• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Indonesia

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 139-148)

KONSTELASI GEO SOSIO POLITIK DAN GEOGRAFI SOSIO RELIGIUS NASIONAL

D. Islam Indonesia

Sejarah masyarakat Indonesia, sebelum sampai jauh memperbincangkan fenomena Islam Indonesia, telah ada dan berkembang ribuan tahun sebelum masehi. Ada sejarah panjang yang dimiliki bangsa Indonesia yang banyak tertutup oleh sejarah, tidak pernah diungkap dan saling mengungkap sejarah masa-masa Indonesia di era ribuan tahun sebelum masehi, kalaupun disebutkan persoalan tersebut, hanya pada grand theme saja tanpa menyentuh hal yang lebih detail, termasuk tokoh-tokohnya secara jelas.

Kekuarangan referensi menjadi satu alasan kuat tidak diungkapkannya khazanah kebesaran sejarah nusantara pada era ini. Peninggalan yang ada hanya

sebatas peningalan-peninggalan fisik yang telah membantu dan terkubur di alam raya yang luas ini. Tetapi ada beberapa hal yang masih harus kita banggakan dalam kaitannya mengenai sejarah kebangsaan yang terkubur ini, yakni warisan-warisan sejarah yang tersimpan rapi dalam alam bawah sadar kita.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam merupakan negara yang cukup makmur dengan tingkat keberagamaan yang tinggi. Masyarakat Indonesia menempatkan agama pada titik tertinggi dalam relung kesadarannya. Segala bidang kehidupan didasar atas dasar agama, dihukumi oleh agama.

Menurut catatan sejarah dalam versi Prof. Soediman Kartohadiprojo, SH., masyarakat Indonesia berasal dari suku Polinisia saja (Prof. Soediman

Kartohadiprojo, 1995). Sementara Agus Sunyoto dalam “Pitutur” mengatakan

bahwa orang Indonesia asli adalah pertemuan dari dua suku: suku Polinisia yang berasal dari India yang punya kegemaran merampok, menjarah dan punya pemahaman mistik yang sangat kental, dan ras yang dibawa adalah ras Negroid. Kemudian bertemu dengan suku Qunlun, yakni pecahan ras Mongoloid yang kalah perang dan terusir dari daratan Mongolia.

Perjalanan sejarah akan dimulai dari asal usul manusia Indonesia. Dari dua perkawinan ras inilah lahir ras Javanisme yang berkarakter mistik yang kemudian pada prosesnya muncul paham animisme dan dinamisme, suka menjarah dan bermental kalah. Dalam psiko-Historis era sekarang, kita dapat mengatakan bahwa ras ini melahirkan bangsa yang tidak punya mental dasar

persaingan (Agus Sunyoto, Kebudayaan Indonesia Hasil Asimilasi Aneka

kebudayaan).

Pada awal perkembangannya, masyarakat Indonesia mengenal agama (kepercayaan) Kapitayan39, yakni sebuah aliran kepercayaan yang menyembah terhadap Sang Hyang Taya. Aliran ini berkembang pesat pada saat suku Weda (dalam beberapa referensi Suku Weda dianggap sebagai suku asli bangsa Indonesia dari ras Negroid) menguasai tatanan social politik di Indonesia sebelum kedatangan kaum migran besar-besaran dari Yunan, China Selatan pada kurang lebih enam ribu tahun sebelum masehi.

Kapitayan berasal dari kata dasar Taya yang berarti kosong. Kosong dalam filosofi kapitayan adalah menyembah kepada Sang Hyang Taya yang tidak nampak dalam pandangan mata fisik, namun keberadaan Sang Hyang Taya dapat dirasakan dan dilihat dalam bentuk fisik berupa alam raya. Sang Hyang Taya, dalam pandangan mereka, adalah hal yang transenden, yang memiliki pengaruh besar sebagai pencipta, penjaga sekaligus penghancur alam raya beserta semua kekayaan yang ada didalamnya.

