• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIRASAT ISLAMIYYAH HASSAN HANAFI

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 46-73)

Hassan Hanafi adalah pemikir besar yang berasal dari Kairo, Mesir. Dalam sejarahnya, Mesir merupakan Negara yang paling awal merasakan masuknya Islam sejak Islam disana dibawah pemerintahan Amr bi Ash pada abad ke-IV, dan wajarlah ketika Mesir kemudian mendapatkan gelar The Earliest

Arabised Country. Hal ini berbeda dengan kondisi Islam di nusantara dan

wilayah Asia Tenggara lainnya yang termasuk The Least Arabised Country. Sejak awal perkembangannya, Mesir merupakan pusat peradaban Islam yang cukup maju, maka kemudian tidak mengejutkan ketika dari Negara ini memunculkan banyak intelektual Muslim yang handal.

Banyak karya-karya besar yang lahir di Negara sungai Nil ini, mulai dari Tafsir Al Qur’an sampai wacana politik Islam yang controversial. Pada abad XX saja misalnya, dinegara ini telah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Thaha Hussein Muhammad Al Ghazali, Sayyid Qutb, Yusuf Al Qardhawi dan lainnya. Termasuk diantaranya tokoh yang menjadi panutan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani juga menerapkan ilmunya di Negara Mesir ini hingga keduanya diasingkan oleh pemerintah Mesir ke Prancis.

Tokoh-tokoh yang lahir di Mesir ini, selain aktivis pergerakan terkemuka, juga memiliki kecemerlangan pemikiran. Sebagian pemikiran mereka mampu menembus menjadi mainstream dalam pemikiran keagamaan dan pemikiran politik tidak hanya di Mesir saja, tetapi juga menembus sampai dunia

Islam secara keseluruhan. Demikian juga pemikir paling mutakhir diantara mereka yang sangat kontroversi, Hassan Hanafi yang mencetuskan gagasan Kiri Islam (Al Yasar Al Islam atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Islamic Left) dan Oksidentalisme (Occidentalism).

Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1953. Sejak masa mudanya, Hanfi sudah tertarik dengan wacana politik di negaranya dan wacana-wacana politik Islam di dunia Islam secara keseluruhan. Dengan cermat perubahan dan kejadian politik yang terjadi di negaranya diamati, mulai dari pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin dibawah pimpinan Sayyid Qutb melawan Pemerintahan otoriter Gamal Abdul Nasser hingga pada persoalan ketertarikannya terhadap organisasi pergerakan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin dikaji secara serius oleh Hassan Hanafi terutama dalam keberhasilan dan kegagalannya dalam perjuangannya melawan Rezim Nasser serta pemikiran-pemikiran religio-politik Sayyid Qutb. Dari wacana-wacana yang digulirkan oleh Sayyid Qutb inilah, terutama wacana agama dan revolusi, Hassan Hanafi kemudian konsis menggeluti dunia Revolusi agama.

Selain bergelut dibidang politik dengan semangat turunan dari Sayyid Qutb, Hanafi juga merasakan keprihatinannya terhadap arus Barat yang terus melanda negerinya (westernisasi). Keprihatinannya berangkat dari pengamatannya terhadap perkembangan Barat yang semakin mengikis khazanah local yang dimiliki oleh Mesir. Dunia Islam pada umumnya selalu terjebak dan menjadikan Barat sebagai tolok ukur kemodernan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Keperihatinan semacam ini yang kemudian Hanafi harus

mencari solusinya dan menggulirkan wacana oksidentalisme sebagai antitesis melawan westernisasi dan orientalisme.

Selain terpikat pada wacana-wacana revolusioner dan westernisasi, Hanafi sejak mudanya juga tertarik kajian-kajian pemikiran dan Filsafat, baik yang berangkat dari Barat ataupun yang tumbuh dan berkembang di dalam Islam. Hal ini pula yang menjadikan sugestinya untuk mempelajari lebih dalam di Universitas Kairo semakin memanas. Di Universitas ini, Hanafi berhasil menyelesaikan studynya pada tahun 1956 dan melanjutkan pendidikannya di Sorbonne University di Paris Prancis. Di Sorbonne University inilah dia berhasil menggondol dua gelar sekaligus, master dan doctor untuk kajian keilmuan filsafat.

