• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realitas Konstelasi Geopolitik Hari Ini

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 121-133)

KONSTELASI GEO SOSIO POLITIK DAN GEOGRAFI SOSIO RELIGIUS NASIONAL

B. Realitas Konstelasi Geopolitik Hari Ini

Sebelum membicarkan posisi dan peran stategis Inonesia dalam kontalasi politik internasional, terlebih dahulu perlu dibicarkaan bentuk dari system internasional itu sendiri serta gerakannya dan sejarah pemikirannya.

Dalam sejarah perkembangan Negara bangsa Indonesia dari dulu tidak dapat dengan begitu saja terlepaskan dari konstelasi geopolitik, Indonesia mempunyai peran strategis dalam wilayah perpolitikan global sejak awal berdirinya. Dari bukti-bukti sejarah yang ada, Indonesia banyak disusupi wacana-wacana dan system perpolitikan global yang terkadang berwatak imperalis dan kapitalis. Satu hal yang sungguh menjadi problem terbesar bagi bangsa.35

Terkadang bangsa Indonesia terlalu bangga ketika harus menelan wacana-wacana ideology yang datang dari Barat, sampai-sampai terkadang, baik Negara ataupun rakyatnya, tidak menyadari bahwa Indonesia telah masuk dalam kungkungan hegemoni yang dilakukan Barat. Sebagai dampaknya, Indonesia tidak hanya masuk dalam lingkungan hegemoni Barat akan tetapi secara tidak sadar kemudian masuk dalam wilayah imperialisme dunia yang sangat hegemonic. Menjadi bagian dari objek imperialisme yang dilakukan oleh Barat.

35 Hasyim Wahid dkk, 1999, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, LKiS, Jogjakarta, Hal. 3

Dampak turunannnya, Indonesia selalu dikendalikan oleh Negara-negara Barat dalam wilayah sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, ideology dan sebagainya. Tidak ada kemandirian dalam wilayah itu, karena segala sesuatu terkait dengan hal tersebut diatas telah disetting sedemikian rupa untuk selanjutnya menjadi bagian pendukung kelestarian budaya imperialisme dan neoimperialisme Barat terhadap Negara dunia ketiga. Telikungan imperalisme hegemonic ini yang kemudian menelusupkan akar serabutnya kesetiap Negara-negara yang baru berkembang dengan kemasan yang sangat apik berupa kapitalisme global.

Kapitalisme dalam sejarah perkembangannya di nusantara selalu saja mendominasi sebagai watak ideology terbesar. Berbagai bidang kehidupan tidak terlepas dari kungkungan kapitalisme global dari dulu hingga sekarang. Sebagai imbas dari semua itu, banyak kemudian kebudayaan local yang di banggakan oleh Indonesia sebagi produk local yang mendunia secara perlahan-lahan mulai terseret pada jurang kehancuran dan lambat laun semakin hilang terkikis oleh kemasan kapitalisme dalam bentuk budaya popular (popular culture).

Program utama budaya popular adalah menghapuskan ‘negara’ dalam artian yang lain, yakni menghilangkan batas geografis tiap Negara dengan menyeragamkan kebudayaannya. Setiap kebudayaan dalam setiap Negara tolok ukurnya sama, yakni budaya popular itu sendiri. Untuk kemudian, setelah semua Negara memiliki kebudayaan yang sama, sebagai efek samping atas merebaknya budaya popular itu adalah hilangnya kearifan local dan tradisi local yang ada disetiap Negara.

Sebagai contoh sederhana misalnya, hari ini orang akan cenderung lebih menyukai menonton televisi dengan berbagai kemasan acaranya seperti musik dan lainnya dibandingkan harus menonton wayang kulit atau lenggeran semalam suntuk yang diadakan oleh masyarakat sendiri. Atau lainnya misalnya, balet dan sexy dance lebih popular dikalangan masyarakat dibandingkan dengan jaipongan atau tarian daerah yang mengandung unsure seni lebih dalam.

Penguasaan sector budaya ini agaknya menjadi penyakit yang paling menyakitkan. Apa yang kita miliki sebelumnya sebagai kebudayaan yang lebih tinggi disbanding kebudayaan lainnya pada awal berdirinya, dengan serta merta hilang begitu saja tergilas oleh kemasan budaya kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi dan menelanjangi kebudayaan kita.

