• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Konstruksi Dasar Pemikiran Theodor Noldeke

Dalam dokumen PANDANGAN THEODOR NOLDEKE TENTANG AL-QUR`AN (Halaman 85-96)

BAB IV AL-QUR`AN MENURUT THEODOR NOLDEKE

A. Struktur Dasar Konstruksi Al-Qur`an

1) Struktur Konstruksi Dasar Pemikiran Theodor Noldeke

Konstruksi teori penelitianuntuk mengetahui bentuk dari macam-macam penelitian karena perbedaan atau macam-macam penelitian yang dilakukan akan mempengarui bentuk konstruksi teori penelitian yang dilakukan, termasuk pula penelitian agama. Penelitian dapat mengambil bentuk bermacam-macam tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan untuk melihatnya.1

Secara umum teori konstruksi (genre) menurut Theodor Noldeke adalah berpijak dari hasil yang menyatakan bahwa menjadikan Bibel sebagai alat untuk menilai keontentikan al-Qur`an, beliau berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW disebut ummī (bukan tidak bisa membaca dan menulis, melainkan kebalikan dari Ahl al-Kitāb)2, disebabkan karena sumber utama Nabi Muhammad SAW adalah berasal dari Yahudi.3

Studi al-Qur`an dalam pandangan Theodor Noldeke yaitu dengan melacak sumber al-Qur`an dari dua agama besar sebelumnya, yakni Yahudi dan Nasrani, dan memiliki argumen historis untuk membuktikan bahwa

1 Mohammad Arif, Studi Islam dalam Dinamika Global, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2017), h. 93

2 Theodor Noldeke dkk, History of The Qur`an (Leiden, Koninkljke Brill, 2013), h. 11.

3 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur`an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 134.

Nabi Muhammad SAW betul-betul telah terpengaruh oleh ajaran dari kedua agama tersebut untuk kemudian dijadikan doktrin dalam al-Qur`an. Bahwa kajian Orientalis untuk menggugurkan sakralitas al-Qur`an. Ketika ada bahasa al-Qur`an yang benar agak mirip dengan bahasa lain, mereka mengklaim bahwasannya bahasa al-Qur`an mengambil dari situ.4

Muhammad Musthafa al-Aʻzami dalam karyanya The History of the

Qur’anic Text, bahwasannya beliau melontarkan tuduhan bahwa Islam

(al-Qur`an) merupakan bentuk pemalsuan dari Yahudi-Nasrani. Dalam hal ini, al-Aʻzami memberikan jawaban terkait dengan tuduhan adanya penyesuaian kata sebagaimana dilontarkan oleh Theodor Noldeke bahwa kekeliruan al-Qur`an dikarenakan kebodohan Nabi Muhammad SAW tentang sejarah awal agama Yahudi. Al-Aʻzami memberikan jawaban bahwa tuduhan yang hendak mengubah wajah Islam. Maksudnya memutar balikan teks dengan sengaja sehingga menyalahi ungkapan-ungkapan yang ada pada teks tersebut.5

Maka akan dibahas mengenai kontruksi yang dilakukan oleh Theodor Noldeke mengenai al-Qurʽan. Bahwasannya ummī yang dipahami oleh beliau adalah tidak mengenal kitab sebelumnya, hal tersebut menjadi polemik apakah al-Qur`an itu wahyu atau tidak bagi kalangan intelektual.

Maka kita bisa lihat di tabel berikut ini, mengenai analisis konstruksi yang dilakukan oleh Theodor Noldeke dengan buku History of al-Qur`an (Geschichte Des Qorans) mengenai konstruksi al-Qur`an. Maka bisa dilihat di bawah sebagai berikut ini:

4 Ahmad Shams Madyan, “Penelusuran Sejarah Al-Qur`an Versi Orientalis: Sebuah Gambaran Metodologis”. Jurnal Empirisma Vol. 24, No. 1 (Januari 2015): h. 31-32.

5 MM. al-Aʻzami, Sejarah Teks Al-Qur`an (Dari Wahyu Sampai Komplikasi kajian perbandigan dengan perjanjian lama dan perjanjian barat), Terj: Sohirin Solihin dkk (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 341-342.