Dalam disertasi doktoralnya, Hanafi menyelesaikannya dengan hasil luar biasa. Disertasi yang ia susun setebal 900 halaman dengan jugul ‘L’ Exegesses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie

et son Application au Phenomene Religiux. Disertasi yang ia susun termasuk

paling unik karena dalam disertasi ini dia ‘mengawinkan’ antara Usul Fiqh dengan Fenomenologi Edmund Husserl. Keunikan pembacaan Usul Fiqh yang dikaji melalui perspektif filsafat fenomenologi inilah yang kemudian mengantarkan Hanafi pada titik awal ketenarannya sebagai seorang pemikir revolusioner Islam.

Dalam studynya di Sorbonne University, Hanafi tidak hanya terpaku pada kajian filsafat dan usul fiqh saja, tetapi di universitas ini, Hanafi berhasil mempelajari secara lengkap kajian puncak dari filsafat dan pemikiran Eropa.

Hanafi dengan cerdas dapat menyerap gagasan-gagasan liberalisme, demokrasi, filsafat penmcerahan dan rasionalisme Cartesian. Dan jelasnya, Hanafi juga mempelajari dengan sempurna filsafat fenomenologi Edmund Husserl, Martin Heifegger, Marxisme-Sosialisme dengan berbagai varian tafsirannya.

Dari sederet pengetahuannya yang ia geluti di Paris ini, wacana yang paling membuatnya terpengarah dan mengikutinya secara lebih teliti adalah wacana filsafat fenomenologinya Edmund Husserl dan Marxisme-sosialisme. Hanafi dengan tegas mengambil metode materialisme sejarah (Historical

Materialism) dan dialektika materialism (dialectic materialism) sebagai

perangkat metodologi dan piau bedah analisisnya. Hanafi menggunakan ajaran Karl Marx ini untuk memahami berbagai persoalan sosial, keagamaan dan politik, karena memang apa yang didoktrinkan Marx bergelut pada ranah ini.

Sebagai contoh, dia menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam dan perjuangan Islam melawan hegemoni cultural Barat dengan metode dialektika. Dengan metode yang sama ia juga menentukan apa dan bagaimana sebuah revolusi Islam bisa dilakukan di Dunia Islam. Dengan kuatnya pemikiran yang diambil dari Karl Marx ini, sering kali ia dituding sebagai Marxis.

Hassan Hanafi dalam meniti karirnya di bidang akademis hingga menjadi Guru Besar Fakultas Filsafat di tempatnya belajar filsafat pertama kali (Universitas Kairo) sama sekali tidak meninggalkan sisi revolusionernya. Disamping kesibukannya menularkan ilmu filsafatnya, ia tetap melakukan kajian kritis terhadap gagasan-gagasan westernisasi dan orientalisme.

Menarik apa yang dituturkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantar buku tentang kajian pemikiran Hasan Hanafi yang ditulis oleh Kazuo Shimogaki21. Pemikir Indonesia ini mengatakan, bahwa eksperimentasi yang dilakukan oleh Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang semakin meningkat tatarannya. Dari kajian ilmiah atas satu bidang studi keislaman, ia menaikkan taraf pemikirannya kepada pembuatan paradigma ideology baru, termasuk pengajuan Islam sebagai alternatif pembebasan bagi rakyat jelata di hadapan kekuasaan kaum feudal. Pendekatan tersebut diproklamasikan sebagai Kiri Islam.

‘Pujian’ Gus Dur untuk pemikiran solutif-efektifnya Hassan Hanafi ini kemudian membuka ruang yang lebih luas dalam mempublikasikan wacana-wacana yang digagas oleh Hassan Hanafi di Indonesia. Bukan berarti karena Gus Dur pernah kuliah di Mesir dengan serta merta kemudian dia menerima pemikiran orang Mesir ini, tapi ini memang nyata dan tidak lagi dapat dinafikkan keberadaannya. Proyek besar ini menurut Gus Dur telah mampu membawa Islam berfungsi orientatif bagi ideology populistik yang ada, yang waktu itu diwakili oleh berbagai bentuk sosialisme. Hanafi dengan mengambil posisi kekirian (Al

Mauqif al Yassari) didasari atas kenyataan bahwa ia membawa gagasan

pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme kapitalistik, yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang sedang berkembang.

