• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desakan Otoritarian Penguasa Orde Baru

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 173-177)

Strategi Persatuan Islam dalam Membangun Jama’ah dan Menghindar

C. Desakan Otoritarian Penguasa Orde Baru

Kebijakan-kebijakan pada masa Demokrasi Terpimpin yang dirancang oleh Soekarno berakibat pada kehancuran dirinya sendiri termasuk ide-ide yang dikembangkannya. Sesuatu yang bertolak belakang tidak mungkin dapat disatukan, begitulah mungkin yang terjadi dengan ide-ide yang dikemukakan oleh Soekarno untuk mempersatukan berbagai faham yang sebenarnya saling bertentangan satu sama lain dalam konsep Nasakom-nya. Kelompok komunis yang senantiasa dibela oleh Soekarno menunjukkan belangnya melalui pemberontakan pada tanggal 30 September 1965.38

Selanjutnya satu babak baru dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia digariskan kembali melalui Surat Perintah 11 Maret 1966---meskipun terjadi polemik di kemudian hari tentang keabsahan surat ini. Surat ini menjadi garis batas antara masa lalu yang kemudian disebut dengan Orde Lama dan masa kemudian yang disebut dengan Orde Baru. Salah satu tindakan pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru adalah pembubaran PKI melalui Tap MPRS No. XXV tahun 1966, dan partai lain yang menjalin hubungan erat dengannya dibekukan pada tahun yang sama.39

Usaha-usaha penyederhanaan jumlah partai yang telah dilakukan pada masa Demokrasi Terpimpin kembali dilakukan pada periode ini. Jumlah partai politik yang besar benar-benar dianggap sebagai kambing hitam dari masa lalu yang penuh dengan

ketidakpastian dan penyebab hancurnya sistem politik yang sedang dibangun. Karena rasa jengkelnya terhadap hal tersebut, Presiden Soekarno pada pidatonya tahun 1956 pernah menyerukan agar semua partai politik dikuburkan saja.40

Pada Pemilu 1971, partai politik yang ikut dalam Pemilu berjumlah 10 partai, termasuk Golkar di dalamnya. Kemudian turun secara drastis---melalui fusi partai politik---pada Pemilu 1977 dengan jumlah tiga partai saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Penurunan jumlah partai ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi hasil rekayasa Pemerintah yang tidak mampu ditolak oleh partai- partai yang sebelumnya ada. Jumlah partai ini tetap bertahan sampai dilaksanakannya Pemilu tahun 1997.41

Pemerintah Orde Baru memilih kebijakan dengan menekan- kan pada stabilitas politik dan pemerintahan sebagai modal dasar bagi pembangunan ekonomi. Tidak heran jika pada awal periode ini digencarkan slogan seperti “politik no, pembangunan yes”.42 Sebagai

kekuatan pendukungnya, Pemerintah Orde Baru menjadikan Golkar sebagai pendukung utama, sekaligus melemahkan kekuatan dua partai lainnya yaitu PPP dan PDI. Selain itu ABRI secara riil menjadi kekuatan politik yang sangat menentukan. Gabungan antara kekuatan Pemerintah, ABRI, dan Golkar inilah yang kemudian menjadikan Pemerintah Orde Baru mampu bertahan lebih lama dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Salah satu konsekuensinya adalah lemahnya kekuatan-kekuatan politik lain sehingga tidak mampu mengontrol penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh Pemerintah. Melihat perlakuan yang demikian terhadap partai politik, dapat kita bayangkan bagaimana nasib organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mempunyai keinginan untuk memainkan peran politiknya. Tiada jalan lain untuk mengurungkan keinginannya itu untuk sementara atau jika tidak turut mendukung politik rezim yang sedang berkuasa.43

Pemerintah membentenginya dengan Undang-undang politik No. 5 tahun 1975. Hartono Mardjono menilai bahwa undang-undang politik ini hanya sebagai alat legitimasi belaka dari pemerintah Soeharto yang memaksakan fusi partai, karena pada kenyataannya fusi Partai sudah dipaksakan sebelum undang-undang tersebut dibuat, bahkan sebelum terbentuknya PPP dan PDI pada tanggal 5 Januari dan 10 Januari 1973, telah dibentuk fraksi PPP dan fraksi PDI di dalam MPR, DPR, dan DPRD.44

Langkah selanjutnya dalam menata kehidupan politik nasional adalah dengan menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Gagasan ini dikemukakan oleh Presiden Soeharto di depan sidang paripurna DPR tanggal 16 Agustus 1982.45 Hal tersebut dilakukan

untuk menghilangkan ideologi-ideologi yang senantiasa dijadikan landasan perjuangan oleh masyarakat. Partai politik dijauhkan dari ideologi-ideologinya untuk kemudian disibukkan pada usaha-usaha pembuatan program-program pembangunan.46

