• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3. Jalur Darat

5.4 Kearifan Masyarakat Lokal

5.4.1 Karakteristik Responden

a. Umur

Berdasarkan 30 responden yang diwawancarai, diketahui bahwa umur responden dimulai umur 25 tahun hingga umur 76 tahun. Pada Gambar 16 menunjukkan pengklasifikasian umur responden dengan interval umur 10 tahun.

Gambar 16 Klasifikasi umur responden (interval 10 tahun). 5 11 6 6 1 1 0 5 10 15 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 J um la h R e spo nde n Interval Umur

Mayoritas responden adalah responden dengan klasifikasi umur 35 – 44 tahun. Kisaran umur 35 – 44 tahun yang masih termasuk dalam umur produktif diperkirakan telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai tumbuhan obat maupun pangan. Berdasarkan jumlahnya, Umur produktif yang berkisar antara 14 – 54 memiliki jumlah yang paling banyak jika diakumulasikan, yaitu dengan jumlah 22 orang (73%) dan selebihnya umur tidak produktif sebanyak 8 orang (27%), yaitu dengan kisaran umur lebih dari 54 tahun. Menurut Syaruddin (2003) umur produktif berpotensi dalam pengembangan usaha pertanian karena kondisi fisik dan kemampuan berpikir yang dinamis, sehingga ada upaya untuk melakukan inovasi dalam mengelola usaha taninya, termasuk didalamnya inovasi terhadap tumbuhan pangan dan obat.

b. Jenis kelamin

Pengetahuan tumbuhan pada responden di Desa Katikuwai, didominasi oleh laki-laki, yaitu dengan nilai persentase sebanyak 87% (26 orang), sedangkan persentase perempuan hanya 13% (4 orang). Namun hal ini tidak mempengaruhi sistem pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, diantara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam mengolah ataupun mengelola pertanian. Perempuan dan laki-laki melakukan kegiatan seperti membersihkan lahan, menanam bibit hingga memanen (Gambar 17). Namun, karena peran perempuan lebih diutamakan pada urusan mengurus anak dan kegiatan rumah tangga lainnya, sehingga curahan waktu kerja, pengambilan keputusan dan pengambilan hasil pertanian cenderung lebih besar laki-laki dibanding perempuan.

Berdasarkan klasifikasi peran perempuan menurut Listiani (2002) diacu dalam Tobing (2009), peran perempuan di Desa Katikuwai memiliki 3 peranan sekaligus, yaitu: 1. Peran produktif, ikut berperan dalam kegiatan yang menghasilkan pendapatan contohnya adalah ikut menjual hasil produk pertanian di pasar mingguan desa, 2. Peran reproduktif, kegiatan kerja yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga seperti mengasuh anak, memasak dan lainnya, 3. Peran domestik, kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan masyarakat seperti kader Taman Nasional.

c. Mata pencaharian

Mata pencaharian responden memiliki mata pencaharian utama sebagai petani yaitu dengan nilai persentase sebesar (64% (19 responden), namun ada responden yang memiliki dua mata pencaharian sekaligus, pada Tabel 21 berikut ini tercantum persentase masing-masing mata pencaharian responden.

Tabel 21 Mata pencaharian responden

No. Mata Pencaharian Jumlah responden Persentase (%)

1 Petani 19 64

2 Petani & Peramu 5 17 3 Perangkat Desa 3 10 4 Petani & Buruh 1 3

5 Penenun 1 3

6 Ibu Rumah Tangga 1 3

Total 30 100

Sebanyak 17 % (5 responden) memiliki mata pencaharian sebagai petani sekaligus sebagai peramu obat, selain itu, sebanyak 3% (1 responden) memiliki mata pencaharian sebagai petani sekaligus buruh. Responden lainnya memiliki mata pencaharian sebagai penenun (3%), ibu rumah tangga (3%), dan 10 % responden merupakan perangkat desa yang terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan Ketua BPD.