67

Tabel 4.1 Analisis Konstruksi Teori Al-Qur`an oleh Theodor Noldeke dalam Kitab Geschichte Des Qorans / History of al-Qur`an

No. Tema Teks dalam Kitab The History of The Qur’an Penerjemahan

1. Ummī Nabi Muhammad SAW adalah kebalikan Ahl al-Kitāb

Even the Koran itself does not afford any more certainty, regardless of how one interprets the frequently occurring verb ارق particularly the passage in sūra 96 : 1 and 3. If it simply means “to lecture, to preach,” it is a priori irrelevant. If, however, this means “to read” or “to lecture on what has been read”, even this interpretation does not contribute anything towards solving the problem since it is in the nature of heavenly texts which are beyond human speech or writing and is therefore comprehensible only by divine inspiration. We can see that the evidence for Muḥammad’s ability to read and write is very weak. But what about the evidence generally marshalled to prove the opposite? The main argument is that in sūra 7:156 and 158 Muḥammad is called يملاا يبنلا words that nearly all commentators take to mean “the Prophet who could neither read nor write.” However, when we make thorough investigation of all the koranic passages that contain يما we find that it is used everywhere to mean the opposite of باتكلا لها namely, not a person capable of writing but the owner (or expert) of the holy Scripture; sūra 2:78 even says that there were نويما who have a poor understanding of the Scriptures. In relation to Muḥammad, this word must mean that he was not familiar with ancient divine texts and knew the truth only from divine inspiration characteristics frequently mentioned on other occasions as well that do not mean that he could not read or write at all. In addition, Muḥammad says in sūra 29:48 that before the revelation of the Koran he had not read a book; yet even these words, taken by themselves, are

Pandangan Theodor Noldeke bahwa al-Qur`an itu sendiri tidak mampu memberikan kepastian lebih lagi, terlepas dari bagaimana seseorang menafsirkan kata kerja yang sering terjadi ارق khususnya bagian dalam sūrah 96: 1 dan 3. Jika itu hanya berarti “memberi ceramah atau berkhutbah,” itu adalah prioritas utama itu tidak relevan. Namun, jika ini berarti "membaca " atau " memberi kuliah tentang apa yang telah dibaca", bahkan penafsiran ini tidak berkontribusi apapun untuk menyelesaikan masalah karena itu adalah sifat teks surgawi yang berada di luar bahasa atau tulisan manusia dan karena itu hanya dapat dipahami oleh ilham ilahi. Kita dapat melihat bahwa bukti kemampuan Nabi Muhammad SAW untuk membaca dan menulis sangat lemah. Tetapi bagaimana dengan bukti-bukti yang biasanya dibuktikan untuk membuktikan sebaliknya? Argumen utamanya adalah bahwa dalam sūra 7: 156 dan 158 Muḥammad disebut يملاا يبنلا kata-kata yang hampir semua komentator ambil yang berarti “ Nabi yang tidak bisa membaca atau menulis.” Namun, ketika kita membuat penyelidikan menyeluruh atas semua bagian al-Qur`an yang mengandung يما kami menemukan bahwa itu digunakan di mana-mana untuk berarti

nothing other than argument in one’s own favour. Finally, it is claimed that to the first revelation, the Angel’s command to ام ا ئرقب انا he replied with the words. But even this is of little importance since this entire tradition is extremely embellished, others instead reporting his reply ا رقا ام or اءرقا امف or " اءرقا امو , “what am I supposed to read?. Both parties thus offer nothing but pretences. Worthless, too, are statements that Muḥammad could write, but only little and not well.6