Pidato Presiden di atas semakin tidak dapat ditolak setelah dijadikan salah satu tugas pemerintah dalam Tap MPR No. II/ MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyebutkan bahwa:

“Peranan kekuatan-kekuatan sosial-politik, khususnya partai politik dan Golkar sangat penting artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta sebagai modal dasar pembangunan nasional. Dalam rangka ini dan demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, partai politik dan Golkar harus berasaskan benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas. Selanjutnya perlu ditingkatkan kegiatan dan peranan partai politik dan Golongan Karya dalam melaksanakan pendidikan politik serta dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berorientasi kepada program-program pembangunan secara jujur, sehat dan bertanggung jawab demi tercapainya tujuan nasional”.47

Usaha ini berhasil dengan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1985,48 dan sejak saat itu tidak satupun partai yang tidak berasaskan

Selanjutnya giliran organisasi kemasyarakatan yang mendapat bidikan untuk mengebiri aktivitasnya melalui Tap MPR No. II/ MPR/1983, yang menyatakan bahwa:

“Dalam rangka meningkatkan organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam pembangunan nasional sesuai dengan bidang kegiatan, profesi, dan fungsinya masing-masing, maka perlu ditingkatkan usaha memantapkan dan menata organisasi-organisasi tersebut. Untuk itu perlu disusun undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan”.49

Pengaturan organisasi kemasyarakatan dalam suatu sistem politik pada dasarnya merupakan suatu hal yang diperlukan---atau suatu pengebirian aktivitas---karena dengan itu, menurut versi pemerintah, akan memberikan kejelasan mengenai ruang gerak dan fungsinya masing-masing. Pengaturan organisasi kemasyarakatan ini berhasil dengan dikeluarkannya UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.50

Peraturan-peratuan yang dipaksakan dari tirani otoritarian menimbulkan kekecewaan dari sebagian besar organisasi kemasyarakatan ketika dalam undang-undang yang mengaturnya itu dicantumkan keharusan untuk menerapkan Pancasila sebagai satu- satunya asas dalam anggaran dasarnya masing-massing. Apabila melihat isi GBHN tentang perlunya undang-undang ini, tidak dicantumkan tentang keharusan asas tunggal ini sebagaimana halnya partai politik. Kekuatan Pemerintah yang didukung oleh ABRI dan Golkar ternyata tidak dapat dibendung dan tidak mendapat perlawanan yang cukup berarti dari masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat yang secara terang-terangan menolak asas ini secara langsung ditindak secara tegas oleh kekuatan ABRI, dan atau membubarkan diri dengan penuh kegetiran. Bagi organisasi kemasyarakatan pada saat itu hanya ada dua pilihan antara menerima atau dibubarkan.51

Dengan pengaturan politik yang demikian represif maka rampunglah sudah seluruh rangkaian usaha untuk membatasi kekuatan politik masyarakat. Partai politik tidak menjadi pilihan

yang tepat untuk menyampaikan kepentingan karena yang tumbuh dalam Demokrasi Pancasila; suatu sistem demokrasi yang dipaksakan atas kehendak penguasa; sebuah demokrasi yang semu; pseudo demokratis. Karenanya, kebanyakan ormas berada di bawah sebuah

partai politik, kecuali, mungkin, hanya Persis saja yang tidak berafiliasi

politik, karena kebijakan isolasi strategis dari Ustadz Abdurrahman. Ketika partai politik menjadi mandul maka sebagian tokoh- tokoh organisasi kemasyarakatan memilih bermain di luar pagar atau mengambil jalan aman untuk tetap diam jika tidak berpura- pura mendukung sistem yang ada sebab pada periode ini terdapat usaha-usaha Pemerintah untuk mengatur, mengendalikan, dan mengawasi organisasi kemasyarakatan. Satu hal lain yang menjadi catatan dalam periode ini adanya usaha-usaha depolitisasi dan deideologisasi pada seluruh lapisan masyarakat. Pengontrolan yang begitu ketat terhadap seluruh peran politik yang mencoba dimainkan oleh masyarakat ini berakibat pada terciptanya Demokrasi yang semu yang berlabel Demokrasi Pancasila. Kesulitan-kesulitan dalam memainkan peran politik ini mendapat kekecualian untuk Golkar dan organisasi-organisasi pendukungnya.

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 173-177)