Ritus-ritus keagamaan yang dilakukan oleh penganut kapitayan adalah sembahyang (Sembah Sang Hyang) tiga kali dalam sehari, yakni pada saat matahari terbit, matahari diatas kepala dan pada saat matahari terbenam. Sembahyang dilakukan di sebuah bangunan peribadatan dengan bentuk kotak persegi empat dengan satu pintu berbentuk persegi panjang dengan bagian atas

39 Keterangan dan informasi mengenai aliran kepercayaan/agama Kapitayan penulis peroleh dari wawancara langsung dengan Agus Sunyoto serta mengikuti pelatihan-pelatihan yang beliau menjadi pematerinya terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia. Untuk pertama kali,

keterangan ini penulis dapatkan dari Pelatihan Kader Lanjut PKC PMII Jawa Tengah tahun 2007 di Kebumen.

setengah lingkaran yang memanjang kedalam. Tempat ini mereka menamainya dengan langgar. Orang yang masuk didalamnya harus dalam keadaan suci dan harus melepas alas kaki yang dikenakannya.

Dalam setiap langgar, ada alat utama yang digunakan sebagai media mengumpulkan masyarakat untuk bersembahyang berupa beduk yang terbuat dari kayu berlubang dengan lapisan kulit binatang. Alat ini dibunyikan pada saat menjelang prosesi persembahyangan dimulai. Bentuk langgar yang kotak, dalam keterangan selanjutnya, adalah representasi dari kepercayaan kadhang papat

kalimo pancer, yakni secara eksplisit melambangkan empat penjuru mata angin

dengan satu titik sentral (yang transenden) mengarah ke bagian atas. Dalam makna implisitnya, kadhang papat kalimo pancer lebih mengarah pada kesetaraan ruang fisik dan ruang bathin serta kaitannya mengenai transendensi hubungan manusia dengan Sang Hyang Taya.

Agama kapitayan mengenal istilah to/tu. Setiap kata yang mengandung kata ini adalah ajaran-ajaran yang dimiliki oleh kapitayan. Sebagai contoh, ajaran-ajaran kebaikan mereka menyebutnya sebagai tuah, sedangkan ajaran jahat mereka menyebutnya sebagai tulah, representasi kekuatan baik sebagai

tuhan, dan pernyataan atas kekuatan jahat disebut hantu.

Dalam ritusnya, penggunaan kata to/tu masih terlihat, keberadaan Sang Hyang Taya direpresentasikan dalam bentuk watu, tumbak, tugu, tuk dan lainnya. Sementara itu dalam upacara keagamaan mereka menggunakan sesaji yang disebut tumbal (yang paling ekstrim) dan ditaruh kedalam tumbu. Sang Hyang Taya dalam kepercayaan mereka adalah Tuhan yang memiliki kekuatan gaib

yang mampu menciptakan, merawat dan bahkan menghancurkan alam. Sehingga untuk mencegah penghancuran itu, berbagai ritus keagamaan diadakan.

Peletak dasar agama kapitayan, dalam sejarah disebutkan, bernama Semar (Bodronoyo). Semar selain mengajarkan tentang ritus peribadatan seperti itu, juga mengajarkan tentang puasa, balasan kebaikan berupa surgaloka dan balasan atas tindakan jahat manusia berupa nerakasengkala. Dia juga mengajarkan tentang anjuran berbuat baik terhadap sesama manusia karena pada akhirnya nanti setelah meninggalnya manusia akan ada kehidupan selanjutnya yang merupakan balasan atas kehidupan sekarang di dunia.

Sementara itu, dalam referensi lain disebutkan, ajaran kapitayan ini disebut sebagai ajaran-ajaran animisme dan dinamisme pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20. Dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah yang dapat telah membatu oleh para ilmuwan rasional dari Barat.

