• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Makrozoobentos Secara Spasial 1. Estuaria Sungai Porong

DAFTAR LAMPIRAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Sebaran Makrozoobentos Secara Spasial 1. Estuaria Sungai Porong

Makrozoobentos yang ditemukan di estuaria sungai Porong sebanyak 17 jenis dari 6 kelas yaitu Gastropoda, Holothuroidea, Malacostraca, Nemertina, Pelecypoda dan Polychaeta. Estuaria ini memiliki pola kepadatan yang rendah di mulut sungai dan depan mulut sungai kemudian akan meningkat dan kembali turun di stasiun terjauh pada musim hujan.

Pola penyebaran makrozoobentos secara spasial tersebut mirip dengan hasil penelitian Abdunur (2002) di Pesisir Tanjung Sembilang, Kalimantan Timur, yang menyatakan bahwa perairan sungai dangkal dan arus sungai yang kuat menyebabkan organisme makrozoobentos terbawa ke arah muara dan laut sehingga akan menunjukkan kepadatan yang semakin tinggi ke arah laut akibat pengaruh aliran yang semakin kecil dan lebih tenang.

Pada musim kemarau curah hujan Sungai Brantas 25 mm/bulan sedangkan di musim hujan dapat mencapai 400 mm/bulan yang berpotensi menghasilkan 12 milyar m3/tahun (Sunarhadi et al., 2001). Menurut Schroeder et al., (2004) pada musim hujan 80 % debit air Sungai Brantas dialirkan ke Sungai Porong sehingga debitnya dapat mencapai 600 – 1.200 m3/s.

Perbedaan curah hujan dan debit air pada kedua musim tersebut akan berpengaruh pada pola sebaran makrozoobentos secara spasial dari mulut sungai ke arah laut. Gambar 9 berikut menyajikan pola sebaran makrozoobentos pada estuaria Sungai Porong.

Gambar 9. Pola Penyebaran Makrozoobentos Secara Spasial Estuaria Sungai Porong

Pola sebaran spasial pada musim hujan dengan simbol garis bewarna hitam (Gambar 9) memiliki kepadatan yang rendah di depan mulut sungai yang dapat disebabkan adanya pengaruh tekanan ekologis berupa arus. Arus pada musim hujan akan lebih deras bila dibandingkan dengan musim kemarau karena masukan air yang meningkat dari daratan.

Menurut Nybakken (1988) arus akan dapat mempengaruhi pola penyebaran organisme. Akibat adanya arus yang kuat partikel substrat dapat teraduk dan tersuspensi kembali. Hal ini sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat.

Besarnya pengaruh debit air dan arus dapat diindikasikan oleh salinitas yang relatif rendah pada wilayah ini. Sedangkan salinitas yang rendah dapat menunjukkan adanya pengaruh aliran sungai yang tinggi. Menurut Nybakken (1988) salinitas di daerah estuaria bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke perairan yang akan mempengaruhi pola adaptasi dan kepadatan bentos. Arus yang lebih kuat di musim ini didukung juga oleh data BMG Perak Surabaya dan BMG Juanda yang menyatakan bahwa debit air Sungai Brantas (Kali Porong)

memiliki debit air lebih besar pada bulan maret 2006 dibandingkan di bulan Juli 2006 (Katmoyo, 2008).

Makrozoobentos yang ditemukan pada wilayah ini didominasi oleh kelas Pelecypoda dan terdapat Polychaeta dengan kepadatan yang rendah. Menurut Nybakken (1988) Bivalvia merupakan Moluska yang cenderung menetap pada suatu tempat. Mereka dapat menghuni berbagai habitat karena mempunyai mekanisme adaptasi yang cukup baik untuk melangsungkan berbagai kehidupannya.