Buku yang diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1988 yang bertitel

Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah merupakan salah satu model dari sekian banyak

21 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical

model buku yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para pengikut dan peminat kajian Hassan Hanafi. Paling tidak, buku ini tentunya mendapatkan tempat tersendiri bagi para peminat kajian Hassan Hanafi yang telah membaca kajian-kajiannya secara terus menerus. Hanafi yang juga seorang penulis produktif yang berwawasan luas serta memiliki pisau analisis yang cukup tajam dalam setiap riset dan kajiannya tentunya telah matang dalam melakukan kajian yang mendalam mengenai buku barunya ini.

Sampai saat ini (1988), sedikitnya ada lima volume buku yang menjadi hasil riset dan kajian Hassan Hanafi. Volume pertama terfokus pada premis-premis teorits (Al Muqaddimah an Nazhariyyah) ; volume kedua lebih membahas tentang ketahuidan (at Tauhid); volume ketiga memperbincangkan tentang keadilan (al- ‘Adl); volume ke empat bertajuk kenabian (An nubuwwah al Mu’ad) dan volume yang terakhir mendiskusikan tentang amal, keimaman dan imamah (al Iman wa al ‘Amal wa al Imamah). Dalam pengakuannya, kelima seri buku tersebut memakan waktu penulisan yang cukup lama, yakni mencapai satu dasawarsa. Sebuah kajian yang tentunya dipikir secara matang dan bersih.

Al Yassar Al Islam

Islam pada eranya pernah memimpin peradaban dunia, Islam menjadi central pengetahuan, tolok ukur peradaban dan menjadi sumber utama kajian-kajian wacana keagamaan. Pada saat itu, Islam mampu membangunkan dunia dari tidur panjangnya yang terkungkung dalam keterbelakangan.

Kejayaan ini, banyak kalangan mempercayai bahwa ini semua berangkat dari kekuatan benteng tauhid yang kemudian merambah untuk melakukan developmentalisasi di berbagai bidang lainnya. Demikian juga Hassan Hanafi, dia mempercayai bahwa tauhid merupakan kekuatan besar yang mampu merubah tatanan dunia, dalam bukunya Madza Ya’ni Al Yassar Al Islam sebagaimana dikutip oleh Kazuo Shimogaki22 dia mengatakan

Tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini, dan ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat guna mentransformasikan kehidupan sehari-hari muslim dan system sosialnya.

Yang kemudian menjadikan pertanyaan yang paling mungkin adalah kenapa hari ini Islam ternyata tidak mampu menjawab tantangan zaman untuk kembali memimpin peradaban. Dengan kata lain, Islam hari ini mengekor zaman yang sedang berjalan, dia tidak mampu menembus pemimpin peradaban untuk menjadi pimpinan dari pemimpin peradaban sekarang ini.

Pada dasarnya, dalam system dunia hari ini hanya ada dua kemungkinan dalam peradaban, yakni pemain dan yang dimainkan. Pemain sebagai subjek yang mengatur peradaban. Sedangkan yang dimainkan merupakan objek yang dimainkan oleh pemain dalam percaturan peradaban. Sebagai akibatnya, pemain akan terus mendominasi system peradaban dan berhak atas otoritarianisme peradaban.

22 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical

Islam hari ini merupakan objek yang terus dimainkan oleh dominasi pemain rezim imperialisme. Apa yang dikatakan oleh Barat merupakan tolok ukur untuk peradaban Islam, baik dari sisi pengetahuan maupun pada wilayah praksis kebudayaan dan tradisi. Inilah yang sekarang menyebabkan Islam kehilangan ‘harga diri’ dan dengan terpaksa kemudian menyerahkan haknya untuk melakukan perubahan dalam tubuh Islam sendiri, sebagai dampaknya, kemandirian dalam Islam dalam menentukan nasibnya sendiri hilang tertelan oleh peradaban Barat yang mendominasi.

Fenomena ini yang kemudian oleh Jamaludin Al Afghani, setelah melakukan kajian kritis atas Islam yang demikian, merupakan dampak dari munculnya something trouble dalam semangat ketauhidan. Menambah analisis Al Afghani, Hanafi lebih kritis memandangnya, selain karena hilangnya semangat ketauhidan sebagai pandangan dunia yang monoteistik, juga karena dari dalam tubuh Islam sendiri terdapat dualisme yang kuat. Penyebab dari munculnya dualisme dalam Islam adalah, kata Hanafi, hilangnya semangat tauhid dan beraneka ragamnya pandangan dunia yang dualistic.