Pada masa pra sejarah, dengan bukti diketemukannya fosil manusia purba, negara kita telah berpengalaman lebih dalam bidang keagamaan. Terbukti dengan diketemukannya fosil berupa menhir, dolmen, serta alat pemujaan lainnya. Bentuk agama mereka adalah, berdasarkan penelitian dari sosiolog, adalah animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme begitu kuat menggelora dalam relung kesadaran orang-orang purba, segala sesuatu yang mereka lakukan sering kali atas nama kepercayaannya ini.

Belum selesai tradisi animisme dan dinamisme yang berkembang di Indonesia, datanglah agama Hindu Budha, dimana kedua agama ini juga hampir sama ajarannya tentang konsep ritual peribadatannya. Hindu Budha menjadi

sesuatu yang mudah di terima oleh masyarakat saat itu, karena apa yang terkandung didalam ajaran Hindu Budha kebanyakan merupakan perkembangan lebih lanjut dari apa yang telah mereka percayai sebelumnya. Tata sosial lambat laun semakin berubah.

Perkembangan Hindu Budha yang sangat pesat memberikan warna tersendiri bagi kebudayaan masyarkat Indonesia. Seni-seni berupa seni pahat dan seni mematung direpresenatasikan dengan membuat Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Dieng, Candi Mendut dan sebagainya. Ajaran-ajaran berupa puasa ngrowot (puasa tidak makan nasi), puasa Nyirih (Puasa tidak memakan sesuatu yang bernyawa), pemberian sesaji, pelestarian terhadap lingkungan, seni pewayangan dan seterusnya mewarnai kebudayaan Indonesia dan merupakan peningkatan dari kebudayaan animisme dan dinamisme yang sebelumnya telah tinggi.

Setelah maju dan berkembangnya agama Hindu Budha di Indonesia, seiring dengan terbukanya nusantara sebagai jalur perdagangan paling potensial di dunia, maka peleburan budaya antara budaya asli nusantara dengan budaya asing yang masuk ke nusantara membuat perbendaharaan budaya nusantara semakin kompleks. Kemajemukan budaya ini kemudian membuat satu daerah dengan daerah yang lain memiliki perbedaan yang mencolok. Satu wilayah yang kebetulan sering disinggahi oleh pedagang-pedagang asing memiliki corak budaya yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah lain yang sama sekali tidak tersentuh oleh pedagang-pedagang asing. Ini membuat semakin mewarnai multikuluralisme.

Sisi lain, selain kemajuan budaya, dengan seringnya masuk pedagang dari Gujarat, India dan Persia yang menganut agama Islam, maka secara perlahan-lahan kebudyaan nusantara khususnya pesisir mengalami perubahan. Semakin meningkat, dan semakin mendekati pada kebudayaan Islam pada umumnya. Hal ini dikarenakan di setiap Bandar perdagangan kerajaan pasti ada syahbandar yang bertugas sebagai mediator bahasa antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Wilayah yang banyak melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang dari Gujarat, Persia dan India harus memiliki syahbandar yang memahami dan mampu berkomunikasi dengan bahasa itu agar terjadi transaksi yang benar-benar adil, serta tidak ada penipuan salah satu diantara keduanya.

Syahbandar yang diangkat oleh kerajaan atau bahkan sampai level kadipaten, biasanya diambil dari orang asing yang memahami dan mampu berkomunikasi dengan bahasa local. Misalnya, orang Gujarat yang pandai berbahasa Jawa atau Melayu akan diangkat menjadi syahbandar di wilayah Tuban, mengingat Tuban adalah terminal perdagangan yang cukup ramai setelah Malaka.

Syahbandar memiliki kedudukan yang tinggi setingkat menteri untuk saat ini, artinya kalau boleh menyamakan, posisi syahbandar sama dengan mentri Luar Negeri atau setidaknya Juru Bicara Kenegaraan. Artinya dia memiliki kebebasan yang mutlak atas wilayah tertentu yang menjadi garapannya. Didukung gaya kehidupan masyarakat yang masih fedoalis, maka seolah posisi

syahbandar iBarat orang yang memiliki otoritas penuh terhadap masalah hubungan eksternal dengan negara lain.

