• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEKONSTRUKSI PEMAHAMAN KLASIK ATAS AJARAN ISLAM

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 26-46)

Membuka Jalan Baru Menuju Pemahaman Ajaran Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa masyarakat Islam sampai hari ini masih terus terjebak pada pemahaman secara teks normative terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam Islam. Sebagai akibatnya, perkembangan pemikiran dan tindakan masyarakat secara kolektif belum bisa tersentuh, yang muncul adalah perubahan-perubahan yang bersifat revolutif dan pencarian paradigma baru dalam memahami isi kandungan ajaran Islam pada masyarakat muslim kelas menengah dan intelektual-intelektual muslim. Pemerataan terhadap pemahaman baru dalam memahami ajaran Islam belum bisa dilakukan secara menyeluruh.

Banyak hal yang menyebabkannya, selain diantaranya kepercayaan public terhadap ajaran Islam yang telah mengakar juga disebabkan karena rendahnya kesadaran intelektual masyarakat muslim untuk melakukan kajian-kajian yang bersifat pencarian cara pandang baru dalam beragama. Untuk banyak kalangan, agama hanya selesai pada dataran teosentris dan itu cukup dilakukan hanya dengan shalat lima waktu, puasa, berzakat, haji kalau mampu dan seterusnya. Sementara aspek keberagamaan yang sifatnya muammalah revolusioner, bagi banyak kalangan, merupakan bukan esensi dari kehidupan keagamaan.

Kehidupan keberagamaan masyarakat yang cenderung fundamentalis ini, dalam berbagai wilayah, merupakan penyakit yang mematikan untuk

perkembangan Islam sendiri. Kurangnya kesadaran untuk menumbuhkan jiwa-jiwa religiusitas dalam ranah muammalah revolutif menyebabkan Islam peranannya akan semakin mundur dalam percaturan memperebutkan mainstream paling berpengaruh untuk menjadi weltanschauungs yang diakui diseluruh dunia.

Baiklah, untuk selanjutnya kita kaji dari awal mulai dari penyebab munculnya fundamentalisasi keberagamaan masyarakat hingga upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk menghilangkan ekstrimisme beragama semacam itu dan kemudian menanamkan pola keberagamaan baru yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi social politik hari ini.

Tindakan semacam ini, dalam kaca mata kita, ada beberapa kemungkinan yang mungkin membuat pola keberagamaan semacam ini.

Pertama, ini merupakan reaksi atas tindakan ghuluw (melampaui batas), artinya

keberagamaan mereka merupakan kesadaran keberagamaan teosentris yang melebihi batas ketentuan. Ini disebabkan karena keyakinan mereka yang berlebih atas ‘Teo’ yang mereka sembah, sehingga sebagai manifestasi atas keyakinan yang berlebih itu, mereka mengekspresikan rasa tersebut dengan tindakan

ghuluw dalam beribadah, yang kemudian oleh masyarakat secara umum ditiru

tanpa dipandang dari sisi lain. Ini cukup mempengaruhi mengingat bahwa dalam kepercayaan masyarakat secara umum, fenomena keagamaan merupakan hubungan teosentrisme, sementara humanisme yang dimunculkan dalam ekspresi keagamaan merupakan ajaran subdominant dalam agama.

Dalam masalah ghuluw ini, secara tegas Allah telah memperingatkan manusia untuk tidak melakukan tindakan semacam ini dalam beragama dalam Al Qur’an yang artinya :

“Katakanlah, ‘Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama. Dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya, dan menyesatkan banyak orang, sehingga mereka sesat dari jalan yang sama”9

Untuk lebih mudah dipahami oleh umat Islam pada zaman Rasulullah tentang ayat ini, nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan kepada umat Islam untuk menjauhi tindakan ghuluw dalam beragama. Beliau bersabda ;

“Takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama. (kaum10) sebelumnya telah binasa karena berlebih-lebihan”11

Hadits di atas secara tidak langsung memberi peringatan kepada umat Islam agar lebih waspada terhadap munculnya sikap ghuluw, karena terkadang

9 QS. Al Maidah Ayat 77.

Peringatan ini ditujukan kepada Ahlul Kitab serta orang Yahudi atau Nasrani secara keseluruhan yang meng-’itiqad-kan Isa a.s sebagai Tuhan. Mereka diserukan untuk tidak mengekspresikan keberagamaan mereka secara berlebih supaya tidak tersesat dalam beragama, serta tidak mengikuti orang-orang yang telah sesat sebelumnya karena ekspresi keagamaan yang berlebih. 10 Kaum yang dimaksud oleh nabi Muhammad adalah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, Yahudi dan Nasrani.