Akhirnya, hal ini akan memaksa kita untuk kembali merumuskan dari awal tentang Islam itu sendiri dan relevansinya dalam ranah sosio politik global.

Sempat muncul wacana bahwa dalam Islam tidak ada istilah ‘kanan’ dan ‘kiri’, Islam adalah Islam yang mengadung ajaran transcendental dan humanisme. Tidak ada ‘kanan’ yang sok religius dan tidak ada ‘kiri’ yang sok jagoan.

Pada wacana ini, Hanafi menolak dengan tegas. Hanafi berpendapat bahwa dalam Islam tetap ada ‘kanan’ dan ‘kiri’. Wacana tersebut dalam pandangan Hassan Hanafi bersifat naïf dan mengacu pada prinsip atau sesuatu yang berada diluar relaitas histories umat Islam. Pandangan tidak adanya kanan dan kiri dalam Islam berwatak ahistoris karena mengabaikan realitas sosial budaya umat Islam masa lampau dan masa kini. Hanafi lebih tegas lagi mengatakan, bila kita berpikir empiris maka sesungguhnya Islam dihadapkan pada pertarungan dan wadah berbagai kepentingan yang kuat antara kiri (tertindas) dan kanan (penindas).

Ciri utama Kiri Islam adalah dia mengeluarkan slogan-slogan yang revolusioner, radikal dan berpihak pada kaum tertindas. Slogan-slogan itu menurut hanafi banyak ditemukan dalam teks-teks Al Qur’an dan tradisi Islam Klasik. Terminology Kiri hendak menyadarkan umat Islam yang berada dalam situasi ketertindasan dan keterbelakangan, sehingga diharapkan dari kesadaran yang tumbuh itu akan memunculkan gerakan untuk merubahnya.

Terkait dengan terminology ‘Kiri’ yang ada dalam Al Qur’an, sempat banyak ilmuwan yang tidak sependapat pada penggunaan kata ‘Kiri’ itu. Al Qur’an banyak yang mengidentifikasikan makna ‘Kiri’ dalam artian yang negative. Kiri dalam Al Qur’an lebih disebut sebagai orang-orang yang banyak melakukan dosa besar, penghuni neraka, orang Kafir, munafik dan orang-orang yang termasuk dalam golongan al ashab asy syimal (golongan orang-orang-orang-orang yang merugi). Sedangkan Kanan selalu diidentikan dengan golongan al ashab al

Yamin (orang-orang yang beruntung) yang sholeh, beriman, penghuni sorga dan

seterusnya.23

Pengambilan kata kiri dalam kiri Islam oleh Hassan Hanafi tidaklah demikian penafsirannya, yang diarahkan oleh Hassan Hanafi mengambil kata kiri adalah lebih pertimbangan pada keilmiahan bahasa tersebut. Kiri dalam kajian ilmu politik melambangkan resistensi dan kritisisme. Artinya, penggunaan kata Kiri oleh Hanafi tidak bersumber dari Al Qur’an yang mengilustrasikan kiri sebagai orang yang tersesat, tetapi dia memilih menggunakan kata kiri dalam perspektif kajian ilmiah yang menandakan resistensi, yang menjelaskan jarak antara idealitas dan realitas.

Kiri Islam yang merupakan karya terbesar Hanafi dipublikasikan dalam jurnal Al Yasar Al Islam (Kiri Islam) di Mesir. Menurut berbagai sumber, bahwa munculnya jurnal ini terinspirasikan oleh jurnal Al Urwah Al Wustqa (Jalamaluddin Al Afghani & Muhammad Abduh) dan Jurnal Al Manar. Jurnal ini sayangnya hanya terbit sekali pada bulan Januari 1981 di Kairo, Mesir. Namun kematian jurnal Al Yasar Al Islam tidak kemudian dapat dengan serta merta menghapus makna kedatangan gagasan-gagasan Kiri Islam-nya.

Meskipun jurnal itu tidak terbit untuk edisi selanjutnya, Hassan Hanafi yang paling bertanggung jawab atas jurnal itu serta segala esensi yang terkandung didalamnya terus secara intens mengawal wacana Kiri Islam itu. Pergulatan Hanafi dengan khazanah klasik (turats qadim) dan apresiasinya yang

23 Secara jelas dapat dilihat dalam surat Al Waqi’ah ayat 8-9. Disini Al Qur’an membagi umat manusia dalam dua golongan, yakni golongan Kanan yang memperoleh kebahagiaan dan golongan kiri yang memperoleh siksa dan keterhinaan dihadapan Allah. Lebih terperinci lagi, pembagian kanan dan kiri dalam al Qur’an disesuaikan dengan pembagian catatan amal, yakni apabila menerima catatan amal dengan tangan kanan maka dia termasuk golongan kanan yang beruntung, demikian pula sebaliknya.

mendalam terhadap tradisi Barat (turats Gharbi) merupakan bukti konkrit kekokohan Kiri Islam yang tidak terpengaruh matinya Jurnal Al Yasar Al Islam.