Keberadaan Desa Katikuwai yang berada dalam kawasan TNLW, mendukung masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Ketersediaan lahan berupa padang rumput atau savana yang luas mendukung dalam mengembangkan usaha peternakan yang merupakan usaha turun-temurun dan juga dapat menambah penghasilan masyarakat. Masyarakat membiarkan ternaknya mencari makan sendiri di padang rumput yang luas, tanpa khawatir

ternaknya akan hilang karena ternak yang terdiri dari kuda, sapi, dan kerbau biasanya telah ditandai dengan cara pemberian nomor atau tanda di kulit satwa tersebut.

Keberadaan ternak membantu dalam penyediaan pupuk organik dan menciptakan lingkungan hidup yang lebih ramah lingkungan. Kotoran ternak merupakan sumber pupuk organik yang mengandung unsur-unsur lain yang diperlukan tumbuhan seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) (Pakpahan 2006). Keberadaan peternakan diharapkan lebih menguntungkan usaha pertanian karena dapat menaikkan kesuburan tanah dan pemakaian pupuk organik, menaikkan produksi tumbuhan pertanian berupa tumbuhan pangan, obat, pakan ternak dan spesies tumbuhan lain yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.

Mata pencaharian utama penduduk sebagai petani didukung oleh ketersediaan lahan yang cukup luas yang dapat digarap oleh penduduk sebagai lahan pertanian. Penduduk diwajibkan memiliki lahan yang dapat digarap sebagai lahan pertanian. Setiap satu kepala keluarga minimal memiliki tanah sebesar 0.5 hektar yang kemudian dikelola dan ditanami dengan tanaman pertanian, perkebunan maupun kehutanan.

Desa Katikuwai membuat kelembagaan yang mengatur kelompok-kelompok tani pada setiap wilayah. Pembagian kelompok-kelompok tani dibagi berdasarkan jumlah anggota masyarakat pada setiap rukun tetangga (RT). Kelompok tani setiap RT biasanya terdiri dari 5 sampai 7 orang, pembagian kerja selama 5 hari, yaitu dari hari senin sampai jumat, dengan sistem kerja secara bergiliran sesuai waktu yang telah disepakati.

Hasil panen digunakan sehari-hari oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, jika hasil panen berlebih, masyarakat juga menjual hasil panen di pasar Pakamang yaitu pasar mingguan yang diadakan setiap hari selasa di depan kantor desa. Selain itu, pembeli yang membeli hasil produk pertanian tidak hanya berasal dari Desa Katikuwai saja, tetapi bisa juga pembeli dari desa sekitarnya seperti Desa Ramuk atau Tanarara, bahkan dari daerah Waingapu yang tujuannya untuk dijual lagi ataupun dikonsumsi sendiri. Pada Gambar 18 berikut ini menunjukkan kondisi pasar mingguan yang berada di Desa Katikuwai.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 18 Pasar mingguan: (a) kondisi pasar, (b) pedagang yang menjajakan dagangannya, (c) hasil panen kopi, (d) hasil panen alia/jahe.

Kisaran harga jual tumbuhan pangan yang dijual dari hasil panen memiliki kisaran harga rata-rata Rp. 1.000 – Rp. 5.000 tergantung spesies tumbuhannya. Namun, pedagang banyak menjual barang dagangannya dengan harga seribu rupiah agar mudah laku dan cepat habis. Contoh jenis tumbuhan yang dijual dengan harga seribu rupiah: ubi jalar (Ipomoea batatas): 2 - 4 buah, jeruk nipis (Citrus aurantifolia): 4 buah, kacang panjang (Vigna sinensis): 1 ikat, buah sirih (Piper betle): 6 - 10 buah), pisang (Musa paradisiaca): 2 buah, kangkung (Ipomea aquatic): 1 ikat, tomat (Lycopersicum pyriforme): 1 mangkuk kecil. Jenis tumbuhan yang paling sering dijual antara lain:, jagung (Zea mays: Rp. 5.000/4 buah, kemiri (Aleurites moluccana): Rp. 20.000/kg, alia/jahe (Zingiber officinale): Rp. 5.000/kg, Kopi (Coffea sp.): Rp. 20.000/mangkuk sedang.