Jenis-jenis cacing dari kelas Polychaeta umumnya mendominasi dasar perairan berlumpur sedangkan dasar berpasir umumnya banyak dijumpai jenis Moluska dari kelompok kerang-kerangan seperti suku Tellinidae (Kastoro, 1984 in Mudjiono, 1998). Dasar perairan yang banyak didominasi pasir ini memungkinkan jenis Tellina sp. untuk bertahan hidup karena pasir memiliki massa jenis yang lebih besar sehingga akan relatif stabil bila terdapat gangguan arus. Menurut Nybakken (1988) organisme bentik yang hidup pada substrat berpasir cenderung mengubur diri. Hal ini memungkinkan pengaruh arus menjadi lebih kecil.

Pada musim hujan dengan arus relatif lebih kuat Polychaeta masih dapat bertahan hidup karena dapat bergerak aktif melawan arus dan bersembunyi pada substrat untuk menghindari arus yang kuat. Menurut Suwignyo et al., (2005) Nereis merupakan subkelas Errantia yang dapat merayap pada celah batu dan karang, membuat lubang atau lorong dalam pasir dan lumpur serta ada pula yang membuat selubung. Selain itu jenis ini juga merupakan organisme yang dapat hidup pada perubahan lingkungan yang ekstrim.

Pada wilayah yang lebih jauh dari mulut sungai atau peralihan memiliki kepadatan lebih tinggi dari wilayah lainnya. Kepadatan yang tinggi ini didukung oleh faktor arus yang lebih kuat pada stasiun di depannya sehingga banyak bentos yang terbawa ke wilayah ini.

Semakin jauh dari mulut sungai maka pengaruh arus dari sungai semakin rendah. Edward and Ayyakkannu (1992) in Mudjiono (1998) juga menyebutkan bahwa kepadatan makrozoobentos berkaitan dengan arus yang bekerja di perairan tersebut. Umumnya makrozoobentos menyukai perairan berarus tenang dan

mempunyai sifat hidup melekat atau relatif bergerak yang berarti peningkatan kecepatan arus akan menurunkan kepadatan makrozoobentos di perairan.

Arus yang lebih tenang akan memiliki sedimen yang lebih stabil sehingga akan menjadi habitat yang sesuai bagi bentos yang hidup di dalamnya. Sverdrup (1946) in Abdunur (1997) mengatakan bahwa butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai sedangkan butiran halus banyak ditemui di perairan dalam atau perairan yang relatif lebih tenang. Arus yang tenang sangat disukai oleh jenis dari Pelecypoda karena menurut Suwignyo et al., (2005) sebagian besar kerang merupakan Ciliary Feeder karena dapat menjadi Deposit Feeder maupun Filter Feeder dengan silia yang memegang peranan penting dalam mengalirkan makanan ke mulut.

Salinitas yang relatif tinggi di wilayah ini juga merupakan faktor yang mendukung tingginya kepadatan makrozoobentos. Menurut Edward and Ayyakkannu (1992) in Mudjiono (1998) menyebutkan bahwa kepadatan makrozoobentos dikatakan tinggi di perairan estuaria apabila salinitas tinggi.

Salinitas yang tinggi tersebut akan disukai oleh jenis Tellina dan Corbula. Pada daerah Pasuruan yang dekat dengan daerah Porong, Jawa Timur, dua jenis Kupang yang biasa ditangkap oleh nelayan yaitu kupang putih (Tellina versicolor) dan kupang merah (Corbula faba). Kedua jenis kupang ini hidup di habitat laut dengan cara bergerombol di dasar perairan dengan substrat lumpur yang bercampur dengan pasir (Purwati, 2001 in Karimah, 2002). Hal ini dapat dianalogikan dengan pernyataan dari Fahliza (2007) yang mengungkapkan bahwa Corbula merupakan komoditas pangan dari hasil laut daerah Sidoardjo dan merupakan jenis yang hidup pada salinitas yang tinggi.

Selain salinitas dan arus, sedimen juga merupakan faktor yang mempengaruhi komposisi bentos. Sedimen di wilayah ini tersusun oleh lumpur bercampur pasir yang cukup sehingga cocok untuk kehidupan bentos jenis kerang dan cacing.