Belum lagi penguasaan kapitalisme di bidang politik yang mencolok terlihat jelas. Dari sejak berdaulatnya Indonesia sebagai Negara bangsa (nation

state) telah banyak kejadian sejarah dalam bidang politik yang dicampurtangani,

direkayasa bahkan dibuat sedemikan rupa oleh kapitalisme. Dan kadang kita tidak menyadari hal itu, anggapan kita itu hanya merupakan benturan politis antar tokoh di Negara kita. Sebut saja misalnya tragedy berdarah G30S/PKI yang penuh trik intrik oleh tokoh nasional yang disetting oleh kapitalisme, runtuhnya orde lama yang di pimpin Soekarno dan naiknya rezim orde Baru Soeharto, sampai kejadian turunnya Soeharto sebagai jenderal Besar penguasa Orde Baru.

Artinya, dari sini dapat diketahui bahwa konstelasi politik nasional berkibar dibawah bendera kapitalisme global. Untuk mengenal lebih dalam sejauh mana pengaruh yang masuk ke Indonesia sebagai dampak percaturan dari

geopolitik, mungkin akan lebih baik ketika mengkaji terlebih dahulu sepak terjang benturan antar ideology politik sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Di mulai dari Perang Dunia II yang membagi kekuatan dunia menjadi dua blok, antara blok Barat dengan Amerika Serikat dan Inggris sebagai representasinya, dan blok Timur yang di jendrali oleh Uni Soviet. Pembagian ini didasarkan atas ambisi keduanya untuk menguasai dunia sebagai kekuatan hegemonic yang terbesar sehingga akses sosial politik berada dibawah control salah satu diantara keduanya.

Perang Dunia II selain perang terbuka antara dua kekuatan terbesar di dunia ini, ada juga perang dingin sebagai titik akhir dari bentuk perang terbuka. Kedua kekuatan ini tidak pernah terlihat perang dalam satu medan. Tetapi di balik perang-perang kecil dalam beberapa negara di dunia, peran dari kedua kekuatan ini tidak bisa dihindari. Kasus terpecahnya korea, antara Korea Utara yang beraliran ala Uni Soviet dan Korea Selatan yang ideologinya sama dengan apa yang dianut oleh orang Barat. Perang Vietnam juga sama halnya, dan perang-perang besar lainnya seperti kasus di buatnya Tembok Berlin di Jerman untuk membagi Jerman Timur dan Jerman Barat.

Dua kekuatan ini selain bersaing dalam perang, juga ada kompetisi ideology yang mendasari terjadinya perang. Amerika Serikat dengan ideology kapitalisme-nya mencoba menjadi satu kekuatan terbesar yang menghegemoni dunia. Demikian juga Uni Soviet dengan ajaran komunisme-nya. Kalau kapitalisme sudah membudaya saat itu dan menjadi tatanan dunia baru di Barat, maka komunisme yang di gagas Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Das

Kapital datang sebagai pembanding yang hendak meruntuhkan tradisi kapitalisme yang cenderung eksploitatif dan imperialis.

Dari sini menarik apa yang dikaji oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Third Ways, dari adanya dua kekuatan besar yang mencoba mendapatkan posisi dalam kancah perpolitikan dunia. Anthony Giddens36 dalam pemikirannya perlu ada satu jalan lain yang harus ditempuh oleh negara-negara yang tidak terlibat dalam dua kekuatan ini. Jalan Ketiga yang di gagas oleh Giddens sebagai langkah yang solutif bagi negara-negara lain yang tidak ingin melibatkan dirinya, termasuk Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktifnya. Terlepas dari apakah Giddens menulis The Third Ways untuk kepentingan seperti ini atau tidak, yang jelas karena ternyata apa yang digagas oleh Giddens tepat ketika diaplikasikan dalam fenomena politik semacam ini, maka kita gunakan saja sebagai sebuah alternative yang solutif.

