• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksi Nalar Religius

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rekonstruksi Nalar Religius"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah buku

Catatan-catatan Ringan Aktivis

Rekonstruksi Nalar Religius

Memahami Posisi Islam

dalam Konstelasi Geo Sosio Politik

Oleh :

Abaz Zahra

(2)
(3)

Pengantar Penulis

Sejak diterbitkannya buku terbaru Samuel P. Huntington yang berjudul

Who Are We?- ˆ: The Challenges to America's National Identity tahun 2004 lalu

kondisi Islam dalam konstelasi geopolitik semaki1n tertantang. Dalam buku

sebelumnya, The Clash of Civilization, penasehat awakan Gedung Putih ini belum

terang-terangan mengatakan bahwa Islam adalah musuh besar bagi Amerika Serikat, namun dalam buku terbarunya itu, Huntington mengatakan dengan tegas bahwa Islam Fundamental adalah musuh besar yang harus dibasmi.

Ketika dilihat dalam buku tersebut memang tercantum Islam Fundamental yang militant sebagai musuhnya, namun pada realitas di lapangan semua kelompok Islam, baik Islam moderat, Islam liberal dan kelompok Islam

lainnya mendapatkan serangan dan warning yang sama dari Amerika Serikat.

Secara politis demikian, bahwa kondisi percaturan politik global dalam pemetaan Huntington sebelumnya, Islam merupakan salah satu kekuatan besar yang akan menjadi lawan dari peradaban Barat. Benturan peradaban yang akan terjadi salah satunya adalah antara Islam dan Barat, disamping nanti muncul Confucianisme yang berkembang di China. Ini memberi alamat yang semakin jelas bagi perkembangan Islam ke depan, apalagi setelah Irak dan Afghanistan diserang secara membabi buta oleh Amerika Serikat serta Libanon oleh Israel, ini mengalamatkan bahwa Islam secara politis akan terus diserang tanpa ampun

(4)

untuk memenuhi ambisi Amerika Serikat dan mematahkan kekuatan Islam dalam konstelasi geopolitik.

Di samping penyerangan secara politis, Barat (baca: Amerika Serikat) juga menyerang sisi kebudayaannya, dalam bahasa Hassan Hanafi disebut dengan imperialisme budaya. Dimana kebudayaan non-Barat secara perlahan akan diputus akar kesejarahannya dan menggantinya dengan budaya popular ala Barat.

Penyerangan sisi budaya ini berbuntut pada hilangnya khazanah local yang dimiliki oleh negara-negara non-Barat, tradisi dan ritus budaya akan tergilas oleh kemasan budaya popular yang memang lebih menarik perhatian dibandingkan dengan khazanah local. Inilah yang kemudian menjadi persoalan pelik disamping persoalan pada ranah politik.

Sementara itu, dalam tubuh Islam sendiri, komunikasi internal juga

belum selesai, dimana satu madzhab dengan madzhab lainnya belum berada pada

satu pandangan yang sama untuk menentukan satu musuh bersama (common

enemy). Kalaupun telah mencapai kesepakatan itu, jalur pergerakan yang dilakukanpun masih khilafiyah dikarenakan perbedaan penafsiran atas model perjuangan (jihad).

Indonesia yang merupakan kandangnya warga Islam dengan jumlah penduduk yang menganut agama Islam terbesar di dunia tentunya juga menjadi wilayah yang turut serta tergabung dalam permainan sosio politik dunia. Dan ini juga tidak hanya terjadi saat ini saja, campur tangan Barat terhadap kemerdekaan secara sosial telah terjadi sejak zaman kuno hingga sekarang.

(5)

Percaturan politik nasional tidak terlepas dari persoalan politik global, karena diakui atau tidak Indonesia telah terpetakan sebagai negara Islam moderat yang dengan mudah telah menjadi boneka Amerika Serikat.

Tulisan yang ada disini merupakan ungkapan dari keresahan yang saya alami ketika saya membaca buku-buku. Dari buku saya menjadi tahu kondisi yang sebenarnya tentang dunia ini, tetapi, berangkat dari tanggung jawab saya sebagai kader organisasi pergerakan, saya tidak mampu melakukan apapun untuk merubah tatanan busuk ini. Oleh karena itulah saya ingin membagi keresahan yang saya alami ini kepada semua orang.

Buku kecil ini merupakan wujud konkrit ucapan terima kasih saya kepada kedua orang tua tersayang atas perjuangannya mendidik saya untuk selalu resah dengan kemapanan, adik dan kakak beserta anak-anaknya atas

dukungannya dalam menatap masa depan, We will always together.

Wacana-wacana yang digulirkan dalam buku kecil ini merupakan buah dari diskusi rutin yang diadakan oleh PC PMII Wonosobo, oleh karena itu melalui buku ini saya hendak mengucapkan terima kasih kepada Pengurus PC PMII Wonosobo, PMII Komisariat Ahimsa Unsiq, BEM Unsiq, Senat Fakultas Dakwah dan Komunikasi, PPTQ Al Asy’ariyyah, LPM SQ dan kawan-kawan

teater BanyuDahsyat. Alumni PMII di Wonosobo yang telah memberikan

motivasi berlebih kepada saya.

Terima kasih buat sahabat pemburu ilmu, Nadr Rose, Parman, Pak Dhe Tujo, Dhe Ulfi, Ushi Myut, Yuti Riau, Ipul Lampung, Fredy Nabire, Mudzakir, Masruh, Mat Leader, Fasihul Lisan dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu

(6)

persatu, yang paling utama untuk De’ Titin Apriyani yang telah memberi semangat berlebih secara spiritual dan sugesti yang besar dalam bergerak.

Perhatian dan pengarahan dari ‘Wong Gedhe’ seperti Mas Hasan

Asy’ari, S.Pd.I (PKB), Pak Drs. Arifin Shidiq, M.Pd (PCNU/KPU), Mas Arif Ruba’I (KM’B’PI), Mas Syarif Abdillah (KMNU Jateng), Mas Bobby (PKC PMII Jateng), Pak Kholiq Arif, M.Si (Bupati Wonosobo), Mas Herry Haryanto Azumy (PB PMII) dan lain-lain. Bimbingan dari Dosen Muda Gaul, Om Mubin, Mas Haqqy, Bang Wondo, Om To’am, Mas Amirrudin, Dekan Fakultas, Drs. Samsul Munir, MA dan Rektor, Prof. Dr. Zamachsari Dhofier, MA merupakan pembangkit sugesti yang besar.

Banjarnegara, Februari 2008

(7)

Daftar Isi

Halaman Judul :... Pengantar Penulis :... Daftar Isi :...

Islam Revolusioner :... Dekonstruksi Pemahaman Klasik atas Ajaran Islam : ...

Jalan Baru, Mungkinkah? :...

Dirasat Islamiyyah Hassan Hanafi :

• Al Yasar Al Islam :

• Oksidentalisme :

• Oksidentalis atau Tukang Ramal?

Jihad, Dulu, Sekarang dan yang akan Datang: ...

Jihad Hari Ini dan yang Akan Datang :...

Islamophobia :...

• Islamophobia Max Weber... • Kritik Agama Marx :... • Dampak Islamophobia : ...

Konstelasi Geo Sosio Politik dan Pengaruhnya terhadap Geografi Sosio Religius Nasional

(8)

• Definisi dan Gambaran Global :

• Realitas Geopolitik Hari Ini :

• Geneologi Sosial Politik (Geosospol) :

• Islam Indonesia :

• Konstelasi Geopolitik dan Geografi Sosio Religius Nasional :

Daftar Pustaka : Biografi Penulis :

(9)

ISLAM REVOLUSIONER

Sebelum sampai pada makna yang sesungguhnya dari Islam Revolusioner yang sebenarnya esensinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa

yang menjadi tesis Hassan Hanafi yakni The Left Of Islam (Al Yassar Al Islam)

atau Islam Pembebasan (Islam and the Relevance to our age) yang ditulis oleh

Asghar Ali Engineer, ada satu hal yang seharusnya kita kaji dulu dalam Islam itu sendiri terkait dengan ajaran-ajaran serta semua hal yang melingkupi tentangnya.

Banyak sesungguhnya di dalam Al Qur’an yang mengatakan bahwa Islam merupakan agama revolusioner atau agama yang hendak merubah tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat secara kolektif ke arah yang lebih baik. Di dalam Al Qur’an, tidak terlalu tampak secara berlebihan tentang revolusionernya secara implisit, namun secara eksplisit ketika ayat tersebut ditafsirkan dengan metode kontekstual histories (meminjam istilah Hassan Hanafi) hampir sebagian besar isi Al Qur’an merupakan upaya untuk merubah atau tepatnya menjadikan Al Qur’an sebagai media utama revolusi.