11 Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Abd al Rahman al Nasa’I dan Abu Abdillah ibn Majah dalam Sunan mereka.

sifat semacam ini muncul tanpa dapat kita sadari. Ghuluw dapat terjadi dengan kita melakukan tindakan yang tidak ada gunanya dan selanjutnya menjalar pada

ghuluw dalam tingkatan yang sebenarnya.

Di riwayatkan, dalam perjalanan Haji Wada’, setelah sampai di Muzdalifah Nabi Muhammad SAW meminta Abdullah Ibn Abbas untuk mengumpulkan beberapa batu untuknya. Ibn Abbas memilih batu-batu yang kecil. Setelah melihat batu-batu itu, Nabi Muhammad SAW menyetujui ukurannya dan berkata; “Ya, seperti itu. Berhati-hatilah akan berlebih-lebihan dalam agama”12.

Dari permisalan melalui batu dalam hadits di atas, Nabi mengisyaratkan bahwa, dalam memilih batu-batu (dapat di terjemahkan sebagai ritual keagamaan) harus dapat menetukan ukuran yang dinamis. Tidak terlalu besar (berlebihan) dan tidak terlalu kecil (kurang).

Orang tidak harus untuk sepanjang hari menyembah kepada Allah, meskipun itu baik sebenarnya, sementara kewajiban lain yang harus di kerjakan seperti memberi nafkah, mencari sumber penghasilan (terkait manusia sebagai

khalifatu fi al ardl) dan sebagainya kemudian ditinggalkan. Atau karena semua

itu, sebagai kebalikan atas yang pertama tadi, kemudian Allah ditinggalkan begitu saja. Karena bekerja lupa shalat dan sebagainya.

Manusia harus fleksibel dalam mengatur masalah keberagamaan, karena pada dasarnya Allah menurunkan Islam semata-mata tidak hanya untuk manusia menyembahnya, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Manusia harus tahu porsinya sebagai abdillah dan sebagai khalifatu fi al ardl. Ada kalanya

orang harus tunduk pasrah kepada Allah, dan pada kesempatan yang lain, manusia juga diberi kebebasan untuk memanage bumi dengan tanpa intervensi dari Allah.

Sekali lagi untuk mempertegas itu, Allah telah berfirman;

“Wahai Ahli Kitab, Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu”13

Kedua, dapat juga diketahui bahwa keberagamaan masyarakat yang

demikian itu disebabkan oleh sikap tanattu’ (berlebihan, keberagamaan yang terlalu ketat). Sikap semacam ini disebabkan, masih berkutat pada wilayah yang sama, oleh pemahaman teosentrisme beragama. Perbedaan dari yang pertama adalah, dalam wilayah ini orang cenderung ekstrim terhadap ritual keagamaan dan terlalu berhati-hati dalam bertindak.

Berhati-hati yang berlebih dalam beragama ini menyebabkan seolah agama merupakan wilayah yang sacral dalam mengatur manusia, sehingga ketika masuk di dalamnya orang terikat dengan peraturan dan doktrin keagamaan yang ketat. Sementara, wilayah lain yang memberikan ruang kebebasan terkadang tidak berani disentuh karena kehati-hatiannya itu. Yang kemudian patut disayangkan adalah, kehati-hatian itu hanya berlaku pada hubungan teosentris saja, kehati-hatian tidak pada aspek pengembangan keagamaan dan pemberdayaan masyarakat muslim.

Nabi bersabda :

“Kehancuranlah bagi merkea yang berpuas diri dalam tanattu’”14

Ketiga, tasydid (Kekakuan, kesederhanaan berlebih). Orang yang

berpandangan seperti ini, sulit untuk dapat menerima factor eksternal yang mencoba masuk kedalam wilayah keberagamaan mereka, tidak hanya factor eksternal saja, tetapi inovasi dan kreasi yang muncul dalam internal agama itu sendiri terkadang banyak ditolak dengan serta merta. Menanggap itu sebagai

bid’ah yang tidak pantas untuk dilakukan dan sampai pada pengecapan bahwa

tindakan inovatif tersebut adalah syirik dan seterusnya.