kebalikan dari ب اتكلا لها yaitu, bukan orang yang mampu menulis tetapi pemilik (atau ahli), dari Kitab Suci sūrah 2:78 bahkan mengatakan bahwa ada banyak orang yang memiliki pemahaman yang buruk tentang Kitab Suci. Sehubungan dengan Nabi Muḥammad, kata ini berarti bahwa dia tidak akrab dengan teks ilahi kuno dan tahu kebenaran hanya dari ilham ilahi. karakteristik yang sering disebutkan pada kesempatan lain sebagai baik itu tidak berarti bahwa dia tidak bisa membaca atau menulis sama sekali. Selain itu, Nabi Muḥammad SAW berkata dalam surah al-ʻAnkabūt ayat 48, bahwa sebelum wahyu al-Qur`an dia belum membaca buku, bahkan kata-kata ini diambil sendiri, tidak lain adalah argumen yang ingin menguntungkan seseorang. Akhirnya, diklaim bahwa untuk wahyu pertama, perintah Malaikat dia menjawab dengan kata-kata. Tetapi ini pun tidak terlalu penting karena seluruh tradisi ini sangat dibumbui, lainnya malah melaporkan balasannya sebagai ئراقب انا ام atau ارقا ام atau امف اءرقا atau اءرقا امو apa yang harus saya baca. Jadi kita hanya memiliki beberapa putaran di kedua sisi, seperti layak disebutkan adalah indikasi bahwa Muhammad bisa menulis, tetapi hanya beberapa dan tidak terlalu baik.

Penjelasan dalam Kitab The History of The Qur’an

69

Dalam pandangan Theodor Noldeke dalam menafsirkan Q.S al-ʻAlaq ayat 1-3 menurutnya itu tidaklah relevan. Tetapi jika berarti membaca atau memberi pengajaran tentang apa yang telah dibaca, karena memahami ayat tersebut berada di luar jangkauan akal manusia dan Nabi Muhammad SAW mengenal kitab-kitab terdahulu hanya melalui keterangan wahyu, padahal Nabi Muhammad SAW tidak bisa membaca dan menulis. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW bukan seorang ummī melainkan kebalikan dari Ahli Kitab (pemilik kitab) yaitu, sekelompok orang yang tidak mengenal kitab sebelumnya yakni ummīyun7. Ketidakpahaman beliau mengenai Nabi Muhammad SAW dibuktikan dengan dipaksa malaikat Jibril untuk membaca wahyu pertama di Gua Hira kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan tegas Nabi Muhammad SAW menjawab:

ئراقب انا ام

(saya tidak bisa membaca). Dengan redaksi tersebut, Theodor Noldeke meragukan kevalidasi riwayat tersebut, maka, ada riwayat lain dalam redaksi yang berbeda: selain kata

ئراقب انا ام

disebutkan juga redaksi

ا رقا ام

atau

اءرقا امف

atau

اءرقا امو .

Apa yang harus saya baca!

No. Tema Teks dalam Kitab The History of The Qur’an Penerjemahan

2.

Al-Qurʽan bukan Wahyu

Before enumerating them in detail, however, we should point out that for Muslims the word waḥy ( يْحَو), revelation, does not refer to the Koran alone but to every single inspiration of the Prophet, as well as any divine commandment that he received, even if these words were never claimed to be from the Koran. Most of the categories of revelation that Muslims enumerate do not refer at all to a Koranic revelation. There are conflicting old traditions regarding the classification of the revelations. Only later were they combined in an artificial system according to dogmatic considerations. When Muḥammad was asked how he had received the revelations he allegedly replied to ʿĀʾisha that they were accompanied at times by a noise, like that of a bell, which particularly grabbed him; at other times, he conversed with the angel as though with a human being so that he easily understood the words. Later writers, who refer to still other traditions, differentiate between even more categories.8

Meskipun begitu, sebelum mengelompokkannya/mengumpulkannya secara lebih rinci, perlu diketahui bahwa bagi umat muslim, kata "wahy"(Wahy) wahyu tidak merujuk pada "al-Qur'an" itu sendiri, melainkan merujuk pada setiap wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW, seperti juga firman Allah SWT yang beliau terima, walaupun jika kata-kata ini tidak pernah diakui berasal dari al-Qur'an. Sebagian besar wahyu yang umat muslim kumpulkan sama sekali tidak merujuk pada suatu wahyu al-Qur'an. Terdapat konflik pada kebiasaan lama berkaitan dengan klasifikasi dari wahyu itu, sehingga di kemudian hari wahyu-wahyu itu digabungkan dalam sebuah sistem buatan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangkan dogmatik. Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya bagaimana beliau menerima wahyu, maka beliau menjawab dengan merujuk kepada Siti Aisyah r.a. dimana beliau berdua selalu bersama-sama sepanjang waktu, baik itu lewat suara, seperti bunyi bel yang menghampiri Nabi, di waktu yang lain, beliau bercakap-cakap dengan Malaikat Jibril, yang berwujud manusia, sehingga mudah bagi beliau untuk memahami kata-kata-Nya. Di kemudian hari, para penulis yang masih merujuk pada kebiasaan lama yang masih ada, bahkan

71

membedakannya dengan kategori yang lebih banyak.