Sebenarnya langkah yang diambil oleh Anthony Giddens ini telah dirumuskan oleh Soekarno dan sahabatnya dalam bentuk pendeklarasian Gerakan Non Blok (GNB) yang mencoba melepaskan dunia ketiga dari pengaruh dua ideology besar ini. Dalam organisasi Gerakan Non Blok ini, Soekarno dan kawan-kawan dari Negara dunia ketiga lainnya kemudian menggagas pola baru perlawanan yang diserangkan untuk kedua blok dominant tersebut. Dapat dikatakan pada era Soekarno ini, peta politik dunia dibagi menjadi tiga kekuatan, yakni Blok Barat, Blok Timur dan gerakan Non Blok.

Setelah perang terbuka antara dua kekuatan besar ini, muncullah konsep perang baru yang disebut sebagai perang dingin. Yakni perang dengan tidak

menggunakan senjata. Perang dingin lebih didominasi dari persaingan intelektual dan perlombaan pembuatan senjata. Perang dingin ini membuat negara-negara yang tidak tergabung dengan dua kekuatan ini menjadi takut, apalagi dengan persaingan senjata nuklir yang dalam skala besar.

Dalam hal ini, Francis Fukuyama sebagai pengamat konstelasi geo politik dalam bukunya The End of History ‘memberikan ramalan’ bahwa setelah runtuhnya perang dingin ditandai dengan satu diantara dua kekuatan yang mendominasi maka akan muncul satu kekuatan besar yang menghegemoni dunia (unipolar). Amerika Serikat, sebagai pihak yang diunggulkan dalam tesis Fukuyama ini akan menjadi kekuatan terbesar yang pada nantinya akan menguasai dunia. Yang perlu digaris bawahi dalam ‘ramalan’ Francis Fukuyama ini adalah, menurutnya Amerika Serikat sebagai pihak yang menang akan menjadi satu-satunya kekuatan yang menjadi penguasa dunia.

Namun ternyata apa yang diramalkan oleh Francis Fukuyama ini bertolak belakang dari realitas yang terjadi sebenarnya. Setelah Amerika Serikat memenangkan perang dingin ditandai dengan runtuhnya negara Uni Soviet. Ternyata Amerika Serikat tidak menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menghegemoni dunia.

Samuel P. Huntington dalam tesis terbesarnya The Clash Of

Civilization, and the Remaking New Order, mendeskripsikan secara rinci,

termasuk kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi dalam konstelasi politik global yang sedang berlangsung ini.

Di awali dari runtuhnya Uni Soviet, maka secara resmi Amerika Serikat memenangkan Perang yang selama berpuluh-puluh tahun berlangsung. Setelah perang fisik semacam ini, kata Huntington37, dalam jangka waktu kedepan tidak terlalu mendominasi perang seperti perang dingin, perang yang akan terjadi adalah perang antar peradaban, bukan lagi perang antar negara dan seterusnya.

Setelah perang dingin berakhir politik internasional telah mengalami beberapa perubahan besar yang cukup mendasar. Perubahan yang paling mencolok adalah berubahnya system internasional bipolar menjadi suat system yang multipolar.

Semula perang dingin kerangka politik internasional dibentuk oleh dua negara adi daya, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling bertentangan. Konflik antara dua negara adidaya ini berskala global karena baik AS maupun US berusaha menarik negara-negara lain sebagai sekutu atau simpatisannya, atau setidaknya mencegah agar suata negara tidak masuk dalam lingkungan pengaruh pihak lawan. Konflik regional antara negara tetangga dan konflik nasional antara berbgai kelompok kepentingan, tidak jarnag ikut terseret dalam pertarungan antara kedua adi daya tersebut.

Dengan runtuhnya Uni Soviet, system politik bipolar yang telah hadir sejak berakhirnya perang dunia II juga telah menjadi sejarah. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adi daya sehingga sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa politik internasional akan menjadi unipolar dibawah suata Pax-Americana. Pada kenyataannya baik keinginan maupun kemampuan AS

37 Samuel P. Huntington, 2001, The Clash of Civilization, and the Remaking New Order, Mitra Pustaka, Jogjakarta, hal. 8

untuk menjadi pemimpin tunggal dunia juga semakin memudar. Robohnya Uni Soviet merupakan kemenangan bagi system politik AS. Namun kenyataannya, AS juga harus membayar sangat mahal untuk dapat tampil unggul dalam perang dingin.