Artinya, sesungguhnya dari berbagai sudut pandang, dapat diketahui bahwa Islam merupakan agama yang selalu mengajarkan keseimbangan, menempatkan diri pada posisi moderat. Islam selalu menyeimbangkan antara kebutuhan yang bersifat rohani dan kebutuhan jasmani, rohani tercukupi dengan tepat, jasmani juga terpuaskan. Islam sangat mengecam berlebih-lebihan meskipun dalam beragama. Nabi sendiri memperingatkan kepada sahabat-sahabatnya yang berlebih-lebihan dalam beribadah dan terlalu asketik, karena tindakan ini merupakan tindakan melompat dari garis Islam moderat.

Islampun tidak pernah melarang untuk umatnya menikmati keindahan dunia dan menikmati kenikmatannya. Karena Allah menciptakan semua itu untuk di nikmati oleh manusia. Allah berfirman;

“Wahai anak-anak Adam! Pakailah perhiasanmu setiap kali pergi ke Masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sungguh ia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”

“Katakanlah: “Siapa yang mengharamkan perhiasan tuhan yang di sediakan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik. Katakanlah, ia untuk orang-orang yang beriman…”15

Fenomena keberagamaan masyarakat yang jumud dan fundamentalis merupakan tindakan yang berlebih-lebihan atau bahkan asketis. Mengingat posisi keberagamaan fundamental lebih mengutamakan agama hanya hubungan teosentris semata yang kemudian sebagai ekspresi atas keberagamaannya itu dinyatakan dalam peribadatan yang berlebih. Sementara itu, fundamentalisme beragama seringkali menyingkirkan aspek-aspek muammalah (humanisme) dalam beragama. Secara dangkal dapat dikatakan bahwa fenomena keberagamaan semacam ini merupakan penafsiran sepihak atas agama.

Dalam beribadah, juga harus mengedepankan unsure humanisme, dalam wilayah teosentris juga tidak bisa terlepaskan dari humanisme. Sebagaimana Nabi pernah sabdakan:

Pada suatu ketika nabi berpesan pada imam shalat dengan marah yang tidak biasa “Beberapa di antara kalian telah membuat orang-orang tidak menyukai shalat. Maka, siapa saja di antara kalian yang menjadi imam harus melakukannya dengan singkat, karena di antara mereka (makmum) ada yang lemah, tua, seseorang yang mempunyai bisnis yang harus diperhatikan…”16

15 Surat Al Maidah ayat 31-32 16 H.R Bukhari

Orang yang memiliki sifat semacam ini (berlebih-lebihan) akan menutup diri dari masuknya pemahaman lain tentang apa yang dilakukannya. Dia tidak akan mengadukan secara ilmiah ataupun cultural tentang ritualitas yang dia lakukan dengan bentuk-bentuk lain. Ia hanya akan mencari pendukung untuk kemudian membawa masyarakat ke dalam barisannya.

Hari ini masyarakat Islam telah terkontaminasi virus semacam ini. Orang menganggap bahwa Islam hanyalah agama teosentris, dan oleh karenanya hanya ibadahlah yang harus dilakukan. Di sisi lain, asketisme masyarakat dan sifat acuh tak acuh terhadap ritual keberagamaan juga marak. Islam hari ini telah lari dari posisi moderatnya.

Posisi semacam ini menyebabkan Islam tidak dapat berkembang dengan pesat, ketika Islam hanya dibangun pada satu sisi, yakni sisi ubudiyah semata, maka yang akan terjadi adalah Islam tergilas pada hubungan muammalah-nya karena wilayah ini tidak dapat dibangun. Islam hanya di beratkan pada sisi timbangan hablum minallah saja, sementara mangkuk timbangan hablum

minannas masih kosong, apalagi hablum minal ‘alam.