Penjelasan dalam Kitab The History of The Qur’an

Kata Waḥyu (

يْحَو

) terdapat pada Q.S. Hūd (11): 39, Q.S. Ṭāhā (20): 113, Q.S. al-Anbiyā’ (21): 46, Q.S.

al-Mu’minūn (23): 27, Q.S. al-Syurā’ (42): 50, dan Q.S. al-Najm (53): 04.

William Montgomery Watt (w. 2006 M) menjelaskan dalam Kitab Muhammad at Mecca dijelaskan bahwa maksud dari Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Najm (53): 04, yakni

The visions in Surat an-Najm are exterior visions. Interior locutions are divided by Poulain into imaginative and intellectual. The former are 'received directly without the assistance of the ear; they can be said to be received by the imaginative sense'; the latter is 'a simple communication of thought without words, and consequently without any definite language. Interior visions may similarly be either imaginative or intellectual. With this equipment we may now turn to the Qur'an and the traditional accounts.9

Visi pesan dalam surah an-Najm merupakan pesan-pesan yang tersirat. Gaya bahasa yang tersurat oleh Poulain dibagi menjadi dua, yaitu: imaginatif dan intelektual. Yang pertama diterima langsung tanpa bantuan pendengaran atau bisa dikatakan diterima melalui indra imajinatif. Sementara yang terakhir merupakan komunikasi sederhana dari pikiran tanpa kata-kata, karena itu tanpa bahan yang pasti. Pesan-pesan yang tersirat

bisa imajinatif maupun intelektual dan melalui alat/media ini mungkin kita kembali kepada al-Qur`an dan nilai-nilai tradisionalnya.

Dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan bahwa maksud dari ayat ini adalah wahyu Allah yang turun kepadanya. Beliau mengambil dari riwayat mengenai ayat tersebut. Bisyr menceritakan kepada temi, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa'id menceritakan kepada kami dari Qatadah, ia mengatakan bahwa makna firman Allah,

ىَحوُي ٌيْحَو الَِّإ َوُه ْنِإ

"(Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)," adalah, yang disampaikan itu melupakan wahyu dari Allah kepada Malaikat Jibril, lalu dari Malaikat Jibril kepada Nabi SAW.10

Di dalam perkataan beliau adalah wahyu itu tidak merujuk dari al-Qur`an pada setiap wahyu yang diterima kepada Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan polemik perdebatan hingga saat ini, hal ini di karenakan ada riwayat yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa wahyu itu turun berupa lafadz dan makna / berupa lafadz / berupa makna. Pemikir-pemikir ulama klasik belum pernah melakukan analisa mengenai proses penyampaian pesan tuhan kepada makhluknya dengan teori modern yang dilakukan oleh baik sarjana muslim maupun sarjana barat.

Konsep tersebut sebagaimana ada dalam firman Allah SWT:

73

ْذِإِب َيِحوُيَ ف ًلَّوُسَر َلِسْرُ ي ْوَأ ٍباَجِح ِءاَرَو ْنِم ْوَأ اًيْحَو الَِّإ ُهاللا ُهَمِ لَكُي ْنَأ ٍرَشَبِل َناَك اَمَو

َح يِلََ ُهانِِإ ُءاَشَي اَم ِهِنِ

ٌٌيِك

١

٥

)

Terjemah Kemenag 2002:

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahatinggi, Mahabijaksana. {Q.S.

al-Syurā’ (42): 51}

Dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan bahwa maksud ayat di atas adalah tidak sewajarnya seseorang mendapat pembicaraan langsung dari tuhannya kecuali melalui wahyu atau ilham yang Allah sampaikan kepadanya dengan cara apapun yang Dia kehendaki. Adapun selain wahyu dan ilham, با َج ح ئۤا َرَ و ْن م ْواَ"Atau dibelakang tabir." Maksudnya adalah Allah berbicara dengannya dengan kata-kata yang dapat didengarnya tanpa

dapat melihat Allah, sebagaimana Allah berbicara dengan Nabi Musa a.s. ال ْو ُس َر ً ل س ْرُي ْوَ اَ“Atau dengan mengutus seorang utusan.” Maksudnya adalah, atau Allah seorang utusan dari para malaikat-Nya Jibril atau yang lainnya.

