• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2.3 Tumbuhan Pangan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 Departemen Kesehatan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Menurut Sastapradja et al. (1977), menggolongkan tumbuhan pangan berdasarkan kandungannya, menjadi: 1) Tumbuhan yang mengandung karbohidrat; 2) Tumbuhan yang mengandung protein; 3) Tumbuhan yang mengandung vitamin dan 4) Tumbuhan yang mengandung lemak. Pengertian tanaman pangan menurut Depkes RI (1983) yaitu, kelompok tanaman yang biasa dikonsumsi sehari-hari oleh manusia, berupa sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien, vitamin, dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan komponen penting untuk diet sehat.

Tumbuhan pangan di Indonesia ada yang memiliki daerah penyebaran khusus hanya terdapat di daerah tertentu karena perbedaan iklim dan ada yang menyeluruh demikian pula dengan penggunaanya, selain memenuhi kebutuhan pangan dengan berbagai bentuk, digunakan pula untuk kepentingan lain (Moeljopawiro & Manwan 1992 ). Tumbuhan penghasil pangan dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

1. Komoditas utama, seperti padi (Oryza sativa), kedelai (Glycine max), kacang tanah (Arachis hypogaea), jagung (Zea mays) dan sebagainya.

2. Komoditas potensial, seperti sorgum (Andropogon sorgum), sagu (Metroxylon sp.) dan sebagainya.

3. Komoditas introduksi, seperti ganyong (Canna edulis), jawawut (Panicum viridae), kara (Dolichos lablab) dan sebagainya.

Pengaruh faktor sosial ekonomi cukup menonjol dalam peningkatan produksi tanaman pangan meliputi sumberdaya lahan, tenaga kerja dan modal. Pemilikan lahan di Indonesia umumnya sangat sempit, dan pada lahan yang tersedia ditanam berbagai jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan mereka (Moeljopawiro & Ibrahim 1992).

2.3.1 Jenis pangan

Jenis pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial dan alasan kesehatan. Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar atau kenyang, selera, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi, dan pendidikan (Riyadi 2001). Berikut ini beberapa jenis pangan yang disukai masyarakat diantaranya:

a. Kacang-kacangan

Kacang-kacangan merupakan biji-bijian yang dapat dimakan dari polong-polongan. Polong-polongan adalah anggota suku Leguminoceae yang memiliki polong/ legum. Kacang-kacangan utama yang dapat dimakan termasuk ke dalam anak suku papilionoidae (anak suku terbesar dari leguminosae) yang masih memiliki 450 marga dan 10000 jenis. Kacang-kacangan bermanfaat sebagai bahan pangan yang kaya protein (Maesen dan Somaatmadja 1993 diacu dalam Kartikawati 2004).

b. Buah-buahan

Buah-buahan merupakan komoditas yang besar dan beraneka ragam .Buah dapat dimakan dalam keadaan segar, maupun yang telah dikeringkan atau yang telah diolah. Buah-buahan umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah (tidak dimasak, matang dari pohonnya). Buah-buahan mengandung vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh, menyeimbangkan menu makanan, kaya protein, energi dan ada yang mengandung lemak (Kartikawati 2004).

c. Sayuran

Sayuran merupakan komoditas tumbuhan yang mengandung air. Sayuran biasanya dikonsumsi sebagai bahan makanan yang mengandung zat tepung dan kadang-kadang digunakan sedikit pada makanan untuk menambah rasa juga kelezatan makanan (Siemonsma & Piluek 1994 diacu dalam Kartikawati 2004). Jenis-jenis sayuran diantaranya: selada (Lactuca sativa), katuk (Sauropus androgynus), berbagai jenis kobis, kol (Brassica oleraceae), kangkung (Ipomea aqutica), dan jenis lainnya. Adapun jenis sayuran yang digunakan sebagai bumbu, yaitu bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), daun bawang (Allium ampeloprasum), seledri (Apium graveolens). Jenis tumbuhan yang fungsi sekundernya sebagai sayuran adalah daun pepaya (Carica papaya), daun ubi jalar (Ipomea batatas), jagung muda (Zea mays) dan daun singkong (Manihot utillisima). Jenis-jenis sayuran di atas merupakan jenis tumbuhan yang biasanya ditanam di kebun dan merupakan jenis tumbuhan hortikultura (Kartikawati 2004).

d. Palem-paleman dan Umbi-umbian

Jenis palem-paleman dan umbi-umbian biasanya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat. Flach dan Rumawas (1996) diacu dalam Kartikawati (2004) menyebutkan bahwa jenis tumbuhan pangan sebagai sumber karbohidrat merupakan jenis tumbuhan yang mengandung zat tepung atau zat gula yang digunakan sebagai cadangan makanan. Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam makanan untuk manusia. Beberapa jenis tumbuhan yang merupakan sumber karbohidrat diantaranya adalah sagu (metroxylon sp.), aren (Arenga pinnata) dan lain-lain yang merupakan jenis palem berkarbohidrat, kemudian ubi jalar (Ipomea batatas), singkong (Manihot utillisima) dan sebagainya yang merupakan umbi berkarbohidrat.