Ketimpangan atas kesetaraan dalam Islam ini kemudian berbuntut pada hilangnya kreativitas dan inovasi orang-orang muslim dalam mempertahankan dan mengembangkan agamanya. Orang Islam cenderung untuk mendiskreditkan persoalan penyesuaian Islam dengan zaman, sehingga fenomena yang terjadi hari ini bukan zaman sesuai dengan Islam tetapi Islam sesuai dengan zaman. Islam tidak mampu mengolah zaman dan hanya menjadi satu bagian dari zaman itu.

Autentitas nilai Islam sesungguhnya merupakan problematic dalam sejarah yang harus di rekonstruksi terus menerus dan bukanlah nilai yang sudah jadi, tanpa imajinasi kaum muslim sendiri. Sehingga, apa yang sering kita bayangkan sebagai sesuatu Islam yang ‘murni’ dan yang ‘asli’, tidak lain itu semua adalah bagian dari pengalaman sejarah yang menempatkan nama orang atau tokoh dengan pikiran dan sikapnya yang terlibat dalam ‘proses’, tatkala kitab suci dan tradisi itu berhadapan dengan konteksnya masing-masing.

Sederhananya, Islam pada dasarnya merupakan nilai yang bukan harga mati, yang kemudian harus begini begitu saja. Islam fleksibel dan selalu dapat masuk dalam zaman manapun dan kondisi social apapun, dengan catatan, yang membawa Islam pada zaman atau kondisi tersebut dapat menyesuaikan konteks ke-Islam-annya dengan kondisi riil yang terjadi.

Pada gambaran di atas, kebanyakan orang selalu mengaitkan Islam yang sesungguhnya dengan tradisi Islam dahulu. Bahwa Islam yang ‘benar’ adalah Islam yang telah diejawantahkan oleh orang-orang sebelumnya dengan beragam pemikirannya yang diakui sampai sekarang oleh masyarakat kebanyakan.

Saat ini, mau atau tidak mau, kita harus meyakini bahwa Islam yang benar (tanpa tanda kutip) adalah Islam yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits yang merupakan dasar hukum terpercaya dalam Islam.

Selanjutnya, untuk dapat menerapkan Islam yang sesuai dengan konteks social hari ini adalah bagaimana kita mampu menterjemahkan Al Qur’an dan hadits tersebut sesuai kondisi riil yang terjadi. Maksudnya, dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadits, agar dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan,

harus dipertimbangkan aspek social yang sedang terjadi. Tujuannya adalah agar Islam tetap berada pada posisinya sebagai agama moderat yang berada pada titik tengah dan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat non muslim sekalipun.

Al Qur’an dan Hadits selalu bersesuaian dengan zaman. Islam selalu sesuai dengan zaman apapun dan kondisi bagaimanapun. Yang sesungguhnya membuat Al Qur’an dan hadits tidak dapat menyesuaikan dengan zaman adalah kita sendiri yang salah dalam menterjemahkannya. Sehingga, Islam hari ini banyak dicap dengan asumsi-asumsi kotor yang nyata-nyata tidak sesuai dengan Islam itu sendiri.

Dapat dipastikan apabila kita mampu membawa Islam pada kondisi social apapun, kebenaran bahwa setiap ide-ide kemanusiaan yang muncul telah terdapat dalam Al Qur’an. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat ide-ide dasarnya telah tercantum dalam Al Qur’an ataupun hadits meskipun hal tersebut disebutkan secara implicit.

Ketika hal ini telah dapat diyakini oleh masyarakat secara keseluruhan, tentulah pergulatan pemikiran Islam dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukan referensi universal dari setiap peradaban baru.

Dalam memahami teks kitab suci, dan untuk mengetahui makna yang paling dalam atas teks-teks tersebut, maka harus disekularisasikan dan dirasionalisasikan. Tanpa melakukan berpikir sejarah (historical thinking) atau mencari kebenaran dalam proses (truth as process), maka teks hanya akan menghasilkan pengikut-pengikut yang imannya bersemangat, tapi mereka hidup dalam kesadaran-kesadaran palsu yang menentramkan.

Fenomena yang terjadi hari ini demikian, dalam pandangan kaum muslim kebanyakan teks-teks suci (baca : Al Qur’an) merupakan teks yang dimuliakan dan dibaca terus menerus yang akan menghasilkan umat yang secara keimanan dan ketakwaan bersemangat. Sementara untuk penggalian unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalamnya secara lebih dalam orang Islam hari ini kebanyakan mengabaikannya, bahkan asbab an nuzul atau dalam konteks masyarakat yang seperti apa teks yang mereka baca tersebut turun sama sekali tidak diketahuinya.