ُءۤا َشَي ا َم ٖه نْذ ا ب َي حْوُيَف “Lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” Maksudnya adalah,

kehendaki." Maksudnya adalah, perintah dan larangan yang dikehendaki Tuhannya untuk disampaikan serta

risalah dan wahyu lainnya.11

Imam Jalāluddīn al-Suyūṭī (w. 911 H / 1505 M) dalam Kitab al-Itqān fī Ulūm al-Qur`ān dijelaskan bahwa ulama menyampaikan cara turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara, seperti di dalam hadis diriwayatkan oleh Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW:

َنْب َثِراَحلا انَأ ،اَهْ نََ ُهاللا َيِضَر َنيِنِمْؤُملا ِ مُأ َةَشِئاََ ْنََ ،ِهيِبَأ ْنََ ،َةَوْرَُ ِنْب ِماَشِه ْنََ ،ٌكِلاَم اَنَِرَ بْخَأ :َلاَق ،َفُسوُي ُنْب ِهاللا ُدْبََ اَنَ ثادَح

ِهْيَلََ ُهللا ىالََ ِهاللا ُلو ُسَر َلاَقَ ف ؟ُيْحَولا َكيِتْأَي َفْيَك ،ِهاللا َلوُسَر اَي : َلاَقَ ف ٌَالَسَو ِهْيَلََ ُهللا ىالََ ِهاللا َلوُسَر َلَأَس ُهْنََ ُهاللا َيِضَر ٍماَشِه

ًلًُجَر ُكَلَملا َيِل ُلاث َمَََ ي اًنِاَيْحَأ َو ، َلاَق اَم ُهْنََ ُتْيَََو ْدَقَو يِ نََ ٌَُصْفُ يَ ف ،ايَلََ ُهُّدَشَأ َوُهَو ،ِسَرَجلا ِةَلَصْلََ َلْثِم يِنيِتْأَي اًنِاَيْحَأ« :ٌَالَسَو

ُهَنيِبَج انِإَو ُهْنََ ٌُِصْف َ ي َ ف ،ِدْرَ بلا ِديِداشلا ِمْوَ يلا يِف ُيْحَولا ِهْيَلََ ُلِزْنَ ي ُهَُْ يَأَر ْدَقَلَو :اَهْ نََ ُهاللا َيِضَر ُةَشِئاََ ْتَلاَق » ُلوُقَ ي اَم يََِأَف يِنُمِ لَكُيَ ف

اًقَرََ ُداصَفَ ََ يَل

Dari Aisyah Ummul Mu'minin, bahwa al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada engkau?" Maka Rasulullah SAW menjawab: "Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng dan cara ini yang paling berat buatku, lalu terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka aku ikuti apa yang diucapkannya". Aisyah berkata: "Sungguh aku

75

pernah melihat turunnya wahyu kepada Baginda sallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari yang sangat dingin lalu apabila terhenti, aku lihat dahi Baginda dibasahi keringat." (H.R. al-Bukhārī no. 2) 12

 Dengan cara malaikat datang seperti suara lonceng (yang keras),

 Dengan cara malaikat meniupkan (mengembuskan) wahyu itu di hatiRasulullah SAW,

 Jibril datang dengan bentuk seorang laki-laki, kemudianmenyampaikan wahyu kepada Nabi SAW,  Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dalam keadaan tidur,

 Allah berbicara langsung dengan Nabi SAW, baik dalam keadaan Nabi sadar, seperti ketika malam Isra’ Mi’raj maupun ketika sedang tidur.13

12 Muhammd bin Ismail al-Bukhari (1400h), Sahih al-Bukhari, “Kitab Bab’al-Wahy”. Hadith no. 2, (Kaherah: al-Matba’ah al-Salafiyyah), hlm.13.

2) Pandangan Ulama terhadap Proses Pewahyuan Al-Qur`an yang

Dalam dokumen PANDANGAN THEODOR NOLDEKE TENTANG AL-QUR`AN (Halaman 85-96)