Spesies tumbuhan diatas merupakan spesies tumbuhan yang biasa diperdagangkan di pasar pakamang. Berdagang hasil usaha tani merupakan cara masyarakat yang biasa dilakukan dalam menambah penghasilan. Menurut Roslinda (2008), meskipun sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat dapat terpenuhi dari hasil usaha tani, tetapi petani masih memerlukan penghasilan tunai untuk memenuhi kesenjangan penghasilan usaha tani dengan kebutuhan hidupnya.

d. Luas kepemilikan lahan

Masyarakat Desa Katikuwai, rata-rata memiliki lahan milik minimal 0.5 ha tiap kepala keluarga. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat desa memiliki lahan berupa pekarangan, ladang, maupun kebun dengan luas 0.5 ha hingga 12 ha. Pada Tabel 22 berikut ini, menunjukkan luas lahan yang dimiliki responden.

Tabel 22 Luas lahan responden

No. Luas Lahan (ha) Jumlah responden

1 0.5 11 2 1 13 3 2 2 4 3 1 5 8 1 6 10 1 7 12 1

Lahan-lahan tersebut terutama lahan pekarangan sering dimanfaatkan masyarakat dengan ditanami berbagai macam tumbuhan pangan seperti tumbuhan palawija, perkebunan, pertanian, hingga kehutanan. Lahan berupa kebun ditanami dengan tumbuhan yang berumur panjang dan yang memiliki nilai ekonomi seperti pohon cendana (Santalum album) dan kopi (Coffea sp.). Sedangkan lahan yang berupa pekarangan, sawah atupun kebun biasanya ditanami dengan jenis tumbuhan untuk keperluan hidup sehari-hari seperti padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), sayur-sayuran seperti: bayam(Amaranthus spinosus), pakis (Diplazium esculentum), labu kuning, (Cucurbita moschata) , serta buah-buahan seperti: papaya (Carica papaya), nanas (Ananas comosus), pisang (Musa paradisiaca) dengan skala kecil, atau skala rumah tangga.

Lahan masyarakat yang berupa ladang, sawah ataupun kebun lazimnya berdekatan dengan pekarangan, sehingga masyarakat sangat mudah mengambil hasil panen untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hal ini dikarenakan hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik pekarangan dengan tanaman yang tumbuh dan ditumbuhkannya terintegrasi dengan baik (Arifin 2010). Pekarangan sebagai lahan utama yang berada di sekitar rumah sekaligus pemanfaatanya paling banyak dan mudah, merupakan lahan yang potensial untuk memproduksi pertanian (Arifin 2010).

Keterkaitan luas lahan yang dimiliki reponden berpengaruh terhadap seberapa banyak jumlah dan spesies tumbuhan yang dapat ditanam, baik di sekitar pekarangan, kebun, sawah, dan ladang. Semakin besar luas lahan yang dimiliki, semakin banyak pula spesies tumbuhan yang dapat ditanam jika masyarakat dapat memanfaatkan lahan dengan sebaik-baiknya, sehingga interaksi terhadap kawasan hutan lebih kecil dan dapat meminimalisir segala bentuk eksploitasi secara berlebihan di kawasan hutan.

Menurut Arifin (2010), penggunaan lahan pekarangan yang optimal dan berkelanjutan dapat menghasilkan produktivitas yang relatif tinggi di wilayah tropis, karena keberadaan pekarangan yang multifungsi, antara lain sebagai tempat dipraktikannya sistem agroforestri, konservasi sumberdaya genetik, konservasi tanah dan air, produksi bahan pangan dari tumbuhan dan hewan, dan sebagai tempat terselenggaranya aktivitas yang berhubungan dengan sosial-budaya.

e. Tingkat pendidikan

Komposisi tingkat pendidikan masyarakat terbanyak hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar saja. Sebanyak 80% (24 responden) hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar (SD). Pada Tabel 23 berikut ini menunjukkan jumlah dan persentase tingkat pendidikan pada responden.

