• Tidak ada hasil yang ditemukan

DULU, SEKARANG DAN YANG AKAN DATANG

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 73-118)

Para ahli logika sering kali menegaskan bahwa seseorang tidak dapat menentukan sebuah keputusan terhadap sesuatu, kecuali jia ia mempunyai konsepsi yang jelas tentang sesuatu itu, karena sesuatu yang tidak diketahui dan tidak memiliki batasan jelas tak dapat dipertimbangkan. Oleh karena itu, satu hal yang harus dilakukan sebelum sampai pada pembahasan mengenai konsep jihad adalah menganalisis serta menterjemahkan apa arti kata jihad. Dari analisis ini selanjutnya barulah dapat ditentukan untuk menolaknya atau menyambutnya sebagai upaya untuk mempertahankan identitas keislaman pada era global ini.

Dalam Al Qur’an kata jihad disebutkan sebanyak 14 kali yang tersebar dalam 19 surat. Sebanyak 28 ayat berisi perjuangan seperti tercantum dalam surat Al Baqarah [2] ayat 216, Ali Imran [3] ayat 142, an Nisa [4] ayat 95, Al Ma’idah [5] ayat 35 dan 54, Al Anfal [7] ayat 72 dan 74-75, at Taubah [9] ayat 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86 dan 88, an Nahl [16] ayat 110, al Hajj [22] ayat 78, al Furqan [25] 52, al Ankabut [29] 6 dan 69, Muhammad [47] ayat 31, al Hujarat [49] ayat 15, al Mumtahanah [60] ayat 1. keseluruhan dari turunnnya ayat tersebut terbagi dalam waktu turun di Makah dan Madinah.

Dalam Al Qur’an pemaknaan jihad yang diartikan atau dikaitkan dengan perang agama (holly war), yakni perang kaum muslim melawan orang-orang kafir, musyrik dan munafik terdapat pada Surat Al Baqarah [2] ayat 190, an Nisa [4] ayat 74, at Taubah [9] ayat 122-123, al Hajj [22] ayat 39-40, Al

Furqan [25] ayat 52, Al Azhab [33] ayat 48, al Hujarat [49] ayat 9, al Shaff [61] ayat 4 dan al Tahrim [66] ayat 9.

Dari terjemahan normative teks al Qur’an tentang jihad, yakni bahwa jihad adalah peperangan melawan orang kafir, musyrik dan munafik yang bertujuan untuk mempertahankan Islam dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang tersebut, jihad kemudian dijadikan sebagai key word yang menjadi legitimasi bagi munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam. Artinya, fundamentaisme, sebagai model gerakan perlawanan, pada akhirnya mendapatkan infuse dengan hadirnya kata jihad dan “Seruan berperang” yang terdapat dalam Al Qur’an.

Bersamaan dengan melemahnya kekuatan Islam dan perkembangan Barat yang semakin menguat, sedikit demi sedikit fenomena dan wacana tentang jihad tidak pernah muncul di permukaan. Kalaupun muncul, itu hanya sekedar wacana dan mengingat kembali kebesaran Islam di masa lampau sebagai sebuah kebanggaan terhadap sejarah. Pada kurun waktu ini, jihad sama sekali tidak terlihat gerakannya secara konkrit. Seandainya jihad dapat disamakan dengan harimau ganas yang menakutkan dan mampu menerkam musuh-musuh Islam, maka pada kurun waktu ini jihad adalah harimau yang sedang tidur karena cakar kuku dan taringnya terlepas, sehingga tidak berbahaya ketika musuh Islam berdiri dan menari diatas harimau itu.

Untuk mengobati harimau yang kehilangan taring dan cakarnya itu, serta untuk membangkitkan semangat naluri melawan dari harimau jihad itu, maka pada decade 40-an Imam Syahid Hasan al Banna menulis buku yang

berjudul Risalah al Jihad yang berusaha mengembalikan lagi posisi jihad dalam Islam. Ia menetapkan bahwa jihad adalah faridah (kewajiban) masa lampau hingga pada hari kiamat.

Dalam buku itu Hasan Al Banna banyak menyitir dari teks-teks yang terdapat dalam Al Qur’an terkait dengan jihad dan persoalan lainnya terkait dengan jihad. Sebagai penyokong atas ayat-ayat Al Qur’an, dalam buku itu Hasan al Banna juga menuliskan hadits-hadits yang jumlahnya melebihi jumlah ayat Al Qur’an yang tercantum serta pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama abad pertengahan.