Satu hal lagi yang perlu ditekankan dalam hal ini, yakni terkait dengan makna Islam revolusionernya sendiri. Bahwa revolusioner yang diangkat dalam Islam itu tidak hanya hal-hal besar yang cakupannya global saja, tetapi hal-hal kecil sampai detail merupakan objek perubahan. Sebagai pembandingnya, Islam tidak hanya merubah tatanan geososiopolitik saja tetapi melakukan perubahan sampai hal yang sifatnya personal dan tabu sekalipun seperti berkhitan,

(10)

memotong bulu kemaluan, sex dan sebagainya. Artinya, revolusi yang ditawarkan oleh Islam sebagai solusi kolektif atas berbagai persoalan yang sifatnya mendunia hari ini berangkat dari hal-hal yang sebenarnya ringan dan tidak terpikirkan oleh kita untuk diubahnya, karena sesungguhnya Islam mempercayai bahwa hal-hal yang kita anggap sepele akan berbuntut pada hal-hal yang besar yang terkadang kita sendiri tidak mampu mengatasinya.

Persoalan sederhana yang kita hadapi sehari-hari dengan sendirinya akan menjadi kebiasaan dan seterusnya mampu menjadi persoalan besar. Ini memang benar adanya, artinya dalam hal ini Islam mencoba menggulirkan satu wacana baru tentang bagaimana memanage hal-hal sepele dalam hidup kita sebagai langkah antisipatif terhadap munculnya hal-hal besar. Analogi sederhananya, ibaratkan persoalan sepele itu setitik debu, maka lama-kelamaan debu itu akan bergabung bersama debu-debu lainnya, menggumpal dan kemudian menjadi batu gunung yang besar yang mampu meremukkan apapun yang dilewatinya.

Dalam wilayah sederhana ini, kemudian Islam mengajak umatnya untuk berkaca pada sejarah masa lalu untuk di jadikan referensi dan mempelajari

kejadian tersebut mulai dari tahap penampilan masalah sampai pada ending dari

sejarah itu. Klimaks konflik dan anti klimaksnya yang kemudian harus mendapatkan perhatian khusus agar persoalan-persoalan yang muncul dapat segera diketahui penyebabnya serta kemudian merumuskan strategi untuk bagaimana persoalan tersebut mendapat penyelesaian yang paling baik dan solutif.

(11)

Hal ini ada kaitannya dengan apa yang dikatakan oleh penganut filsafat materialisme historis (evolusionisme mekanis) yang cenderung mempercayai bahwa sejarah pada dasarnya selalu berputar, apa yang terjadi pada kejadian hari ini dan akan datang sesungguhnya telah terjadi juga di masa lampu dengan konsep yang sama. Perbedaan dari kejadian itu hanya terletak pada kuantitas dan kualitasnya saja. Dapat dicontohkan misalnya imperialisme dan kolonialisme ekonomi hari ini yang kita rasakan sesungguhnya telah terjadi pada masa lampau dengan kejadian yang sama namun dalam konsep yang berbeda, kolonialisme dan imperialisme ekonomi yang terjadi pada masa lampau dilakukan dengan system yang sederhana dan strategi yang masih dangkal.

Islam dikatakan membawa sejarah sebagai referensi umat Islam dalam menyelesaikan persoalan menjadi alasan kenapa Allah kemudian banyak menceritakan kisah-kisah para nabi dan rasul terdahulu dalam Al Qur’an. Yang ditulis di dalam Al Qur’an, terutama kisah-kisah para nabi dan rasul ini bukan hanya untuk diketahui sebagai pengetahuan umum untuk kemudian di dongengkan kepada anak cucunya saja tetapi untuk dipelajari dan diambil makna dari cerita itu. Tiap tokoh kemudian dikaji dari berbagai sisi, baik sisi sosial, ekonomi maupun budayanya dan kemudian dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya, bagaimana munculnya konflik, penyelesaian konflik sampai pada bagaimana menciptakan tata sosial yang baru pasca konflik.

Kisah-kisah nabi dan rasul terdahulu ketika dikaji dengan model kontekstual histories dapat ditemukan banyak hal terkait dengan persoalan yang dilematis hari ini. Persoalan mengenai konflik antara rakyat dengan penguasa

(12)

dapat dijumpai pada kisah nabi Yusuf dan nabi Musa, bagaimana Yusuf bersikap ketika sedang dalam masa hukuman di penjara, tentang bagaimana Nabi Musa

bersama pasukannya melawan dominasi kekuatan Raja Fir’aun2. Persoalan

mengenai politik dapat berkaca dari Nabi Sulaiman, tentang manajemen Negara sebesar negara Sulaiman yang dilakukan secara sentralistik yang langsung kepada Raja Sulaiman, bagaimana Nabi Sulaiaman melakukan penggabungan negara dengan negara ratu Bilqis, di bidang militer Kisah Nabi Sulaiman dengan tentara dari manusia, binatang dan jin dapat di control dalam one man one commando di tangan nabi Sulaiman.

Di bidang pendidikan, kisah nabi Musa ketika mencari Nabi Khidzir, ketabahannya dan kesabarannya dalam menuntut ilmu dapat menjadi rujukan hari ini bagaimana menyelesaikan persoalan rendahnya sugesti masayarakat untuk bersekolah, sehingga negara kita dilanda kebodohan kolektif. Manajemen pendidikannya, dapat diambil dari kisah nabi-nabi yang menyampaikan risalahnya secara kontinyu dengan tempat seadanya dan waktu sesenggangnya. Artinya belajar dapat dimanapun, kapanpun dengan guru siapapun.

Banyak kejadian sejarah dari para nabi terdahulu yang dapat dijadikan rujukkan untuk mencari solusi kolektif atas multiproblem yang terjadi di tengah-tengah kita hari ini.

2 Kisah ini disebutkan dalam Al Qur’an saat bagaimana Bani Isra’il yang dipimpin Musa melawan Fir’aun, pada akhir cerita Allah menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya saat menyeberangi lautan. Allah berfirman;

“Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka” (QS.20.78)

(13)

Sederhananya, dari kisah sejarah yang dituliskan dalam Al Qur’an saja dapat kita ambil banyak pelajaran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dilematis di tengah-tengah kita hari ini. Belum lagi ketika kita buka ayat-ayat

makiyyah yang di turunkan di Makkah yang kebanyakan isinya tentang hukum

syariat yang mengatur hubungan teologis dan hubungan muammalah

(sosiologis), disini secara lebih jelas diatur mengenai bagaimana seharusnya kita berpolitik, bagaimana menciptakan tata sosial yang madani, tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika berhubungan dengan Allah dan seterusnya.

Dalam Al Qur’an, kisah-kisah nabi terdahulu tidak hanya untuk kemudian dijadikan petuah dan dongeng saja, akan tetapi apa yang digambarkan tentang kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang mengabaikan kepentingan teologis dan humanis di tengah-tengah kaumnya secara nyata, kemudian atas mereka Allah dengan kebesarannya kemudian menurunkan beraneka bencana yang terkadang diluar akal sehat manusia. Kaum Nabi Nuh yang berada di sekitar gurun berpasir oleh Allah kemudian diturunkan bencana berupa banjir bah yang besar sehingga seluruh kaum, kecuali pengikut nabi Nuh, tenggelam oleh banjir tersebut. Atau yang lebih jelas lagi, Raja Ramses (Fir’aun) di zaman nabi Musa ditenggelamkan di dalam lautan ketika nabi Musa berhasil membelah lautan hanya dengan pukulan tongkatnya.

Satu hal lagi, bahwa selain memberikan petuah secara implicit dan eksplisit, Al Qur’an juga memberikan jawaban atas persoalan motivasi dalam melakukan revolusi (perubahan) sebagai manifestasi atas ajaran yang terkandung

(14)

di dalam Islam, seperti misalnya, Allah memberikan sindiran halus dengan Firmannya

“… Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu

sendiri merubahnya”.3

Disinilah kemudian apa yang dimaksud Hassan Hanafi bahwa Islam itu harus mampu menciptakan antroposentrisme yakni peradaban yang berpusat pada manusia memperoleh legitimasi selain dari ayat yang mengatakan bahwa

manusia adalah khalifatu fi al ardl yang berhak memanage dunia beserta isinya.

Di sisi lain, bahwa terkait dengan manusia sebagai khalifatu fi al ardl maka

manusia memperoleh kebebasan dan tanggung jawab untuk melakukan perubahan terhadap tata sosial masyarakat dan alam sekitarnya yang tidak sesuai dengan hokum Islam untuk menciptakan kemaslahatan bersama (kesalehan kolektif). Allah berfirman :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”4

Jabatan khalifatu fi al ardl dan keharusan manusia melakukan

perubahan terhadap negaranya apabila negara tersebut di pegang oleh kekuasaan yang menindas dan sewenang-wenang memberikan inspirasi lebih bahwa dengan

3 Surat Al Ra’d ayat 11 4 Surat Al Baqarah [2] 30

(15)

hanya dua tanggung jawab ini motivasi untuk revolusi dapat dimunculkan dengan bermodalkan keberanian dan tanggung jawab secara kolektif masyarakat Islam di dunia, tanpa membedakan status dan madzhab yang dianut.

Disini baru satu sumber utama, sumber yang kedua berupa hadits dapat lebih jauh lagi diketahui tentang bentuk revolusi yang ditawarkan oleh Islam sebagai langkah efektif untuk dapat merubah tatanan ipoleksosbudhankam yang dilematis dan menindas. Hadits memberikan jabaran lebih luas dan mendalam serta lebih detail, tugas hadits adalah menterjemahkan isi Al Qur’an secara lebih luas dan teknis, oleh karena itu peran hadits sebagai penerjemah akan lebih luas cakupannya di bandingkan dengan sumber utamanya.