Tabel 23 Tingkat pendidikan responden

Kemampuan responden untuk melanjutkan pada tingkat pendidikan selanjutnya, hanya sedikit saja yang bisa melanjutkan. Hal ini disebabkan karena akses menuju sekolah sangat jauh dengan kondisi jalan yang cukup terjal. Selain itu, tingkat pendidikan SMA hanya terdapat di Waingapu yang jaraknya sekitar ±71 km dari desa, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan pergi - pulang setiap harinya dari rumah ke sekolah.

Selain kondisi aksesibilitas yang kurang memungkinkan, pola pikir masyarakat yang masih kurang peduli terhadap pentingnya pendidikan juga

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Persentase (%)

1 Sekolah Dasar (SD) 24 80 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4 14 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 3

4 Sarjana 1 3

menjadi salah satu faktor penghambat. Selain karena faktor biaya, masyarakat masih berfikir lebih baik menjadi petani dibanding mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, karena menjadi petani bisa mendapatkan pendapatan. Namun korelasi antara pendidikan dengan pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat tidak berbanding lurus dengan semakin tingginya pendidikan mereka. Diketahui justru masyarakat yang mengetahui pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat justru paling banyak diketahui dengan tingkat pendidikan sekolah dasar. Pengalaman dan pengaruh lingkungan sekitar lebih berperan dibandingkan tingginya tingkat pendidikan dalam mendapatkan pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan yang didapat secara turun temurun.

f. Kondisi kesehatan responden

Kondisi kesehatan pada responden umumnya memiliki kondisi kesehatan yang baik, namun ada beberapa penyakit yang sering dialami responden dan dapat mengakibatkan aktivitas sehari-hari masyarakat seperi berladang, berkebun, mengembalakan ternak dan aktivitas lainnya menjadi terganggu.

Beberapa penyakit yang dapat datang dan kambuh sewaktu-waktu seperti penyakit malaria, sakit perut, kepala, masuk angin, bisul, dan maag, yang tercantum pada Tabel 24.

Tabel 24 Penyakit yang dialami responden

No. Jenis Penyakit Persentase (%)

1 Malaria 34 2 Sakit Kepala 22 3 Sakit Perut 11 4 Maag 11 5 Masuk angin 11 6 Bisul 11 Total 100

Berdasarkan klasifikasi penyakitnya, penyakit yang dialami masyarakat termasuk kedalam penyakit malaria (34%), sakit kepala (22%), saluran pencernaan: maag, masuk angin, sakit perut (33%), dan penyakit kulit (11%). Penyakit malaria merupakan penyakit yang paling banyak dialami masyarakat, dengan jumlah persentase sebesar 34%. Hal ini disebabkan karena di daerah Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu daerah yang rentan dan banyak

berkembang biak endemik nyamuk malaria, yang salah satunya dipengaruhi oleh suhu udara yang relatif hangat.

Frekuensi kambuhnya suatu penyakit sangat beragam, namun frekuensinya tidak terjadi dalam waktu yang sering. Pada masyarakat yang terjangkit penyakit malaria. Penyakit ini dapat kambuh rata-rata sekali dalam satu tahun dan paling banyak dapat kambuh hingga 3 kali dalam waktu satu tahun, karena diakibatkan kondisi tubuh yang kurang sehat dan kelelahan, sehingga potensi kambuhnya penyakit malaria dapat lebih sering. Gejala yang dialami ketika penyakit malaria kambuh adalah demam tinggi yang disertai kaki dan tangan menggigil.

Masyarakat yang telah terjangkit malaria biasanya mengkonsumsi spesies tumbuhan yang dipercaya dapat mengatasi dan mengantisipasi penyakit malaria ketika kambuh. Spesies tumbuhan yang diketahui dapat mengantisipasi penyakit malaria diantaranya adalah spesies alia/jahe (Zingiber officinale), sirih (Piper betle), pinang (Areca catechu), genoak (Acorus calamus), jagung (Zea mays), kayu ular (Strychnos lucida), kesambi (Schleichera oleosa), pepaya (Carica papaya), uhu (Panicum verticillatum) dan spesies tumbuhan lainnya yang dapat mengobati suatu jenis penyakit yang dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6.