Namun ada satu hal yang kemudian harus dikaji lebih mendalam mengenai pergulatan Hassan Hanafi dengan budaya (tradisi) baik tradisi local (khazanah klasik), tradisi Barat ataupun tradisi Islam.

Dalam buku Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, Hassan Hanafi memasukkan satu premis yang bombastis dengan ide-ide cemerlangnya yang ia beri judul At Turats wa at Tajdid. Jika dalam buku itu ia menyatakan sikapnya terhadap tradisi masa lampau (al Mauqif min at turats al qadim) maka pada bagian kedua ini ia menyatakan sikapnya terhadap tradisi Barat (Al Mauqif min

at turats al Gharbi).

Hassan Hanafi dalam buku tersebut juga menunjukkan pandangannya terhadap tradisi, baik dalam ranah cara memahami dan menafsirkannya ataupun metode-metode pengkajiannya. Hal itu dilakukan sejak awal hingga sekarang, yakni mulai dari keyakinan (Al Aqidah) sampai revolusi (Ats tsaurah). Dalam pandangannya, Hassan Hanafi keyakinan merupakan tradisi (at turats), sedangkan revolusi adalah pembaharuan (at tajdidi). Demikan juga ia melakukan pembacaan ulang terhadap Islam untuk merekonstruksi dan mereformulasinya, yakni mencari (melacak kembali) dasar-dasar dan membangun kembali serta memperbaharui pengetahuan masa lampau.

Menarik pula ketika dalam bagian pengantar volume pertama, yang bertitel, al muqaddimat at taqlidiyyah, bahwa secara tegas ia menolak premis-premis ortodoks yang terdapat dalam ilmu ushul ad Din al Islami, yakni ilmu

kalam. Menurutnya, karena premis-premis tersebutmerupakan premis keimanan murni yang mengungkapkan keimanan sejati-murni (al Imanu khalish dzati) dan yang bersumber dari kegaiban (Al Ghaib).

Sementara menurut pandangan Hassan Hanafi, pengetahuan yang benar (Al Ma’rifah ash shalihah) tidak datang dan menjadi sempurna begitu saja seperti wahyu dan ilham, tetapi hadir melalui perenungan dalam seperangkat data-data pikiran dan kenyataan, dan menjadi sempurna melalui analisis penalaran dengan menyimpulkan kejadian-kejadian. Sederhananya, pengetahuan yang benar menurut keyakinan Hassan Hanafi adalah yang tidak bersumber dari kegaiban ( Al Ghaib) atau hanya sebatas informasi tanpa data dan analisis yang rasional.

Dalam pengantarnya ini pula, ia secara tegas menolak ide-ide mengenai tradisionalisme (taqlidisme) yang membelenggu dan memenjarakan kebebasan berpikir masyarakat. Ia juga secara tegas menyatakan untuk tidak mengikuti jejak para as salaf ash shalih. Dalam pandangannya, orang-orang tersebut (as salaf

ash shalihin/qudama’) juga manusia yang sama seperti manusia saat ini. Jadi

tidak menjadi persoalan ketika mempelajari teori-teori yang disajikan oleh

Qudama’ tersebut, namun dalam menentukan sikap untuk menolak atau

mengikutinya adalah hak-hak individual yang tidak dapat diintervensi secara bebas. Apa yang para as salaf ash shalihin katakana tidak harus diikuti dan menjadikan perdebatan yang sengit, tetapi harus dikaji secara kritis sebagai pijakan untuk merekonstruksi dan melihat ulang.

Mengenai mati surinya Al Yasar Al Islam, Hassan Hanafi mengatakan ketika dihubungi secara langsung oleh Kazuo Shimogaki24.