Menjabarkan tentang peran hadits dalam melakukan dukungan revolusioner terhadap Al Qur’an akan di temukan penjelasan yang lebih mendalam, mengingat hadits tidak hanya ucapan nabi Muhammad, tetapi juga tindakan dan sikapnya maka dapat dengan mudah diketahui tindakan revolusioner nabi Muhammad dalam melakukan perubahan di tanah Arab khususnya dan dunia pada umumnya.

Masyarakat Arab sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi Rasululullah banyak tindakan yang tidak manusiawi muncul. Bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan akan dikubur hidup-hidup, berjudi dan mabuk-mabukan merupakan identitas mereka, perbudakan, penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap kaum miskin dapat mudah dijumpai. Sesembahan mereka berupa batu yang dipahat berbentuk berhala yang di letakkan di bangunan suci

(16)

Nabi Ibrahim, Ka’bah, yang mereka namai Latta dan ‘Uzza. Dan sederetan tindakan jahiliyyah lainnya.

Dari fenomena yang kurang manusiawi di tengah-tengah masyarakat Arab ini, Muhammad muncul sebagai orang yang berhati halus, jujur, berotak

cerdas dan oleh masyarakatnya Muhammad mendapatkan gelar Al Amin5.

Muhammad yang merasa prihatin dengan kondisi ini kemudian menyeret dirinya untuk merenungi dan menyendiri berkontemplasi di gua Hira’, sebuah gua yang berada di pegunungan berbatu di luar kota Makkah.

Ditengah kontemplasinya yang dilakukan secara kontinyu (istiqamah),

Jibril kemudian atas perintah Allah menurunkan wahyu pertama yang membuat

Muhammad merasa ketakutan. Asghar Ali Engineer6 mencatat dalam peristiwa

penurunan wahyu pertama ini, bahwa wahyu yang pertama kali secara esensial memang berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian lebih kepada fenomena sosial yang ada di sekitarnya.

Makkah yang ketika itu merupakan pusat perdagangan yang penting. Dimana secara geografis Makkah menjadi kota yang paling diperuntungkan karena menjadi jalur perdagangan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan atau sebaliknya. Makkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah. Pedagang dari Afrika pun banyak yang melakukan transaksi perdagangan melalui rute Makkah ini. Dari keadaan inilah Makkah kemudian

5 Gelar Al Amin diterima oleh Muhammad sebelum ia diangkat menjadi Rasulullah. Al Amin adalah gelar yang diberikan kepada orang yang jujur, menjaga amanat dan dapat dipercaya. 6 Asghar Ali Engineer, 2007, Islam and Relevance to Our Age, Penerj. Hairus Salim dkk, LKiS Jogjakarta, hal. 4

(17)

diuntungkan sebagai kota penting yang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar.

Seiring dengan perubahan kota Makkah menuju wilayah perdagangan internasional ini, maka secara perlahan masyarakat arab tata nilai sosialnya sedikit demi sedikit bergeser ke arah baru yang lebih praktis. Masyarakat yang sebelumnya lebih mengutamakan sentiment kesukuan atau sentiment Klan untuk kemudian mengalami transisi sosial. Dan ternyata tidak hanya perubahan pada wilayah kesukuan saja, tetapi juga perubahan terjadi pada wilayah kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat.

Masyarakat Badui yang tinggal di sekitar kota Makkah mungkin yang paling merasakan pil pahit dari perubahan sosial dan ekonomi ini. Biaya hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat suku Badui dan suku-suku lainnya semakin meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang cepat ini.

Hal yang terjadi pada suku Badui ini berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi para pedagang. Dimana ketika masyarakat Badui menderita karena tekanan ekonomi dengan biaya hidup yang semakin tinggi, justru para pedagang di kota Makkah merasakan sebaliknya, mereka berlomba-lomba memperkaya diri dengan menjual komoditas perdagangan yang banyak disukai oleh pangsa pasar.

Keadaan yang terlalu kacau balau ini, merupakan akar pusat yang menyebabkan banyaknya konflik sosial di kota Makkah. Dimana dari persoalan kesenjangan ekonomi ini, kemudian secara perlahan mulai menurun pada bidang sosial lainnya.

(18)

Para pedagang yang memegang kendali atas dunia perdagangan pada saat itu kemudian melakukan berbagai cara untuk memusatkan kekayaan pada diri mereka masing-masing. Berbagai koorporasi perdagangan kemudian muncul sebagai akibat dari keinginan untuk terus memperkaya diri. Koorporasi ini selain untuk menguasai arus perdagangan dalam satu wilayah juga untuk melakukan monopoli perdagangan sepenuhnya atas wilayah yang telah dikuasainya itu.

Sebagai bentuk tandingan atau strategi banding atas kekuasaan ekonomi dalam koorporasi itu, orang-orang miskin Makkah kemudian membentuk komunitas yang sama. Tujuannya adalah untuk mengurangi dominasi ekonomi para pedagang yang monopolistic, dimana system ini menjerat dan menyingkirkan secara perlahan kaum miskin. Komunitas ini mereka namai

sebagai al Fudul7 (Liga orang-orang tulus). Dalam pembentukan komunitas ini,

Muhammad turut serta menghadirinya dan menyatakan menyetujui dan mendukung berdirinya komunitas kaum tertindas ini.

Selain untuk menjaga integritas perdagangan, komunitas ini juga bertugas untuk mencegah keluarnya para pedagang Yaman dari kota Makkah. Hal ini disebabkan karena pedagang Yaman merupakan para pedagang yang cerdas dalam managemen perdagangan antar kota, sehingga apabila pedagang

Yaman harus keluar dari Makkah, sebagai akibatnya, komunitas al Fudul ini

harus mengirimkan kafilahnya ke Yaman.

Pedagang yang kaya raya menguasai secara sepenuhnya kehidupan sosial masyarakat Makkah. Sehingga dari sini, selain menindas secara ekonomi,

(19)

juga melakukan penindasan sosial dengan pembudakan manusia. Orang-orang merupakan komoditas perdagangan yang dapat diperjual belikan antar orang kaya untuk dieksploitasi tenaganya. Selain eksploitasi tenaga, untuk budak wanita diperalat untuk memenuhi hasrat seksual para pedagang.

Nabi Muhammad setelah diangkat menjadi Rasul melakukan revolusi sosial masyarakat Makkah, dengan tegas ia melawan setiap tindakan pemberhalaan terhadap batu, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, berjudi,

penindasan ekonomi dan sosial dan sebagainya8. Revolusi ini jelas tidak mudah

dilakukan, hal ini dikarenakan tindakan jahiliyah merupakan sesuatu yang telah masuk dalam lingkaran tradisi masyarakat Arab sehingga untuk merubah tradisi tersebut akan mendapatkan perlawanan yang jauh lebih tegas dari serangan yang dilakukan Muhammad.

Nyawa Muhammad menjadi taruhan sebagai konsekuensi dari revolusi yang ia lakukan bersama pasukannya. Ia tidak menyerah meskipun mendapatkan pertentangan dari setiap arah. Sampai-sampai karena revolusi yang beliau lakukan membuatnya di usir dari Makkah dan bersama-sama sahabatnya hijrah ke kota Madinah yang masih dalam wilayah Hijaz.

Di Madinah, Muhammad bersama-sama sahabatnya masih terus mendapatkan desakkan dari berbagai pihak, tidak hanya kaum Quraisy di Makkah saja, tetapi wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah yang mengetahui tentang kerasulan dan agama baru yang dibawa Muhammad.

8 Pada tahap awal Muhammad melakukan sosialisasi secara sembunyi-sembunyi tentang wahyu yang diperolehnya kepada istri dan sahabatnya untuk mendapatkan dukungan dalam

menyebarkan paham baru yag dia peroleh. Tahap selanjutnya, Muhammad mulai menyebarkan Islam dengan terang-terangan sebagai agama yang hendak memperbaiki moral (akhlaq) masyarakat.

(20)

Al Qur’an di Madinah masih tetap turun dengan berbagai kondisi social dan kondisi pribadi Muhammad yang berbeda-beda. Sering kali pula Allah menurunkan Ayat yang berisi tentang cerita-cerita kenabian terdahulu untuk menjadi cermin oleh Muhammad dalam menghadapi setiap serangan dari pihak luar. Ayat-ayat yang turun kemudian oleh nabi dimanifestasikan dalam setiap gerakan dan perjuangan melawan desakan dan tantangan yang ia terima.

Disinilah peran hadits sebagai penerjemah dari Al Qur’an dapat di ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah hadits dan hadits tersebut merupakan pengejawantahan dari apa yang dikatakan dalam Al Qur’an. Selain dalam bidang teknis, hadits secara tekstual juga banyak yang mendukung revolusionisme Al Qur’an.

Misalnya saja, hadits tentang berperang melawan kebatilan, penindasan, kesewenang-wenangan dan sebagainya banyak muncul dalam periode kehidupan nabi Muhammad, hadits tentang berperang merupakan realisasi dari perintah jihad yang diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an.