Inilah yang sesungguhnya konsep masyarakat yang kurang begitu diharapkan oleh Islam sendiri. Yakni orang yang menganggap Al Qur’an sebagai kitab suci dan sesuatu yang harus dipuji dan dimuliakan. Sementara peran Al Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk diabaikan. Ini berarti al Qur’an telah mengalami disfungsi dan dikebiri secara perlahan-lahan oleh umatnya.

Orang yang hanya menganggap teks suci hanya sebagai bahan bacaan sebagai bentuk perwujudan atas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah berarti orang tersebut tidak memuliakan Al Qur’an. Yang diburu hari ini adalah bagaimana orang berlomba-lomba untuk membaguskan suaranya dalam membaca Al Qur’an, sementara pada sisi lainnya, makna yang terkandung di dalam Al Qur’an sendiri tidak pernah disentuh. Lalu penghormatan semacam apa yang di berikan orang Islam kepada teks sucinya? Apakah penghormatan hanya cukup dengan membacanya tanpa mengkajinya?

Tercatat sejak abad ke VII M umat Islam mulai masuk pada fundamentalisme beragama. Orientasi keberagamaan manusia saat itu selalu

merujuk pada fiqh sebagai justifikasi keselamatan dan kesesatan. Fiqh berada pada puncak kesakralan dan kemapanan. Sebagai sebuah rujukan hukum, fiqh tampak subjektif, hitam putih, benar salah, halal haram. Dengan sifat-sifat yang demikian itu, fiqh membuat kreativitas dan kebebasan manusia menjadi hal yang mahal. Dan ortodoksi fiqih ini juga mendapatkan perlindungan pengamanan sempurna dari penguasa, sehingga mulai saat itu dan hingga hari ini, fiqh menjadi satu-satunya justifikasi dalam menentukan hukum social dan ubudiyah, dan semua orang Islam harus mengikutinya tanpa kreativitas apapun.

Kemandekan kreativitas dalam mengekspresikan kegagamaan juga di topang oleh booming besar para ulama yang mengeluarkan statemen bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Gerakan menjaga otoritas fiqh ini selanjutnya mengorientasikan umat Islam untuk selalu taklid terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan berabad silam tanpa melihat perubahan zaman yang semakin maju dan komplektisitas permasalahan.

Belakangan ini, barulah ortodoksi fiqh sedikit demi sedikit mulai mencair. Namun itu, sekali lagi, belum menyentuh umat Islam secara keseluruhan pada lapisan grass root dan Islam abangan.

Banyak sudah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir besar yang menggoncangkan dunia Islam, khususnya untuk kaum fundamental. Dimana pemikiran-pemikiran mereka membuat orang muslim fundamental gundah dan merasa dilecehkan keislamannya. Nasr Hamid Abu Zaid terpaksa mengungsi ke Leiden karena membuat lembaga-lembaga keagamaan di Mesir kebakaran jenggot dengan “Kritik Wacana Keagamaan” yang ia

publikasikan. Muhammad Syahrur juga ikut berperan serta dalam ‘pembangkangan’ ortodoksi fiqh dengan menulis buku Al Kitab wa Al Qur’an:

Qira’ah Muassirah, Muhammad Said al Asymawi, seorang pemikir secular

Mesir juga turut serta melontarkan ide-ide pembaharuannya dengan perspektif humanisme. Hassan Hanafi dengan Al Yasar Al Islam dan Oksidentalisme, Muhammad Abed al Jabiri, Muhammad Arkoun, Ali Gharb, Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh dan sederet nama-nama pemikir lainnya.