2.3.2 Kebiasaan konsumsi pangan

Kebiasaan konsumsi pangan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Almatsier (2004), kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari ketersediaan pangan di daerah tersebut yang pada umumnya berasal dari usaha tani. Selain

faktor ketersediaan pangan faktor sosial ekonomi dari masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan mereka.

Faktor sosial yang mempengaruhi antara lain: 1) keadaan penduduk suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin, dan geografis); 2) keadaan rumah tangga (besar rumah tangga, hubungan, jarak kelahiran); 3) pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang mempengaruhi antara lain: 1) pekerjaan (pekerjaan utama, pekerjaan tambahan); 2) pendapatan rumah tangga; 3) pengeluaran; 4) harga pangan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa et al. 2002).

2.3.3 Ketahanan pangan

Ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensional, yaitu adanya hubungan keterkaitan antara mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi.

Maxwell dan Frenkenberger (1992) diacu dalam Widiyanti (2007) menyatakan bahwa untuk mengukur ketahanan pangan dapat dilakukan dengan beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menjelaskan situasi pangan yang ditunjukkan dengan ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) dan indikator tak langsung (penyimpangan pangan dan status gizi). Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan (Ariani 2005).

2.4 Tumbuhan Obat

Pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai tumbuhan obat yang sebagian besar digunakan untuk obat tradisional saat ini sudah sedemikian banyaknya (lebih dari 1000 spesies yang dipakai, 74% diantaranya tumbuh liar di hutan (Zuhud dan Haryanto 1991). Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang bagian tumbuhannya (akar, batang, daun, umbi, buah, biji dan getah) mempunyai khasiat sebagai obat

dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau tradisional (Suhirman 1990).

Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok obat, yaitu:

1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai obat tradisional; 2. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah

dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, dan penggunaanya dapat dipertanggungjawabkan secara medis; dan

3. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaanya sebagai bahan obat tradisional.

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Peraturan Menkes RI 2010). Sediaan obat tradisional yang digunakan masyarakat, saat ini dikenal dengan sebut Herbal Medicine atau Fitofarmaka yang perlu diteliti dan dikembangkan (Zein 2005). Menurut Keputusan Menkes RI No. 761 tahun 1992. Fitofarmaka adalah sediaan obat yang dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini berdasarkan atas, bahan bakunya relatif mudah diperoleh, didasarkan pada pola penyakit di Indonesia, perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita, dan satu-satunya alternatif pengobatan.

Keuntungan obat tradisional yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri dirumah.

Stimulus menurut Zuhud (2007), dapat diartikan sebagai fenomena, sinyal dan informasi yang didapatkan dari suatu benda, orang, tumbuhan, kebesaran Tuhan dan lain-lain, yang dapat menjadi pendorong atau rangsangan masyarakat agar berperilaku konservasi. Konsep Tri-stimulus amar pro-konservasi dapat digunakan sebagai alternatif pengelolaan lingkungan hidup yang efektif demi terwujudnya keberlanjutan sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan masyarakat (Zuhud 2007). Tiga komponen stimulus yang mendorong wujud nyata konservasi yaitu stimulus “alamiah”, “manfaat”, dan “religius” yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai: “kebenaran”, “kepentingan”, dan “kebaikan”.

Stimulus alamiah dapat diartikan sebagai nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya. Stimulus manfaat mengandung nilai-nilai kepentingan untuk manusia didalamnya, seperti memperoleh manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis atau ekologis dan manfaat lainnya. Stimulus religius mengandung nilai-nilai kebaikan, yang mengharap ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spiritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/tradisional, kepuasan batin dan lainnya. Tri-Stimulus Amar Konservasi pada awalnya diharapkan menimbulkan 3 sikap konservasi yakni: 1. Cognitive (persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, dan keyakinan), 2. Affective (emosi, senang, benci, dendam, sayang, cinta, dll.), 3. Overt actions (Kecenderungan bertindak). Ketiga sikap konservasi yang ada, masing-masing diharapkan mengarah pada sikap yang positif dan akhirnya menuju perilaku pro konservasi, hingga pada akhirnya konservasi dapat terwujud di dunia nyata karena banyaknya partisipasi dan sikap pro konservasi dari masyarakat ataupun instansi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam hayati.

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa enclave Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW), yaitu di Pulau Sumba, Barat Daya Nusa Tenggara Timur, Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau, Kabupaten Sumba Timur pada bulan Maret – April 2012.

Gambar 1 Letak Desa Katikuwai, Kecamatan Matawai Lapau.

3.2 Alat dan Bahan