Sampai pada wafatnya nabi Muhammad, perubahan di bidang politik dan budaya banyak dilakukan dan banyak menyebar di berbagai negara. Revolusi terhadap budaya lain yang tidak humanis di wilayah Negara lainpun ia lakukan dengan strategi yang halus dan manusiawi. Perubahan social yang paling kentara adalah berubahnya pandangan hidup yang semula berwatak imperialistic dan kolonialistik antara orang kaya dengan orang miskin sedikit demi sedikit mulai terkikis, Islam yang dibawa Muhammad membawa ajaran agar orang kaya menyantuni orang miskin. Diakui atau tidak, Islam saat ini merupakan gerakan

(21)

yang sedang melakukan revolusi total, dimana Islam mengibarkan bendera kiri (perlawanan) terahadap system yang primitive.

Terkait dengan Tesis Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya, maka posisi Islam Revolusioner merupakan harga mati. Hubungan antara Islam Revolusioner dan Kiri Islam adalah searah dan saling melengkapi, Tugas Kiri Islam adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama, dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi. Atau dengan kata lain, memaknai agama sebagai revolusi. Tugas ini merupakan sebuah ‘tuntutan zaman’ yang telah menerapkan sebuah system yang sistematis tetapi menindas dan melakukan kesewenang-wenangan halus.

Dikatakan sebagai tuntutan zaman mengingat bahwa hari ini fenomena kapitalisasi di segala bidang kehidupan telah mencapai titik kritis. Semua bidang kehidupan telah disusupi oleh kapitalisme yang kapitalisme sendiri menjajah berbagai peradaban lain yang mencoba menggugurkannya. Dan parahnya lagi posisi Islam hari ini oleh para penganutnya dianggap sebagai agama teosentris dimana peran tuhan sebagai pemegang utama atas kendali dunia berperan dominan, manusia adalah boneka yang harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan, sehingga tidak ada kebebasan manusia untuk melakukan perubahan atas segala yang terjadi pada Islam dan penganutnya.

Paradigma fungsionalis ini menganggap bahwa Tuhan adalah sentral peradaban, apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan kehendak Tuhan, atau istilahnya takdir, manusia tidak berhak untuk melakukan perlawanan atau merubah kehendak Tuhan, tugas manusia adalah sabar menghadapinya dan

(22)

tawakal ketika kesabaran itu telah habis. Penindasan, kesewenang-wenangan yang terjadi atas mereka oleh siapapun merupakan kehendak Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada.

Dari sinilah kemudian memunculkan persoalan yang sangat fatal dan riskan untuk merealisasikan Islam sebagai agama revolusi. Orang-orang Islam mayoritas tidak memiliki paradigma yang strukturalisme radikal, hanya sebagian orang Islam yang sadar dan menganggap bahwa dunia ini merupakan ‘peradaban’ yang dipegang oleh manusia dan manusia diberi kebebasan untuk mengelola dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di dunia. Apabila terjadi something trouble dalam system kesetaraan kosmologi maka hal yang harus dilakukan adalah melawan terhadap apapun atau siapapun yang membuat kesetaraan itu

mengalami something wrong.

Paradigma masyarakat kebanyakan dalam memandang penindasan kapitalisme dilihat dari kaca mata religiusitas, merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan, sebagai muslim yang taat maka harus menerimanya dengan lapang dada dan sabar. Penjajahan ekonomi harus diterima dengan tawakal, penguasaan akses politik dan ekonomi oleh ‘orang hitam’ merupakan sesuatu yang harus ditawakali dan berpasrah karena semua itu merupakan kehendak dari Allah yang merupakan cobaan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tugas Islam untuk mampu menjadi agama revolusioner ada dua macam, dan keduanya merupakan rangkaian yang tidak mungkin terputus salah satunya, yakni pertama Islam harus mampu merubah paradigma pemeluknya dari Islam yang konservatif fundamentalis

(23)

dengan paradigma fungsionalis ke budaya humanis dengan paradigma strukturalisme radikal.

Setelah semua pemeluknya merubah paradigmanya dan telah sampai

pada common sense (satu pandangan) maka untuk selanjutnya yang kedua Islam

baru dapat melakukan revolusi total di segala bidang kehidupan untuk melawan dominasi kapitalisme yang menjerumuskan. Namun, satu hal yang kemudian sampai saat ini belum dapat terrealisasi yakni pengkondisian masyarakat muslim itu sendiri. Artinya, masyarakat muslim masih terkotak-kotak berdasarkan madzhab, aliran dan kepercayaan yang berbeda-beda sebagai akibat dari kesalahan sejarah yang telah membudaya di tengah-tengah Islam. Inilah yang kemudian membuat komunikasi internal di dalam Islam sampai sekarang belum dapat terjadi dialog yang komunikatif dan konstruktif. Semuanya berjalan menurut kepercayaan dan ajaran mereka.

Artinya benar kata Samuel P. Huntington bahwa perang yang terjadi hari ini dan seterusnya bukan berlatar belakang adu kekuatan militer serta penguasaan satu negara oleh negara lainnya, tetapi lebih pada perang antar

peradaban (The Clash of Civilization). Perang untuk menjadi weltanschauungs

yang diakui di seluruh dunia sebagai paradigma yang berkuasa dan harus dianut oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia. Peradaban yang menang merupakan peradaban yang akan menguasai masyarakat dunia secara kolektif dan menjadi kiblat atas peradaban-peradaban kecil yang dikalahkannya.

Sebelum terlalu jauh, konsep ini akan lebih baik lagi ketika ditarik dalam wilayah keberagamaan, terutama Islam. Dalam Islam, selalu dipercayai

(24)

bahwa setiap orang lahir dalam keadaan suci, tidak ada dosa, tidak ada kejahatan

dan kebaikan, istilah mudahnya, manusia yang baru lahir dalam keadaan fithri.

Begitu pula, dalam relung kesadaran manusia dan dalam naluri kemanusiaannya

mempunyai tendensi ke arah wilayah hanif, yang pro kemanusiaan dan

kebenaran.

Namun nalar dan kefitrahan itu akan terkikis ketika manusia dalam pandangan sadarnya melihat ke fenomena sekelilingnya yang ternyata tidak sesuai dengan naluri kemanusiaan yang dimiliki. Ada penyelewengan ke arah pemberontakan terhadap kefitrahannya itu. Sebagai akibatnya, manusia tersebut akan terjadi pergoalakan bathin yang mencoba mengambil keputusan untuk ikut serta dalam ‘penyelewengan’ tersebut atau tetap mengikuti naluri dan fitrahnya sebagai manusia dengan konsekuensi akan kehilangan sesuatu yang menjadi target dari ‘penyelewengan’ itu.

Dari sinilah kemudian penyadaran akan sangat dibutuhkan dan agama menjadi solusi atas transisi sosial dan konflik sosial semacam ini. Jadi benar bahwa kebaikan pada dasarnya telah tercetak dalam relung kesadaran yang terdalam dalam diri manusia, manusia telah mengetahui kebenaran dan kebaikan dalam bersikap, dan oleh karena itulah maka proses penyadaran ini sangat dibutuhkan sebagai usaha untuk menempatkan kembali pada ranah kefitrahan.

Perubahan sosial yang terjadi dalam Islam akhir-akhir ini dalam era kapitalisme global yang tidak mengenal batas wilayah hunian manusia dan tradisi lokalnya telah terjadi secara radikal. Dalam keadaan seperti ini, tidak hanya capitalisme yang sulit dibatasi, berlari ke wilayah manapun selama di tempat itu

(25)

menjanjikan keuntungan secara kapitalistik, tetapi juga kekuatan capital itu telah mempunyai akibat terhadap aspek sosial dan kemanusiaan yang lain.

Kapitalisme yang selama ini telah dianggap sebagai kekuatan lawan yang tangguh yang menggerogoti Islam bukan hanya satu-satunya lawan yang harus dibasmi. Tetapi akibat turunan dari kapitalisme itu justru telah menjadi

salah satu madzhab dalam Islam sendiri, kapitalisme telah me-make up dirinya

sehingga berwajah Islam.

Artinya hari ini Islam sebenarnya dihadapkan pada persolan dilematis, dimana selain mempunyai musuh besar berupa kapitalisme, ternyata koordinasi internal Islam sendiri belum selesai, tidak ada integrasi secara paradigmatic dalam Islam. Selain harus berperang melawan kapitalisme, Islam juga harus menyembuhkan penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri.

(26)

DEKONSTRUKSI PEMAHAMAN KLASIK ATAS AJARAN ISLAM

Membuka Jalan Baru Menuju Pemahaman Ajaran Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa masyarakat Islam sampai hari ini masih terus terjebak pada pemahaman secara teks normative terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam Islam. Sebagai akibatnya, perkembangan pemikiran dan tindakan masyarakat secara kolektif belum bisa tersentuh, yang muncul adalah perubahan-perubahan yang bersifat revolutif dan pencarian paradigma baru dalam memahami isi kandungan ajaran Islam pada masyarakat muslim kelas menengah dan intelektual-intelektual muslim. Pemerataan terhadap pemahaman baru dalam memahami ajaran Islam belum bisa dilakukan secara menyeluruh.