Di Indonesia sendiri, banyak pemikir besar yang turut serta ‘melawan’ ortodoksi fiqh dengan ide-ide pembaharuannya. Tercatat ada Munawir Sadzali, (Alm) Nur Kholis Majid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ulil Abshar Abdalla, Prof. Dr. Harun Nasution dan lainnya yang mencoba menggulirkan wacana-wacana dan pemahaman yang baru dalam memandang Islam. Bahkan Ulil Abshar Abdalla yang juga coordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh kebanyakan ulama salaf di fatwa-kan halal darahnya karena pemikirannya yang cenderung memancing konfrontasi antara Islam liberal yang dipimpinnya dengan aliran Islam lain yang ada di Indonesia. Tulisannya di Koran Kompas yang berjudul “Menyegarkan Kembali Islam Kita” merupakan titik awal tokoh ini dikenal di blantika intelektual muslim Indonesia.

Para pembaharu, baik di dalam maupun di luar Indonesia banyak menuai kritik pedas dari ulama-ulama fundamental. Mereka seringkali tidak hanya difatwakan halal darahnya, tetapi juga mendapatkan serangan-serangan yang ‘keji’ melalui pembantahan wacana yang ada. Merekapun mendapatkan gelar riddah17 dari para ulama fundamental. Dalam pandangan ulama

fundamentalis, riddah konsepnya tidak hanya terhenti pada perpindahan dari satu agama ke agama yang lain saja, tetapi juga tindak sparatis terhadap peraturan yang telah ada. Sehingga ulama-ulama salaf banyak menganugerahi gelar riddah untuk para pemikir yang mencoba memperbaharui tatatan pemahaman dan gerakan dalam Islam. Mereka dianggap melakukan tindak provokasi terhadap masayakat untuk lepas dari kekuatan tiranik Fiqh salafiyyah.

Parameter yang digunakan oleh para pembaharu dalam memperbaharui Islam adalah dengan menguji pada wilayah umat secara kolektif. Tujuannya agar tidak terjadi penimpangan terhadap hukum yang telah ada sebelumnya. Seberapa jauhkan hukum baru yang diciptakan oleh para pembaharu itu dapat menyentuh kemaslahatan kolektif (kesalehan social) dan sejauh mana hukum tersebut dapat digunakan tanpa melanggar batas-batas norma social. Maksudnya, dalam menentukan hukum, mereka mempertimbangkan sisi humanisme dan sisi social disamping sumber hukum tetap Islam.

Hasil ciptaan hukum para pembaharu tersebut sering kali memancing kontroversi di tengah-tengah kemapanan ortodoksi pemahaman Islam. Taruhlah mislanya Munawir Sadzali yang melakukan kritik pedas terhadap ayat-ayat dan hadits tentang hukum waris yang tidak seimbang pembagiannya antara laki-laki dan perempuan, Jaringan Islam Liberal yang memfatwakan kebolehan tidak menggunakan jilbab bagi wanita, dan sebagainya.

Baiklah, sebelum sampai jauh, marilah kita tinjau kembali salah satu tesis yang diajukan oleh pakar keagamaan samawi Karen Amstrong18 dalam

pengantar di buku best sellernya The History of God. Tesis yang dia ajukan adalah, fenomena keagamaan kita (manusia secara keseluruhan) lebih di dominasi pada kecondongan ketakutan terhadap sosok makhluk yang diberi nama neraka, dan kecenderungan mengharapkan sorga, bahkan dari ketakutan terhadap itulah, manusia sering kali lebih takut pada nerakanya tuhan dibandingkan takut terhadap tuhan yang menciptakan neraka itu.

Pandangan terhadap sorga dan neraka (yang tentunya immaterial dan mistis) dengan mudah dapat membawa orang untuk menitik beratkan agama pada wilayah teologis. Artinya, sorga dalam pandangan awam jelas hanya mampu di dapat dengan terus menerus beribadah kepada tuhan. Dan untuk menjauhi neraka (yang penuh dengan siksaan sebagai balasan atas tindakan buruk) juga melalui peribadatan dan penghambaan sepenuhnya kepada tuhan. Dalam ketakutan dan harapan ini, pada intinya, yang dibangun dalam agama lebih pada jiwa-jiwa teologinya saja, sementara aspek humanisme menjadi sesuatu yang di diskreditkan dalam kehidupan beragama. Fenomena ini banyak dijumpai dengan banyaknya sufi-sufi yang selalu menghambakan diri sepenuhnya kepada tuhan.

Allah dalam Al Qur’an telah berfirman:

(apakah) perumpamaan (penghuni) sorga yang dijanjikan kepada orang-orang yang

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 26-46)