• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Keberadaan Makrozoobentos di Perairan

2.5.4. Derajat Keasaman (pH)

Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi pH. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun, pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut, 1992 in Effendi, 2003).

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Sementara menurut Nybakken (1988) lingkungan perairan laut memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5 – 8,4. Menurut Hawkes (1979) makrozoobentos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda-beda.

2.5.5. Suhu

Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nybakken, 1988).

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas (tegangan air), reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi (proses penguapan). Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat. Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003).

2.5.6. Salinitas

Salinitas menggambarkan padatan total dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas perairan tawar adalah kurang dari 0,5 ‰, perairan payau berkisar antara 0,5 sampai dengan 30 ‰ dan perairan laut antara 30 sampai dengan 40 ‰ (Effendi, 2003).

Menurut Nybakken (1988) salinitas mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam distribusi biota akuatik. Salinitas merupakan salah satu besaran yang berperan dalam lingkungan ekologi laut. Salinitas di daerah estuaria berkisar antara 7 – 32 ‰ yang bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke perairan yang akan mempengaruhi pola adaptasi dan kepadatan bentos.

Wibisono (2005) menyatakan salinitas merupakan salah satu faktor kandungan substansi dalam air muara yang sudah umum keberadaannya (conservative constituent) dan oleh sebab itu, konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh proses bio-geo-chemical, tetapi hanya dipengaruhi oleh proses pencampuran serta disebabkan oleh curah hujan lokal, proses evaporasi dan/atau pembekuan yang bisa mengakibatkan menurunnya salinitas. Menurut Odum (1993) gambaran salinitas di estuaria dapat berfluktuasi dan tergantung pada musim, topografi, pasang surut serta jumlah air tawar.

Levinton (1982) in Efriyeldi (1997) menyatakan bahwa penurunan salinitas di perairan estuaria mengubah komposisi dan dinamika populasi organisme. Tanggapan organisme terhadap salinitas berbeda-beda untuk setiap jenis. Distribusi dan kelimpahan zoobentos laut berhubungan dengan salinitas, kandungan bahan organik dan fraksi liat serta lumpur dari sedimen. Meadows and Campbell (1978) in Irawan (2003) adanya peningkatan dan penurunan salinitas di estuaria menyebabkan penurunan jumlah spesies plankton, hewan bentik dan tumbuhan air tawar.

Hewan bentik estuaria dapat digolongkan berdasarkan kemampuan adaptasinya (Meadows and Campbell, 1978 in Irawan 2003; Nybakken, 1988) yaitu: 1) Stenohaline merupakan spesies laut yang hanya mampu mentolerir salinitas sampai 30 ‰, contohnya Tellina tenuis, Cardium edule; 2) Euryhaline merupakan spesies laut yang mampu mentolerir salinitas di bawah 30 ‰, contohnya Carcinus maenas, Littorina littorea, Corophium valutator; 3) Spesies Air Payau, yaitu spesies yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 ‰ – 30 ‰, contohnya Sphaeroma rugicauda, S. Serratum, 4) Spesies Air Tawar, hewan yang umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 ‰ dan hanya terbatas di bagian hulu estuaria, contohnya Asellus aquaticus, Oligochaetes dan larva Diptera.

2.6. Sedimen

Menurut asal-usul sedimen dasar laut dapat dibedakan/digolongkan sebagai berikut (Wibisono, 2005):

1. Lithogenous

Jenis sedimen ini berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai.

2. Biogenous

Sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah tulang, gigi-geligi, dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. Komponen kimia yang sering ditemukan dalam sedimen ini adalah CaCO3

Calcareous terdiri dari cangkang-cangkang Foraminifera, Coccolithophore, dan Pteropoda. Cangkang Diatomae dan Radiolaria merupakan kontributor yang paling penting dari partikel Siliceous.

3. Hydrogenous

Sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang terlalu jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposit) di dasar laut. Contohnya endapan Mangan (Mn) yang berbentuk nodul, endapan Fosforite (P2O5) dan endapan Glauconite (Hidro Silikat yang bewarna kehijauan dengan komposisi yang terdiri dari ion-ion K, Mg, Fe dan Si).

4. Cosmogenous

Sedimen ini berasal dari luar angkasa di mana partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempunyai respon magnetik dan berukuran antara 10 – 460 m.

Jenis-jenis partikel sangat menentukan jenis hewan bentos yang mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen Pebles dan Granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda. Sedangkan untuk hewan jenis sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan kerang-kerangan (Bivalvia) dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan hewan cacing. Hal tersebut masih sebagai kemungkinan, sedang kenyataanya masih dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya tingkat kesuburan, ada tidaknya pencemaran sekunder yang dialami oleh sedimen, kecepatan arus dan sebagainya (Wibisono, 2005).