Banyak hal yang menyebabkannya, selain diantaranya kepercayaan public terhadap ajaran Islam yang telah mengakar juga disebabkan karena rendahnya kesadaran intelektual masyarakat muslim untuk melakukan kajian-kajian yang bersifat pencarian cara pandang baru dalam beragama. Untuk banyak kalangan, agama hanya selesai pada dataran teosentris dan itu cukup dilakukan hanya dengan shalat lima waktu, puasa, berzakat, haji kalau mampu dan seterusnya. Sementara aspek keberagamaan yang sifatnya muammalah revolusioner, bagi banyak kalangan, merupakan bukan esensi dari kehidupan keagamaan.

Kehidupan keberagamaan masyarakat yang cenderung fundamentalis ini, dalam berbagai wilayah, merupakan penyakit yang mematikan untuk

(27)

perkembangan Islam sendiri. Kurangnya kesadaran untuk menumbuhkan jiwa-jiwa religiusitas dalam ranah muammalah revolutif menyebabkan Islam peranannya akan semakin mundur dalam percaturan memperebutkan mainstream

paling berpengaruh untuk menjadi weltanschauungs yang diakui diseluruh dunia.

Baiklah, untuk selanjutnya kita kaji dari awal mulai dari penyebab munculnya fundamentalisasi keberagamaan masyarakat hingga upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk menghilangkan ekstrimisme beragama semacam itu dan kemudian menanamkan pola keberagamaan baru yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi social politik hari ini.

Tindakan semacam ini, dalam kaca mata kita, ada beberapa kemungkinan yang mungkin membuat pola keberagamaan semacam ini.

Pertama, ini merupakan reaksi atas tindakan ghuluw (melampaui batas), artinya keberagamaan mereka merupakan kesadaran keberagamaan teosentris yang melebihi batas ketentuan. Ini disebabkan karena keyakinan mereka yang berlebih atas ‘Teo’ yang mereka sembah, sehingga sebagai manifestasi atas keyakinan yang berlebih itu, mereka mengekspresikan rasa tersebut dengan tindakan

ghuluw dalam beribadah, yang kemudian oleh masyarakat secara umum ditiru tanpa dipandang dari sisi lain. Ini cukup mempengaruhi mengingat bahwa dalam kepercayaan masyarakat secara umum, fenomena keagamaan merupakan hubungan teosentrisme, sementara humanisme yang dimunculkan dalam ekspresi keagamaan merupakan ajaran subdominant dalam agama.

(28)

Dalam masalah ghuluw ini, secara tegas Allah telah memperingatkan manusia untuk tidak melakukan tindakan semacam ini dalam beragama dalam Al Qur’an yang artinya :

“Katakanlah, ‘Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama. Dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya, dan menyesatkan banyak orang, sehingga mereka sesat dari jalan yang sama”9

Untuk lebih mudah dipahami oleh umat Islam pada zaman Rasulullah tentang ayat ini, nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan kepada umat

Islam untuk menjauhi tindakan ghuluw dalam beragama. Beliau bersabda ;

“Takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama. (kaum10) sebelumnya telah binasa

karena berlebih-lebihan”11

Hadits di atas secara tidak langsung memberi peringatan kepada umat Islam agar lebih waspada terhadap munculnya sikap ghuluw, karena terkadang

9 QS. Al Maidah Ayat 77.

Peringatan ini ditujukan kepada Ahlul Kitab serta orang Yahudi atau Nasrani secara keseluruhan yang meng-’itiqad-kan Isa a.s sebagai Tuhan. Mereka diserukan untuk tidak mengekspresikan keberagamaan mereka secara berlebih supaya tidak tersesat dalam beragama, serta tidak mengikuti orang-orang yang telah sesat sebelumnya karena ekspresi keagamaan yang berlebih.

10 Kaum yang dimaksud oleh nabi Muhammad adalah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, Yahudi dan Nasrani.

11 Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Abd al Rahman al Nasa’I dan Abu Abdillah ibn Majah dalam Sunan mereka.

(29)

sifat semacam ini muncul tanpa dapat kita sadari. Ghuluw dapat terjadi dengan kita melakukan tindakan yang tidak ada gunanya dan selanjutnya menjalar pada

ghuluw dalam tingkatan yang sebenarnya.

Di riwayatkan, dalam perjalanan Haji Wada’, setelah sampai di Muzdalifah Nabi Muhammad SAW meminta Abdullah Ibn Abbas untuk mengumpulkan beberapa batu untuknya. Ibn Abbas memilih batu-batu yang kecil. Setelah melihat batu-batu itu, Nabi Muhammad SAW menyetujui ukurannya dan berkata; “Ya, seperti itu. Berhati-hatilah akan berlebih-lebihan dalam agama”12.

Dari permisalan melalui batu dalam hadits di atas, Nabi mengisyaratkan bahwa, dalam memilih batu-batu (dapat di terjemahkan sebagai ritual keagamaan) harus dapat menetukan ukuran yang dinamis. Tidak terlalu besar (berlebihan) dan tidak terlalu kecil (kurang).

Orang tidak harus untuk sepanjang hari menyembah kepada Allah, meskipun itu baik sebenarnya, sementara kewajiban lain yang harus di kerjakan seperti memberi nafkah, mencari sumber penghasilan (terkait manusia sebagai

khalifatu fi al ardl) dan sebagainya kemudian ditinggalkan. Atau karena semua itu, sebagai kebalikan atas yang pertama tadi, kemudian Allah ditinggalkan begitu saja. Karena bekerja lupa shalat dan sebagainya.

Manusia harus fleksibel dalam mengatur masalah keberagamaan, karena pada dasarnya Allah menurunkan Islam semata-mata tidak hanya untuk manusia menyembahnya, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Manusia harus tahu porsinya sebagai abdillah dan sebagai khalifatu fi al ardl. Ada kalanya

(30)

orang harus tunduk pasrah kepada Allah, dan pada kesempatan yang lain, manusia juga diberi kebebasan untuk memanage bumi dengan tanpa intervensi dari Allah.

Sekali lagi untuk mempertegas itu, Allah telah berfirman;

“Wahai Ahli Kitab, Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu”13

Kedua, dapat juga diketahui bahwa keberagamaan masyarakat yang demikian itu disebabkan oleh sikap tanattu’ (berlebihan, keberagamaan yang terlalu ketat). Sikap semacam ini disebabkan, masih berkutat pada wilayah yang sama, oleh pemahaman teosentrisme beragama. Perbedaan dari yang pertama adalah, dalam wilayah ini orang cenderung ekstrim terhadap ritual keagamaan dan terlalu berhati-hati dalam bertindak.

Berhati-hati yang berlebih dalam beragama ini menyebabkan seolah agama merupakan wilayah yang sacral dalam mengatur manusia, sehingga ketika masuk di dalamnya orang terikat dengan peraturan dan doktrin keagamaan yang ketat. Sementara, wilayah lain yang memberikan ruang kebebasan terkadang tidak berani disentuh karena kehati-hatiannya itu. Yang kemudian patut disayangkan adalah, kehati-hatian itu hanya berlaku pada hubungan teosentris saja, kehati-hatian tidak pada aspek pengembangan keagamaan dan pemberdayaan masyarakat muslim.

Nabi bersabda :

(31)

“Kehancuranlah bagi merkea yang berpuas diri dalam tanattu’”14

Ketiga, tasydid (Kekakuan, kesederhanaan berlebih). Orang yang berpandangan seperti ini, sulit untuk dapat menerima factor eksternal yang mencoba masuk kedalam wilayah keberagamaan mereka, tidak hanya factor eksternal saja, tetapi inovasi dan kreasi yang muncul dalam internal agama itu sendiri terkadang banyak ditolak dengan serta merta. Menanggap itu sebagai

bid’ah yang tidak pantas untuk dilakukan dan sampai pada pengecapan bahwa tindakan inovatif tersebut adalah syirik dan seterusnya.

Artinya, sesungguhnya dari berbagai sudut pandang, dapat diketahui bahwa Islam merupakan agama yang selalu mengajarkan keseimbangan, menempatkan diri pada posisi moderat. Islam selalu menyeimbangkan antara kebutuhan yang bersifat rohani dan kebutuhan jasmani, rohani tercukupi dengan tepat, jasmani juga terpuaskan. Islam sangat mengecam berlebih-lebihan meskipun dalam beragama. Nabi sendiri memperingatkan kepada sahabat-sahabatnya yang berlebih-lebihan dalam beribadah dan terlalu asketik, karena tindakan ini merupakan tindakan melompat dari garis Islam moderat.

Islampun tidak pernah melarang untuk umatnya menikmati keindahan dunia dan menikmati kenikmatannya. Karena Allah menciptakan semua itu untuk di nikmati oleh manusia. Allah berfirman;

(32)

“Wahai anak-anak Adam! Pakailah perhiasanmu setiap kali pergi ke Masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sungguh ia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”

“Katakanlah: “Siapa yang mengharamkan perhiasan tuhan yang di sediakan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik. Katakanlah, ia untuk orang-orang yang beriman…”15

Fenomena keberagamaan masyarakat yang jumud dan fundamentalis merupakan tindakan yang berlebih-lebihan atau bahkan asketis. Mengingat posisi keberagamaan fundamental lebih mengutamakan agama hanya hubungan teosentris semata yang kemudian sebagai ekspresi atas keberagamaannya itu dinyatakan dalam peribadatan yang berlebih. Sementara itu, fundamentalisme

beragama seringkali menyingkirkan aspek-aspek muammalah (humanisme)

dalam beragama. Secara dangkal dapat dikatakan bahwa fenomena keberagamaan semacam ini merupakan penafsiran sepihak atas agama.