Selama bertahun-tahun AS di bawah Partai Republik sangat kurang memperhatikan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri, sehingga masyarakat AS mengalami kemunduran yang cukup tajam dalam bidangini. Berakhirnya perang dingindilihat oleh masyarakat dan pemerintah AS yang baru sebagai kesempatan untuk mengatasi masalah-masalah di dalam negeri, sedangkan maslah internasional kurang mendapat perhatian yang serius.38

Inilah kecerobohan dan kekurangcermatan AS, dimana ketika setelah memenangkan perang dingin, AS yang berobsesi menjadi penguasa dunia malah berpaling dan berkonsentrasi mengurusi urusan dalam negeri di tengah kejayaannya. Akibatnya, AS secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada negara lain untuk membangun kekuatan dan peradaban yang tidak sepaham dengan AS, sehingga obsesi AS untuk menjadi satu-satunya penguasa dunia mengalami gangguan.

Huntington menganalisis factor eksternal dari tubuh AS dengan munculnya kekuatan yang multipolar di tengah konstelasi geopolitik hari ini. Setelah runtuhnya Uni Soviet, negara-negara bekas Uni Sovet yang pada awalnya berhaluan Islam kembali ke rumah lama. Negara-negara seperti Aljazair, Turkmenistan, Uzbekistan, Afghanistan dan sebagainya kembali pada Islam.

38 M. Dawam Raharjo, e.d, 1997, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional dalam Arus

Dari berpuluh-puluh kekuatan dunia yang ada, Huntington kemudian membaginya secara garis besar, kekuatan pertama, Kapitalisme Amerika, kedua kekuatan China dan yang terakhir dan paling actual adalah kekuatan Islam.

China yang kaya akan kebudayaan klasik, mampu menyihir dunia menjadi tercengang, bahkan hampir di setiap negara, budaya China tumbuh subur, dimana-mana Klenteng dapat berdiri, ramalan-ramalah Feng Shui laku laris di setiap pelosok dunia, produk-produk alternatif China bahkan menembus pasar internasional dan mendominasinya. Di dukung dengan letak geografis yang berpotensi untuk menjadi central pasar internasional, semakin memposisikan China, juga dengan kekuatan ekonomi, sosial budaya dan lainnya yang tidak lekang oleh zaman. Ini semua membuat Huntington menghitung China sebagai kekuatan yang akan mendominasi dunia, meskipun dengan strategi yang halus.

Sementara itu, Islam, yang sampai hari ini menjadi kekuatan kiri yang paling berbahaya bagi Amerika Serikat, disamping kiri lainnya, dengan jumlah penganutnya yang makin lama makin meningkat, membuat Islam semakin di perhitungkan juga. Apalagi dengan bangkitnya kekuatan negara-negara Islam. Iran yang dipimpin oleh pemimpin ‘keras kepala’ terhadap AS, Mahmoud Ahmadinejad, membangkitkan program nuklir, serta ilmu pengetahuan modern lainnya.

Bukan itu saja yang membuat Islam diperhitungkan oleh Huntington, Islam, khususnya yang ada di Timur Tengah, merupakan negara-negara penghasil minyak bumi yang besar dan potensial memenuhi kebutuhan minyak dunia. Selain minyak bumi, barang tambang lainnya Islam juga mendominasi.

Samuel P. Huntington sebagai seorang intelektual Amerika Serikat serta penasehat Gedung Putih telah berkiprah banyak dalam wilayah percaturan politik dunia. Selain dari buku The Clash of Civilization yang dimana dalam buku ini dia memprediksikan kondisi sosial politik masyarkat pasca perang dingin. Serta ramalan akan adanya benturan antar peradaban antara Barat yang teridi dari WASP (White Anglo-Saxon Protestant) dan Timur yang teridir dari Islam dan Confucianisme.