Akan tetapi, Hasan al Banna hanya mencadangkan peran jihad kala itu untuk melawan penjajahan, dan baru benar-benar mengumandangkannya ketika ia menyusun angkatan sukarelawan perang yang pergi ke Palestina dan berjuang di front terdepan melawan penjajah Israel.

Para sukarelawan tersebut juga berpren menggempur instalasi-instalasi militer Inggris di daerah Qinal pada tahun 1951 dan mempersembahkan gelar

syuhada-nya dalam perang tersebut.

Jihad dalam artian sebuah upaya untuk mempertahankan eksistensi Islam merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Setiap orang Islam harus selalu melakukan jihad untuk mempertahankan keutuhan Islam, baik pengertian Islam sebagai agama ataupun Islam dalam tafsiran lainnya seperti Islam sebagai ideology, Islam sebagai nalar gerak, Islam sebagai kebudayaan dan seterusnya. Intinya bahwa Islam, dalam tafsiran apapun,

harus tetap dipertahankan untuk mendapatkan keutuhan Islam sebagaimana yang diharapkan oleh semua orang muslim agar Islam dapat berjaya sampai hari akhir.

Pada zaman Rasulullah SAW, jihad banyak dilakukan untuk mempertahankan keutuhan Islam dari perlawanan yang dilakukan oleh kaum Jahiliyyah dan kaum lainnya yang tidak menyepakati munculnya Islam yang dibawa oleh Muhammad. Perlawanan itu muncul dikarenakan Muhammad secara tegas menolak system tradisi lama kaum Quraisy dan sekitarnya yang masih terkungkung pada peradaban picik yang mengutamakan kesejahteraan pribadi orang tertentu dan menindas orang lain secara ekonomi, politik, sosial bahkan sampai penindasan pada level pribadi perseorangan.

Kepala suku yang dibawahnya terdapat banyak Klan-Klan sebagai basis kekuatan keturunan keluarga tertentu mendapatkan keuntungan yang lumayan besar sebagai pendapatan pribadi yang kemudian digunakan untuk kesejahteraan pribadi. Sebagai akibatnya, ketika Rasulullah datang membawa ajaran Islam yang mencoba menggugurkan tradisi yang telah membudaya tersebut, maka tidak dapat ditutup lagi, pembesar-pembesar Quraisy yang merasa posisinya akan terancam segera melakukan perlawanan untuk mendapatkan posisinya di tengah kehidupan sosial masyarakat Arab saat itu. Rasulullah tidak hanya diserang secara fisik oleh para pembesar Quraisy, tetapi juga ditindas secara ekonomi dengan pemutusan akses ekonomi, penindasan sosial dengan pengucilan, dan penindasan-penindasan lainnya yang mendiskreditkan peran Muhammad sebagai salah satu bagian dari masyarakat sosial Arab.

Pertentangan oleh pembesar Arab tidak hanya terhenti saat Muhammad berhasil mendapatkan banyak pengikut. Desakan demi desakan yang dilakukan oleh para pembesar suku Quraisy terus berlanjut hingga sampai Muhammad beserta pengikutnya memutuskan untuk melakukan hijrah ke kota Madinah untuk mendapatkan ketenangan hidup dan keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam ke semua lapisan masyarakat.

Seringkali ketika di Makkah Muhammad diperlakukan seperti binatang oleh para pengikut pembesar suku Quraisy, ketika sedang lewat di jalan, pakaiannya sering diludahi, dilempar kotoran, batu dan sebagainya. Tetapi Rasulullah, mengingat posisinya sebagai uswatun khasanah bagi para pengikutnya, selalu sabar untuk menghadapi setiap perlakuan yang tidak manusiawi oleh masyarakat suku quraisy.

Seruan untuk menyebarkan Islam semakin diperluas wilayahnya, kali ini tidak hanya Negara Arab saja yang menjadi objek penyebaran Islam, tetapi Mesir, Persia, Syam dan wilayah lainnya. Ada banyak Negara / suku yang kemudian dengan lapang dada menerima kehadiran Islam di tengah-tengah mereka, namun juga tidak sedikit yang menolaknya bahkan mengajak Muhammad untuk berperang untuk mendapatkan kepercayaan public bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammad hanyalah bualan belaka, tidak ada hikmah yang dapat diambil dari apa yang diperjuangkan oleh Muhammad bersama kaumnya.