Dalam beribadah, juga harus mengedepankan unsure humanisme, dalam wilayah teosentris juga tidak bisa terlepaskan dari humanisme. Sebagaimana Nabi pernah sabdakan:

Pada suatu ketika nabi berpesan pada imam shalat dengan marah yang tidak biasa “Beberapa di antara kalian telah membuat orang-orang tidak menyukai shalat. Maka, siapa saja di antara kalian yang menjadi imam harus melakukannya dengan singkat, karena di antara mereka (makmum) ada yang lemah, tua, seseorang yang mempunyai bisnis yang harus diperhatikan…”16

15 Surat Al Maidah ayat 31-32 16 H.R Bukhari

(33)

Orang yang memiliki sifat semacam ini (berlebih-lebihan) akan menutup diri dari masuknya pemahaman lain tentang apa yang dilakukannya. Dia tidak akan mengadukan secara ilmiah ataupun cultural tentang ritualitas yang dia lakukan dengan bentuk-bentuk lain. Ia hanya akan mencari pendukung untuk kemudian membawa masyarakat ke dalam barisannya.

Hari ini masyarakat Islam telah terkontaminasi virus semacam ini. Orang menganggap bahwa Islam hanyalah agama teosentris, dan oleh karenanya hanya ibadahlah yang harus dilakukan. Di sisi lain, asketisme masyarakat dan sifat acuh tak acuh terhadap ritual keberagamaan juga marak. Islam hari ini telah lari dari posisi moderatnya.

Posisi semacam ini menyebabkan Islam tidak dapat berkembang dengan pesat, ketika Islam hanya dibangun pada satu sisi, yakni sisi ubudiyah semata, maka yang akan terjadi adalah Islam tergilas pada hubungan muammalah-nya karena wilayah ini tidak dapat dibangun. Islam hanya di beratkan pada sisi

timbangan hablum minallah saja, sementara mangkuk timbangan hablum

minannas masih kosong, apalagi hablum minal ‘alam.

Ketimpangan atas kesetaraan dalam Islam ini kemudian berbuntut pada hilangnya kreativitas dan inovasi orang-orang muslim dalam mempertahankan dan mengembangkan agamanya. Orang Islam cenderung untuk mendiskreditkan persoalan penyesuaian Islam dengan zaman, sehingga fenomena yang terjadi hari ini bukan zaman sesuai dengan Islam tetapi Islam sesuai dengan zaman. Islam tidak mampu mengolah zaman dan hanya menjadi satu bagian dari zaman itu.

(34)

Autentitas nilai Islam sesungguhnya merupakan problematic dalam sejarah yang harus di rekonstruksi terus menerus dan bukanlah nilai yang sudah jadi, tanpa imajinasi kaum muslim sendiri. Sehingga, apa yang sering kita bayangkan sebagai sesuatu Islam yang ‘murni’ dan yang ‘asli’, tidak lain itu semua adalah bagian dari pengalaman sejarah yang menempatkan nama orang atau tokoh dengan pikiran dan sikapnya yang terlibat dalam ‘proses’, tatkala kitab suci dan tradisi itu berhadapan dengan konteksnya masing-masing.

Sederhananya, Islam pada dasarnya merupakan nilai yang bukan harga mati, yang kemudian harus begini begitu saja. Islam fleksibel dan selalu dapat masuk dalam zaman manapun dan kondisi social apapun, dengan catatan, yang membawa Islam pada zaman atau kondisi tersebut dapat menyesuaikan konteks ke-Islam-annya dengan kondisi riil yang terjadi.

Pada gambaran di atas, kebanyakan orang selalu mengaitkan Islam yang sesungguhnya dengan tradisi Islam dahulu. Bahwa Islam yang ‘benar’ adalah Islam yang telah diejawantahkan oleh orang-orang sebelumnya dengan beragam pemikirannya yang diakui sampai sekarang oleh masyarakat kebanyakan.

Saat ini, mau atau tidak mau, kita harus meyakini bahwa Islam yang benar (tanpa tanda kutip) adalah Islam yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits yang merupakan dasar hukum terpercaya dalam Islam.

Selanjutnya, untuk dapat menerapkan Islam yang sesuai dengan konteks social hari ini adalah bagaimana kita mampu menterjemahkan Al Qur’an dan hadits tersebut sesuai kondisi riil yang terjadi. Maksudnya, dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadits, agar dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan,

(35)

harus dipertimbangkan aspek social yang sedang terjadi. Tujuannya adalah agar Islam tetap berada pada posisinya sebagai agama moderat yang berada pada titik tengah dan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat non muslim sekalipun.

Al Qur’an dan Hadits selalu bersesuaian dengan zaman. Islam selalu sesuai dengan zaman apapun dan kondisi bagaimanapun. Yang sesungguhnya membuat Al Qur’an dan hadits tidak dapat menyesuaikan dengan zaman adalah kita sendiri yang salah dalam menterjemahkannya. Sehingga, Islam hari ini banyak dicap dengan asumsi-asumsi kotor yang nyata-nyata tidak sesuai dengan Islam itu sendiri.

Dapat dipastikan apabila kita mampu membawa Islam pada kondisi social apapun, kebenaran bahwa setiap ide-ide kemanusiaan yang muncul telah terdapat dalam Al Qur’an. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat ide-ide dasarnya telah tercantum dalam Al Qur’an ataupun hadits meskipun hal tersebut disebutkan secara implicit.

Ketika hal ini telah dapat diyakini oleh masyarakat secara keseluruhan, tentulah pergulatan pemikiran Islam dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukan referensi universal dari setiap peradaban baru.

Dalam memahami teks kitab suci, dan untuk mengetahui makna yang paling dalam atas teks-teks tersebut, maka harus disekularisasikan dan

dirasionalisasikan. Tanpa melakukan berpikir sejarah (historical thinking) atau

mencari kebenaran dalam proses (truth as process), maka teks hanya akan menghasilkan pengikut-pengikut yang imannya bersemangat, tapi mereka hidup dalam kesadaran-kesadaran palsu yang menentramkan.

(36)

Fenomena yang terjadi hari ini demikian, dalam pandangan kaum muslim kebanyakan teks-teks suci (baca : Al Qur’an) merupakan teks yang dimuliakan dan dibaca terus menerus yang akan menghasilkan umat yang secara keimanan dan ketakwaan bersemangat. Sementara untuk penggalian unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalamnya secara lebih dalam orang Islam hari ini

kebanyakan mengabaikannya, bahkan asbab an nuzul atau dalam konteks

masyarakat yang seperti apa teks yang mereka baca tersebut turun sama sekali tidak diketahuinya.

Inilah yang sesungguhnya konsep masyarakat yang kurang begitu diharapkan oleh Islam sendiri. Yakni orang yang menganggap Al Qur’an sebagai kitab suci dan sesuatu yang harus dipuji dan dimuliakan. Sementara peran Al Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk diabaikan. Ini berarti al Qur’an telah mengalami disfungsi dan dikebiri secara perlahan-lahan oleh umatnya.

Orang yang hanya menganggap teks suci hanya sebagai bahan bacaan sebagai bentuk perwujudan atas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah berarti orang tersebut tidak memuliakan Al Qur’an. Yang diburu hari ini adalah bagaimana orang berlomba-lomba untuk membaguskan suaranya dalam membaca Al Qur’an, sementara pada sisi lainnya, makna yang terkandung di dalam Al Qur’an sendiri tidak pernah disentuh. Lalu penghormatan semacam apa yang di berikan orang Islam kepada teks sucinya? Apakah penghormatan hanya cukup dengan membacanya tanpa mengkajinya?

Tercatat sejak abad ke VII M umat Islam mulai masuk pada fundamentalisme beragama. Orientasi keberagamaan manusia saat itu selalu

(37)

merujuk pada fiqh sebagai justifikasi keselamatan dan kesesatan. Fiqh berada pada puncak kesakralan dan kemapanan. Sebagai sebuah rujukan hukum, fiqh tampak subjektif, hitam putih, benar salah, halal haram. Dengan sifat-sifat yang demikian itu, fiqh membuat kreativitas dan kebebasan manusia menjadi hal yang mahal. Dan ortodoksi fiqih ini juga mendapatkan perlindungan pengamanan sempurna dari penguasa, sehingga mulai saat itu dan hingga hari ini, fiqh menjadi satu-satunya justifikasi dalam menentukan hukum social dan ubudiyah, dan semua orang Islam harus mengikutinya tanpa kreativitas apapun.

Kemandekan kreativitas dalam mengekspresikan kegagamaan juga di topang oleh booming besar para ulama yang mengeluarkan statemen bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Gerakan menjaga otoritas fiqh ini selanjutnya mengorientasikan umat Islam untuk selalu taklid terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan berabad silam tanpa melihat perubahan zaman yang semakin maju dan komplektisitas permasalahan.