Sedimentasi dari bahan tersuspensi bergantung pada kecepatan arus dan turbulensi selama badai dan gelombang tinggi besar. Sedimen bisa tersuspensi pada area yang dangkal dan ditransportasikan ke daerah lain (Becker et al., 1992 in Schroeder, 2003).

Pada arus dengan kecepatan yang lemah dekat dengan dasar, material halus terdeposit, khususnya dalam daerah yang lebih dalam dan daerah yang lebih rendah seperti Lembah Pleistocene Elbe. Ini menunjukkan sebuah akumulasi setinggi 15 m kesatuan sedimen dalam lembah Pleistocene Elbe. Laju sedimentasi yang sebenarnya pada daerah ini tidak diketahui pasti, tapi diestimasi untuk sebuah rata-rata kurang lebih 10 cm per 100 tahun (Eisma, 1981 in Schroeder, 2003).

Berdasarkan ukuran/besar butir, maka sedimen dapat diklasifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Ukuran besar butir untuk sedimen menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005)

Nama Partikel Ukuran (mm)

Batu (Stone) Bongkah (Boulder) >256

Krakal (Coble) 64 – 256

Kerikil (Peble) 4 – 64

Butiran (Granule) 2 – 4

Pasir (Sand) Pasir sangat kasar (v. coarse sand) 1 – 2 Pasir kasar (coarse sand) 1/2 – 1 Pasir sedang (medium sand) 1/4 - ½ Pasir halus (fine sand) 1/8 - ¼ Pasir sangat halus (very fine sand) 1/16 - 1/8

Lumpur (silt) Lumpur kasar (coarse silt) 1/32 - 1/16

Lumpur sedang (medium silt) 1/64 - 1/32

Lumpur halus (fine silt) 1/128 - 1/64

Lumpur sangat halus (very fine silt) 1/256 - 1/128

Lempung (clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 - 1/256

Lempung sedang (medium clay) 1/1024 - 1/640

Lempung halus (fine clay) 1/2360 - 1/1024

Lempung sangat halus (v. fine clay) 1/4096 - 1/2360

Menurut Rhoads (1974) in Abdunur (2002) bahwa percampuran bioenergetik yang intensif terjadi di atas permukaan sedimen dasar. Sedangkan proses kimia seperti pembusukan, perombakan dan reduksi terjadi pada lapisan 10 – 30 cm di bawah permukaan dasar suatu perairan. Reaksi kimia yang terjadi dalam sedimen diantaranya adalah perubahan nilai derajat keasaman (pH) dan redoks potensial (Eh) sedimen.

Nilai derajat keasaman (pH) dan redoks potensial (Eh) sedimen dapat menunjukkan sifat fisika-kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik (Biggs, 1967 in Abdunur, 2002). Selain itu derajat keasaman pH dan redoks potensial (Eh) sedimen dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antara air dan sedimen. Pelapisan sedimen dasar berdasarkan pembedaan warna dan proses kimia yang terjadi menunjukkan nilai derajat keasaman (pH) yang menurun dengan bertambahnya kedalaman sedimen dalam mintakat oksidasi dan transisi,

namun nilai derajat keasaman (pH) ini akan meningkat dengan bertambahnya sedimen dalam mintakat reduksi (Goltermen, 1990 in Abdunur, 2002). Odum (1993) menyatakan bahwa dalam mintakat reduksi lebih banyak dijumpai Hidrogen Sulfida (H2S), Besi (Fe2+), Metana (CH4) dan Ammonia (NH3) yang diikuti pula oleh keasaman yang tinggi dan bau yang khas dari sedimen yang bewarna kehitam-hitaman.

Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar perairan dan bercampur dengan lumpur. Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organisme makrozoobentos. Jumlah dan laju penambahan bahan organik dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya organisme bentik tersebut (Wood, 1987). Dengan demikian, rendahnya kandungan bahan organik (C-Organik) dalam sedimen juga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kepadatan organisme makrozoobentos.

Wood (1987) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini juga berhubungan dengan lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan pada sedimen kasar mempunyai kandungan bahan organik yang lebih halus tidak dapat mengendap. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya organisme bentik. Sverdrup et al. (1946) in Abdunur (2002) mengemukakan bahwa butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai sedangkan butiran halus banyak dijumpai di perairan dalam atau perairan yang relatif lebih tenang.

Dokumen terkait