Disinilah kemudian peran Muhammad sebagai panglima perang, pemimpin umat Islam, utusan Allah, dan uswatun khasanah diuji. Muhammad selalu melakukan apapun untuk menjaga keutuhan Islam sebagai agama yang

dianugerahkan untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia, berperang bersama pasukan untuk melawan kekuatan tentara lawan yang hendak menghancurkan Islam. Setiap peperangan yang beliau bersama pasukannya lakukan selalu mengalami kekalahan secara kuantitatif dengan pasukan lawan, namun secara kualitatif dan hasil Muhammad banyak mendapatkan kemenangan.

Keuletan dan kecerdikan Muhammad dalam mengatur strategi perang, memimpin pasukan serta mengatur hasil rampasan perang sering kali membuat lawannya merinding. Kekuatannya dihadapan kaum kafir tidak terukur oleh apapun, dan wajar saja ketika dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa kemenangan tentara Islam dalam setiap peperangan didominasi oleh factor semangan kaum muslimin dalam berperang dan pengaturan strategi perang yang lebih termanage sesuai kondisi peperangan. Muhammad dapat secara cepat mengambil keputusan meskipun dalam kondisi terjepit sekalipun sehingga Muhammad sebagai seorang panglima perang pantas untuk mendapatkan pengakuan sebagai panglima perang hebat.

Kekalahan kaum muslimin dalam salah satu peperangan yang dilakukan menjadi pelajaran yang kemudian dari situlah menemukan kelemahan-kelemahan strategi yang Muhammad dan kaumnya lakukan. Dari kekalahan ini tidak membuat Muhammad bersama pasukannya lantas meninggalkan peperangan dan menyerah begitu saja pada kekuatan lawan, yang terjadi justru sebaliknya, ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, kemudian mengevaluasi peperangan yang telah dilakukan untuk menemukan strategi peperangan yang lebih efektif dan efesien tanpa harus mengorbankan nyawa dan harta yang berlebih.

Dari kisah Muhammad dan kaumnya diatas, merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan eksistensi Islam atau istilahnya jihad. Dalam konteks saat itu, jihad direpresentasikan dalam bentuk berperang melawan musuh dan mendapatkan kemenangan untuk kesejahteraan dan kemerdekaan Islam untuk masyarkat dunia, karena Islam lahir pada dasarnya adalah rahmatal lil ‘alamin yang akan memberikan rahmat kepada semua alam semesta, tidak hanya manusia saja, tetapi binatang, tumbuhan serta mahluk hidup lainnya yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Intinya bahwa jihad dengan berperang seperti yang Muhammad lakukan adalah untuk kesejahteraan kolektif semua makhluk.

Perkembangan pemahaman terhadap jihad pasca jihad Hasan Al Banna terjadi diluar control. Beragam perkembangan itu selanjutnya mendorong sekelompok dai untuk memulai apa yang di akhiri oleh Hasan al Banna. Mereka kemudian tidak merasa puas dengan hukum dasar jihad yang hanya, menurut Hasan al Banna, faridah saja, tetapi menambahi kata sandang di depannya untuk memperkuatnya sehingga menjadi al faridah serta memperluas basis yurisdiksinya, sebagai sebuah perkembangan baru dari jihad, menjadi media penebaran Islam dan penyelamatan Negara-negara Eropa dari kungkungan kapitalisme dan setan dunia lainnya serta melakukan penyembuhan terhadap pemujaan terhadap personal dan menggantinya menjadi penyembahan kepada Allah SWT, satu-satunya tuhan yang harus disembah.

Jihad semacam ini kemudian mendorong mereka untuk ‘berjihad fi

sabilillah’ melawan Negara ang dalam pandangan mereka tidak memakai hukum

semacam inilah kemudian banyak Negara-negara yang di black list untuk menjadi objek jihad.

Sebagai akibat fatalnya. Mereka kemudian terpeleset pada usaha-usaha pembunuhan terhadap aparatur, termasuk pembunuhan kepala Negara, pembantaian orang-orang non muslim, pengeboman tempat-tempat wisata religi non muslim, penghancuran tempat hiburan, perampokan toko-toko dan tindakan anarkhis lainnya yang tidak jauh berbeda dengan tindakan mafia.

