruhan pada seluruh tahun yang ada.
14 Q.S. al-Burūj [85]: 21-22.
15 Q.S. al-Qadr [97]: 1-5, Q.S. al-Dukhān [44]: 3. 16 Q.S. al-Baqarah [02]: 185 dan H.R. al-Bukhārī no. 3.
77
Pendapat yang ketiga mengatakan bahwa telah dimulai turunnya pada saat Lailah al-Qadr, kemudian diturunkan secara bertahap pada waktu- yang berbeda-beda dari seluruh waktu yang ada.17
Mengapa al-Qur`an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia adalah memuliakan kedudukannya dan kedudukan orang yang diturunkan kepada kitab tersebut. Demikian itu dengan mengumumkan kepada penghuni tujuh langit (para malaikat) bahwa kitab itu adalah kitab yang terakhir dari kitab-kitab yangditurunkan yang disampaikan kepada rasul terakhir untuk umat yang paling mulia (umat Muhammad).18 “Kami (Allah)
telah mendekatkan al-Qur`an kepada mereka untuk kami turunkan kepada mereka, dan seandainya tidak karena hikmah ilahiah yang berkehendak untuk menyampaikan al-Qur`an itu kepada mereka secara berangsur sesuai dengan berbagai peristiwa, maka ia akan diturunkan ke bumi ini secara langsung sekaligus seperti kitab-kitab sebelumnya.”
Kedua: Sesudah sampai di Bait al-ʽIzzah, maka Malaikat Jibril a.s yang berperan sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad SAW berdurasi kurang lebih selama 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah) atau 22 tahun 2 bulan 22 hari secara berangsur-angsur (bertahap)19.
3) Posisi Theodor Noldeke tentang Proses Pewahyuan Al-Qur`an dalam Pandangan Cendekiawan Sarjana Muslim Modern
Penulis akan menjelaskan pandangan-pandangan cendikiawan muslim modern (Para Oksidentalis), di mana mereka hidup era setelah
17 Imam Suyuthi, al-Itqān fī Ulūm al-Qur`ān terjemahannya Studi al-Qur`an Komprehensif, h. 179-182.
18 Imam Suyuthi, al-Itqān fī Ulūm al-Qur`ān terjemahannya Studi al-Qur`an Komprehensif, h. 182.
Theodor Noldeke wafat, dan komentar para penulis dalam Pandangan Theodor Noldeke mengenai proses pewahyuan al-Qur`an.
Pemikir-pemikir klasik belum pernah melakukan analisa terhadap analisis proses penyampaian pesan Tuhan kepada makhluk-Nya dengan teori modern, dikarenakan proses tersebut berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Namun seiring dengan perkembangan zaman ditemukan alat analisis yang bisa melakukan penalaran terhadap sesuatu di luar jangkauan manusia.
a) Muhammad Syahrur (w. 2019 M)
Muhammad Syahrur menjelaskan tetang proses turunnya al-Qur`an, yakni dengan Dalam konsepnya terdapat dua term yaitu inzāl dan
al-tanzīl. Beliau menyatakan bahwa proses al-inzāl pada al-Qur`an secara
sekaligus. Sedangkan proses al-tanzīl yaitu secara terpisah yang berlangsung selama 23 tahun. Dalam Lawh Maḥfūẓ tersimpan hanya al-Qur`an saja, yang mempunyai wujud pra-eksistensi sebelum mengalami al
inzāl dan al-tanzīl.20
يَولا جراخ يَوضوم لقنِ ةيلمَ ليزنَلا
ناسنِلَّا
و
لازنِلَّا
ةلوقنملا ةداملا لقنِ ةيلمَ
يَولا جراخ
ناسنِلَّا
ةينِاسنلاا ةفرعملا لاجم تلخد يا كردملا يلا كردملا ريغ نم
“Al-Tanzīl adalah proses pemindahan satu kejadian yang diluar batas pengetahuan manusia. Sedangkan Inzāl adalah proses pemindahan materi yang dipindahkan di luar batas kemampuan (pengindraan) manusia dari suatu yang tidak diketahui menjadi sesuatu yang bisa diketahui”.