Belakangan ini, barulah ortodoksi fiqh sedikit demi sedikit mulai mencair. Namun itu, sekali lagi, belum menyentuh umat Islam secara

keseluruhan pada lapisan grass root dan Islam abangan.

Banyak sudah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir besar yang menggoncangkan dunia Islam, khususnya untuk kaum fundamental. Dimana pemikiran-pemikiran mereka membuat orang muslim fundamental gundah dan merasa dilecehkan keislamannya. Nasr Hamid Abu Zaid terpaksa mengungsi ke Leiden karena membuat lembaga-lembaga keagamaan di Mesir kebakaran jenggot dengan “Kritik Wacana Keagamaan” yang ia

(38)

publikasikan. Muhammad Syahrur juga ikut berperan serta dalam

‘pembangkangan’ ortodoksi fiqh dengan menulis buku Al Kitab wa Al Qur’an:

Qira’ah Muassirah, Muhammad Said al Asymawi, seorang pemikir secular Mesir juga turut serta melontarkan ide-ide pembaharuannya dengan perspektif humanisme. Hassan Hanafi dengan Al Yasar Al Islam dan Oksidentalisme, Muhammad Abed al Jabiri, Muhammad Arkoun, Ali Gharb, Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh dan sederet nama-nama pemikir lainnya.

Di Indonesia sendiri, banyak pemikir besar yang turut serta ‘melawan’ ortodoksi fiqh dengan ide-ide pembaharuannya. Tercatat ada Munawir Sadzali, (Alm) Nur Kholis Majid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ulil Abshar Abdalla, Prof. Dr. Harun Nasution dan lainnya yang mencoba menggulirkan wacana-wacana dan pemahaman yang baru dalam memandang Islam. Bahkan Ulil Abshar Abdalla yang juga coordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh

kebanyakan ulama salaf di fatwa-kan halal darahnya karena pemikirannya yang

cenderung memancing konfrontasi antara Islam liberal yang dipimpinnya dengan aliran Islam lain yang ada di Indonesia. Tulisannya di Koran Kompas yang berjudul “Menyegarkan Kembali Islam Kita” merupakan titik awal tokoh ini dikenal di blantika intelektual muslim Indonesia.

Para pembaharu, baik di dalam maupun di luar Indonesia banyak menuai kritik pedas dari ulama-ulama fundamental. Mereka seringkali tidak hanya difatwakan halal darahnya, tetapi juga mendapatkan serangan-serangan yang ‘keji’ melalui pembantahan wacana yang ada. Merekapun mendapatkan

gelar riddah17 dari para ulama fundamental. Dalam pandangan ulama

(39)

fundamentalis, riddah konsepnya tidak hanya terhenti pada perpindahan dari satu agama ke agama yang lain saja, tetapi juga tindak sparatis terhadap peraturan

yang telah ada. Sehingga ulama-ulama salaf banyak menganugerahi gelar riddah

untuk para pemikir yang mencoba memperbaharui tatatan pemahaman dan gerakan dalam Islam. Mereka dianggap melakukan tindak provokasi terhadap

masayakat untuk lepas dari kekuatan tiranik Fiqh salafiyyah.

Parameter yang digunakan oleh para pembaharu dalam memperbaharui Islam adalah dengan menguji pada wilayah umat secara kolektif. Tujuannya agar tidak terjadi penimpangan terhadap hukum yang telah ada sebelumnya. Seberapa jauhkan hukum baru yang diciptakan oleh para pembaharu itu dapat menyentuh kemaslahatan kolektif (kesalehan social) dan sejauh mana hukum tersebut dapat digunakan tanpa melanggar batas-batas norma social. Maksudnya, dalam menentukan hukum, mereka mempertimbangkan sisi humanisme dan sisi social disamping sumber hukum tetap Islam.

Hasil ciptaan hukum para pembaharu tersebut sering kali memancing kontroversi di tengah-tengah kemapanan ortodoksi pemahaman Islam. Taruhlah mislanya Munawir Sadzali yang melakukan kritik pedas terhadap ayat-ayat dan hadits tentang hukum waris yang tidak seimbang pembagiannya antara laki-laki dan perempuan, Jaringan Islam Liberal yang memfatwakan kebolehan tidak menggunakan jilbab bagi wanita, dan sebagainya.

Baiklah, sebelum sampai jauh, marilah kita tinjau kembali salah satu tesis yang diajukan oleh pakar keagamaan samawi Karen Amstrong18 dalam

(40)

pengantar di buku best sellernya The History of God. Tesis yang dia ajukan adalah, fenomena keagamaan kita (manusia secara keseluruhan) lebih di dominasi pada kecondongan ketakutan terhadap sosok makhluk yang diberi nama neraka, dan kecenderungan mengharapkan sorga, bahkan dari ketakutan terhadap itulah, manusia sering kali lebih takut pada nerakanya tuhan dibandingkan takut terhadap tuhan yang menciptakan neraka itu.

Pandangan terhadap sorga dan neraka (yang tentunya immaterial dan mistis) dengan mudah dapat membawa orang untuk menitik beratkan agama pada wilayah teologis. Artinya, sorga dalam pandangan awam jelas hanya mampu di dapat dengan terus menerus beribadah kepada tuhan. Dan untuk menjauhi neraka (yang penuh dengan siksaan sebagai balasan atas tindakan buruk) juga melalui peribadatan dan penghambaan sepenuhnya kepada tuhan. Dalam ketakutan dan harapan ini, pada intinya, yang dibangun dalam agama lebih pada jiwa-jiwa teologinya saja, sementara aspek humanisme menjadi sesuatu yang di diskreditkan dalam kehidupan beragama. Fenomena ini banyak dijumpai dengan banyaknya sufi-sufi yang selalu menghambakan diri sepenuhnya kepada tuhan.

Allah dalam Al Qur’an telah berfirman:

(apakah) perumpamaan (penghuni) sorga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan

(41)

ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?19

Dari ayat ini setidaknya dapat memberikan gambaran jelas bahwa harapan-harapan terhadap kenikmatan di sorga selalu akan mengarahkan manusia untuk lebih mendekati tuhan, menyembahnya dan kemudian mengabdi kepadanya sepenuhnya. Apalagi ketika melihat neraka sebagai balasan atas kehidupan dunia yang berbuat dosa sebagai air yang mendidih dan dapat memotong usus manusia, tentunya mereka akan semakin berlari untuk mengejar tuhan dibandingkan harus berurusan dengan dunia.

Pada titik ini, manusia akan kehilangan satu hal yang penting dan

merupakan tanggung jawab manusia, yakni jabatan manusia sebagai khalifah fi

al ardl yang mewajibkan manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam di dunia (termasuk manusia). Yang dibangun hanya pada jabatan manusia

sebagai ‘abdillah yang harus selalu menyebah kepada-Nya.

Dan sebagai dampak selanjutnya, Islam juga kehilangan posisinya sebagai agama moderat. Ia hanya dipandang sebagai agama vertical yang

membangun wilayah ubudiyah, di doktrin untuk selalu bertaqwa dan beriman.

Tidak ada aspek humanisme dalam Islam.

Jalan Baru, Mungkinkah?

Fenomena di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa ternyata masyarakat muslim di seluruh dunia masih terkungkung dalam keterbelakangan

(42)

dan kemunduran dalam bidang sains dan teknologi, namun cukup maju dalam bidang teologi keagamaan (teological religious). Dan sayangnya, kemajuan bidang ini tidak begitu mampu menjamin kemerdekaan bidang lainnya yang dapat menjamin kemajuan umat Islam sendiri dalam perebutan wilayah di era sekarang, termasuk sains dan teknologi tentunya.

Dalam catatan Dr. M. Amin Abdullah20, memberikan gambaran lugas

tentang alur pemahaman agama. Pada penghujung abad ke-19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke-20, terjadi pergeseran paradigma pemaham tentang ‘agama’ dari yang dahulu hanya berkisar pada ‘doktrin’ ke arah entitas ‘sosiologis’, dari diskursus ‘esensi’ ke arah ‘eksistensi’.

Terlepas dari benar atau tidaknya catatan ini, setidaknya ada beberapa wilayah yang kemudian harus dikaji lebih jauh. Terkait dengan perkembagan ini, ada kemungkinan bahwa yang terjadi perubahan hanya di kalangan ‘atas’ yakni kalangan intelektual agama dan akademisi yang berada pada disiplin ilmu ini. Perubahan secara social yang menyeluruh belum dapat terjamah.

Dr. Amin Abdullah juga menegaskan bahwa fenomena keagamaan hari ini telah menjadi sesuatu yang kompleks, dan untuk dapat memahaminya, tidak hanya dapat di dekati secara teologis normative saja. Salah satu penyebabnya adalah terbukanya batas-batas ‘geografis’ dalam kebudayaan, percampuran antar satu budaya dengan budaya yang lainnya menjadi hal yang biasa dan memang perlu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya itu sendiri.

20 Dr. M. Amin Abdullah, 2004, Study Agama, Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hal. 9

(43)

Dalam rangka mendekati agama hari ini, maka, dalam pandangan Dr. Amin Abdullah, tidak dapat disalahkan ketika orang mengkaji agama secara aspectual, dimensional, dan bahkan multi dimensional approaches. Diluar keberadaan agama yang mempunyai doktrin teologis normative, sebagai letak inti dari keberagamaan manusia, agama dapat pula dipandang sebagai tradisi.