Pada titik inilah kemudian kita akan sampai pada pemahaman bahwa, diakui atau tidak, persoalan jihad merupakan problem yang paling controversial dari sejak zaman dahulu sampai sekarang. Diskursus mengenai jihad telah mencapai banyak interpretasi sehingga kemudian sekarang dikonsepsikan sebagai ajaran yang mengajarkan kekerasan untuk mempertahankan diri. Ini merupakan pengertian yang paling kurang tepat, dan wajar bila Jamal Al Bana27 kemudian mengatakan bahwa di era modern ini jihad menjadi wacana yang di dzalimi, baik oleh kalangan pro maupun kontra syari’at. Juga di dzalimi di dalam dan di luar Islam, serta paling disalahtangani pula oleh kaum orientalis Barat dan kalangan organisasi Islam sendiri.

Penyebab adanya kesalahan ini, berangkat dari pencampuradukkan antara perang (wars/qital) dengan jihad. Pengertian diantara keduanya dicampur aduk sehingga, sebagai akibatnya, anggapan setiap orang, baik muslim ataupun bukan perang merupakan manifestasi dari jihad, keduanya berhubungan erat sebagai arti yang sejiwa. Lebih jauh lagi, konsep jihad ini lebih didominasi oleh

27 Jamal Albana, 2005, Al Jihad, Dar al-Fikr al Islam, penerj. Kamran A. Irsyadi, Pilar Media, Jogjakarta, hal. xx

peperangan, dan perang merupakan bagian terpenting dari jihad. Interpretasi semacam inilah yang kemudian membuat kesalahan pemahaman dan keluar dari konteks yang sebenarnya diharapkan.

Ini merupakan kesalahan penafsiran yang sangat vatal, sehingga segala sesuatu yang terkait dengan perang merupakan upaya untuk berjihad. Pada dasarnya, jihad adalah terminology yang memiliki akar kata dan derivasi bahasa yang menunjukkan muatan tertentu, dan lebih lanjut memiliki sarana dan target yang menunjukkan atau diingini muatannya. Sementara perang (wars/qital) merupakan akar kata dan derivasi bahasa yang menunjukkan muatan tertentu yang berbeda dengan asal kata jihad, begitu juga sarana dan targetnya. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa antara jihad dan perang merupakan wilayah yang berbeda baik secara terminology ataupun aksiologi.

Diantara keduanya (jihad dan perang) tidak selalu berjalan beriringan, meskipun dalam beberapa kasus tertentu kemudian dapat dijumpai pertemuan antara keduanya. Masing-masing memiliki tujuan dan target yang berbeda. Lebih lanjut, Jamal Albana kemudian memisahkan keduanya sebagai deduktif induktif, yakni jihad sebagai sesuatu yang pokok (dalam konsepsi umum), sementara perang merupakan bagian dari jihad yang dapat dilakukan apabila mendesak dan memang diperlukan sekali. Artinya, perang merupakan bagian terkecil jihad yang hanya dan hanya boleh dilakukan apabila dalam kondisi terdesak dan memang diperlukan sekali.

Satu contoh yang diambil dari kisah Rasulullah misalnya, bahwa Rasulullah bersama sahabatnya telah melakukan jihad di tanah Makkah selama

13 tahun dengan menggunakan sarana-sarana jihad yang mengandung pendekatan hikmah, mau’idzah hasanah, nasihat, petunjuk, ketabahan dan militansi.

Sampai disini kemudian dapat diambil makna yang sesungguhnya dari jihad itu sendiri, serta sejauh mana perang memiliki kaitan dengan jihad. Dan tentunya persoalan jihad ini tidak akan membuat penganutnya terjebak pada model jihad yang mengutamakan heroisme sesaat dengan mengorbankan banyak nyawa dan dengan hasil yang percuma.

Kesalahan penginterpretasian dari kata dan makna jihad ini lebih disebabkan karena dari para pengkajinya hanya mengambil satu referensi ayat atau beberapa ayat dan hadits tanpa menghiraukan hadits atau ayat yang lainnya. Pun kesalahan dapat ditemui ketika menafsirkan / menterjemahkan ayat tersebut dengan mengesampingkan kontekstualitasnya. Makna yang tersirat secara implicit tidak tersentuh oleh para pengkajinya.