Orang Gujarat yang kebanyakan beragama Islam, yang diangkat menjadi syahbandar, dengan bekal jabatan serta didukung gaya kehidupan feodalistik masyarakat, maka lambat laun, tata sosial masyarakat terpengaruh dengan gaya kehidupan syahbandar, dan secara perlahan, mereka mulai meninggalkan kebudayaan Hindu Budha mereka dan masuk Islam.

Selain itu, banyak syahbandar atau bahkan pedagang dari Gujarat dan wilayah Arab lainnya yang kemudian menikah dengan gadis pribumi, sehingga model penyebaran agama melalui pernikahan banyak sekali dilakukan.

Lambat laun dari hal-hal yang semacam ini kemudian menimbulkan tata sosial yang berlainan dengan budaya asli mereka. Pernikahan budaya antara kebudayaan Hindu Budha dengan Islam mulai nampak, munculnya bentuk baru pendidikan keberagamaan yang merujuk pada system pembelajaran ala Hindu Budha banyak dilakukan oleh penyebar agama ini. Termasuk juga bentuk bangunan masjid yang mirip dengan kebudayaan bangunan ala Hindu.

Ditarik pada wilayah agama/aliran kepercayaan Kapitayan, Islam yang muncul di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh agama ini. Sebagai contoh, adanya langgar (Mushola) sebagai tempat peribadatan. Pemberian nama puasa untuk menyebut ajaran asy syiyam, menyebut Jannah sebagai

swargo/swargoloko, menyebut nerokosengkolo/neroko sebagai perlambangan

atas an nar. Bedhuk adalah identitas utama Islam Indonesia yang merupakan salah satu peninggalan penting agam Kapitayan yang digunakan untuk

mengumpulkan orang-orang sebelum bersembahyang. Demikian pula untuk menyebut kata shalat dengan mengadopsi istilah Kapitayan yakni sembahyang. Untuk masuk kedalam mushollah (langgar) harus melepas alas kaki merupakan salah satu khazanah yang dimiliki oleh agama Kapitayan, dalam ajaran Islam yang lebih dikenal adalah membersihkan sepatu/sandal sebelum masuk ke tempat peribadatan, dan upaya menganjurkan untuk melepaskannya adalah merupakan perpaduan antara Kapitayan dengan Islam.

Dalam budaya pewayangan hingga pada khazanah lainnya yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia yang telah berkembang pesat sebelumnya, oleh para

founding fathers Islam di Indonesia juga sedikit demi sedikit mulai ditarik dan

diubah konsepnya agar sesuai dengan hokum-hukum islam. Kita mengenal adanya wayang yang merupakan warisan kebudayaan suku arya dan dravida di zaman prasejarah di India. Catatan-catatan ceritanya oleh para founding fathers negara kita ‘dirapikan’ agar tidak melenceng dari ajaran Islam, Karena terbukti banyak cerita dalam wayang yang bertentangan dengan hokum islam seperti budaya poliandri dan sebagainya.

Kita juga setidaknya mengenal tambahan tokoh wayang yang paling popular di Indonesia, yakni punakawan. Dalam versi aslinya, ponakawan tidak ada sama sekali. Munculnya Semar, Petruk, Bagong dan Nala Gareng adalah kekreatifan dari para founding fathers Islam di nusantara. Pemberian nama

punakawan diambil dari istilah samir (Semar) fatru’ (Petruk) mabagha (Bagong) ‘ala ghair (Nala Gareng). Istilah ini berarti menyingsingkan lengan

Intinya, Islam di Indonesia merupakan Islam yang mengambil Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sebagai rujukan utama hukum Islam. Yang kemudian ini semua diakulturasikan dengan budaya local yang ada. Dari sinilah memunculkan cirri kas khusus yang memberikan warna berbeda dengan Islam daerah lainnya seperti India, Mesir, Arab Saudi, Iran, Irak dan sebagainya.

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 139-148)