Sisi lainnya, agama yang semula berangkat dari keyakinan bathiniah yang mendalam (esoteris) perlahan-lahan berubah menjadi lembaga-lembaga agama di mana di dalamnya terlibat pranata-pranata social yang kadang juga bersifat birokratis. Dan untuk selanjutnya, kelembagaan-kelembagaan agama itu sudah dapat dipastikan mengalami proses evolutif dalam bidang ekonomi, social, militer dan berbagai kevenderungan manusiawi lain yang tidak kalah kompleksnya dibanding dengan urusan esoteris sebagai inti dasar agama. Lembaga-lembaga agama ini semakin lama juga akan semakin berkembang kuantitasnya, dalam satu agama saja misalnya, akan tumbuh berbagai macam lembaga-lembaga yang antara satu lembaga dengan lembaga yang lain saling terkait dan hubungannya lebih bersifat kompetitif.

Terlepas dari itu semua, kembali pada bagaimana proses evolusi keagamaan masyarakat dapat dilakukan. Perubahan secara paradigmatic membutuhkan perangkat yang lebih kompleks, berbanding searah dengan komplektisitas masyarakat itu sendiri.

Bagaimana hari ini agama (teologi), dalam perspektif awam, tidak lagi hanya terbatas sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan tuhan, tetapi juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal

(44)

usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis).

Nasib agama hari ini secara umum cukup memprihatinkan, sama halnya

dengan nasib filsafat, pada awalnya filsafat dianggap sebagai “The Mother of

Knowledge” yang menjadi induk dari semua ilmu hari ini filsafat hanya difungsikan sebagai metodologi berpikir yang kritis konstruktif dalam segala cabang keilmuan. Agama tidak jauh berbeda, agama yang dahulu memperoleh predikat sebagai “The Queen of Knowledge” hari ini hanya ditelaah seabgat aspek-aspek yang terkait dengan doktrin keagamaan secara normative. Dan ini juga memberikan arahan bahwa agama (teologi) harus mampu bertanding

melawan kawan sejawatnya seperti psychology of religion, sociologi of religion,

history of religion atau phenomenology of religion agar agama mampu kembali

menjadi “Queen” dari semua cabang ilmu yang ada.

Untuk semakin mempermudah dalam mengkaji persoalan agama, Islam khususnya, maka kita juga harus membedakan terlebih dahulu apa yang

dimaksud dengan agama (religiositas) itu sendiri dan ekspresi keberagamaan.

Yang pertama lebih mengarah pada esoteris dan yang kedua (ekspresi keberagamaan) lebih menjurus ke arah eksoteris. Yang pertama akan diwakili pada munculnya truth (iman) dan yang kedua dimanifestasikan dalam ritual

keagamaan (shalat dsb). Sejauh mana pengaruh dari keduanya terhadap eksistensi

Islam, dan metodologi yang seperti apa yang mungkin dapat digunakan untuk mendekati salah satu diantara keduanya secara lebih jelas dan terstruktur, kedua

(45)

hal ini agaknya (dan memang bahkan) mutlak dilakukan untuk membuktikan fenomena Islam yang sekarang ini.

Iman sebagai pengejawantahan atas nilai religiusitas membawa penganutnya pada pandangan tentang hal-hal yang harus diyakini eksistensi dan keberadaannya. Objeknya pun berragam, mulai dari persoalan yang tidak mampu untuk dikaji dengan nalar (mistis) hingga persoalan sejarah dan masa depan. Pada titik ini, umat Islam lebih mengarahkan arti iman untuk mempercayai keberadaan Allah sebagai tuhan umat manusia, mempercayai keberadaan malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah, meyakini keberadaan nabi-nabi yang telah menyebarkan agama Allah kepada kaum-kaumnya, meyakini adanya kitab-kitab suci Allah yang dibawa oleh nabi untuk kaumnya, percaya pada keberadaan sejarah masa depan berupa hari kiamat dan mempercayai adanya qadha dan qadar yang Allah telah tentukan untuk manusia.

Kesemuanya itu merupakan kerangka awal yang akan membentuk ekspresi keagamaan atas apa yang diyakininya. Sebagai manifestasi atas keimanannya kepada Allah, manusia akan mengekspresikan keagamaannya itu dengan shalat, puasa, haji, membaca al qur’an dan sebagainya. Untuk mengkspresikan keyakinannya atas keberadaan hari kiamat, umat Islam mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan beramal baik sesuai dengan syari’at Islam. Ekspresi meyakini kebenaran nabi-nabi terdahulu, umat Islam mengkaji sejarah kehidupannya dan meniru tindakan nabi tersebut.

(46)

DIRASAT ISLAMIYYAH HASSAN HANAFI

Hassan Hanafi adalah pemikir besar yang berasal dari Kairo, Mesir. Dalam sejarahnya, Mesir merupakan Negara yang paling awal merasakan masuknya Islam sejak Islam disana dibawah pemerintahan Amr bi Ash pada abad ke-IV, dan wajarlah ketika Mesir kemudian mendapatkan gelar The Earliest Arabised Country. Hal ini berbeda dengan kondisi Islam di nusantara dan wilayah Asia Tenggara lainnya yang termasuk The Least Arabised Country. Sejak awal perkembangannya, Mesir merupakan pusat peradaban Islam yang cukup maju, maka kemudian tidak mengejutkan ketika dari Negara ini memunculkan banyak intelektual Muslim yang handal.

Banyak karya-karya besar yang lahir di Negara sungai Nil ini, mulai dari Tafsir Al Qur’an sampai wacana politik Islam yang controversial. Pada abad XX saja misalnya, dinegara ini telah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Thaha Hussein Muhammad Al Ghazali, Sayyid Qutb, Yusuf Al Qardhawi dan lainnya. Termasuk diantaranya tokoh yang menjadi panutan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani juga menerapkan ilmunya di Negara Mesir ini hingga keduanya diasingkan oleh pemerintah Mesir ke Prancis.

Tokoh-tokoh yang lahir di Mesir ini, selain aktivis pergerakan terkemuka, juga memiliki kecemerlangan pemikiran. Sebagian pemikiran mereka mampu menembus menjadi mainstream dalam pemikiran keagamaan dan pemikiran politik tidak hanya di Mesir saja, tetapi juga menembus sampai dunia

(47)

Islam secara keseluruhan. Demikian juga pemikir paling mutakhir diantara mereka yang sangat kontroversi, Hassan Hanafi yang mencetuskan gagasan Kiri

Islam (Al Yasar Al Islam atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Islamic Left)

dan Oksidentalisme (Occidentalism).

Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1953. Sejak masa mudanya, Hanfi sudah tertarik dengan wacana politik di negaranya dan wacana-wacana politik Islam di dunia Islam secara keseluruhan. Dengan cermat perubahan dan kejadian politik yang terjadi di negaranya diamati, mulai dari pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin dibawah pimpinan Sayyid Qutb melawan Pemerintahan otoriter Gamal Abdul Nasser hingga pada persoalan ketertarikannya terhadap organisasi pergerakan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin dikaji secara serius oleh Hassan Hanafi terutama dalam keberhasilan dan kegagalannya dalam perjuangannya melawan Rezim Nasser serta pemikiran-pemikiran religio-politik Sayyid Qutb. Dari wacana-wacana yang digulirkan oleh Sayyid Qutb inilah, terutama wacana agama dan revolusi, Hassan Hanafi kemudian konsis menggeluti dunia Revolusi agama.

Selain bergelut dibidang politik dengan semangat turunan dari Sayyid Qutb, Hanafi juga merasakan keprihatinannya terhadap arus Barat yang terus melanda negerinya (westernisasi). Keprihatinannya berangkat dari pengamatannya terhadap perkembangan Barat yang semakin mengikis khazanah local yang dimiliki oleh Mesir. Dunia Islam pada umumnya selalu terjebak dan menjadikan Barat sebagai tolok ukur kemodernan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Keperihatinan semacam ini yang kemudian Hanafi harus

Referensi

Dokumen terkait

oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu: Undang- Undang Nomor 8 Tahun

Dari uraian singkat di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai kesimpulan adalah; a). FKUB di lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk

Microhyla achatina yang diperoleh dari tiga titik lokasi pengambilan sampel katak tersebut yaitu 37 individu dengan nilai kepadatan. populasi untuk ketiga

Obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pengaruh partisipasi penganggaran pada kinerja manajerial dengan komitmen organisasi dan gaya

Tulisan Karya Ilmiah ini merupakan hasil kajian dengan menggunakan pendekatan subyektif intepretif terhadap berbagai fenomena yang berkembang terkait dengan berbagai

Hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa sebelum kedua sampel diterapkan perlakuan yang berbeda, yaitu kelas eksperimen diberi

Dengan kondisi tersebut, kenaikan harga bahan pangan, terutama beras dan bumbu- bumbuan, relatif terkendali, lebih rendah dibanding kenaikan harga yang terjadi pada triwulan yang

Beberapa skema pada Teknik RGB seperti 24- Hours Microphysics, dan Day Convective Storms menunjukkan jenis awan yang menutupi wilayah Jakarta adalah awan konvektif yaitu