Wilayah ini banyak didominasi oleh jenis-jenis dari kelas Pelecypoda. Brenko (2006) in Fahliza (2007) kerang Corbula adalah jenis makrozoobentos yang memiliki masa hidup pendek dengan fekunditas tinggi karena memproduksi telur kecil dalam jumlah besar. Pembuahan telur di perairan terbuka diikuti

dengan perkembangan larva pelagis disertai dengan penyebaran. Tingginya penetapan larva yang sering kali muncul seperti recruitment boom, menjadikan kerang Corbula jenis yang dominan dalam jangka pendek.

Makrozoobentos dari kelas Pelecypoda bersifat Filter Feeder yang berfungsi sebagai alat pernafasan juga sebagai alat penyaring makanan. Makanan dari jenis ini berupa zooplankton kecil, fitoplankton dan bahan organik yang tersuspensi (NIMPIS, 2002 in Sulistiawan 2007). Oleh karena itu jenis kerang-kerangan akan lebih sesuai hidup pada wilayah ini.

Keberadaan Pelecypoda juga didukung oleh sedimen lumpur berpasir yang sesuai bagi habitatnya. Menurut Thorson (1957) in Barnes and Hughes (1999) menyatakan bahwa komunitas Tellina banyak muncul di perairan yang dangkal dengan dasar berpasir. Sedimen jenis ini akan cenderung memiliki oksigen yang lebih tinggi karena celah-celahnya yang lebih luas sehingga memungkinkan oksigen dapat masuk lebih banyak.

Menurut Wood (1987) kandungan oksigen relatif lebih besar pada jenis sedimen berpasir dibandingkan pada sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar.

Wilayah paling jauh dari mulut sungai atau zona laut memungkinkan pengaruh dari faktor pembatas berupa arus sungai relatif lemah. Hal ini terlihat dari salinitas yang relatif tinggi dibanding daerah di dekat mulut sungai.

Arus yang tenang memungkinkan adanya akumulasi bahan organik yang tinggi maupun bahan beracun lainnya hasil dari bawaan aliran sungai. Bahan organik yang tinggi di samping sebagai sumber makanan juga dapat menimbulkan tekanan ekologis dengan mempengaruhi penurunan oksigen terlarut dan menimbulkan gas beracun seperti CH4 dan H2S yang juga dapat menimbulkan tekanan ekologis. Oleh karena itu hanya organisme yang toleran terhadap keadaan tersebut yang dapat bertahan. Bahkan kehidupan Polychaeta akan semakin sesuai dalam keadaan lingkungan yang tertekan.

Pada musim kemarau ditemukan 12 jenis makrozoobentos pada estuaria ini. Pola sebaran spasial makrozoobentos musim kemarau berbeda dengan musim hujan yang cenderung linier dari mulut sungai ke arah laut. Sebaran antar sampling pun terdapat perbedaan dimana pada bulan Juli 2006 kepadatannya semakin rendah ke arah laut sedangkan pada bulan Agustus 2007 semakin tinggi ke arah laut. Pola sebaran yang berubah ini mengindikasikan adanya perubahan kondisi lingkungan.

Pada bulan Juli 2006 jenis makrozoobentos yang menyusun daerah mulut sungai terdiri dari jenis Pelecypoda dan Polychaeta yang masih menghuni hingga stasiun terjauh. Musim kemarau memiliki arus yang lemah sehingga memungkinkan makrozoobentos dapat bertahan hidup di wilayah ini. Selain itu posisinya yang dekat dengan sungai masih memungkinkan mendapatkan masukan bahan organik yang dibutuhkan makrozoobentos dari sungai. Semakin jauh dari mulut sungai maka masukan bahan organik dari sungai semakin rendah sehingga menjadi faktor pembatas di wilayah ini. Akumulasi bahan organik yang terjadi sebelumnya pada musim hujan menyebabkan proses dekomposisi yang menghabiskan banyak oksigen.