Wacana sepenting jihad ini, seharusnya dalam membahasnya tidak hanya membahas satu persatu ayat atau hadits saja, tetapi harus dikaji secara keseluruhan dan menemukan ayat atau hadits lainnya yang terkait dengan makna jihad dan tidak ketinggalan pula untuk menterjemahkan dengan melihat kontekstual historisnya. Hal ini karena persoalan jihad merupakan persoalan yang penting yang seharusnya tidak disalahartikan karena menyangkut masa depan Islam sendiri serta penganutnya secara keseluruhan.

Jihad berperang saat itu merupakan sebuah hal yang sangat diidamkan oleh para pengikut Muhammad (baca : sahabat), hal ini di dasarkan pada doktrin yang diajarkan oleh Islam bahwa orang yang meninggal dalam peperangan untuk membela Islam maka baginya ditempatkan di tempat tertinggi yang ada di sorga. Untuknya diampuni segala dosa yang pernah dia lakukan. Bahkan untuk menghormati syahid (orang yang meninggal dalam peperangan untuk membela Islam), Rasulullah melarang untuk mengganti kain yang dikenakannya dengan kain kafan dalam proses pemakamannya, jenazah para sahabat yang sahid dibiarkan tetap menggunakan pakaian yang digunakannya ketika meninggal, bahkan dimandikanpun tidak. Alasannya adalah dengan pakaian yang dikenakan itu, dengan kondisi meninggal yang seperti itu dapat dijadikan saksi ketika berada di akhirat kelak. Pakaian yang dikenakan pada saat meninggal itu akan bersaksi bahwa si pemakainya menggunakan baju tersebut untuk mencari kesyahidan, darah yang mengalir akan berkata bahwa darah tersebut keluar karena digadaikan demi kejayaan dan keutuhan Islam.

Jihad merupakan kewajiban untuk semua orang Islam, semua muslim wajib melakukan pembelaan ketika Islam sedang diserang oleh lawan, tidak ada kata tidak untuk itu. Dalam kondisi apapun orang Islam harus turut serta melakukannya. Tujuannya adalah agar Islam sebagai agama tetap terjaga keutuhannya untuk kesalehan kolektif semua makhluq.

Saat itu ketika jihad dilakukan dengan berperang merupakan langkah yang paling tepat. Ini semua disebabkan karena musuh yang menentang Islam telah tampak di depan mata. Musuh yang diperangi merupakan orang yang sama

seperti yang lainnya. Para musuh Islam muncul dengan senjata yang lengkap saat itu untuk bagaimana mampu menjatuhkan Muhammad.

Dan secara sosio psikologis ini merupakan hal yang lumrah dan manusiawi mengingat bahwa secara psikologis orang akan mengalami kegoncangan jiwa yang selanjutnya akan melakukan perlawanan ketika dirinya, orang tuanya, anak-anaknya atau apapun yang dia cintai diserang, dilawan, dihina dan sebagainya secara membabi buta oleh orang yang bahkan tidak dikenalnya.

Artinya, sugesti yang timbul untuk melakukan jihad berangkat dari adanya kecintaan yang berlebih (islamoholic) terhadap Islam yang selanjutnya merasa tidak terima ketika Islam yang nota benenya dicintainya itu harus dihina dan dilawan.

Kecintaan terhadap Islam oleh penganutnyapun memiliki alasan yang tepat, yakni bahwa Islam yang mereka anut oleh mereka dipercaya mampu membawa ke arah tata sosial yang lebih baik dibandingkan tata sosial yang telah ada. Meskipun mereka percaya bahwa Islam tidak hanya mengatur kehidupan sosial saja, tetapi juga bidang ubudiyah yang mengatur tata hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq yang menciptakannya.

Ini semua mereka lakukan karena mereka telah jenuh dan bosan dengan system sosial yang sedang berjalan, dimana system sosial ini cenderung kapitalistik, feodalistik, imperialistic dan patrialistik. Dibidang ubudiyah mereka telah dikenyangkan dengan kebohongan berhala yang mereka anggap memiliki kekuatan gaib yang mampu memberikan keberkahan hidup dan ketenangan jiwa

yang pada nyatanya hanya merupakan batu yang dibentuk sedemikian rupa hingga seolah tampak memiliki charisma.

