• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Desa Katikuwai

Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau Kabupaten Sumba Timur, merupakan salah satu desa yang ada di dalam kawasan TNLW, dengan ketinggian 400 – 1225 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah desa Katikuwai sebesar 1.561 Ha. Desa Katikuwai berbatasan dengan Resort Katikutana.

Desa Katikuwai terdiri dari 4 dusun, yaitu dusun Matawai Watu, Pingi Ai Luri, Matawai Pataku, dan Laimbonah. Keadaan topografi Desa Katikuwai terdiri dari daerah pegunungan dan berbukit-bukit. Orbitasi jarak dari ibukota kabupaten, sejauh 96,5 km dan jarak dari ibu kota kecamatan sejauh 35 km. Kondisi sarana perhubungan masih sulit, dengan kondisi transportasi angkutan pedesaan yang berupa truk atau yang sering disebut bis kayu, yang didalamnya dicampur antara manusia dan hewan yang hendak diangkut (Gambar 3 ). Bis kayu yang ada hanya 2x seminggu datang ke Desa Katikuwai.

Gambar 3 Transportasi bis kayu (truk).

4.1.1 Karakteristik masyarakat

Berdasarkan hasil data kependudukan di Desa Katikuwai pada tahun 2010, diketahui bahwa penduduknya berjumlah 1342 orang yang terdiri dari 269 kepala keluarga, dengan rincian:

a. Laki-laki : 665 orang b. Perempuan : 677 orang

Berdasarkan klasifikasi umurnya terbagi dalam 4 klasifikasi umur, yaitu: a. 0 – 5 tahun : 262 orang

b. 6 – 15 tahun : 331orang c. 16 – 60 tahun : 637 orang d. > 60 tahun : 112 orang

Data penduduk menurut mata pencahariannya terdiri dari: a. Petani pemilik tanah : 344 orang

b. Petani penggarap tanah : 344 orang c. Pengusaha : 10 orang d. Buruh bangunan : 25 orang e. Pegawai Negeri Sipil : 9 orang

Menurut data terbaru yang terdapat pada laporan tahunan Desa Katikuwai pada tahun 2011, diketahui bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk Desa Katikuwai menjadi 1.632 jiwa, yang terdiri dari 291 kepala keluarga, dengan pembagian jenis kelamin yaitu sebanyak 747 laki-laki dan 785 perempuan yang tersebar dalam 4 dusun, 8 RW, dan 16 RT.

Masyarakat Desa Katikuwai termasuk dalam etnis Sumba, yang terletak Di Sumba Timur. Desa Katikuwai yang terdiri dari 4 dusun (Matawai Watu, Pingi Ai Luri, Matawai Pataku, Laimbonah), 16 RT, dan 18 RW, berbaur menjadi satu meskipun mereka memiliki nama keluarga atau yang biasa disebut marga yang berbeda-beda. Nama keluarga yang ada yaitu: Tawiri, Anakariung, Anawaru, Lenggit, Nipa, Watu, Ngguada, Ana Ma Eri, Ana Mburung, dan Ana Purak.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Katikuwai berjalan tentram, damai, dan tanpa membeda-bedakan antara marga yang satu dan lainnya. Pola kehidupan gotong-royong telah mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya adalah kebiasaan ketika akan memulai menggarap sawah, kebun ataupun ladang. Orang terdekat seperti saudara atau tetangga akan datang untuk sekedar membantu membersihkan lahan yang akan digarap sebelum ditanami, dan yang memiliki lahan biasanya menyediakan suguhan berupa makanan dan minuman yang tersedia seperti jenis umbi-umbian dan minuman berupa kopi hitam, bahkan tidak jarang pemilik lahan juga menyediakan makan siang untuk orang-orang yang telah membantunya. Pada saat panen, biasanya sang pemilik lahan akan

membagi sedikit hasil panennya untuk keluarga dekat ataupun tetangga jika hasil panen berlebih.