Faktor-faktor tersebut mengakibatkan kepadatan makrozoobentos rendah dan hanya jenis toleran yang dapat hidup di dalamnya. Jenis yang menghuni wilayah ini adalah dari kelas Polychaeta. Menurut Mason (1981) in Mudjiono (1998) partikel-partikel yang mengendap ke dasar juga dapat membahayakan kehidupan organisme dasar atau bentos karena di samping mengganggu sistem pernafasan juga dapat menimbulkan pembusukan yaitu terbentuknya asam belerang (H2S) yang dapat meracuninya. Menurunnya oksigen ini dapat diindikasikan oleh sedimen dengan tekstur lumpur yang hitam dan berbau. Wilson (1980) in Mudjiono (1998) mengemukakan bahwa masuknya bahan organik yang mudah terurai ke dalam suatu perairan cepat menurunkan kadar oksigen terlarut secara drastis sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme perairan.

Penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan akan meningkatkan kepadatan organisme anaerob (organisme yang mampu hidup pada lingkungan yang kekurangan oksigen) seperti Polychaeta karena kondisi yang buruk justru

merupakan habitat yang sesuai bagi organisme tersebut. Oleh karena itu keberadaan Polychaeta yang merupakan kelas penyusun satu-satunya dapat mengindikasikan adanya tekanan ekologis dan masuknya bahan organik yang tinggi.

Pola sebaran makrozoobentos bulan Agustus 2007 berkebalikan dengan musim kemarau tahun sebelumnya yang rendah di mulut sungai dan semakin meningkat ke arah laut. Rendahnya makrozoobentos di daerah mulut sungai mengindikasikan adanya gangguan di wilayah ini. Arus yang lemah di musim kemarau memungkinkan interaksi aliran sungai lebih banyak dengan mulut sungai dan sekitarnya serta terjadinya akumulasi bahan bawaan sungai.

Rendahnya kepadatan makrozoobentos di sekitar mulut sungai mengindikasikan bahwa bawaan aliran sungai menimbulkan tekanan ekologis bagi makrozoobentos. Hal ini juga dapat dilihat dari peningkatan kepadatan makrozoobentos pada stasiun-stasiun terjauh dari mulut sungai sehingga mengindikasikan pengaruh yang semakin kecil dari bawaan aliran sungai ke arah laut.

Pada bulan ini yang ditemukan hanya jenis Tellina radiata dan T. punicea yang mampu bertahan hidup. Menurut Nybakken (1988) bivalvia merupakan Moluska yang cenderung menetap pada suatu tempat. Mereka dapat menghuni berbagai habitat karena mempunyai mekanisme adaptasi yang cukup baik untuk melangsungkan berbagai kehidupannya.

4.2.2. Estuaria Sungai Wonokromo

Pola sebaran spasial makrozoobentos estuaria Sungai Wonokromo terhadap pengaruh musim relatif tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan Sungai Porong. Pada estuaria ini ditemukan 23 jenis dari 5 kelas makrozoobentos yaitu Gastropoda, Holothuroidea, Malacostraca, Pelecypoda dan Polychaeta. Hal ini menunjukkan bahwa estuaria ini lebih beragam dibandingkan dengan estuaria Sungai Porong yang hanya memiliki 9 jenis dari 4 kelas yaitu Holothuroidea, Malacostraca, Pelecypoda dan Polychaeta dari waktu sampling yang sama dengan estuaria Sungai Wonokromo dan 17 jenis dari 5 kelas makrozoobentos pada 5 kali

pengambilan sampel. Pola sebaran spasial makrozoobentos estuaria Sungai Wonokromo dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pola Penyebaran Makrozoobentos Secara Spasial Estuaria Sungai Wonokromo

Lebih banyaknya jenis makrozoobentos di estuaria Sungai Wonokromo menunjukkan bahwa estuaria Sungai Porong lebih mendapatkan tekanan ekologis. Semakin banyak jenis makrozoobentos yang hidup di estuaria maka kondisi lingkungannya lebih baik, karena menunjukkan semakin kecilnya suatu lingkungan berpeluang berada dalam keadaan ekstrim yang memungkinkan adanya dominansi. Menurut Odum (1993) dominan di dalam semua golongan ekologi akan nyata terjadi pada lingkungan yang ekstrim.