Dari sinilah kemudian mereka meyakini, bahwa Islam mampu membawa mereka pada satu aturan baru yang memungkinkan untuk mendapatkan pencerahan jiwa dan kesalehan kolektif serta mencapai tata sosial yang humanis, pluralis, agamis sesuai yang dijanjikan Islam sendiri.

Kembali pada persoalan jihad, bahwa, sekali lagi, wajar saja jihad dilakukan saat itu dengan berperang, karena musuh utama saat itu adalah orang yang masih menggunakan kekuatan fisiknya untuk menghancurkan Islam secara serta merta. Kekuatan militer seringkali digunakan sebagai upaya agar Islam beserta pemimpinnya dan bala tentaranya tertawan dan dibunuh sehingga jamur Islam tidak dapat tumbuh kembali.

Islam bagi sebagian besar masyarakat Arab dan sekitarnya saat itu merupakan virus yang mudah menyebar, sehingga para pembesar suku yang tidak menyepakati munculnya Islam selalu mencari formula baru untuk mendapatkan antivirus yang mampu membunuh virus Islam itu. Ini sangat wajar mengingat ketika Islam maju dan berkembang pesat maka secara politis pemimpin suku yang tadinya menempati urutan pertama dalam tata politik sukunya untuk kemudian dapat tergeser pada nomor-nomor terbelakang, karena mau tidak mau ketika Islam muncul dan berkembang dalam satu wilayah tertentu, maka Muhammad adalah orang yang akan mereka elu-elukan sebagai pemimpin mereka.

Secara sederhana, perlawanan yang muncul dari arah luar Islam adalah disebabkan karena kepentingan politis dimana para pembesar suku tidak mau kemudian disingkirkan dari posisinya sebagai pemimpin.

Untuk selanjutnya, seringkali selain pertentangan fisik yang dilakukan, penyerangan dengan model pengguliran wacana islamophobia juga sering muncul di masyarakat sebagai langkah antisipatif terhadap masyarakat wilayah tertentu oleh para pemimpinnya agar Islam tidak mampu menembus wilayah sosial daerah tersebut.

Misalnya dengan pengguliran wacana bahwa Islam merupakan agama militer yang selalu berperang untuk mendapatkan wilayah dan mendapatkan penghasilan tambahan dari tanah jajahannya. Islam merupakan agama eksploitatif yang akan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di tanah yang telah ditaklukannya. Orang-orang yang setia terhadap Muhammad hanya didasarkan pada harapan memperoleh tanah jajahan dan mengumpulkan harta rampasan perang dari peperangan yang dilakukan.

Pertentangan dengan pengguliran wacana semacam inilah yang kemudian membuat Islam akan semakin terpojok posisinya ketika memasuki wilayah yang telah bergulir wacana semacam ini.

Pada konteks hari ini, jihad yang harus dilakukan kalau kita akan mengikuti sunnah nabi Muhammad adalah dengan melawan hawa nafsu yang muncul dalam diri kita sendiri. Artinya setiap hawa nafsu yang muncul dari dalam hati kita yang tentunya menjebak kita dalam kebahagiaan sementara di

dunia merupakan jihad yang pahalanya sama dengan orang yang mati dalam peperangan ketika orang Islam mampu melawan hawa nafsu yang muncul.

Untuk mendapatkan penafsiran baru terhadap berbagai konsep jihad yang muncul hari ini, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah melakukan analisis geososiopolitik. Hal ini terkait bahwa Islam merupakan satu dari berbagai system ideology yang muncul dan berkembang di dalam tata politik dunia.

Dalam bukunya, The Clash of Civilization, Samuel P. Huntington melakukan analisis kritis terhadap perkembangan politik dunia pasca perang dingin. Dalam masa perang dingin kekuatan antara blok Timur yang direpresentasikan oleh kekuatan Uni Soviet (USSR) dan kekuatan Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat (USA) mengalami masa yang tegang dan menegangkan. Meskipun dalam perang dingin (cold war) yang terjadi saat itu tidak memunculkan perang terbuka, namun berbagai konflik politik yang terjadi di setiap belahan dunia tidak bisa dilepaskan dari kedua kekuatan tersebut.

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 73-118)