Jarak antara rumah masyarakat relatif jarang. Biasanya jarak rumah berjarak kurang lebih 10 m antara penduduk yang satu dengan yang lainnya. Namun tidak jarang ada rumah penduduk yang jaraknya hingga ratusan meter. Hal ini tergantung dari seberapa luas pekarangan, ladang, sawah, dan kebun yang dimiliki masyarakat yang letaknya berdekatan dengan rumah. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, semakin jauh pula jarak antar rumah.

Sumba Timur termasuk Desa Katikuwai masih menganut sistem kerajaan. Masih banyak bangsawan berdarah biru yang juga keturunan raja. Namun, sistem kerajaannya tidak mempengaruhi terhadap kebijakan di suatu wilayah ataupun pada semua golongan masyarakat, tetapi mereka sangat dihargai karena keturunan darah biru. Sesuai perkembangan zaman, setiap keturunan raja yang memiliki panggilan nama Rambu yang ada pada nama depan.

Setiap keturunan raja juga menjalani kehidupan masyarakat pada umumnya seperti sekolah dan bekerja di tempat yang mereka inginkan. Perbedaannya, mereka memiliki pesuruh yang disebut “hamba”. “Hamba” juga dipilih berdasarkan keturunan terdahulu yang juga merupakan seorang “hamba”. Pada kehidupan sehari-hari “hamba” memiliki tugas untuk melayani keturunan raja dalam kehidupannya, akan tetapi “hamba” tetap disekolahkan oleh keturunan raja dan dibebaskan untuk bekerja sesuai bidang yang diminati. Kedudukan seorang “hamba” seumur hidup dan berlaku kepada keturunan-keturunan selanjutnya. Contohnya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari seorang “hamba” memiliki jabatan seorang dokter, tetapi dalam silsilah keluarganya, “hamba” tetap harus siap melayani seorang keturunan raja apabila sedang dibutuhkan.

Pola hidup keseharian masyarakat Desa Katikuwai diawali dengan meminum kopi hitam dan mengonsumsi jagung atau umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, dan keladi untuk sarapan sebelum mereka pergi ke kebun, sawah, atau ladang bagi para petani. Pukul 08.00 pagi para petani biasanya baru pergi menggarap lahan mereka dan istirahat makan siang di sawah, kebun, atau ladang mereka. pada saat makan siang, para petani membawa bekal lauk-pauk dari rumah. Para petani yang kebanyakan laki-laki, biasanya pulang dari sawah, kebun,

dan ladang hingga paling lama pukul 05.00 sore hari. Setelah itu, para petani biasanya beristirahat sejenak dan pergi berkumpul ke rumah tetangga, saudara ataupun rumah yang sedang dikunjungi tamu dari luar, untuk sekedar berbincang-bincang mulai pukul 07.00 malam hari hingga tengah malam, lalu mereka pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat, namun banyak juga yang menginap di rumah yang mereka kunjungi, kemudian esok harinya melanjutkan pekerjaannya masing-masing seperti bertani ataupun beternak.

Para ibu rumah tangga, dimulai pukul 05.00 dini hari, mereka telah memulai aktivitas menyiapkan kayu bakar untuk memasak air panas, menyiapkan sarapan, dan memasak makanan untuk makan siang yang bahan-bahannya diambil dari sekitar pekarangan atau kebun yang tersedia bahan pangan seperti bunga pepaya, daun singkong dan jenis tumbuhan lainnya yang dapat dimakan. Aktivitas selanjutnya, para ibu rumah tangga akan mengasuh anaknya di rumah jika memiliki anak yang masih kecil, akan tetapi jika memungkinkan, mereka akan membantu suaminya menggarap lahan di sawah, kebun, dan ladang.