“Saya kecewa bukan oleh nasib jurnal itu, melainkan oleh sikap intelektual muslim lain. Ada di antara merekamenuduh saya marxis, yang lain marah-marah dengan istilah ‘Kiri’ yang saya gunakan, dan tidak tertarik pada proyek inovatif ini. Memang saya tidak bisa melanjutkan menerbitkan jurnal ini, tetapi bukan berarti saya menghentikan proyek ini. Saya hanya kesulitan financial”.

Pemikiran Kiri Islam yang digagas Hanafi berangkat dari pengamatannya terhadap gerakan-gerakan Islam revolusioner di Sudan (Revolusi Al Mahdi), Libya (Revolusi Sanusiyyah), Aljazair (Revolusi Islam), Maroko dan yang paling berpengaruh diantaranya adalah revolusi yang dilakukan oleh Gerakan Ikhwanul Muslimin dibawah Sayyid Qutb (Revolusi jihad Ikhwan) di negaranya.

Hanafi dengan cerdas mempelajari dan mendalami revolusi-revolusi di Negara-negara Islam tersebut, selain itu, dia juga mempelajari bagaimana terjadinya revolusi-revolusi dalam sejarah keagamaan yang kemudian dari situ membuat dia yakin bahwa setiap agama revolusioner bersifat Kiri. Setiap agama mengandung dalam dirinya ajaran-ajaran pembebasan manusia dan perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan yang menistakan dirinya.

Dalam sejarah revolusi keagamaan, seringkali perlawanan terhadap penindasan dan gerakan pembebasan manusia dipelopori oleh para pemuka

24 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical

agama. Di zaman Mesir kuno, Nabi Musa membebaskan bangsa Israel (Yahudi) dari perbudakan Raja Fir’aun. Isa Al Masih (Yesus Kristus) membebaskan bangsa Yahudi dari penindasan Imperium Romawi. Ayatollah Khomaini menentang rezim represif Pahlevi yang dikendalikan Amerika Serikat bersama dengan Ali Syari’ati.

Pada agama lain, gerakan-gerakan pembebasan di Amerika Latin dipimpin para uskup dan Kardinal Katolik dengan teologi pembebasannya (theology of liberation). Di Vietnam, para biksu agama Buddha mempelopori gerakan-gerakan revolusioner menentang kekuasaan tiranik. Di Filipina cardinal Jaime Sin, pimpinan katholik, menjadi oposisi terhadap rezim repressif koruptif marcos. Para pendeta di Thailand mengalami penyiksaan, pemenjaraan dan bahkan pembunuhan karena mempelopori aksi-aksi perlawanan terhadap tirani kekuasaan.

Hanafi mengklaim bahwa pemikiran Kiri Islam yang digagasnya itu memiliki akar histories intelektual dalam revolusi-revolusi agama diatas.

Dalam penjelasannya, Hanafi melihat bahwa dalam percaturan geo sosio politik, dunia dibagi menjadi dua wilayah, yakni pemain atau penindas (penguasa) dan yang dimainkan atau yang ditindas (rakyat). Hanafi membagi dua kelas ini tidak hanya berdasarkan realitas di lapangan saja, tetapi dia juga mengambil pembagian ini atas isi dari Al Qur’an. Sejarah dalam Al Qur’an yang paling kentara mengenai pembagian ini adalah kisah Fir’aun sebagai penguasa dan Bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa. Fir’aun adalah profil yang

digambarkan oleh Al Qur’an sebagai tokoh yang menindas dengan kekuasaannya atas kebebasan Bani Isra’il.

Dari gambaran itu, kemudian Hanafi meletakkannya pada dunia kontemporer, dia menganalogikan Fir’aun sebagai Negara-negara kapitalis imperialis dan Bani Isra’il sebagai Negara-negara Islam yang terus menerus mengalami penindasan. Hubungan antara ‘Fir’aun’ dan ‘Bani Isra’il’ mengalami ketimpangan yang luar biasa, ‘Fir’aun’ melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap Negara-negara Islam. Selain eksploitasi, Negara kapitalis-imperialis juga melakukan hegemoni di segala bidang kehidupan untuk diikuti sebagai ‘takdir’ zaman.

Di wilayah inilah kemudian Kiri Islam berperan. Kiri Islam harus menentang ‘Fir’aun’ itu. Titik utama perlawanan yang harus dilakukan adalah pada wilayah hegemoni budaya, atau lebih tepatnya imperialisme kebudayaan Barat. Pertanyaannya, kenapa harus imperialisme kebudayaan yang menjadi

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 46-73)