Genoak (Acorus calamus) yang juga dikenal dengan nama lokal lain yaitu dringo dan jeringau, merupakan herba menahun yang dapat hidup pada tempat lembab. Kandungan minyak atsiri, flavonoid dan saponin yang ada didalamnya biasa digunakan untuk membasmi serangga pengganggu (repellent) salah satunya nyamuk. Potensi genoak (Acorus calamus) yang dapat dijadikan insektisida nabati karena berasal dari bahan yang alami, dan mengurangi residu dibandingkan pemakaian insektisida kimia yang dapat mencemari lingkungan.

Pola hidup masyarakat dalam menjaga kebersihan juga berpengaruh dalam datangya suatu penyakit. Masyarakat pun menyadari bila mereka kurang menjaga kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan dan tidak memakai alas kaki. Terlebih lagi, di sekitar pekarangan dan tempat tinggal mereka banyak hewan ternak yang berkeliaran, sehingga kotoran-kotoran hewan seperti feses, air liur dan urin dapat menjadi sumber penyakit.

Saat ini, pelayanan kesehatan yang ada di Desa Katikuwai hanya tersedia pelayanan posyandu untuk ibu hamil, bayi, dan balita. Pelayanan kesehatan ini

rutin diadakan setiap bulannya. Posyandu Luri Lanyap merupakan rumah penduduk yang dijadikan posyandu untuk melayani pasien posyandu yang biasanya terdiri dari 25 hingga 30 orang. Posyandu biasanya diadakan pada tanggal 16 setiap bulannya. Tenaga kesehatan yang ada, merupakan bidan dan perawat yang berasal dari Tanarara yang letaknya kira-kira 18 km dari Desa Katikuwai. Angka kelahiran cukup tinggi. Setiap keluarga rata-rata memiliki anak lebih dari lima, dikarenakan usia menikah yang masih relatif muda. Usia produktif melahirkan pada perempuan di Desa Katikuwai yaitu pada rentang usia 17 tahun hingga usia 40 tahunan.

Pelayanan kesehatan yang dilakukan di posyandu yaitu pelayanan imunisasi yang terdiri dari imunisasi hepatitis, BPT, polio, dan campak. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan penyakit malaria, glukoprotein, dan pemeriksaan pada ibu hamil , bayi, dan balita. Fasilitas yang diberikan oleh posyandu berupa pemberian panduan buku kesehatan ibu dan anak, stiker ibu hamil, serta obat-obatan secara gratis. Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Generasi Cerdas (PNPM GSC) Mandiri yang merupakan program dari provinsi, penyuluhan kesehatan untuk masyarakat terutama kaum ibu-ibu hamil, bayi, dan balita kurang gizi mendapatkan perhatian lebih demi meningkatkan kesehatan mereka. Selain itu, PNPM GSC juga memberikan bantuan gizi berupa pemberian susu bayi, kacang hijau dan makanan bergizi lainnya.

g. Agama dan kepercayaan

Sumba Timur identik dengan adat istiadat dan kepercayaan yang kuat terhadap nenek moyang, meskipun begitu sebanyak 80% responden telah beragama protestan, namun masih ada responden yang menganut agama tradisional yaitu marapu (20%) di Desa Katikuwai khususnya di Kampung Lama yang letaknya dari ke arah barat dari kantor Desa Katikuwai dengan waktu tempuh 1 - 1.5 jam untuk penduduk setempat , namun bisa mencapai waktu 3 - 4 jam bagi pendatang.

Terdapat adat istiadat yang harus dilaksanakan bagi orang yang belum pernah datang ke Kampung Lama (Gambar 19). Pada saat pertama kali datang ke kampung lama harus melepas alas kaki yang merupakan simbol “menyatu”, dan

juga menggunakan pakaian adat. Namun saat ini, dengan melepas alas kaki saja yang dimulai dari sepasang pohon besar yang menjadi tanda “selamat datang” bahwa kita telah memasuki Kampung Lama. Namun, saat ini pohon yang digunakan sebagai tanda selamat datang hanya ada satu pohon saja dikarenakan satu pohon lainnya telah terbakar.

Gambar 19 Kampung Lama.