Jadi al-Qur`an sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad masih berupa kalām Allah yang tidak bisa diketahui, lalu kalām Allah itu di-Inzāl-kan (diturundi-Inzāl-kan) ke langit dunia dalam bentuk yang sudah diketahui oleh
20 The Bajigurs, “Konsep Pewahyuan al-Qurʽan”, Diakses, 22 Februari, 2016, HTTPS://IATB AJIGUR. WORDPRESS.COM/2016/0 2/22/KONSEP
79
manusia, lalu di-Tanzīl-kan (diturunkan secara bertahap) kepada Nabi Muhammad kurang lebih 23 tahun.21
b) Mohammed Arkoun (w. 2010 M)
Beliau merujuk kepada Hermenutika Paul Ricoeur (w. 2005 M), Moh. Arkoun membedakan tiga tingkatan wahyu, yakni:
Tingkat Pertama: Menunjukan kepada Firman Allah SWT sebagai transenden, tidak terbatas, dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu semacam ini biasanya dipakai di dalam Lawḥ
al-Maḥfūẓ atau Umm al-Kitāb (Induk Kitab).
Tingkat kedua: Menunjukan penampakan wahyu, yaitu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bible (Taurat dan Zabur), injil, dan al-Quran. Wahyu yang turun kepada para Nabi Musa a.s. menggunakan bahasa Ibrani, wahyu yang turun kepada Yesus berwujud bahasa Aramaik, sedangkan wahyu yang turun berupa al-Qur`an dalam menggunakan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun.
Tingkat ketiga: Menunjuk wahyu yang sudah tertulis dalam musḥaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya atau disebut juga sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed Canons).22
Berkenaan dengan al-Qur`an, ini menunjukkan bahwa musḥaf yang dikodifikasi pada zaman Khalifah Usman ibn ʽAffan r.a. atau lebih dikenal dengan sebutan Musḥaf al-Uṡmānī yang ditulis di atas
21 Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur`ān (Damaskus: al-Ahali, 1992), h. 149.
22 Mohammed Arkoun, “Exploration and Responses: New Perspectives for A Jewish- Christian-Muslim Dialogue”, dalam Journal of Ecumenical Studies (Summer 1989), 526. Mohammed Arkoun, “Gagasan Tentang Wahyu: dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab”, dalam Studi Islam di Perancis; Gambaran Pertama, ed. Nico J. G Kaptein dan Henri Chambert-Loir (Jakarta: INIS, 1993).
perkamen atau kertas yang akan menjadi buku, yakni Kitab Suci yang dipakai oleh orang-orang muslim hingga saat ini.23
c) Nasr Hamid Abu Zaid (w. 2010 M)
Dalam Kitab Mafhum al-Naṣṣ Dirāsah fī ʻUlūm al-Qur`ān menjelaskan bahwa proses cara penurunan wahyu yakni:
Pertama: Tahap tanzīl yaitu proses turunnya teks al-Qur`an dari Allah SWT kepada Malaikat Jibril atau Rūh al-Amīn. Pada taraf vertikal (Allah-Jibril) teks masih berupa teks non-bahasa.24 Konsep menurunkan /
tanzīl disini dipahami sebagai “menurunkan” kepada manusia melalui dua
perantara: Malaikat dan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk manusia.25 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an ini merupakan tahap tersebut berupa makna saja.
Kedua: Proses ta’wīl yaitu proses dimana Nabi Muhammad SAW menyampaikan teks al-Qur`an dengan bahasanya yaitu bahasa Arab. Dalam proses ini naṣ al-Qur`an berubah dari teks Ilahi kepada teks Insani atau
tanzīl menjadi taʻwīl.26
Maksud dari pemaparan Abu Zaid adalah al-Qur`an itu turun dengan makna dan bukan ama lafadz. Hal ini disebabkan karena teks al-Qur`an yaitu bahasa Arab itu tidak murni kalam Allah SWT, jadi teks yang diiturunkan ke Bumi sudah ada perubahan dan tidak murni dari Allah SWT, akan tetapi makna dari Allah SWT dan lafadznya bukan dari Allah SWT melainkan dari Nabi SWT, karena sudah diubah dari teks Ilahi menuju teks Insani.
23 Kholili Hasib, “Mohammed Arkoun dan Desakralisasi Al-Qur`an”, Diakses selasa, 21 September 2010, 10:14, Inpasonline.com. 7 dari 12.
24 Naṣr Hāmīd Abū Zaid, Mafhūm al-Naṣṣ {Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur`ān} (Bairut: al-Markaz al-Ṣaqafī, 2000), h. 56-57.