Pada buku ini, Huntington tidak secara terbuka mengatakan bahwa Islam dan Confucianisme merupakan musuh terbesar Amerika Serikat (Barat), akan tetapi ketika buku selanjutnya diluncurkan (Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, New York: Simon & Schuster, 2004) menyatakan dengan tegas bahwa musuh utama Amerika Serikat setelah perang dingin adalah Islam Militan. Serangannya tidak hanya Islam radikal, tetapi juga komunitas Islam yang tidak mau mengikuti Bush dianggap teroris. Bush dalam persoalan ini membaca hitam putih, melalui pernyataannya, "either you are with us or you are

with the terrorists", jelas menunjukkan bahwa Bush memberikan kesempatan

kepada setiap Negara dan organisasi massa lainnya yang memiliki jaringan global untuk menentukan sikap apakah akan mengikuti garis Bush atau mengikuti garis Islam. Antara kekuatan jahat (evil) dan kekuatan baik (good).

Bagi Bush dan Huntington, tragedi 11 September 2001 juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau pada masalah terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa

Presiden Pervez Musharraf di Pakistan dan militer Thailand di bawah Panglima Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratglin naik ke tangga kekuasaan melalui kudeta militer tidak lagi menjadi kendala dan penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi antiterorisme dengan kedua negara itu.

Dalam persoalan ini, Huntington mendukung agar AS/Barat melakukan preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah dijalankan Gedung Putih dengan menyerang Irak dan Afganistan serta mengintervensi Palestina, apalagi pada 2002 doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) telah secara resmi diumumkan. Kekuatan Islam militan di berbagai belahan bumi pun ''disikat'' oleh AS, dan yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau kelompok Al-Qaidah, melainkan mencakup juga banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS.

Pandangan Huntington mempengaruhi Bush, terutama persepsi bahwa apa yang dulu dilakukan oleh komunis internasional juga dilakukan kini oleh kelompok-kelompok Islam militan, seperti aksi protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Kalangan Islam militan juga melakukan kerja-kerja amal sosial dan kultural.

Analisis terhadap Amerika hari ini dan kedepan sebenarnya merupakan satu kemenangan bagi Negara-negara berkembang karena lambat laun sekutu Amerika akan lepas dari persekutuan. Australia misalnya, yang dahulu menjadi sekutu utama, sehidup semati dengan Amerika setelah John Horward yang menjadi Perdana Menteri cukup lama di negeri Kanguru telah kalah dengan

kekuatan Partai Buruh dan dalam kepemimpinan Partai Buruh ini Australia akan menempatkan Amerika sama dengan hubungan bilateral dengan Negara manapun. Kerja sama bilateral yang akan lebih ditingkatkan lagi oleh Australia adalah dengan China.

Australia dan China akan menguatkan basis militer, social, politik, pendidikan dan ekonomi masing-masing Negara dengan kerja sama bilateral yang lebih akrab lagi, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi sekutu. Kedua Negara ini akan terjalin intimitas hubungan yang tinggi karena Partai Buruh Australia dan Partai Komunis China memiliki korelasi yang mutualisten. Dimana ada keterkaitan secara politik dan gerakan diantara keduanya.

Australia sendiri, dalam waktu dekat akan menarik tentaranya yang berada di Irak yang membantu Amerika pada perang Irak tahun 2003 lalu. Ini merupakan wujud konkrit Australia mencoba menjauh dari hubungan intim bilateral Negara dengan negeri Paman Sam.

Sementara itu, Amerika dibawah pengaruh Bush yang masa jabatannya hampir habis akan kehilangan beberapa sekutu, sementara itu, senat dan parlemen Amerika telah dikuasai oleh Partai Demokrat, sehingga kemungkinan besar pasca Bush yang akan menduduki jabatan Presiden berasal dari Partai Demokrat yang kemungkinan akan lebih halus dalam hubungan internasional, tidak ambisius seperti yang dilakukan Bush terhadap Negara lain yang mengklaim diri Amerika menjadi Polisi Dunia (World Police) yang mempunyai hak menindak kasus hokum internasional dengan sanksi sekehendaknya.

Islam Indonesia tidak ketinggalan, dengan berbagai corak yang khas, menjadikan Islam Indonesia di tempatkan di garda depan, apalagi di dukung dengan status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia.

Dalam dokumen Rekonstruksi Nalar Religius (Halaman 121-133)