Kepadatan makrozoobentos rendah di mulut sungai kemudian meningkat dan kembali turun menuju arah yang semakin ke laut. Pola ini terdapat pada kedua musim dan sama dengan pola penyebaran spasial makrozoobentos di estuaria Sungai Porong pada musim hujan.

Kepadatan yang rendah di mulut sungai dapat diakibatkan faktor arus. Kemudian peningkatan kepadatan terjadi karena arus yang mulai melemah. Arus yang lemah memungkinkan terjadinya akumulasi bahan organik yang dibutuhkan oleh makrozoobentos.

Penurunan kepadatan makrozoobentos kembali terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh masukan bahan organik yang tinggi dan adanya dekomposisi bahan organik yang telah terakumulasi sebelumnya.

Pada wilayah peralihan secara umum didominasi oleh Pelecypoda yang bersifat Filter Feeder dan Deposit Feeder. Sifat ini lebih cocok pada daerah yang berarus tenang karena akan memudahkannya memakan deposit yang mengendap

dan menyaring bahan-bahan tersuspensi yang dibutuhkan sebagai makanannya. Akan tetapi jika bahan bawaannya berupa bahan beracun dan hasil erosi dapat mengakibatkan mortalitas tinggi dan tersumbatnya sistem pernafasan sehingga menjadi rusak dan menjadi penyebab kematian. Oleh karena itu dapat diduga bahwa bahan organik bawaan dari aliran sungai memiliki kandungan sangat tinggi sehingga kelas Pelecypoda dapat berkembang dengan baik. Kelas Polychaeta dari jenis Nephtys dan Notomastus juga mampu hidup karena pada substrat yang berlumpur cocok dijadikan habitat karena sifatnya yang deposit feeder.

4.2.3. Perbandingan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Kedua Estuaria

Pola penyebaran kepadatan dan jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan pada kedua estuaria disajikan pada Gambar 11 dan 12.

Gambar 11. Box Plot Sebaran Spasial Kepadatan Makrozoobentos (ind/m2) di Kedua Estuaria

Kisaran kepadatan makrozoobentos estuaria Sungai Porong pada Box Plot terlihat lebih rendah dibandingkan dengan Wonokromo namun median kedua estuaria hampir mendekati. Box Plot di atas juga menunjukkan bahwa pola penyebaran secara spasial pada estuaria sungai Porong memusat di bawah kepadatan 100 ind/m2 namun ada beberapa data outlier yang diduga akibat adanya perubahan lingkungan yang menimbulkan tekanan ekologis. Berdasarkan uji

Kruskal-Wallis, median kepadatan kedua estuaria tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pola sebaran kepadatan tidak terlalu berbeda nyata (Lampiran 18).

Gambar 12. Box Plot Jumlah Spesies Makrozoobentos yang Ditemukan di Kedua Estuaria

Box Plot di atas menunjukkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada estuaria Sungai Wonokromo lebih beragam dibandingkan dengan estuaria Sungai Porong. Namun berdasarkan uji Kruskal-Wallis didapatkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada kedua estuaria tidak berbeda nyata (Lampiran 18).

Jumlah spesies yang ditemukan pada estuaria Sungai Porong memusat pada satu spesies. Hal ini mengindikasikan adanya dominansi dan adanya tekanan ekologi yang berpengaruh terhadap organisme bentik.

4.3. Sebaran Makrozoobentos Secara Temporal

Dokumen terkait