Makanan yang diberikan kepada anak balita berupa makanan yang juga biasa dikonsumsi oleh orang dewasa seperti nasi dan sayuran. Kebiasaan mengonsumsi buah-buahan pada pagi hari, ataupun buah dijadikan sebagai sarapan telah terbiasa sejak dini. Kebiasaan ini dikarenakan kondisi persediaan makanan yang banyak tersedia berupa buah-buahan, baik yang sudah dipetik maupun mengambil langsung dari pohon yang ada di sekitar lingkungan rumah, contohnya adalah buah jeruk besar (Citrus maxima), mangga (Mangifera indica), pisang (Musa paradisiaca) dan kedondong (Spondias dulcis). Kebiasaan sarapan berupa buah-buahan telah menjadikan kondisi mereka tahan terhadap sakit perut.

4.1.2 Kepercayaan

Masyarakat sekitar kawasan TNLW merupakan masyarakat etnis Sumba yang dahulu menganut kepercayaan Marapu. Sekarang, kepercayaan Marapu tidak lagi dijalankan sebagai kepercayaan melainkan hanya sebagai adat istiadat. Kampung Lama dipercaya sebagai kampung nenek moyang mereka. Tradisi dan adat istiadat yang masih kuat dengan upacara adat seperti Belis untuk perkawinan, upacara penyembelihan untuk kematian, dan upacara adat lainnya. Belis merupakan unsur perkawinan berupa mas kawin.

Belis dianggap sebagai na buah ma an mone, simbol yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan mereka sebagai suami istri. Apabila seorang laki-laki telah menyerahkan sejumlah belis yang telah ditentukan dan disepakati bersama kepada pihak keluarga gadis, berarti keanggotaan perempuan itu telah berpindah dari kelompok kekerabatan orang tuanya ke kelompok kekerabatan suaminya.

Wujud atau jenis belis yang harus diserahkan berupa emas, perak, uang, binatang ternak (kerbau, kuda, babi), serta benda lain berupa bahan makanan (beras atau jagung). Besar kecilnya belis yang diserahkan dipengaruhi oleh status sosial keluarga pihak perempuan. Siapa yang akan menerima bagian belis pun ditentukan dalam musyawarah keluarga, biasanya orang tua si gadis, paman, saudara tua, dan ketua adat.

Menurut Tunggul (2005), kepercayaan Marapu atau roh leluhur adalah wujud kepercayaan etnik/suku Sumba, di daratan Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur. Budaya dan religi sulit untuk dipisahkan dalam budaya Marapu. Dalam budaya spiritual marapu, terdapat nilai norma atau kaidah kemasyarakatan yang disebut: “Lii Ndai”, atau institusi sosial dalam keesaan Marapu di Sumba, yakni seperangkat norma atau aturan-aturan resmi dalam kepercayaan marapu yang mengatur tentang tata krama, adat, sopan santun, tata susila aturan-aturan yang dikeluarkan para pimpinan, penguasa, pemerintah tradisional yang sedang berkuasa pada suatu tata ruang tertentu yang disebut nuku hara (hukuman aturan/ peraturan). Jika ditaati dikatakan baik, terpuji, membanggakan dan merasa puas. Sebaliknya, jika dilanggar mendapat sanksi sosial, dikatakan buruk, dicela, dicemooh dan menimbulkan konflik serta benturan sosial (Tunggul 2005)

4.1.3 Kondisi budaya

Menurut Gennep (1965) diacu dalam Kartiwa (1992) upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat dibedakan atas tiga tujuan pokok:

1. Memisahkan (separation), misalnya dalam upacara kematian. Dalam upacara tersebut untuk memisahkan orang yang sudah meninggal dari orang-orang yang masih hidup.

2. Menyatukan (incorporated), misalnya dalam upacara perkawinan. Menyatukan antara pasangan pengantin laki-laki dengan pengantin

perempuan, maupun menyatukan keluarga pihak laki-laki dengan pihak perempuan.

3. Tradisi atau peralihan (transition). Misalnya dalam upacara asah gigi, khitanan yaitu upacara peralihan dari masa sebelum mempunyai anak, mengandung hingga kelahiran bayi.

Menurut Tunggul (2005), terdapat beberapa upacara adat yang masih dijalankan oleh masyarakat di Sumba Timur, antara lain :