25 Naṣr Hāmīd Abū Zaid, Mafhūm al-Naṣṣ {Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur`ān}, h. 69. 26 Naṣr Hāmīd Abū Zaid, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sīnā li al-Nashr, 1992), edisi I.
81
d) Mohamad Nur Kholis Setiawan
Beliau memhamai proses pewahyuan al-Qurʽan dengan menggunakan pendekatan Linguistik Structural untuk menemukan keberadaan wahyu secara ontologis. 27 Analisis dengan pendekatan
structural ini beranjak dari sistem bahasa berupa lague maupun parole
sebagai pola kedua dari analisia bapak semiotika, yaitu Ferdinand de Sausuree (w. 1913 M). Al-Qur`an yang berasal dari Allah SWT yang tersimpan Lawḥ al-Maḥfūż merupakan lague, sedangkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan kode berupa bahasa Arab merupakan parole.
Tuhan (Allah SWT) sebagai yang gaib atau supra-natural menggunakan sistem bahasa non-ilmiah sedangkan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa ilmiah.28 Sehingga komunikasi keduanya berjalan dengan lancar, Pertama: Harus ada kesamaan eksistensi antara keduanya (Tuhan dan Nabi SAW). Kedua: Penyamaan pada aspek bahasa yang digunakan karena Tuhan dan manusia mempunyai sifat lāhūt (ketuhanan) dan nāsūt (kemanusiaan).29
Dengan menjadikan pendekatan Linguistik Structural, bahwasannya proses penyampaian pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW bersifat langsung tanpa melalui perantara.30
27 Nur Kholis Setiawan, Pesan Tuhan Yang Tertulis: Wahyu Dalam Bingkai Teori Komunikasi dalam Aksin Wijaya, menggugat, x. h. 48.
28 Nur Kholis Setiawan, Pesan Tuhan Yang Tertulis: Wahyu Dalam Bingkai Teori Komunikasi dalam Aksin Wijaya, menggugat, x. h. 48.
29 Muzayyin, “Menguji (Otentisitas Wahyu Tuhan) dengan Pembacaan Kontemporer: Telaah Atas Polemical Studies Kajian Orientalis Dan Liberal”. Jurnal Esensia, Vol. 15, No. 2 (September 2014): h. 232.
30 Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 78.
Dalam tradisi Kristiani, Jesus diyakini memiliki posisi yang sangat sentral dan sakral. Doktrin agama Kristen terkait konsep pewahyuan mengenai komunikasi personal Tuhan terletak dalam diri Jesus sekaligus melalui perantaraan dirinya.31 Tuhan Anak (Jesus) sebagai sosok yang dapat mengetahui hakikat Tuhan dalam diri Jesus juga żat tuhan ditampakkan dan dipahami.32 Wahyu bagi umat Kristiani adalah penyatuan
żat Tuhan dengan umat manusia yang termanifestasi dalam diri Jesus.
Posisi sentral al-Qur’an sebagai kalam Tuhan tidak sebanding dengan posisi Injil dalam tradisi Kristen. Injil berasal dari periwayatan kisah kehidupan Yesus yang dikodifikasikan oleh ḥawāriyyūn, sedangkan al-Qur`an adalah Firman Tuhan. Posisi al-al-Qur`an menurut tradisi Islam sama dengan posisi Yesus pada tradisi Kristen, keduanya konsep tersebut sebagai representasi kalam Tuhan.33 Jadi, wahyu itu berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada seorang Nabi (utusan). Sarjana Barat menyangkal kalām Allah SWT bersifat abadi, kekal, dan mandiri dapat disalurkan oleh sebuah wadah bahasa yang sifatnya menjadi terbatas (nisbi), selalu berubah-ubah (dinamis), dan sangat terkait dengan konteks kebahasaan manusia yang terus berkembang hingga saat ini.
31 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Vol. 2 (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), h. 361.
32 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, h. 361.
33 Naṣr Ḥamid Abū Zayd, Naqd al-Khiṭāb ad-Dīnī (Kairo: Sīnā li-al-Nashr, 1994), h. 195-196.
83
Bagan Proses Turunnya Al-Qur`an
85
4) Penerimaan Al-Qur`an Turun kepada Nabi Muhammad SAW